Kendati demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Qur’an yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur’an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah. Sementara itu, perhatian terhadap al-Hadits tidaklah demikian. Upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd al-Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99 – 101 Hijriyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw.[ii]
Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadits. Beberapa penulis dari kalangan orientalis menjadikan hal ini sebagai sasaran tembak untuk membangun teorinya yang mengarah pada peraguan terhadap otentisitas al-Hadits. Goldziher misalnya, dalam karyanya Muhammedanische Studien telah memastikan diri untuk mengingkari adanya pemeliharaan al-Hadits pada masa sahabat sampai awal abad kedua hijriyah.[iii] Beberapa penulis muslim seperti halnya Ahmad Amin, juga Isma’il Ad’ham sebagaimana dikutip Mustafa al-Siba’i telah membuat kesimpulan serupa berkaitan dengan otentisitas al-Hadits ini.[iv] Ahmad Amin misalnya mengemukanan bahwa hadits baru ditulis seratus tahun sesudah masa Rasulullah. Lebih dari itu ia juga menyebutkan bahwa di masa Rasulullah dan sahabat justru terdapat pelarangan untuk menulis hadits.
Tulisan ini mencoba menguraikan sekitar kegiatan penulisan hadits tersebut yang sebenarnya telah dimulai sejak Rasulullah masih hidup. Selian itu juga mengulas sekitar pelarangan penulisan hadits oleh Rasulullah.
Tentang Penulisan al-Hadits
Al-Hadits yang merupakan ucapan, perbuatan, dan persetujuan serta gambaran sifat-sifat Rasulullah saw baik sifat khalqiyah atau khuluqiyah adalah suatu yang melekat pada diri Nabi. Keberadaannya selalu menyertai di setiap event yang dialami oleh Rasulullah saw. Setiap event dari episode kehidupan Rasul saw adalah al-Hadits. Dari sinilah kebanyakan para peneliti Muslim berkesimpulan bahwa menuliskan al-Hadits secara lengkap tentu sulit, karena sama artinya dengan menuliskan setiap peristiwa dan keadaan yang menyertai Rasulullah.[v] Para sahabat yang hidup menyertai Rasulullah bisa jadi merasa tidak perlu mencatat setiap peristiwa yang mereka alami bersama Rasulullah saw. Apa yang mereka alami akan terekam secara otomatis dalam ingatan mereka tanpa harus dicatat, karena mereka terlibat dalam berbagai peristiwa tersebut. Selain itu tradisi menghafal ketika itu merupakan tradisi yang sangat melekat kuat sehingga banyak kejadian-kejadian lebih banyak terekam dalam bentuk hafalan.[vi] Demikian pula Rasulullah saw secara khusus juga memberikan anjuran untuk menghafalkan al-Hadits serta menyampaikannya pada orang lain sebagimana sabdanya;
“Semoga Allah memperindah wajah orang yang mendengar perkataan dariku lalu menghafalkannya serta menyampaikannya (pada orang lain), Mungkin saja orang yang membawa informasi itu menyampaikan kepada orang yang lebih faqih darinya, bisa jadi pula orang yang membawa informasi itu bukan orang yang faqih.”[vii]
Di luar adanya rekaman hadits dalam bentuk hafalan yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah saw, tidak menutup kemungkinan ada beberapa peristiwa yang berhubungan dengan Rasulullah, yang dirasa perlu dicatat, terekam pula dalam bentuk catatan sahabat. Tentang adanya pencatatan ini Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut:
“Dari Abu Hurairah ra beliau berkata; tidak ada seorang dari sahabat Nabi yang lebih banyak meriwayatkan hadits dariku selain Abdullah bin Amr bin Ash, karena sesungguhnya dia mencatat hadits sedangkan aku tidak”.[viii]
Tentang penulisan al-Hadits oleh Abdullah bin Amr ini, diriwayatkan bahwa beliau menulis al-Hadits dengan sepengetahuan Rasulullah saw, bahkan Rasulullah saw memerintahkannya sebagimana riwayat dari Ibnu Amr berikut:
“Dari Abdullah bin Amr beliau berkata: “Saya menulis setiap yang saya dengar dari Rasulullah saw untuk saya hafalkan, maka orang-orang Quraiys mencegahku dengan berkata; ‘apakah kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah saw ? Sedangkan Rasulullah saw adalah manusia yang kadang-kadang berbicara dalam keadaan marah dan kadang-kadang dalam keadaan ramah’, maka akupun menghentikan penulisan itu, dan mengadukannya pada Rasululah saw, maka sambil menunjuk mulutnya beliau bersabda, ‘Tulislah! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak keluar darinya (maksudnya lisan Rasulullah) kecuali yang hak”[ix]
Catatan Hadits dari Abdullah bin Amr inilah yang beliau namai dengan al-Shahifah al-Shadiqah. Beliau sangat menghargai tulisan ini sebagimana pernyataannya: “Tidak ada yang lebih menyenangkanku dalam kehidupan ini kecuali al-shadiqah dan al-wahth, adapun al-Shadiqah adalah shahifah yang aku tulis dari Rasulullah saw”.[x]
Selain al-Shahifah al-Shadiqah, ditemukan beberapa riwayat tentang adanya shahifah-shahifah yang ditulis oleh sahabat ketika Rasulullah masih hidup antara lain Shahifah Ali bin Abi Thalib, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari pada Kitabul Ilm bab Kitabat al-Ilm[xi], demikian juga shahifah Sa’ad bin Ubaddah.[xii]
Sekitar Larangan Penulisan al-Hadits
Sebagaimana telah disebutkan, adanya kegiatan penilisan al-Hadits telah berlangsung semenjak Rasulullah saw masih hidup. Bahkan ada riwayat yang menunjukkan bahwa Abdullah bin Amr menulis al-Hadits atas restu dari Rasulullah sendiri. Selain itu ada juga riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah memerintahkan menulis al-Hadits untuk Abu Sah sebagimana sabdanya: “Bersabda Rasulullah saw, ‘tulislah (khutbahku) untuk Abu Syah[xiii]
Di luar hal ini ada riwayat yang menunjukkan pula bahwa Rasulullah saw melarang penulisan al-Hadits sebagaimana hadits dari Abu Sa’id al Khudri[xiv]
“Dari Abu Sa’id Al-Khudri, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, ‘Janganlah kalian semua menulis dariku, barang siapa menulis dariku selain al-Qur’an maka hendaklah menghapusnya”
Adanya larangan penulisan al-Hadits ini secara lahir kontradiksi dengan fakta penulisan al-Hadits dan perintah penulisan al-Hadits. Dalam menyikapi kontradiksi tersebut para ulama berbeda pendapat. Dalam hal ini setidaknya terdapat tiga pendapat antara lain; (a) Hadits pelarangan telah di-nasakh dengan hadits perintah, hal ini didasarkan atas fakta bahwa hadits perintah khususnya hadits Abu Syah disampaikan setelah Fathu al-Makkah, (b) larangan bersifat umum, sedangkan perintah bersifat khusus, yaitu berlaku bagi para sahabat yang kompeten menulis, hal ini karena kebanyakan sahabat adalah ummi atau kurang mampu menulis sehingga dikhawatirkan terjadi kesalahan penulisan, (c) pendapat ketiga menyatakan bahwa larangan bersifat khusus yaitu menulis al-Hadits bersama dengan al-Qur’an, karena hal ini dapat menimbulkan kerancuan.[xv]
Berkaitan dengan ketiga pendapat tersebut menarik disimak pendapat dua orang pakar Hadits kontemporer yaitu Dr. Nuruddin Itr dan Prof. Dr. Muhammad Musthafa Azami.
Menurut Dr. Nurudin Itr, pendapat yang menyatakan bahwa hadits tentang pelarangan telah mansukh dengan hadits perintah tidak dapat menyelesaikan persoalan. Karena seandainya larangan penulisan al-Hadits telah di-nasakh dengan hadits perintah niscaya tidak ada lagi sahabat yang enggan menulis al-Hadits sesudah wafat Rasulullah saw. Bagi para pencari hadits, hal ini akan menjadi argumen mereka menghadapi para sahabat yang enggan menulis al-Hadits, sebab para pencari hadits ini sangat besar keinginannya untuk membukukan hadits. Karena itu, jalan penyelesaiannya adalah bahwa penulisan al-Hadits pada dasarnya tidak dilarang.
Adanya larangan penulisan al-Hadits tidak lain karena adanya illat khusus. Ketika illat itu tidak ada, maka otomatis pelarangan tidak berlaku. Illat yang dimaksud adalah adanya kekhawatiran berpalingnya umat dari al-Qur’an karena merasa cukup dengan apa yang mereka tulis.[xvi]
Untuk memperkuat argumen ini Nurudin mengutip pernyataan Umar bin Al-Khaththab sebagai mana diriwayatkan oleh Urwah bin Zubair:
Kata Umar: “Sesungguhnya saya pernah berkeinginan untuk menuliskan sunnah-sunnah Rasulullah saw, tetapi aku ingat bahwa kaum sebelum kamu menulis beberapa kitab lalu mereka menyibukkan diri dengan kitab-kitab itu dan meninggalkan kitab Allah. Demi Allah saya tidak akan mencampuradukkan kitab Allah dengan sesuatu apapun buat selama-lamanya”.[xvii]
Sedangkan Prof. Muhammad Musthafa Azami berpendapat bahwa larangan penulisan al-Hadits berlaku untuk penulisan hadits bersama al-Qur’an dalam satu naskah. Hal ini karena dikhawatirkan akan terjadi percampuran antara Hadits dengan al-Qur’an. Ada dua argumen yang disampiakan Azami, pertama bahwa Nabi mengimlakkan sendiri haditsnya. Ini berarti penulisan al-Hadits pada dasarnya tidak dilarang. Kedua, adanya penulisan al-Hadits yang dilakukan oleh banyak sahabat yang telah direstui oleh Rasulullah saw. Berdasarkan dua alasan tersebut secara umum penulisan Hadits tidak dilarang, adanya pelarangan bersifat khusus yaitu menulis Hadits bersama al-Qur’an.[xviii]
Proses Kodifikasi al-Hadits
Proses kodifikasi hadits atau tadwiin al-Hadits yang dimaksudkan adalah proses pembukuan hadits secara resmi yang dilakukan atas instruksi Khalifah, dalam hal ini adalah Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (memerintah tahun 99 – 101 H). Beliau merasakan adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk memelihara perbendaraan sunnah. Untuk itulah beliau mengeluarkan surat perintah ke seluruh wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang hafal Hadits menuliskan dan membukukannya supaya tidak ada Hadits yang akan hilang pada masa sesudahnya. Abu Na’im menuliskan dalam bukunya Tarikh Isbahan bahwa Khalifa Umar bin Abd al-Aziz mengrimkan pesan “perhatikan hadits Nabi dan Kumpulkan”.[xix]
Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Umar bin Abd al-Aziz mengirim surat kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm sebagai berikut:[xx] “Perhatikanlah apa yang ada pada hadits-hadits Rasulullah saw, dan tulislah, karena aku khawatir akan terhapusnya ilmu sejalan dengan hilangnya ulama, dan janganlah engkau terima selain hadits Nabi saw.
Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm (w. 117 H) untuk mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada ‘Amrah binti Abd al-Rahman bin Sa’d bin Zaharah al- Anshariyah (21- 98 H) dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq[xxi]
Pengumpulan al-Hadits khususnya di Madinah ini belum sempat dilakukan secara lengkap oleh Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm dan akhirnya usaha ini diteruskan oleh Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (w. 124) yang terkenal dengan sebutan Ibnu Syihab al-Zuhri. Beliaulah sarjana Hadits yang paling menonjol di jamannya. Atas dasar ini Umar bin Abd al-Aziz pun memerintahkan kepada anak buahnya untuk menemui beliau.[xxii]
Dari sini jelaslah bahwa Tadwin al-Hadits bukanlah semata-mata penulisan al-Hadits. Tadwin al-Hadits atau kodifikasi al-Hadits merupakan kegiatan pengumpulan al-Hadits dan penulisannya secara besar-besaran yang disponsori oleh pemerintah (khalifah). Sedangkan kegiatan penulisan al-Hadits sendiri secara tidak resmi telah berlangsung sejak masa Rasulullah saw masih hidup dan berlanjut terus hingga masa kodifikasi. Atas dasar ini tuduhan para orientalis dan beberapa penulis muslim kontemporer bahwa al-Hadits sebagai sumber hukum tidak otentik karena baru ditulis satu abad setelah Rasulullah wafat adalah tidak tepat. Tuduhan ini menurut M M. Azami lebih disebabkan karena kurangnya ketelitian dalam melacak sumber-sumber yang berkaitan dengan kegiatan penulisan Hadits.[xxiii] Bahkan beberapa orientalis seperti Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht telah sengaja melakukan kecerobohan dalam hal ini untuk menciptakan keraguan terhadap otentisitas al-Hadits.[xxiv] Tetapi amat disayangkan banyak penulis kontemporer termasuk dari kalangan Muslim telah menjadikan karya Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht sebagai rujukannya.
Dalam bukunya ‘Studies In Early Hadith Literature’ yang diterjemahkan oleh Ali Musthafa Yaqub dengan judul ‘Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya’, M M. Azami telah mengurakian secara rinci dalam bab tersendiri tentang kegiatan penulisan al-Hadits mulai dari masa Rasulullah saw hingga pertengahan abad ke dua Hijriyah. Tampak sekali dari penelitian Azami, bahwa telah terjadi transfer informasi atas riwayat Hadits dari generasi ke generasi mulai dari masa sahabat hingga masa tabi’in kecil dan tabi’ tabi’in tidak saja dalam bentuk lisan tetapi juga dalam bentuk tulisan. Misalnya saja catatan dari Abdullah bin Amr bin Ash yang terkenal dengan al-Shahifah al Shadiqah telah ditransferkan kepada muridnya Abu Subrah. Shahifah tersebut juga sampai ke tangan cucunya Syu’aib bin Muhammad bin Abdullah bin Amr. Dari tangan Syu’aib ini berlanjut ke tangan putra dari Syu’aib bin Muhammad atau cicit dari Abdullah bin Amr yaitu Amr bin Syu’aib.[xxv]
Pada masa tadwin ini penulisan hadits belum tersistimatika sebagimana kitab-kitab Hadits yang ada saat ini tetapi sekadar dihimpun dalam bentuk kitab-kitab jami’ dan mushannaf. Demikian juga belum terklasifikasikannya Hadits atas dasar shahih dan tidaknya. Barulah pada periode sesudahnya muncul kitab Hadits yang disusun berdasarkan bab-bab tertentu, juga kitab hadits yang memuat hanya hadits-hadits shahih saja. Pada periode terakhir ini pengembangan ilmu jarh wa ta’dil telah semakin mantap dengan tampilnya Muhammad bin Isma’il al-Bukhari.[xxvi]
Kesimpulan
Proses kodifikasi al-Hadits adalah proses pembukuan al-Hadits secara resmi yang dikoordinasi oleh pemerintah dalam hal ini adalah Khalifah, bukan semata-mata kegiatan penulisan al-Hadits, karena kegiatan penulisan al-Hadits secara berkesinambungan telah dimulai sejak Rasulullah saw masih. Berangkat dari realitas ini adanya tuduhan bahwa al-Hadits sebagai sumber yurisprudensi diragukan otentisitasnya atau tidak otentik karena baru ditulis jauh sesudah Rasul wafat merupakan tuduhan yang tidak beralasan karena tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.
Tentang adanya larangan penulisan Hadits hal ini patut dimaknai larangan secara khusus yaitu menuliskan al-Hadits bersama al-Qur’an dalam satu tempat sehingga dikhawatirkan menimbulkan kerancuan, atau menyibukkan diri dalam penulisan al-Hadits sehingga mengesampingkan al-Qur’an.
[i] Al-Qur’an, surah al-Nahl [16]: 44
[ii] Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis, Studi Kritis atas Kajian Hadis Kontemporer, Penerbit PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004: hal. 39
[iii] Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits (tejemahan Endang Sutari dan Mujio), Penerbit PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994: hal. 33; M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (terjemahan Ali Mustafa Yaqub), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994, hal. 92-94.
[iv] Musthafa al-Siba’i, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islam (terjemahan Nurcholis Madjid), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993: hal. 183-185
[v] lihat pendapat Musthafa al-Siba’i, ibid hal. 16
[vi] Nuruddin Itr, Op. Cit, hal. 21
[vii] Sunan Abi Dawud Juz III, Maktabah Dahlan, Indonesia, tt: hal 321
[viii] Shahih Bukhari Juz I (Kitabul Ilm), Dar al-Fikr, Bairut, tt.: hal. 32. hadits tersebut diriwayatkan juga oleh al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi Juz V, Dar al-Fikr, Bairut, tt.: hal. 39.
[ix] Sunan Abi Dawud Juz III, hal. 318, Musnad Ahmad Juz II, hal. 162
[x] Sunan al-Darimi Juz I, Dar al-Kitab al-Arabiy, 1987, hal. 127
[xi] Shahih Bukhari Juz 1, hal 31.
[xii] Lihat penjelasan Nurudin Itr, Op. Cit, hal. 31
[xiii] Shahih al-Bukhari Juz I (Kitab al-Ilm bab Kitabah al-Ilm), hal. 32, Juz II (kitab al-Luqathah), hal. 64, Juz IV (kitab al-Diyat), hal. 188; Shahih Muslim Juz I (kitab al-Hajj), hal. 622, Sunan al-Tirmidzi Juz V (kitab al-Ilm), hal. 38; Sunan Abi Dawud Juz II, hal. 212; Musnad Ahmad Juz II, hal. 238
[xiv] Shahih Muslim Juz II, hal 710, Musnad Ahmad Juz III, hal 12 dan 21.
[xv] Nuruddin Itr, Op. Cit, hal. 26-28
[xvi] Nurudin Itr, Op.Cit. hal. 28.
[xvii] Nuruddin Itr, Op.Cit., hal. 29.
[xviii] M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (terjemahan Ali Mustafa Yaqub), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994, hal. 116-117
[xix] Musthafa Al-Siba’i, Op.Cit. hal. 74
[xx] Shahih al-Bukhari, Juz I. hal 29
[xxi] MM. Azami, Op.Cit. hal. 228
[xxii] Musthafa Al-Siba’i, Op.Cit. hal. 75
[xxiii] MM. Azami, Op.Cit. hal. 108
[xxiv] MM. Azami telah memberikan bantahan secara khusus dalam bab tersendiri bab VIII dalam bukunya Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya.
[xxv] Informasi lengkap tentang hal ini lihat M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Hal. 132-440. lihat pula Nuruddin Itr, Op.Cit. hal. 30-31.
[xxvi] Nuruddin Itr, Op.Cit. hal. 46.