Menghidupkan 10 Hari Terakhir Ramadhan
inpasonline.com, 11 September 2009
Dalam Kitab Shahihain disebutkan, dari Aisyah ra, ia berkata: “Bila masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah saw. mengencangkan kainnya, menjauhkan diri dari menggauli istrinya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.” Demikian menurut lafazh Al-Bukhari.
Adapun lafazh Muslim berbunyi: “Menghidupkan malam(nya), membangunkan keluarganya, dan bersungguh-sungguh serta mengencangkan kainnya.” Dalam riwayat lain, Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah ra.: “Rasulullah bersungguh-sungguh dalam sepuluh (hari) akhir (bulan Ramadhan), hal yang tidak beliau lakukan pada bulan lainnya.” Rasulullah saw. mengkhususkan sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dengan amalan-amalan yang tidak beliau lakukan pada bulan-bulan yang lain, di antaranya:
1. Menghidupkan malam.
Ini mengandung kemungkinan bahwa beliau menghidupkan seluruh malamnya, dan kemungkinan pula beliau menghidupkan sebagian besar daripadanya. Dalam Shahih Muslim dari Aisyah ra., ia berkata, “Aku tidak pernah mengetahui Rasulullah shalat malam hingga pagi.”
Diriwayatkan dalam hadits marfu’ dari Abu Ja’far Muhammad bin Ali: “Barangsiapa mendapati Ramadhan dalam keadaan sehat dan sebagai orang muslim, lalu puasa pada siang harinya dan melakukan shalat pada sebagian malamnya, juga menundukkan pandangannya, menjaga kemaluan, lisan, dan tangannya, serta menjaga shalatnya secara berjamaah dan bersegera berangkat untuk shalat Jum’at; sungguh ia telah puasa sebulan (penuh), menerima pahala yang sempurna, mendapatkan Lailatul Qadar serta beruntung dengan hadiah dari Tuhan Yang Maha suci dan Maha tinggi. Abu Ja’far berkata: “Hadiah yang tidak serupa dengan hadiah-hadiah para penguasa.” (HR. Ibnu Abid-Dunya).
2. Rasulullah saw. membangunkan keluarganya untuk shalat pada malam-malam sepuluh hari terakhir, sedang pada malam-malam yang lain tidak.
Dalam hadits Abu Dzar ra. disebutkan: “Bahwasanya Rasulullah saw. melakukan shalat bersama mereka (para sahabat) pada malam dua puluh tiga (23), dua puluh lima (25), dan dua puluh tujuh (27) dan disebutkan bahwasanya beliau mengajak (shalat) keluarga dan isteri-isterinya pada malam dua puluh tujuh (27) saja. “
Ini menunjukkan bahwa beliau sangat menekankan dalam membangunkan mereka pada malam-malam yang diharapkan turun Lailatul Qadar di dalamnya. At-Thabrani meriwayatkan dari Ali ra.: “Bahwasanya Rasulullah membangunkan keluarganya pada sepuluh akhir dari bulan Ramadhan, dan setiap anak kecil maupun orang tua yang mampu melakukan shalat.” Dalam hadits shahih diriwayatkan: “Bahwasanya Rasulullah saw. mengetuk (pintu) Fathimah dan Ali radhiallahu ‘anhuma pada suatu malam seraya berkata: Tidakkah kalian bangun lalu mendirikan shalat?” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Beliau juga membangunkan Aisyah ra. pada malam hari, bila telah selesai dari tahajudnya dan ingin melakukan (shalat) witir.
Diriwayatkan juga mengenai adanya targhib (dorongan) agar salah seorang suami-isteri membangunkan yang lain untuk melakukan shalat, serta memercikkan air di wajahnya bila tidak bangun. (Hadits riwayat Abu Daud dan lainnya, dengan sanad shahih.)
Dalam kitab Al-Muwaththa’ disebutkan dengan sanad shahih, bahwasanya Umar melakukan shalat malam seperti yang dikehendaki Allah, sehingga apabila sampai pada pertengahan malam, ia membangunkan keluarganya untuk shalat dan mengatakan kepada mereka: “Shalat! shalat!” Kemudian membaca ayat berikut: “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (Thaha: 132).
3. Bahwasanya Nabi saw. mengencangkan kainnya.
Maksudnya, beliau menjauhkan diri dari menggauli isteri-isterinya. Diriwayatkan juga bahwasanya beliau tidak kembali ke tempat tidurnya sehingga bulan Ramadhan berlalu. Dalam hadits Anas ra. disebutkan : “Dan beliau melipat tempat tidurnya dan menjauhi isteri-isterinya (tidak menggauli mereka).
Rasulullah saw. beri’tikaf pada malam sepuluh terakhir bulan Ramadhan.” Orang yang beri’tikaf tidak diperkenankan mendekati (menggauli) isterinya berdasarkan dalil dari nash serta ijma’. “Mengencangkan kain” ditafsirkan dengan bersungguh-sungguh dalam beribadah.
4. Mengakhirkan berbuka hingga waktu sahur.
Diriwayatkan dari Aisyah dan Anas ra, bahwasanya Rasulullah pada malam-malam sepuluh (akhir bulan Ramadhan) menjadikan makan malam (berbuka)nya pada waktu sahur. Dalam hadits marfu’ dari Abu Sa’id ra, ia berkata: “Janganlah kalian menyambung (puasa). Jika salah seorang dari kamu ingin menyambung (puasanya) maka hendaknya ia menyambung hingga waktu sahur (saja). “
Mereka bertanya: “Sesungguhnya engkau menyambungnya wahai Rasulullah? “Beliau menjawab: “Sesungguhnya aku tidak seperti kalian. Sesungguhnya pada malam hari ada yang memberiku makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari)
Ini menunjukkan apa yang dibukakan Allah atas beliau dalam puasanya dan kesendiriannya dengan Tuhannya, karena munajat dan dzikirnya yang lahir dari kelembutan dan kesucian beliau. Karena itulah, sehingga hatinya dipenuhi al-ma’ariful Ilahiyah (pengetahuan tentang Tuhan) dan al-minnatur Rabbaniyah (anugerah dari Tuhan) sehingga mengenyangkannya dan tak lagi memerlukan makan dan minum.
5. Mandi antara Maghrib dan Isya’.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Aisyah ra.: “Rasulullah jika bulan Ramadhan (seperti biasa) tidur dan bangun. Dan manakala memasuki sepuluh hari terakhir beliau mengencangkan kainnya dan menjauhkan diri dari (menggauli) isteri-isterinya, serta mandi antara Maghrib dan Isya.”
Ibnu Jarir berkata, mereka menyukai mandi pada setiap malam dari malam-malam sepuluh hari terakhir. Di antara mereka ada yang mandi dan menggunakan wewangian pada malam-malam yang paling diharapkan turun Lailatul Qadar.
Karena itu, dianjurkan pada malam-malam yang diharapkan di dalamnya turun Lailatul Qadar untuk membersihkan diri, menggunakan wewangian dan berhias dengan mandi sebelumnya, lalu berpakaian bagus, sebagaimana hal tersebut dianjurkan juga pada waktu shalat Jum’at dan hari-hari raya.
Namun, tidaklah sempurna berhias secara lahir tanpa dibarengi dengan berhias secara batin. Yakni dengan kembali (kepada Allah), taubat, dan mensucikan diri dari dosa-dosa. Sungguh, berhias secara lahir sama sekali tidak berguna, jika ternyata batinnya rusak.
Allah tidak melihat kepada rupa dan tubuhmu, tetapi Dia melihat kepada hati dan amalmu. Karena itu, barangsiapa menghadap kepada Allah, hendaknya ia berhias secara lahiriah dengan pakaian, sedang batinnya dengan taqwa. Allah Ta’ala berfirman, “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. ” (Al-A’raaf: 26).
6. I’tikaf.
Dalam Shahihain disebutkan, dari Aisyah ra. : “Bahwasanya Nabi Saw senantiasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, sehingga Allah mewafatkannya.” Nabi melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir yang di dalamnya dicari Lailatul Qadar untuk menghentikan berbagai kesibukannya, mengosongkan pikirannya, dan untuk mengasingkan diri demi bermunajat kepada Tuhannya, berdzikir, dan berdo’a kepada-Nya.
Adapun makna dan hakikat i’tikaf adalah: Memutuskan hubungan dengan segenap makhluk untuk menyambung penghambaan kepada AI-Khaliq. Mengasingkan diri sesuai dengan yang disyari’atkan kepada umat ini, yaitu dengan i’tikaf di dalam masjid-masjid, khususnya pada bulan Ramadhan, dan lebih khusus lagi pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Sebagaimana yang telah dilakukan Nabi Saw.
Orang yang beri’tikaf telah mengikat dirinya untuk taat kepada Allah, berdzikir, dan berdo’a kepada-Nya, serta memutuskan dirinya dari segala hal yang menyibukkan diri dari pada-Nya. Ia beri’tikaf dengan hatinya kepada Tuhannya, dan dengan sesuatu yang mendekatkan dirinya kepada-Nya. Ia tidak memiliki keinginanlain kecuali Allah dan ridha-Nya. Semoga Allah memberikan taufik dan inayah-Nya kepada kita. (Lihat Lathaa’iful Ma’aarif, oleh Ibnu Rajab, h. 196-203)
Semoga sepuluh malam terakhir Ramadhan kali ini kita maknai dengan semestinya. Amien.