Relasi Dualisme dengan Penistaan Asma Allah

Agnostik

Sayangnya, ketua STAIN Jember Dr. Khusnuridho menganggap apa yang dilakukan WU tidak membahayakan akidah. Alasannya, aksi tersebut dilakukan masih pada wilayah akademik. Apapun alasan pelaku melakukan aksi itu, secara etis hal tersebut tidak patut dilakukan. Sangat sulit diterima akal sehat jika ada yang mengatakan bahwa ilmu terbebas dari adab. Sebab, bukankah, ilmu itu dipelajari agar seseorang itu menjadi beradab, beretika dan beriman?

Pelakunya memang telah diberi sanksi. Karena dinilai oleh pihak kampus masih wilayah akademik, maka sangat mungkin sanksinya bukan sanksi syari’ah. Tidak ada penjelasan, hukuman apa yang diberikan pihak kampus.

Ustadz Idrus Ramli, pengurus PCNU Jember, tidak sepakat jika aksi WU dinilai tidak membahayakan akidah dengan alasan  masih berada pada wilayah akademik. “Pendapat tersebut berangkat dari dua hal. Pertama, ilmu pengetahuan itu bebas nilai. Kedua, asumsi bahwa akidah Islam secara general maupun parsial tidak memiliki landasan ilmiah,” jelasnya.

Pembebasan ilmu dari nilai-nilai keyakinan tidak pernah ditemukan dalam tradisi Islam. Ilmuan muslim juga tidak mengajarkan bahwa agama diasumsikan dogma yang tidak ilmiah. Tradisi ini –bebas nilai- merupakan warisan para filsuf Barat. Seperti filsuf August Comte, dengan nada sinis pernah mengatakan bahwa pencerahan itu ditandai kebangkitan sains dan jatuhnya agama, serta fase teologis sudah kuno karena tidak rasional.

Jika dilacak  jauh ke belakang, ternyata bibit-bibit pemikiran tersebut ditemukan pada suatu kelompok intelektual di zaman Yunani kuno. Mereka antiilmu dan tidak tertarik pada agama. Pelecehan-pelecehan terhadap sebuah keyakinan merupakan hal yang lumrah  dilakukan pada saat diskusi. Mereka disebut kaum shopist yang agnostik.

Aksi penistaan lafadz Allah di kampus STAIN Jember tersebut dapat dikategorikan salah satu karakter kaum agnostik (la adriyah). Kaum agnostik merupakan salah satu ciri kelompok shopist  pada era Yunani kuno.

Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud menyebutkan ciri pemikiran tersebut: mereka disebut kelompok la adriyah karena selalu mengatakan tidak tahu atau selalu ragu-ragu tentang keberadaan sesuatu sehingga menolak kemungkinan seseorang meraih ilmu pengetahuan. Mereka juga penganut dualisme, kerena cenderung menyempitkan ruang lingkup iman dan perilaku. Bagi pengikut dualisme, ilmu itu bebas nilai (free value). Ilmu pengetahuan tidak ada kaitan sama sekali dengan keyakinan. Ilmu dan keyakinan berada di tempat terpisah, sendiri-sendiri.

Dalam filsafat ilmu, dualisme merujuk kepada dikotomi subyek-obyek, realitas subyektif dan obyektif. Kebenaran pun menjadi dua kebenaran, yaitu obyektif dan subyektif. Jika dualisme memasuki ranah agama, maka menimbulkan pemikiran sekularistik. Misal, kaki boleh menginjak-injak al-Qur’an, tapi hatinya menyebut asma Allah. Bagi seorang dualis, aksi ini bukan masalah. “Yang penting iman itu dalam hati, bukan di kaki,” barangkali itu alasannya.

Fenomena dualisme -kata Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi- telah memenuhi pikiran manusia modern. Faham tersebut menyebabkan kekacauan berpikir. Tidak hanya itu, pemikian kaum shopis juga menciptakan istilah-istilah yang rancu. Seperti “kafir yang sholih”, “lesbianis yang sholihah” dan lain sebagainya.

Pemikiran ini rancu sebab memilah-milah secara dikotomik konsep kafir dan konsep sholih. Padahal dua kata tersebut saling kontradiksi. Islam memiliki parameter yang telah baku dan relevan. Untuk menjadi sholih, seseorang pertama-tama harus beriman. Maka tidak mungkin gelar sholih disematkan kepada seorang penantang Allah. Hal tersebut jelas tidak tepat.

Aksi merendahkan lafadz Allah dengan alasan perilaku akademis merupakan fenomena pemikiran dualisme. Pemikiran ini memisahkan antara ilmu dan akidah. Kajian keilmuan tersendiri, dan akidah tersendiri. Iman tidak ada korelasinya dengan perilaku. Iman cukup di hati, kata pemikir dualis.

Ilmu dan Amal

Dalam ajaran Islam, pencarian ilmu dalam rangka memenuhi keperluan spiritual dan meraih kebahagiaan (al-sa’adah) akhirat. Kebahagiaan yang hakiki adalah hakikat spiritual yang kekal. Jika suatu ilmu justru menjauhkan dari jalan kebahagiaan akhirat, maka ada kemungkinan, niatnya salah atau ilmunya yang keliru. Dua-duanya mendatangkan kesesatan.

Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah mengidentifikasi seorang pencari ilmu yang salah. Di antaranya belajar semata-mata karena ingin mendapatkan popularitas dan memperbanyak kepuasaan duniawi. Pelajar yang demikian -menurut Imam al-Ghazali- berpotensi kuat menjadi pemimpin yang tersesat.

Umar bin Khattab r.a. pernah mengingatkan fenomena cendekiawan yang tidak beradab. Dikutip oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, bahwa beliau berkata: “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan terhadap umat ini adalah orang pintar yang munafik. Para sahabat bertanya: Bagaimana bisa seseorang itu menjadi munafik yang pintar? Umar r.a. menjawab: “Yaitu orang yang pandai berbicara (bak seorang alim), tapi hati dan perilakunya jahil”.

Orang yang disebut Umar r.a. tersebut merupakan orang yang pandai, intelektualitasnya tinggi, akan tetapi hatinya kotor. Niat berilmu bukan mencari kebahagiaan akhirat. Sehingga antara ilmu dan amal tidak berkorelasi. Perawakannya berilmu akan tetapi perilakunya tidak beradab. Fenomena seperti inilah yang oleh Umar r.a. dikhawatirkan akan merusak etika umat manusia. []

Penulis adalah peneliti InPAS Surabaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *