Syed Muhammad Naquib al-Attas: Mempertemukan Metafisika Tasawwuf dan Sains

Written by | Pemikiran Islam, Sains Islam

Oleh:Moh. Isom Mudin*

syed-naquib-al-attasInpasonline.com-Membicarakan tasawwuf dan sains dalam dunia pemikiran Islam kontemporer tidak bisa dilepaskan dari sosok Syed Muhammad Naquib al-Attas. Sumbangan besarnya di abad ini adalah kepiawaianya dalam menjadikan tasawwuf sebagai salah satu basis Islamisasi Sains. Meminjam bahasa Habib Ali al-Jifry; “Ilmu yang di-istinbat-kan dari rukun agama yang ke tiga”ini di tangan beliau tidak hanya menjadi bagian dari spiritual dalam kehidupan manusia, tetapi mampu berdialog dengan problem ilmu pengetahuan kontemporer.  Dengan sendirinya, ilmu ini salah satu elemen penting membangun peradaban Islam di dunia khususnya Nusantara.

 

Dalam berbagai tulisanya, Al-Attas menyadari bahwa tantangan tasawwuf klasik masih belum sepenuhnya tuntas terselesaikan. Tasawwuf masih harus terus membuktikan dirinya sebagai bagian integral dalam keilmuan murni dalam Islam. Persoalan semacam ini sebenarnya telah dijawab oleh genarasi-genarasi awal. Karya beberapa Imam besar seperti al-Qusyairi, al-Kalabadzy, at-Thus, al-Ghazali dan yang lainya bisa menjawab hal tersebut. Langkah mereka banyak diikuti oleh Ulama besar abad ini. Salah satunya adalah satu bab khusus dalam ‘magnum opus’ muhaddits kenamaan  Sayyid Muhammad Bin alawi al-Maliki al-Hasani.

 

Dengan gaya ber-nash dan juga filosofis, beliau menjelaskan dasar-dasar tasawwuf. Tentang tasawwuf ini ia mengatakan , “I Have defined tasawwuf as the practice (a`mal) of the shari`ah at the station (maqam) of excellence (ihsan)”, tasawwuf adalah praktek syari`at dengan derajat ihsan (al-Attas, Islam, Secularism And The Philosophy Of The Future, London: Mansell Publising, 207  ). Dasar definisi ini diambil dari hadits ‘Jibril’. Definisi ini terbilang baru, walaupun secara maknawi masuk di dalam ratusan definisi seperti yang diungkapkan Syaikh Zaruq dan Suhrawardi.

 

Ibadah dalam tingkatan ihsan bagi beliau merupakan ibadah yang didukung oleh kualitas intelektual dan spiritual tentang ilmu hakikat. Basisnya hikmah dan ‘ilm ladunniy. Tasawwuf juga merupakan sumber adab yang didasarkan kepada pengenalan tentang tingkatan realitas dan kebenaran.  Istilah-istilah kuncinya diambil dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Sedangkan aplikasiya didasarkan pada Sunnah Nabi saw dan para sahabat. Tokoh-tokohnya disebut para wali; ‘al-awliya’.

 

Dalam membahas tasawwuf dalam kaitanya dengan sains, al-Attas tidak membahas tema-tema murni tasawwuf seperti maqamat, ahwal, mujahadah dan yang lainya, walaupun pembahasan ini juga ada dalam beberapa bukunya. Beliau hanya mengembangkan tema-tema yang bisa dimasukkan dalam kerang pandangan hidup (word-view) yang bisa dikembangkan dalam filsafat sains yang disebut “aspek positif dalam tasawwuf”. Bahkan hal ini, menurut pengetahuan beliau belum pernah dibahas oleh para ulama sebelumnya.

 

Lantas, bagaimana mempertemukan tasawwuf dan sains? Bagian mana saja yang bisa dipertemukan?. Al-Attas menegaskan bahwa pandangan para sufi tentang realitas bisa dikembankan menjadi basis atau visi sains Islam. Beliau menegaskan: “In the foregoing gist of the position os the sufis established upon the affirmation of the reality of existence and its primacy over essence or quidity, I have attemped to show that the fundamental framework in which the vision of the nature of reality derived from it can be formulated in rational and theoretical terms needed as a foundation for an Islamic philosophy of science”. (al-Attas, Islam, Secularism And The Philosophy Of The Future, London: Mansell Publising, 234-235  ).

 

Bagi al-Attas, sains modern tidak bisa lepas dari cengkrama pandangan hidup barat. Sains adalah produk yang dipengaruhi oleh pembuatnya. Pembuat sains ini menggunakan media  filsafat modern. Padahal, filsafat ini mengandung pandangan hidup sekuler; yakni memisahkan unsure-unsur ilahiyyah dalam alam. Pandangan ini muncul pada abad ke 17 berbarengan dengan beberapa madzhab filsafat seperti rasionalisme, empirisisme, dan pragmatisme. Bahkan, pandangan ini sudah merambah seluruh kehidupan. Beliau menyebutnya pandanga dunia ilmiah; “scientific worldview” atau akal modern; (modern mind). Maka bisa dikatakan sains barat tidak universal dan tidak netral.

 

Secara lebih rinci, pandangan sekuler terhadap alam memberikan beberapa dasar dalam memandang alam semesta. Alam mucul secara independen begitu saja, bersifat kekal, berjalan sendiri  sesuai hukumnya dan tidak ada ‘iradah’ Tuhan di dalamnya. Oleh sebab itu, sains modern tidak memandang alam sebagai ‘ayat’(tanda-tanda keberadaan Tuhan) dan tidak mampu mengantarkan kepada pemilik alam atau realitas hakiki.

 

Adapun metode dan mekanisme ilmiah dalam sains kontemporer tidak banyak perbedaan dengan metode yang telah dikembangkan para ilmuan Islam terdahulu. Kedua duanya berangkat dari indera dan rasio, pengamatan atas fenomena alam, menghimpun data-data dan diakhiri denga pengambilan kesimpulan. Masalahnya terletak pada anggapan para ilmuan modern bahwa sains adalah satu-satunya ilmu yang otentik dan hanya membahasan masalah fenomena. Satu-satunya metode pengetahuan yang paling valid. Implikasinya bisa meminggirkan wahyu dan kasyf (intuisi), sehingga mendewakan akal dan rasio.

 

Pandangan ini bagi al-Attas sangat bertenangan dengan prinsip Islam, maka perlu memasukakkan unsur-unsur padangan tasawwuf. Bagi beliau, pandangan para sufi ini mewakili prinsip hubungan Allah dengan Alam. Alam ini tidak muncul begitu saja, melainkan ada kekuatan besar yang memunculkan dan menggerakkanya. Intinya, ada keterkaitan antara Allah sebagai wujud absolute (wajib al-wujud) dengan alam sebagai wujud relative (jaiz al-wujud). Lantas bagaimana bentuk keterkaitan tersebut?.

 

Seluruh jagad alam raya ini merupakan ‘ta’ayyunat’ dan ‘tajalliyat’ Ilahi. Keterkaitan wujudnya  melalui proses metaforis-ontologis yang biasa disebut ‘tanazzul’ dalam lima tingkatan. Yaitu; wahidiyyah (kesatuan ilahi), al-asma wa-ashifat ( nama dan sifat), al-a`yan as-tsabitah (arketip permanen), al-a`yan al-kharijiyyah (arketip luaran), alam syahadah (alam inderawi). Maka, seluruh alam raya dan isinya sebagai alam inderawi merupakan ‘ayat’ atau tanda-tanda Allah. Sebagaimana al-Qur`an yang memuat ayat yang harus digali, maka alam pun demikian. (al-Attas, Prolegomena to the metaphisics of Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, 260,267-319,274-280)

al-Attas menjelaskan  bahwa gambaran realitas wujud tersebut tidak bisa dipelajari melalui usaha intelektual-rasional seperti dalama barat modern, melainkan dengan dengan intuisi eksistensi secara langsung, penyaksian spiritual (syuhud), indera batin (dzawq), dan penyingkapan spiritual (kasyf). Formulasi hubungan  Tuhan dan alam ini diambil terilhami dari pandangan sufi besar Ibn Arabi yang berasal dari pengalaman intuitif para Sufi. Tentunya pandangan ini sangat berbeda dengan konsep emanasi (faidl) neo-platonis dan al-Faraby, panteisme (hulul, ittihad) golongan zindik.

 

Alam syahadah’ yang menjadi objek sains dalam tasawwuf harus diletakkan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari seluruh wujud yang ada. Secara fungsional, alam dan seisinya merupakan tanngga untuk mencapai realitas absolute. Maka bagi al-Attas, Alam adalah kitab suci yang terbuka (a great open book); sebagai analogi  dengan kitab suci tertulis. Keduanya merupakan ‘ayat’ atau tanda-tanda kekuasaan sang Khaliq. Hanya saja yang pertama diciptakan dan  yang kedua diwahyukan.

 

Oleh karena itu, susunan materi dalam alam semesta juga dianalogikan dengan susunan dan sistem kata dalam al-Quran. Benda-benda dalam ala mini harus diperlakukan seperti ”kata-kata”, yaitu sebagai tanda dan simbol. Maka sains tidak hanya mempelajari alam itu sendiri, melainkan harus mengungkap rahasia tersembunyi di balik alam. (al-Attas, A Commentary on Hujjat al-shiddiq of Nur ad-Din al-Raniry, kuala lumpur: Ministry of Culture, 460).

 

Walhasil, sangat perlu menghapus sisi-sisi ontologis sains modern yang sekuler dan memasukkan sisi ontologis dalam tasawwuf. Sehingga melahirkan sains Islam. Inilah kontribusi al-Attas yang perlu disambut dan dikembangkan.

 

 

Penulis adalah Kaprodi Aqidah dan Filsafat Islam UNIDA Gontor

 

 

 

 

 

 

 

 

Last modified: 21/11/2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *