Oleh : Dr. Kholili Hasib
inpasonline.com – Sesungguhnya, salah satu persoalan serius yang menimpa umat di zaman ini adalah kedzaliman dalam pemikiran. Termasuk dalam ilmu pengetahuan. Berpikir tidak sebagaimana mestinya. Berilmu tidak sesuai dengan kaidah dan kedudukan ilmu. Kedzaliman dalam pemikiran itu mengakibatkan pemikiran dan perilaku yang ghuluw. Atau ekstrim. Ini hampir terjadi dalam semua aspek kehidupan umat Muslim hari ini.
Sedangkan, kita harus tahu bahwa adil sejatinya merupakan salah satu sifat dari agama Islam itu sendiri. Karakter adil meliputi aspek akidah, muamalah atau hubungan sosial, politik, pemikiran, hukum, pendidikan, da’wah, harta dan ilmu pengetahuan.
Pemikiran yang adil yang bisa menjadi contoh bagi kita adalah pemikiran imam al-Ghazali. Ia menulis kitab Al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Jika diterjemahkan “Kesederhanaan dalam berkeyakinan”. Iqtishad di situ sesungguhnya wasatiyah dan adil dalam berkeyakinan . Dasar (al-ashl) yang digunakan oleh imam al-Ghazali dalam kitab tersebut adalah keseimbangan antara akal dan naql, yang merupakan rumusan akidah Imam Asy’ari.
Dalam muqadimah kitab dijelaskan prinsip pemikiran iqtishadi itu. Bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) menggabungkan antara tuntutan syariat dan keniscayaan-keniscayaan akal. Aswaja tidak meninggalkan syariat karena memenuhi keniscayaan akal. Juga tidak menolak keniscayaan akal semata untuk memenuhi dalil teks syara’.
Maka — dalam kitab itu — imam al-Ghazali menolak kelompok Hasywiyah dan Falasifah serta Mu’tazilah ekstrim. Keduanya menampilkan pemikiran yang tidak seimbang. Ekstrim (ghuluw).
Ketika memposisikan akal dan teks al-Qur’an dan hadis, sekte non-Aswaja terbelah menjadi dua kutub ekstrim yang saling berseberangan. Kelompok Mu’tazilah berlebihan dalam menggunakan akal sehingga meremehkan bahkan menolak pendalilan naqli jika tidak sesuai akal. Khawarij dikenal ekstrim menggunakan dalil naqli sehingga menafikan peranan penting akal dalam pendalilan. Dalam hal ini, kelompok Mu’tazilah merupakan sekte dengan sifat tafrith terhadap dalil naqli. Sedangkan golongan Khawarij merupakan sekte dengan karakter ifrath terhadap akal (Imaduddin al-Jabury, Al-Mu’tazilah al-Madhi wa al-Hadhir, (London: E-Kutub Ltd, 2022), 23)
Perkembangan ilmu filsafat Yunani di dunia Islam juga pernah direspon secara berlebihan oleh sebagian sarjana Muslim. Pada satu sisi, menolak secara mutlak filsafat Yunani. Apapun jenis pengetahuan ditolak secara mutlak jika berasal dari tradisi filsafat Yunani. Sedangkan sebagian sarjana Muslim lainnya berlebihan dalam menerima filsafat Yunani. Pengetahuan yang lahir dari tradisi filsafat Yunani diterima secara mutlak tanpa kritik dan saringan.
Beberapa ulama Aswaja, termasuk Imam al-Ghazali, memberi respon yang adil. Tidak menolak sepenuhnya, juga tidak menerima tanpa saringan. Pemikiran Aswaja selalu terlepas dari dua kutup ekstrim pemikiran; tafrith dan ifrath.
Akidah yang berlebihan juga terdekteksi dalam sekte Syiah dan Khawarij dalam isu ahlul bait Nabi dan sahabat Nabi. Kecintaan dan penghormatan Syiah terhadap ahlul bait melampaui batas.
Sehingga menempatkan mereka ma’sum (terjaga dari dosa) sebagaimana juga para Nabi. Pembelaan sekte Syiah terhadap ahlul bait terlalu menyimpang sehingga melecehkan mayoritas para sahabat Nabi Saw. Sementara Khawarij mencintai dan menghormati para sahabat Nabi Saw. Tetapi melecehkan bahkan mengkafirkan sebagian sahabat Nabi Saw. Adapun akidah Aswaja mencintai dan menghormati keduanya;ahlul bait dan sahabat Nabi Saw.
Dalam pemikiran kontemprer pemikiran tafrith dan ifrath tumbuh berkembang dengan berbagai jenis varian pemikiran yang berbeda. Tetapi memiliki irisan persamaan dengan model pemikiran ekstrim pada masa silam. Pada era kontemporer, ilmu dari peradaban Barat yang mengandung sekularisme (memisahkan agama dengan ilmu pengetahuan) dominan diseluruh segi ilmu pengetahuan. Western knowledge tersebut direspon berbeda-beda di dunia Islam. Ada sebagian yang menerima dengan mutlak ilmu pengetahuan tersebut, ada yang menolak secara mutlak.
Pemikiran yang adil adalah menerima Western knowledge tidak secara mutlak. Tidak menolak secara mutlak. Menerima dengan daya pemikiran kritis. Membangun kerangka berfikir Islam dengan selektif dan aktif. Maka filsafat Barat dan sains Barat tidak ditolak secara mutlak. Tetapi dapat diterima dengan seleksi terhadap unsur-unsur tidak kompatibel dengan pemikiran Islam.
Sejatinya pemikiran wasatiyah merupakan pemikiran adil dalam beragama. Penghormatan umat Islam kepada Nabinya, Muhammad Saw, tidak sampai menempatkan Nabi Muhammad Saw sebagai Tuhan. Toleransi dalam Islam sebenarnya sikap adil kepada pemeluk beda keyakinan. Tidak sampai mencampur secara sinkritis. Juga tidak benci sampai menghabisi. Pemikiran adil tidak lain adalah pemikiran yang berada pada jalur-jalur pemikiran al-Qur’an, hadis, dan tradisi para ulama. Keadilan pemikiran dalam agama Islam menjadikan segala sesuatu dalam kerangkan Islam selalu dalam kondisi seimbang.
Menurut Profesor Syed Muhammad Naquib al-Attas (Prof. Al-Attas), berpikir seimbang yang dikenal dengan istilah wasathiy sama artinya dengan berpikir itu sendiri. Dalam karyanya yang berjudul “A Brief Review of Science and Natural Views,” ia mengartikulasikan bahwa keadilan dicapai ketika keadaan selaras secara alami dan tepat.
Dalam ilmu pun ada kadar dan kedudukannya. Ilmu fardhu ‘ain keduduknnya lebih tinggi daripada ilmu fardhu kifayah. Tetapi, tidak membuang ilmu fardhu kifayah. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu yang paling agung dan tertinggi adalah ilmu Allah wt (ma’rifatullah). Oleh karena itu, ilmu yang berstatus penting harus diutamakan. Penekanannya adalah pada keseimbangan, bukan mengabaikan satu atau yang lain. Imam al-Ghazali berkata: “Tahukah kalian ilmu itu ada tiga jenis, yang pertama hina, yang tingkatannya banyak atau sedikit, yang kedua, terpuji, yang tingkatannya banyak atau sedikit. Semakin banyak tingkatannya, semakin baik, ketiga, jika cukup maka patut dipuji, jika lebih dari itu maka tercela.
Agama mempunyai prinsip (ushul) dan cabang (furu). Urusan ushul tentunya harus ditempatkan pada kedudukan yang paling penting, utama dan pertama. Oleh karena itu, tidak baik jika menunda urusan ushul demi mengamalkan yang furu. Perkara ushul dan furu ‘ ini sesungguhnya tentang keseimbangan. Tidak membuang salah satunya. Namun kita padukan dengan menempatkan elemen pada posisi natural dan benar.
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, pemikiran yang memiliki karakter wasatiyah memiliki masa depan karena kemampuan pemikiran ini untuk berdialog dengan manusia dengan lisan zamannya.
Mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas diri dan ilmu dengan tetap berpegang teguh kepada ajaran Nabi Saw (Yusuf al-Qaradhawi, Mustaqbal al-Ushuliyah al-Islamiyah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1997), 77).
Dalam rangka menyongsong masa depan Indonesia emas yang berdasarkan ilmu dan Islam, maka pemikiran yang memiliki masa depan yang cerah adalah pemikiran yang adil. Dua tokoh besar dapat kita jadikan panduan membina peradaban ke depan; Hujjatul Islam Imam Muhammad bin Muhammad al-Ghazali dan Prof. Dr. Tan Sri Syed Muhammad Naquib al-Attas. Sekian terima kasih.
Pandaan, 10 November 2024