Oleh M. Anwar Djaelani
Inpasonline.com-Islam menetapkan bahwa menuntut ilmu itu wajib bagi seorang Muslim. Bahkan, proses mencari ilmu (secara luas bisa kita sebut sebagai proses pendidikan), harus dimulai sejak anak masih dalam buaian seorang ibu sampai dia ‘menuju liang lahat’. Jadi, pendidikan adalah proses yang tiada pernah boleh berhenti.
Untuk memacu semangat, cukup banyak hadits Nabi SAW yang menyebutkan berbagai keutamaan ilmu dan pencari ilmu. Misalnya, “Siapapun yang berjalan mencari ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga” (HR Muslim). Atau, dalam spirit yang sama, Rasulullah SAW bersabda bahwa siapapun yang menempuh perjalanan mencari ilmu, maka Allah menggolongkannya sebagai orang yang sedang berjuang di jalan Allah, sejak dia berangkat sampai dia pulang kembali.
Iman, Ilmu, dan Amal
Salah satu buku karya Imam al-Ghazali adalah Mizan al ‘Amal yang berarti Timbangan Amal (dan edisi terjemahnya berjudul Berbisnis dengan Allah). Melalui buku itu, dia mampu menghidupkan spirit kaum beriman untuk berilmu (setinggi-tingginya) dan lalu pada saat yang bersamaan ilmu itu harus bisa ‘menggerakkan’ mereka untuk beramal denga amalan berkategori terbaik.
Bukankah dalam Al-Qur’an cukup banyak ayat yang berupa panggilan terhadap orang-orang beriman dan lalu disertai perintah untuk melakukan amaliyah tertentu? Bukankah dalam beramal kita tak boleh taqlid? Dan, dengan demikian, bukankah kita harus berilmu?
Sementara, jika manusia beriman dan sekaligus beramal, maka itu akan berujung kepada terbinanya insan yang berakhlak mulia, yang bertaqwa. Dan, taqwa adalah sebaik-baik bekal dalam mengarungi kehidupan ini agar berbahagia.
Kebahagian adalah hal yang selalu dirindukan dan -oleh karena itu- selalu dicari manusia. “Kebahagian,” kata Al-Ghazali- “Adalah dambaan setiap orang yang berakal sehat. Sedangkan mengabaikannya adalah sebuah kebodohan.” Dalam konteks ini, Hujjatul Islam itu lalu berkata: “Kemenangan dan keberhasilan hanya dapat dicapai dengan menggunakan ilmu dan amal sekaligus”.
Singkat kata, menurut Tokoh (dengan t besar) yang lahir pada tahun 1058 M dan wafat pada usia 55 tahun itu, kebahagiaan hanya bisa dicapai dengan ilmu dan amal. Dalam perjalanan hidupnya sendiri, ada kesaksian bahwa Al-Ghazali adalah pribadi yang sangat konsisten terhadap dua hal yang selalu dia serukan untuk ‘merebutnya’ itu, yaitu ilmu dan amal.
Tetapi, bagaimanakah cara mempraktekkannya? “Semua itu hanya dapat dicapai melalui latihan (riyadlah) dan pengendalian (mujahadah). Pendapat Al-Ghazali ini disandarkan kepada: “Dan, orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami” (QS Al-’Ankabuut [29]: 69).
Lalu, dengan media apa kita bisa mendapatkan ilmu? “Tidak diragukan lagi, bahwa ilmu-ilmu pengetahuan aqliyah itu dapat diperoleh dengan sarana akal yang merupakan potensi yang paling mulia, dan dengan akal itu pula sesorang dapat sampai ke surga jannatul ma’wa.“ Oleh karena itu, kita diingatkan, bahwa: “Barang siapa yang akalnya tidak mampu memperbanyak amal-perbuatan yang baik, maka matinya akan kekurangan tingkah laku yang baik,” kata Al-Ghazali.
Dengan ilmu yang kita punyai, kita bisa lebih mendapatkan manfaat dari pelaksanaan amal-ibadah yang kita lakukan setiap saat.
Al-Ghazali mengajarkan, jika kita ingin ‘berbisnis’ dengan Allah untuk mencapai kebahagian maka harus diraih dengan ilmu dan amal.
Terkait ini, kita lalu ingat ajaran ini: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa deraja”t (QS Al-Mujaadilah [58]: 11). Atau, ingat ini juga: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu yang menciptakan” (QS Al-A’Alaq [96]: 1).
Khusus untuk QS Al-A’Alaq [96]: 1, maka firman Allah yang turun pertama kali itu sungguh bisa memberi inspirasi yang luar biasa kepada kita. Yang diminta dibaca adalah ayat-ayat Allah yang tersurat maupun yang tersirat. Jika manusia beriman bisa ‘membaca dengan baik’, maka dia akan beroleh ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan itu dia akan terbimbing untuk (lebih) bertauhid dan –oleh karena itu- pantas disebut sebagai ulama. “Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit, lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan, di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan, demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak, ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya, Allah Maha Perkasa lagi Maha Penyayang” (QS Faathir [35]: 27-28).
Mengantar Anak
Anak adalah amanah Allah yang tak boleh kita sia-siakan. Mengantarkannya sukses di dunia, mungkin mudah. Tetapi, mengantarkan anak sukses di dunia sekaligus sukses pula di akhirat, bukanlah perkara yang mudah. Terlebih lagi, ketika kini kita tinggal di sebuah zaman yang ‘tak ramah’.
Demi sang Permata Hati, maka kepada segenap orang tua perlu dikabarkan bahwa mendidik anak adalah kewajiban utama mereka. Anak, bak kertas putih. Bapak-ibunyalah yang berperan besar dalam menjadikan dia Yahudi, Nasrani, Majusi, atau Muslim yang berkelas mujahid. Dengan demikian, orang tua berkewajiban mendidik anak dengan cara yang benar. Pendidikan harus dimulai sedini mungkin dan dapat dilakukan di semua tempat serta di segala kesempatan.
Singkat kata, jika memilih sekolah, misalnya, sedapat-dapatnya orang tua memilihkan sekolah yang sesuai dengan tujuan pendidikan (Islam). Orang tua harus berusaha sekuat tenaga, agar dalam proses pendidikan anak-anaknya (yang tiada boleh berhenti itu) bermuara kepada terbinanya anak yang beraqidah mantap, shalih/shalihah dan berakhlak mulia. InsyaAllah, anak dengan performa seperti di atas, berpotensi besar untuk turut aktif berperan-serta dalam mewujudkan Izuul Islam wal Muslimin. []