Sejauh ini belum ada batasan yang baku tentang definisi terrorism, sebab ia merupakan pandangan yang subjektif, tergantung siapa yang memberi batasan pada saat dan kondisi tertentu,. Hal ini dinyatakan oleh Ismail Yusanto, Jubir Hizbuth Tahrir Indonesia, yang berbicara pada sesi kedua One Day International Seminar bertajuk “International Security : Facing the Challenge of Terrorism” yang diselenggarakan oleh Departemen Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga Surabaya. Acara yang diselenggarakan bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 November 2009 tersebut sekaligus sebagai grand opening Magister Hubungan Internasional FISIP UNAIR.
CIA juga membuat definisi tentang terorisme dalam laporan tahunan tentang Patterns of International Terrorism (Pola Terorisme Internasional). Laporan tahunan CIA berupaya mengeluarkan aktivitas Garcia dan Pinochet – dua rezim yang didukung oleh AS – dari kategori terorisme. Caranya adalah dengan mengkonsentrasikan pada soal terorisme internasional, bukan sekedar terorisme biasa (plain terrorism). Definisi terorisme versi CIA sendiri sebenarnya dekat dengan definisi leksikal yang disebutkan terdahulu (a mode of governing, or opposing government, by intimidation), dan seharusnya mencakup kekerasan-kekerasan yang diorganisasikan oleh negara yang didukung oleh AS, seperti yang dilakukan oleh Guatemala dan Chili.
Terorisme internasional sendiri didefinisikan oleh CIA sebagai Terrorism conducted with the support of foreign government or organization and/or directed against foreign nationals, institutions, or governments (Edward S. Herman, The Real Terror Network: Terrorism in Fact and Propaganda, South End Press, Boston, 1982:21).
“Jika Imam Samudra dan kawan-kawan disebut teroris karena mereka membom sebagian kecil dari Bali sehingga jatuh korban ratusan disebut terrorist, lalu Israel dan Amerika yang membunuh jutaan orang di Palestina, Irak, dan Afganistan disebut apa? Mengapa Hamas dan Syaikh Ahmad Yassin oleh Foreign Terrorist Organization (FTO) dimasukkan dalam daftar organisasi dan individu yang melakukan tindakan terorisme, padahal yang mereka lakukan hanyalah merebut hak mereka yang dirampas oleh penjajah? Seharusnya George W. Bush juga dihukum mati. Dan kita tidak mungkin percaya pada Obama yang meskipun semboyannya Change We Believe In, namun pada saat dilantik menjadi presiden, tidak sedikit pun dia berkomentar tentang serangan Israel ke Gaza, apalagi mengutuk”, tegas ustadz Ismail Yusanto.
Pada kenyataannya perang melawan terorisme memang ditujukan pada gerakan Islam. Lebih dari 90% dari daftar Foreign Terrorist Organization (FTO) adalah individu dan kelompok muslim. Di dalamnya justru tidak terdapat nama-nama orang atau organisasi yang sudah terkenal sebagai teroris, misalnya para teroris ekstrimis Irlandia Utara, kelompok separatis Basque ETA dan organisasi 17 November di Yunani.
Berlawanan dengan pernyataan Jubir HTI tersebut, Caryn McClelland, Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Surabaya mengatakan dengan suara lantang bahwa Amerika commited terhadap international security. Amerika bahkan menjadi satu-satunya negara yang “peduli” terhadap nasib bangsa Palestina. Namun tentu saja, “kepedulian” Amerika Serikat menimbulkan ekses politis yang kontraproduktif, yakni berdirinya negara Israel, hal yang sangat bertentangan dengan kebenaran serta rasa kemanusiaan dan keadilan. Selanjutnya Caryn bersikukuh bahwa gerakan counter terrorism dilakukan bukan untuk melawan umat Islam, tapi melawan “pihak-pihak yang mengatasnamakan Islam untuk melakukan tindakan terror”. Pernyataan ini setali tiga uang dengan pernyataan ’dalam ensiklopedia Islam tidak ada jihad yang diartikan sebagai qital atau perang fisik, dalam konteks apapun’. Upaya pendekonstruksian makna ‘jihad’ semacam ini tentu akan sangat berbahaya. ”Tidak ada yang salah dengan jihad (qital, red), hanya konteks jihadnya saja yang harus diperhatikan” tandas ustadz Ismail Yusanto.
Mengaitkan konsep jihad dengan terorisme membuat kita masuk dalam jebakan perang pemikiran/ideologi yang dijalankan AS untuk kepentingan negara imperialis itu. Dalam pandangan AS, perang melawan terorisme tidak hanya merupakan perang fisik, tapi juga menyangkut perang pemikiran (war on idea). Pada 2002 Sekretaris Menteri Pertahanan AS saat itu Paul Wolfowitz mengatakan : ”Saat ini kita sedang bertempur dalam perang melawan teror- perang yang akan kita menangkan. Perang lebih besar yang kita hadapi adalah perang pemikiran – jelas suatu tantangan, tetapi sesuatu yang juga harus kita menangkan.”
‘Jihad’ memang memiliki banyak arti. Namun, jihad yang berarti ‘perang fisik’ tidak bisa direduksi apalagi dihilangkan dari literatur umat Islam; Al-Qur’an, hadits, dan kitab-kitab karangan para ulama. Upaya untuk mendekonstruksi makna ‘jihad’ ini dilakukan antara lain dengan mendesak pesantren-pesantren di Indonesia agar menghilangkan pembahasan ‘Jihad’ dalam buku ajar pesantren. “Penanganan terorisme harus melibatkan civil society, Polri tidak bisa sendirian,” jelas Kombes Muhammad Tito Karnavian dari Detasemen Khusus 88 Bareskrim Polri, yang juga hadir sebagai pembicara, menggantikan Brigadir Jenderal Saut Usman Nasution, Kepala Detasemen Khusus 88 Anti Teror Polri yang saat itu berhalangan hadir.
Ironisnya, di tengah popularitas Polri yang sangat merosot pasca kasus Cicak-Buaya, Kombes Tito masih saja berbicara tentang keberhasilan Densus 88 menghabisi Noordin M. Top dkk yang menuai protes dari berbagai elemen karena penanganan terorisme yang brutal dan over acting. Terlebih lagi, banyak pihak meragukan fakta-fakta yang disajikan Densus 88 terkait penanganan aksi terrorism di Hotel Ritz Carlton dan JW. Marriott. ”Dunia internasional sangat respek terhadap kinerja Polri menangani aksi terorisme. Dalam kerja besar ini, kami belajar dari banyak negara seperti Amerika yang ahli dalam post blast investigation dan CRT; Inggris yang ahli dalam interrogation dan surveillance; Australia yang ahli dalam bomb data, DNA test, CMSI data base, analisis; dan Prancis yang ahli legal system dan management crisis, serta Jepang yang sudah pengalaman menangani bio-terrorism,” kata Kombes Tito. Ketika ditanyakan kepada Kombes Tito, ”Who will be the next Islamic groups yang akan dijadikan target Densus 88 setelah Jama’ah Islamiyah?”, dia menjawab gerakan Islam manapun yang menggunakan aksi kekerasan dan bermaksud makar terhadap pemerintah RI, maka akan ditangani secara militer oleh Densus 88.
Selanjutnya, term ‘jihad’ diseret ke dalam sebuah main cause of terrorism bernama ideology. Untuk membahas ideology as a main cause of terrorism, Departemen Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga khusus mendatangkan Jolene Jerard. Jolene adalah seorang Associate Research Fellow dan Manager of International Centre for Political Violence and Terrorism Research (ICPVTR), salah satu counter terrorism research dan training centre terbesar di dunia yang berkedudukan di Singapura. Singkatnya, Jolene adalah salah seorang pakar terrorism dan extremist groups di Asia.
”Dangerous, distorted and deviant ideology that needs to be dealt with crisis in the mind, failed to understand context and importance, failed to return to Islamic intellectual traditions, sees Jihad as a perpetual warfare against non-Muslims, hostility against the West and its allies; are the main causes of terrorism,” jelasnya dalam bahasa Inggris dengan logat India yang kental.
Topik-topik diskusi semacam ‘What is Jihad?’, ‘Understanding the Real Jihad’, ‘Moderation in Islam’, ‘Beauty of Islam in a Pluralistic Society’, sering diangkat dalam public forums and lectures di Singapura, sebagai upaya deradikalisasi umat Islam.
Upaya sistemik Singapura dalam counter terrorism juga menggunakan media website. Simak pernyataan Mr. Wong Kan Seng, Deputy Prime Minister and Minister for Home Affairs of Singapura yang dikutip oleh Jolene berikut ini:‘Our Muslim organisations and leaders have undertaken many initiatives in the last few years to counter radical ideology. They would intensify their efforts to reach out to vulnerable segments of the community, for example, the young, to explain the falsities of the radical ideology. We should also be alert to what our children are learning from the Internet or from unregistered and dubious religious teachers. We should guide them to the right source of knowledge’
Sayangnya, Jolene tidak menjelaskan bahwa kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan Israel yang sangat tidak populis juga menjadi alasan yang kuat di balik semua aksi perlawanan oleh umat Islam. Serangan militer Amerika ke Palestina, Afganistan, dan Irak telah menyakiti perasaan umat Islam di seluruh dunia sehingga memicu aksi perlawanan terhadap foreign policy Amerika tersebut. Seharusnya faktor pemicunya yang dieliminir, tidak hanya mengcounter ideology yang di dalamnya terdapat term-term yang sudah pakem. Selain sebagai reaksi atas foreign policy-nya Amerika, terrorism juga muncul karena adanya master mind. Artinya, terdapat pihak-pihak yang memang sengaja memproduksi aksi teror lalu menggunakan umat Islam yang mudah terprovokasi sebagai alat sehingga mereka punya alasan untuk memberangus gerakan Islam.(Kar)