“Tafsir” Sains

Oleh: Ahmad Kholili Hasib
Inpasonline.com-Berbicara sains dan agama, tampaknya sudah tidak relevan lagi membuat garis demarkasi dikotomis atau dualis. Kini, banyak ilmuan meningkatkan diskusinya sampai pada tahap upaya bagaimana penyatuan antara sains dan agama. Gagasan itu popular dengan istilah ‘integrasi’. Sejak lima belasan tahun terakhir di dalam beberapa perguruan tinggi Islam Negeri (UIN) berkembang diskusi integrasi ilmu, dengan gaya dan modelnya sendiri. Jadi, diskusinya masih relative baru, padahal dalam tradisi Islam hal itu telah benar-benar mapan ribuan tahun.
Ternyata kemungkinan karena inspirasinya berasal dari ilmuan Barat modern yang pro integrasi ilmu. Antara lain yang dirujuk; Holmes Rolston, Ian G. Barbour, dan lain-lain. Holmes mengatakan “antara teori dalam sains dan teologi dalam agama lebih banyak memiliki kesamaan dari pada perbedaannya” (Holmes Rolston,Ilmu dan Agama Sebuah Survey Kritis, hal.1). Sementara Barbour percaya bahwa Tuhan memiliki peranan dalam perubahan-perubahan alam semesta (Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama).
Dua ilmuan tersebut memiliki dua latar; Barat dan Kristen. Holmes sendiri pernah menjadi pendeta. Sudah pasti berangkat dari pengalaman itu. Pertanyaannya, bagaimana perguruan Tinggi Islam mengaplikasikan model integrasi itu ke dalam dunia Islam. Ternyata persoalannya berada dalam epistemologinya yang berpengaruh ke dalam pendekatan studi. Gagasannya masih berkisar pada “bagaimana”. Yakni bagaimana Islam ‘berdialog’ dengan alam. Apakah dialog itu bermaksud Muslim melihat alam dengan cara dan pengalaman Barat? Ini patut dipertanyakan.
Di dalam dunia tradisi Islam, diskusi sains dan agama serta cara melihat alam sudah pada tingkat metafisika. Hubungan sains dan agama bukan wacana atau isu, tetapi telah menjadi keyakinan epistemologis yang tsabit setiap mu’min. Karena itu, kosmologi Islam itu sangat metafisis. Harus diakui, sains modern masih berjibaku pada alam fenomena (alam fisik/hissiyyah). Prof. Wan Mohd Nor mengatakan:
“Menarik untuk diperhatikan bahwa manusia modern sekarang lebih terfokus pada alam yang terakhir (alam fenomenal) dan telah membelanjakan banyak uang untuk menguak angkasa raya dengan harapan bisa mengetahui asal-mula dan tujuan diciptakannya manusia serta alam yang ditempatinya” (Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, hal. 104).
Islam memadang alam fenomenal itu dengan cara yang metafisik. Ia harus dilihat dengan parameter ketuhanan. Hal ini berlaku dalam tradisi para ulama, khususnya para sufi. Ibnu Athoillah al-Sakandari dalam untaian kata hikmahnya mengatakan:
أنت مع الأكوان مالم تشهد المكون فإذا شهدته كانت الأكوان معك
“Engkau terikat oleh alam (fenomenal) selama engkau belum bisa ‘melihat’ penciptanya. Apabila kamu mampu ‘melihat’ penciptanya, maka alam ini akan tunduk kepadamu”.
Maksudnya, untuk mengetahui rahasia alam ini, kita perlu mengenal Allah Sang Pencipta. Hal ini telah menjadi ‘rumus’ pada ilmuan Muslim terdahulu. Bahwa meneliti alam sudah pasti dengan menggunakan pendekatan dan ‘kaca mata’ Islam. Alam bukan sekedar benda mati, benda fisik. Namun ia adalah tanda kekuasaannya. Atau ‘ayat’ Allah Swt.
Dengan cara seperti itu, imam al-Ghazali mengatakan orang yang telah memahami hikmah-hikmah rahasia di balik alam ini akan menjadi menancap keimanannya kepada Allah Swt. Termasuklah dalam meneliti jiwa manusia (psikologi). Ia mengatakan: “Jika kamu melihat jiwa dirimu makan kamu akan menemukan keajaiban dan tanda-tanda kekuasan-Nya” (imam al-Ghazali,Al-Hikmah fi Makhluqatillah, hal. 3 dan 52).
Cara melihat itu yang oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas sebagai cara pandang Islam (Islamic Worldview). Syed Naquib al-Attas membuat qiyas menarik tentang alam ini. Menurutnya, alam ini merupakan kitab yang berisi ayat-ayat Allah Swt. Jika al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat yang disebut juga dengan tanda, maka seluruh ciptaan Allah Swt (alam) juga merupakan kitab yang berisi tanda-tanda yang bertujuan menunjukkan bahwa Tuhan itu ada (Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, hal. 105).
Dunia ini merupakan bentuk lain dari wahyu Allah Swt, seperti al-Qur’an. Perbedaannya terletak pada keadaan bahwa alam ini merupakan sesuatu yang diciptakan. Ia tampil dalam pelbagai bentuk yang berbeda-beda, yang berfungsi sebagai simbol wujud yang secara kontinu diartikulasikan melalui Kalam Tuhan yang kreatif (Syed M. Naquib al-Attas,Islam and the Philosophy of Science, hal. 27).
Alam merupakan ayat (tanda kekuasaan Nya), yang berguna bagi manusia untuk mengenal-Nya. Jadi, perlakuan alam dalam sains Islam seperti seorang yang membaca al-Qur’an. Dunia memiliki banyak tanda-tanda yang samar dan mungkin bagi sebagian orang tidak menarik, khususnya bagi orang yang tidak memiliki intelektualitas dan disiplin spiritual. Bagi mereka, dunia ini adalah benda fisik, mati dan bukan bagian dari ‘wahyu’/ayat Allah.
Sementara bagi orang yang memiliki intelektualitas ditambah pengalaman spiritual akan mampu melampaui dunia fenomena itu sampai ia menyaksikan (syuhud) atau merasakan (dzauq) rahasia di balik alam itu.
Selanjutnya, Syed al-Attas menerangkan, membaca alam itu ada adabnya. Sehingga pengkajian dan pemanfaatan alam yang diiringi kesadaran spiritual yang tinggi akan menciptakan sikap bertanggung jawab.
Dengan demikian, metodologi sains Islam dapat disamakan dengan ta’wil dalam ilmu tafsir al-Qur’an. Dengan mengasumsikan bahwa alam syahadah/alam thabi’ (alam fisik), merupakan kitab Kauniyah Allah. Dalam alam thabi’ ini terdapat banyak sekali ayat-ayat (tanda kekuasaan ) Allah. Memahami alam semesta ini dengan mentakwil sebagaimana mentakwil kitab al-Quran. Takwil terhadap alam semesta ini sebagaimana berlaku dalam al-Qur’an harus berdasarkan tafsir. Susunan materi dalam alam semesta juga dianalogikan dengan susunan dan sistem kata dalam al-Quran. Dengan demikian, maka dapat dihasilkan suatu konsep-konsep sains. Dalam proses takwil (penyelidikan sains), diperlukan proses tafakkur (sebagaimana dijelaskan oleh imam al-Ghazali di atas). Tafakkur merupakan penelitian (research). Dari tafakkur dengan proses mujahadah nafsu (memerangi hawa nafsu), maka seorang saintis akan mendapatkan apa yang disebut discovery.
Sehingga dengan perspektif seperti ini, maka seorang saintis Muslim sama dengan ahli tafsir (ta’wil). Jika ahli tafsir bekerja menggali, menemukan dan menampakkan makna yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an, maka seorang saintis alam, menggali, menemukan dan menampakkan hakikat tersembunyi dari suatu realitas alam.
Dijelaskan oleh imam al-Ghazali bahwa jika seorang bertafakkur terhadap alam semesta, maka akan tersingkap banyak rahasia-rahasia, yang ia gambarkan bagaikan suatu bangunan rumah yang di dalamnya tersedia perabotan yang diperlukan. Tafakkur tidak lain dengan cara melakukan riset. Dengan demikian, terungkap bahwa seorang researcher (peneliti/periset) sains alam haruslah orang yang memiliki adab kepada diri dan Tuhannya. Sebagaimana ulama-ulama tafsir dahulu yang juga seorang yang mujahidu al-nafs (memerangi hawa nafsu) melalui tashfiyatul qalb (penjernihan hati). Karena posisi pandangan hidup (worldview) itu penting dalam soal ini, maka yang diperlukan adalah Islamisasi sebagaimana pandangan Syed M Naquib al-Attas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *