Abdullah Ahmed An-Na’im & Corruption of Knowledge
Seluruh komentar cendekiawan Muslim di atas rasanya tidak terlalu berlebihan jika kita menyimak secara seksama hakekat ide dan pemikiran Na’im dalam setiap seminar, diskusi dan pertemuan sejenis; juga dari buku-buku yang dia tulis. Antusiasme Na’im terhadap ide-ide Barat dilatarbelakangi keyakinannya bahwa hanya ide-ide Barat yang dapat mengatasi problematika umat Islam yang kini tengah memasuki era globalisasi. “Islam tidak punya world-view”, ceracau Na’im tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut saat menjawab pertanyaan yang diajukan kru inpasonline.com dalam seminar bertajuk “International Contemporary Islamic Thought by Abdullahi Ahmed An-Na’im” pada hari Kamis, 15 Juli 2010. Bertempat di Ruang Sidang Rektorat IAIN Sunan Ampel Surabaya, seminar ini terselenggara berkat kerjasama Fakultas Ushuluddin dan Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, serta turut didukung oleh LibforAll Fundation yang memiliki motto “Promoting the Culture of Liberty and Tolerance Worldwide”.
Kesalahan berpikir An-Na’im yang semacam ini, jika kita teliti lebih jauh, merupakan sebuah fenomena yang oleh Prof.Al-Attas disebut sebagai corruption of knowledge, rusaknya ilmu pengetahuan sehingga tidak bisa lagi membedakan antara kebenaran dan kepalsuan. Pihak yang mengalami corruption of knowledge menderita satu kebodohan yang berat, yakni keyakinan yang salah yang bertentangan dengan fakta ataupun realitas, meyakini sesuatu yang berbeda dari sesuatu itu sendiri, ataupun melakukan sesuatu dengan cara-cara yang berbeda dari bagaimana sesuatu itu harus dilakukan. Dan inilah gambaran pemikiran Na’im secara komprehensif, serta orang lain yang menganggap ide dan pemikiran Barat lah solusi dari seluruh persoalan yang melanda umat Islam.
Sehingga wajar bila orang yang mengalami corruption of knowledge lantas mengasosiasikan seluruh konsep yang dimiliki Islam dengan konsep-konsep Barat. Mimpi Na’im adalah Equality, Democracy, dan Human Rights. Dia kemudian mendesakkan konsep-konsep tersebut ke dalam ranah pemikiran Islam, sehingga jargonnya menjadi begini, “Nilai-nilai Barat integral dalam Islam”. Sebagai seorang yang mengaku intelektual dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, sangat naif rasanya jika Na’im dengan mudahnya mengidentikkan sebuah konsep dengan konsep yang lain. Satu contoh, konsep equality. Mimpi Na’im adalah mimpi posmo, dengan jargon “persamaan adalah keadilan”. Mengutip Epilog Dr.Hamid Fahmy Zarkasy dalam jurnal ISLAMIA Vol.III No.5, kerja menyetarakan adalah kebajikan, dan membeda-bedakan adalah kejahatan. Sebab teori menyama-nyamakan adalah bawaan pluralisme dan relativisme. Dua doktrin penting yang berada pada melting pot posmodernisme.
Dan, benar saja. Tengok apa yang dilakukan Na’im terhadap konsep masyakarat Islam. “Masyarakat Muslim adalah masyarakat Postcolonial”, katanya. Oleh karena itu, maka masyarakat Muslim, secara langsung maupun tidak langsung, merupakan bagian dari kolonial, yakni Barat itu sendiri. Konsekuensinya, Islam koheren dengan Barat. Bagi Na’im, tidak ada urusan dengan konsep metafisika dan epistemologi Islam, sebab Na’im telah sewenang-wenang menafikan wujud falsafah Islam yang terangkum dalam world-view Islam.
Pemikiran rancu Na’im justru menimbulkan kolonialisme baru. Umat Islam dijajah wacananya oleh Barat Posmodernisme. “Agar kita bisa menjadi Muslim yang baik, maka kita membutuhkan Democracy dan Human Rights sebab keduanya identik dengan Islam”, imbuhnya. Absurd? Sudah pasti. Posmodernisme hanya akan berujung pada absurditas.
Sayang, Na’im tidak konsisten, sebab mengikuti alur perspektif postcolonial, corak gerakan kritis Islam terhadap realitas ketertinggalan peradaban Islam dewasa ini sekaligus realitas dominasi peran-peran Barat dalam percaturan kebijakan global adalah dengan menyerap peradaban sains Barat dan secara bersamaan mengartikulasikan gerakan wacana tanding serta kritik. Secara ideal-normatif, Islam adalah agama rahmatan lil `alamin, maka agenda ideal-historis gerakan Islam kritis harus mengaksentuasi semangat liberasi, berwawasan emansipatoris dan bersifat transformatif. Singkatnya, dalam kerangka wacana kritik kontemporer, gerakan intelektualisme Islam yang melakukan kritik dan resistensi terhadap hegemoni globalisme Barat mencerminkan corak apresiasi postcolonial.
Dengan demikian, Na’im dituntut untuk kritis terhadap hegemoni globalisme Barat, sebagai konsekuensi logis penggunaan term Postcolonial. Lalu, apakah Na’im melontarkan kritik terhadap globalisme Barat? Tidak ada. Yang dia lakukan justru menggunakan framework ‘globalisasi’ sebagai alat legitimasi untuk mendesakkan ide-ide Barat kepada umat Islam. Ketika kru inpasonline menanyakan mengapa dia menggunakan framework ‘globalisasi’, padahal harusnya dia kritisi, Na’im mengelak. Bagi Na’im, semunya harus diletakkan dalam kerangka Human Rights. Individu memiliki otoritas untuk mengatur dirinya sendiri (self-government). Di sini, otoritas tidak mendapat ruang. Inilah yang disebut ketiadaan adab (loss of adab).
Kebiasaan para cendekiawan Muslim untuk mengambil pemikiran luar Islam secara tidak kritis dan penerimaan pandangan Barat secara apa adanya, menurut Prof. Al-Attas, telah mengakibatkan kerancuan (confusion) pada tingkat pemikiran.
“Ketika kita bicara Islamic thoughts, kita tidak bicara di ranah abstraksi, tapi contextual, historical, dan concrete”, kata Na’im. “Umat Islam kini hidup di dunia yang telah terglobalkan, dan untuk bisa bertahan hidup di dunia semacam ini, maka kita harus mau berbagi dengan peradaban Barat, menjadi bagian dari Barat”, imbuh Na’im. Pilihan-pilihan yang berdasarkan pendekatan dikotomi yang dilakukan oleh Na’im, seperti antara pemahaman tekstual-kontekstual, historis-normatif, menunjukkan kerancuan berpikir. Berpikir kontekstual yang berangkat dari realitas sosial, tanpa menunjuk pada nilai-nilai kebenaran teks-teks wahyu, hanya akan menjadikan seseorang kehilangan arah untuk menuju kebenaran mutlak.
Demikian pula, berpikir dalam kerangka kesejarahan (historical) yang sifatnya selalu berubah, tanpa meletakkannya dalam kerangka berpikir normatif yang sifatnya permanen, akan kehilangan substansi ajaran Islam itu sendiri.
Sejak awal Na’im sudah kehilangan substansi ajaran Islam. Makna syari’ah didekonstruksi. Dalam wawancaranya dengan Koran The Jakarta Post edisi 26 Juli 2007, Na’im menyatakan, bahwa syari’ah adalah produk interpretasi akal dan pengalaman manusia. Karena itu, katanya, syari’ah tidak memiliki unsur ketuhanan, sehingga bersifat relatif, tidak abadi, dan tidak mengikat. (But it must be the product of human interpretation, human reason and human experience. So when we say that sharia is divine it is misleading. Since sharia is the product of human interpretation, any understansing of it is not divine, not eternal and not binding). (Kartika)