Ahlul Bid’ah dan Pencela Sahabat Nabi

Written by | Pemikiran Islam

Oleh: Kholili Hasib

سب الصحابة1Inpasonline.com-Syaikh Abdul Qahir al-Baghdadi al-Asy’ari dalam kitabnya al-Farqu baina al-Firaq, menjelaskan karakter keompok ahlul bid’ah adalah menyelesihi para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalllam. Bahkan kebanyakan mencelanya. Sedangkan kelompok pengikut salaf selalu konsisten mengikuti dan mencintai Sahabat Nabi (Abdul Qahir al-Baghdadi, al-Farqu baina al-Firaq, hal. 244). 

Di kalangan mutakallimun (teolog Muslim), istilah ‘ahlul bid’ah’ biasanya merujuk kepada aliran-aliran (firqah) di luar Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kelompok yang akidahnya menyimpang dari para Sahabat dan tabi’in, seperti Khawarij, Rafidhah, Mu’tazilah, Qadariyah, Jahmiyah dan lain-lain. Hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalllam yang menyebut istilah ‘bid’ah dhalalah’ dan ‘ahlul ahwa’ oleh para ulama Kalam ditujukan kepada aliran-aliran sesat ini.

Salah satu bentuk bi’ah dhalalah kelompok ini adalah dengan mencela para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam. Karena itu, Imam al-Ghazali berpendapat bahwa loyal (wala’) kepada Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam termasuk bagian dari akidah Islam. Beliau mengajurkan, anak yang belum mencapai usia baligh harus sudah diajari wala’ kepada Sahabat Nabi. (baca Sayyidi Ahmad Zaruq, Syarh Aqidah al-Imam al-Ghazali).

Madzhab Asy’ari Loyal pada Sahabat

Sedangkan para ulama Ahlus Sunnah, mulai dari para ulama fikih, ahli hadis, ulama ilmu nahwu, ulama ahli sejarah, ulama tafsir, ulama tasawuf semuanya tidak satu pun yang mencela para Sahabat.

Termasuk madzhab akidah yang mengikuti Imam Asy’ari dan Imam al-Maturudi, oleh para ulama tidak dikelompokkan ke dalam ahlul bid’ah. Sebab, mereka konsisten mengikuti jalur-jalur yang dijalankan oleh para Sahabat Nabi.

Imam al-Hafidz Murtadha al-Zabidi, ulama pakar hadis, menjelaskan: “Hendaknya diketahui bahwa masing-masing dari Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi tidak membuat bi’dah baru dan tidak menciptakan madzhab baru dalam Islam. Sebab, mereka hanya menetapkan pendapat-pendapat ulama salaf dan pembela para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam. Mereka bahkan berdebat dengan ahlul bid’ah sampai ahlul bid’ah takluk tidak berkutik” (Imam al-Hafidz Murtadha al-Zabidi, Ithaf al-Sadah al-Muttaqin, juz II/hal. 7).

Barangkali atas dasar ini, Ibnu Taimiyah, meski memberi kritik kepada al-Asy’ari namun ia mencela orang yang menyesatkan imam Asy’ari. Ia mengatakan: “Ketika terjadi fitnah di kalangan umat Islam pada abad 3 dan 4 H. Banyak orang melaknat pengikut Asy’ariyah. Namun, para ulama berlepas diri dari pelaknatan tersebut. Dan melarang caci-makian. Kemudian mengeluarkan fatwa bahwa mereka (Asyari) adalah bagian dari orang Mukmin”(Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa juz 4 hal. 15). Hal ini disebabkan, madzhab Asy’ari konsisten memegang ajaran para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam.

Ibnu Taimiyah memberi peringatan keras, Madzhab Asy’ari yang setia kepada Sahabat untuk tidak dicela bahkan disesatkan.

Menurutnya, barangsiapa yang mencela imam Asy’ari dan pengikutnya, maka celaan itu akan kembali kepadanya. Ia memuji imam Asy’ari sebagai penolong kaum Muslimin dalam bidang akidah. Ia mengatakan: “Para ulama kita adalah penolong bidang furu, sedangkan Asy’ari penolong bidang akidah” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa/4/16).

Firqah Sesat Mencela Sahabat

Paradigma tersebut berbeda dengan karakter firqah sesat yang mencela para Sahabat. Syeikh Abdul Qahir al-Baghdadi merinci kelompok-kelompok non-Sunni yang tidak loyal kepada Sahabat. Di antaranya kelompok Qadariyah dan Mu’tazilah. Pemimpin Qadariyah yang bernama al-Nadzdzam mencela Sahabat Ibnu Mas’ud yang menganggap sebagai Sahabat Nabi yang tidak adil.

Mereka menjatuhkan otoritas Ibnu Mas’ud karena Ibnu Mas’ud meriwayatkan hadis tentang qadha dan qadar yang tidak sesuai dengan akidah Qadariyah dan Mu’tazilah.

Hadis tersebut berbunyi: “Sesungguhnya orang yang bahagia adalah orang yang (ditetapkan bahagia) pada saat dalam kandungan ibunya. Dan orang yang celaka di akhirat adalah orang yang ditetapkan celaka pada saat dalam kandungan ibunya”.

Hadis itu bertentangan dengan worldview Qadariyah dan Mu’tazilah yang menolak takdir itu telah ditetapkan sejak dalam kandungan ibunya.

Pemimpin Mu’tazilah, Washil bin Atha’, meragukan ke’adilan’ saidina Ali, putranya, Abdullan bin Abbas, Thalhah, Zubair dan lain-lain yang terlibat perang Jamal. Menurut Washil, kesaksian para Sahabat tersebut di atas tidak bisa diterima karena telah divonis fasik (Abdul Qahir al-Baghdadi, al-Farqu baina al-Firaq, hal. 245).

Kelompok Khawarij juga termasuk firqah pencela Sahabat. Bahkan sampai pada taraf vonis kafir. Mereka mengkafirkan saidina Ali, Hasan, Husen, Ibnu Abbas, Ustman, Aisyah, Thalhah, Zubair, Mu’awiyah dan lain-lain.

Begitu pula kelompok Najjariyah, al-Bakkariyah, al-Dharroriyah dan lain-lain semuanya tidak loyal kepada para Sahabat. Seperti halnya dilakukan Rafidhah, mereka menyeleksi riwayat-riwayat yang dibawa oleh Sahabat yang disesatkan itu.

Jadi, kelompok pencela Sahabat juga meliputi hampir semua aliran/firqah non-Sunni.

Maka, sebagai ciri khas Ahlus Sunnah wal Jama’ah, loyal, mencintai dan mengikuti jalan Sahabat harus diangkat lagi dalam dunia pendidikan Islam saat ini.

Firqah non-Ahlussunnah ini pantas disebut kelompok takfiri. Sebab mereka sangat mudah menjatuhkan vonis kafir kepada Sahabat dan kaum Muslimin yang tidak mengikuti vonis tersebut.

Sedangkan ciri khas Ahlus Sunnah, tidak mudah menjatuhkan vonis takfir kepada sesama kaum Muslimin Sunni. Jadi, paradigma takfiri merupakan karakter dari ahlul bid’ah yang tidak pernah dicontohkan oleh para ulama salaf kita.*

Last modified: 06/05/2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *