Kritikan itu disampaikan Dr. Adian Husaini dalam seminar sehari bertajuk Sejarah dan Peranan Islam Dalam Pembangunan dan Kesatuan Bangsa, Senin, 14/11 di Jakarta.
“Kalau kita lihat ada tiga simbol budaya dibawa dalam pembukaan itu, yaitu Komodo, Borobudur, dan Batik. Sama sekali tidak ada unsur Islam di dalamnya,” ujarnya prihatin.
Padahal, kata Adian, mayoritas warga Sumatera Selatan adalah orang Islam. Islam telah lama bercokol di Sumatera dan menyumbang peradaban yang sangat mulia. Hal itu bisa kita lihat banyaknya ulama dari Sumatera Selatan seperti Raden Patah,
“Lalu kenapa bukan simbol Mesjid yang dibawa? Bukankah warga Palembang mayoritas orang Islam?” tanyanya.
Pelabelan Kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan pemersatu seluruh wilayah Nusantara juga menyisakan sejumlah persoalan. Mengutip analisa TB.Simatupang, Adian mengatakan bahwa memang Sriwijaya pernah menyatukan sebagian besar wilayah Nusantara, tapi tidak pernah ada zaman Islam dalam arti kerajaan yang mencakup seluruh negeri.
Bahkan seorang pendeta Dr. Eka Darmaputera dalam bukunya Pancasila: Identitas dan Modernitas mengakui dibandingkan dengan kebudayaan aseli dan Hindu, Islam jauh lebih berhasil menanamkan seluruh pengaruhnya pada seluruh lapisan masyarakat.
Doktrin “Penyatuan Nusantara” oleh Kerajaan Budha dan Hindu seperti itulah yang selama ini masih diajarkan di sekolah-sekolah. Akhirnya banyak murid yang lebih mengenali keadaan Hindu atau Budha ketimbang Kerajaan Islam, termasuk para santri.
Dalam buku Sejarah untuk SMA kelas X (Jakarta: Erlangga 2006), misalnya, bagaimana Patih Gajah Mada digambarkan mampu menjalankan politik Nusantara dan mendapatkan kejayaan di seluruh pelosok negeri.
“Kesannya Indonesia pernah jaya dan hebat di zaman Hindu, lalu Kerajaan Demak (Kerajaan Islam) dibawah pimpinan Raden Fatah datang untuk menghancurkan kejayaan Indonesia. Logikanya kalau mau mendapatkan kejayaan, maka Islam harus disingkirkan dari lambang kenegaraan,” bebernya.
Ekses daripada itu semua akan terlihat di banyak tempat. Saat berkunjung keluar negeri, Adian mengaku prihatin melihat berbagai Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Indonesia yang selaludigadang-gadangkan sebagai Negara mayoritas Islam, nyatanya tidak tampak terlihat. Banyak KBRI lebih memilih memasang patung dan candi dibanding kaligrafi di kantornya.
Akhirnya, kasus SEA Games, kelirunya pengajaran sejarah di sekolah, dan kisah di KBRI itu hanyalah satu dari sekian representasi dari kosongnya wilayah Islamic Worldview dalam penulisan Sejarah. Oleh karena itu, pakar sejarah beragama Islam saat ini dituntut untuk menjadikan kerangka berfikir Islam sebagai metode dalam penulisan sejarah.
“Maka itu Islamisasi penulisan sejarah menjadi agenda sangat penting untuk dilakukan para pakar sejarah,” pesannya di hadapan para peserta yang banyak dibanjiri doen, tokoh agama, aktivis, dan mahasiswa pemikiran Islam itu.
Sebelum pembukaan SEA Games, Yohannes H. Toruan, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sumatera Selatan menyatakan di harian KOMPAS (2/11) bahwa pihaknya ingin mengulang kembali kebesaran Sriwijaya lewat SEA Games.
Pembukaan SEA Games hari Jumat lalu (11/11) sarat dengan politik nativisasi. Nativisasi adalah upaya untuk menghidupkan kembali kebudayaan lokal guna menolak dan menghilangkan pengaruh Islam.
Lebih jauh lagi, nativisasi adalah program yang dijalankan pemerintah kolonial di negeri-negeri muslim yang mereka kuasai. Untuk menjalankan program ini, mereka berkerja sama dengan para orientalis. Program ini diakui oleh seorang orientalis bernama T. Ceyler Young. Dia berkata, “Di setiap negara yang kami masuki, kami gali tanahnya untuk membongkar peradaban-peradaban sebelum Islam. Tujuan kami bukanlah untuk mengembalikan umat Islam kepada akidah-akidah sebelum Islam tapi cukuplah bagi kami membuat mereka terombang-ambing antara memilih Islam atau peradaban-peradaban lama tersebut.” (eramuslim/masyumicentre/Kartika Pemilia)