Ibnu Hazm, Ulama Brilian dari Spanyol

Dua karya monumentalnya al Ihkam fi Ushul al Ahkam (Ushul Fikih) dan kitab al Muhalla (Fikih) menjadi rujukan utama fuqaha mu’ashirin (pakar fikih kontemporer) dalam upaya penyelarasan khazanah fikih Islam. Karyanya yang lain, berjudul Tauqul Hamamah (Di Bawah Naungan Cinta) menjadi kitab terlaris sepanjang abad pertengahan. Kitab yang  berisi sebuah kompilasi anekdot, observasi, dan puisi tentang cinta ini tidak hanya menarik bagi umat Islam, tetapi juga kaum Nasrani di Eropa.

Di kalangan sarjana Islam, Ibnu Hazm dikenal sebagai ilmuwan yang memiliki keunikan dalam kajian-kajiannya. Ia memiliki metodologi sendiri dalam memahami agama yang berbeda dengan fuqaha arba`a (ulama empat madzhab). Ia menolak al qiyas (dalil analog) yang telah disepakati oleh jumhur ulama (mayoritas ulama) sebagai salah satu landasan hukum syari’at. Alasan Ibnu Hazm menolak qiyas karena menurutnya persoalan agama tidak boleh dipecahkan dengan  al Qiyas dan ar Ra’yu, sebab perselisihan pendapat dalam Islam harus dikembalikan pada al Qur’an dan as Sunnah.
Ibnu Hazm juga beranggapan bahwa madzhab yang berpengaruh saat itu,  telah mempolitisir hakikat ajaran Islam. Karenanya, ia membuat sebuah metodologi yang berbeda dengan mazhab yang ada.

Metodologi yang dipakai yaitu menggunakan jalur tekstual dalam memahami syari’at Islam, dengan menolak analog sebagaimana yang dipakai oleh empat mazhab. Metodologi  pemikiran tekstual Ibnu Hazm itu mengambil kandungan kata dan bukan intisari makna sebuah dalil atau ayat. Metode ini bersandar pada dua inti dasar. Pertama; berpegang pada teks-teks Al Quran, Hadits dan Ijma’. Kedua; tidak menerima dalil qiyas, istihsan, sebagaimana yang dipakai oleh empat mazhab. Kemudian Ibnu Hazm juga gencar mengkampenyakan agar kaum muslimin tidak taqlid kepada para pemimpin madzhab.

Untuk mensosialisasikan metodenya itu, ia sering membuat forum kajian dan menuangkan pandangan-pandangannya dalam sebuah media tulisan. Hanya saja, cara yang dilakukan sangat provokatif sehingga tidak disenangi oleh kaum Muslimin.

Ia sering menggunakan istilah yang kasar dalam mengungkap ketidaksetujuannya dengan ulama lain. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa kitabnya seperti; al Muhalla, an Nubdzah al Kafiyah, al Fisal fi al Milal wa an Nihal dan al Ihkam fi Ushul al Ahkam.  Misalkan dalam al Muhalla Ibnu Hazm sering menggunakan kata ‘orang ini tidak beriman’.

Karena sikapnya seperti itu, tak heran jika para ulama pada jamannya mengkritik habis-habisan sikapnya.

Ibn Katsīr dalam kitab Al-Bidāyah Wa’n Nihāyah menjelaskan bahwa Ibnu Hazm sangat sering mencela ulama dengan pena dan lisannya. Hal ini yang menyebabkan masyarakat pada zaman tersebut membencinya. Ia juga menilai Ibnu Hazm sebagai orang yang kebingungan dalam hal furū` (fiqh) yang tidak berpegang pada qiyās, baik yang jali (sangat jelas) maupun selainnya.

Wafatnya

Ibnu Hazm lahir di sebuah kawasan yang terletak di sebelah timur kota Qordoba, Spanyol  pada tahun 384H (7 November 994M).

Nama lengkapnya adalah Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm bin Ghalib bin Sholeh bin Khalaf bin Ma’dan bin Sufyan bin Yazid bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayah bin Abd Syams al-Umawiyah.

Ibnu Hazm tumbuh dan besar di kalangan para pembesar dan pejabat. Ayahnya adalah salah satu menteri kerajaan Cordoba. Walau dikelilingi dengan gemerlap kemewaan, namun tidak menjadikannya lupa akan kedudukan dan kewajiban agama. Ia sangat interest dengan keilmuan islam.

Kondisi sosial, politik, mental dan intelektual yang melatarbelakanginya, juga menjadi faktor pendorong bagi Inu Hazm untuk menjalani hidup dalam pengembaraan mencari jati diri. Saat berkelana itulah ia  mengenal ilmu dan ulama. Dan dari para ulama inilah ia mendalami intisari agama.

Ibnu Hazm belajar kepada para ulama kenamaan seperti Abu Muhamad ibn Dakhun, Abdullah al-Azdi, Abi qasim Abdurahman bin Abi Yazid al-Misri, dan masih banyak lagi sederatan ulama yang kadar keilmuannya diakui oleh rakyat Qordoba.

Dari didikan para ulama itulah akhirnya ia menjadi seorang yang pakar dalam bidang agama. Kepakarannya bukan hanya diakui oleh kaum muslimin, namun juga diakui oleh sarjana Barat. Bukan cuma itu, ia juga menguasai ilmu kenegaraan. Ia pernah menjabat sebagai menteri pada pemerintahan Cordoba.

Nasehat yang terkenal dari Ibnu Hazm kepada pencari ilmu yaitu, “Jika anda menghadiri majelis ilmu maka janganlah hadir kecuali kehadiranmu itu untuk menambah ilmu dan memperoleh pahala, dan bukannya kehadiranmu itu dengan merasa cukup akan ilmu yang ada padamu, mencari-cari kesalahan (dari pengajar) untuk menjelekkannya. Karena ini adalah perilaku orang-orang yang tercela, yang mana orang-orang tersebut tidak akan mendapatkan kesuksesan dalam ilmu selamanya. Maka jika anda menghadiri majelis ilmu sesuai dengan apa yang telah kami sebutkan, maka tetapilah tiga hal ini dan tidak ada keempatnya.”

Pada 28 Sya’ban 402H bertepatan pada tahun 1063M beliau memenuhi panggilan Allah Swt. Wafatnya, cukup membuat masyarakat kala itu merasa kehilangan dan terharu.

Khalifah Mansur al-Muwahidi, khalifah ketiga dari Bani Muwahid termenung menatap kepergian Ibn Hazm, seraya berucap: “Setiap manusia adalah keluarga Ibn Hazm”.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *