Teladan HAMKA

 Alim dan Santun

Di situs www.muhammadiyah.or.id 1/6/2011 ada biografi ringkasnya. Nama HAMKA adalah akronim dari Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Dia tokoh Muhammadiyah. Lelaki –yang lahir 17/2/1908– ini mulai aktif di Muhammadiyah pada 1925 dan pada 1928 mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada 1929 HAMKA mendirikan Pusat Latihan Pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah di Makassar. Lalu, menjadi Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat pada 1946. Pada 1953, HAMKA menjadi Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Sekalipun pendidikan formalnya tak tinggi, dua universitas terkemuka tak ragu untuk memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada HAMKA. Itu disampaikan Universitas Al-Azhar Mesir pada 1958 dan Universitas Kebangsaan Malaysia pada 1974.

Reputasi keulamaan dari tokoh yang wafat pada 24/71981 itu diakui kalangan luas. Pengaruhnya terasa hingga kini, bukan saja di Indonesia, melainkan juga di Malaysia dan Singapura.

Sekarang, kita lihat HAMKA di satu aspek saja, yaitu bagaimana sikap dia menghadapi persoalan furu’iyah (bersifat cabang, bukan yang pokok). Ini penting, sebab perselisihan di aspek ini sesekali masih terjadi. Sekadar menyebut dua contoh, baca qunut di shalat subuh itu perlukah? Adzan shalat Jum’at, sekali atau dua kalikah?

Mari kita kenang dua fragmen menarik. Ini fragmen pertama. Suatu ketika HAMKA shalat subuh berjamaah bersama KH Idham Chalid (Ketua Umum PB NU 1956-1984, Ketua MPR/DPR 1971-1977, dan mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar-Mesir). HAMKA yang mengimami. Pada rakaat kedua, HAMKA membaca doa qunut (Sabili 21/2/2008). Ini menarik, sebab membaca qunut tak biasa dilakukan HAMKA. Artinya, kisah “qunut HAMKA” bisa memberi pelajaran yang dalam bagi kita.

Menarik pula, HAMKA dan Idham Chalid ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada waktu yang bersamaan, yaitu 8/11/2011.

Lalu, ini fragmen kedua, dipetik dari www.ustsarwat.com. Di sebuah Jum’at, KH Abdullah Syafii mengunjungi HAMKA di Masjid Al-Azhar Jakarta Selatan (catatan: HAMKA memimpin pelaksanaan ibadah sehari-hari dan pengajian di masjid tersebut sejak kali pertama digunakan, 1958). Hari itu seharusnya HAMKA yang menjadi khatib. Tapi, sebagai penghormatan kepada sahabat dan sekaligus tamunya, HAMKA dengan santun meminta Abdullah Syafii menjadi khatib.

Hal menarik terjadi. Saat itu, adzan Juma’t dikumandangkan dua kali. Padahal, siapapun tahu, di masjid itu adzan Jum’at selalu hanya satu kali. Rupanya, HAMKA menghormati Abdullah Syafii sebab melaksanakan adzan dua kali pada shalat Jum’at adalah pendapat yang dipegang oleh sang sahabat.

Siapa Abdullah Syafii? Mari kita ‘berkenalan’ dengan tokoh yang memiliki ‘latar-belakang’ berbeda dengan HAMKA itu. Situs www.majalah-alkisah.com 12/10/2011 menurunkan judul “KH Abdullah Syafii, Penjaga Benteng Moral Umat”. Berikut ini petikannya.

Dia ulama kelahiran Kampung Bali Matraman, Jakarta 10/8/1910 dan wafat pada 3/9/1985. Sedari kecil, telah memelajari Islam kepada sejumlah ulama di Jakarta. Dia juga pernah mengenyam pendidikan di Mekkah.

Abdullah Syafi’i mengabdikan hidupnya untuk pendidikan umat. Saat usianya beranjak 17 tahun, Abdullah Syafii telah terjun ke masyarakat, mengajarkan agama. Selain itu dia juga kerap mengisi ta’lim dan ceramah di berbagai tempat. Gaya ceramahnya yang lantang, tegas, dan berapi-api membuatnya dikenal sebagai “Macan Betawi”.

Pada masa penjajahan, sebagian besar warga pribumi tidak mendapatkan pemahaman agama dengan baik. Maka, semangat dakwah Abdullah Syafii kian tidak terbendung. Dia merasa begitu terpanggil mensyiarkan Islam (antara lain dengan jalan memberantas buta huruf Al-Qur’an). Berbagai keterbatasan dan kendala tidak membuatnya patah semangat. Dia rela mengorbankan tenaga, pikiran, dan harta.

Abdullah Syafii memulai kegiatan ta’limnya dengan sarana sangat sederhana. Beberapa tahun kemudian dia mendirikan lembaga pendidikan agama yang diberi nama “Madrasah Islamiyah Ibtidaiyah”. Puluhan tahun kemudian madrasah itu berganti nama menjadi “Asy-Syafi’iyah” dan berkembang pesat, mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi Agama Islam. Ada juga pesantren tradisional putra dan putri serta pesantren khusus yatim. Lokasinya tak hanya di Jakarta, tapi juga di Jatiwaringin, Pondok Gede, Bekasi. Ada sekitar 33 lembaga pendidikan, 19 lembaga dakwah, dan 11 lembaga sosial yang telah didirikannya.

Abdullah Syafii tercatat sebagai salah satu pendiri Majelis Ulama Indonesia (MUI). Selain pernah menjabat Wakil Ketua MUI Pusat, dia juga pernah menjadi Ketua Umum MUI DKI Jakarta.

Banyak jasa Abdullah Syafii. Peran dan perjuangannya dalam mendidik umat sangat bisa dirasakan. Maka, wajar, jika dia lalu mendapat penghargaan dari Pemerintah Indonesia berupa Bintang Maha Karya Putra Utama. Sementara, Pemerintah DKI Jakarta memberikan penghargaan dengan menamai salah satu jalan di Jakarta Selatan dengan nama Jalan KH Abdullah Syafii (www.ummatonline.net 1/8/2010).

Dari uraian di atas, tampak bahwa HAMKA, Idham Chalid, dan Abdullah Syafii berilmu tinggi. HAMKA punya Tafsir Al-Azhar dan Perguruan Al-Azhar. Idham Chalid memimpin PB NU dalam waktu yang sangat lama. Abdullah Syafii memiliki Pesantren Asy-Syafi’iyah dan banyak alumnusnya yang juga sukses mengikuti jejak sang guru.

Terlihat, mereka berinteraksi secara indah karena berprinsip saling menghormati. HAMKA –misalnya- dengan keluasan ilmunya, bisa ‘menyesuaikan diri’ dengan praktik ibadah yang berbeda dari saudara Muslim lainnya. 

 Pelihara, Ayo!

HAMKA –ketua MUI 1977 sampai 1981- telah memberi teladan yang elok. Maka, masihkah akan ada di antara kita yang suka menyoal hal-hal  furu’iyah ? Mari, belajar kepada HAMKA, ulama yang tidak kita ragukan lagi ketinggian ilmunya, InsyaAllah, antara lain dengan cara itu, ukhuwah Islamiyah dapat kita pelihara. []

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *