Inpasonline, 25/08/09
Jakarta: Para tokoh islam mengecam pihak kepolisian yang berencana melakukan pengawasan terhadap isi ceramah di bulan Ramadhan. Tindakan itu dinilai menghina dan membangkitkan kemarahan umat Islam. Itu juga dinilai sebagai taktik yang sama yang digunakan rezim Suharto.
Rencana ini akan menambah ketegangan antara pasukan keamanan dan masyarakat setelah beberapa bandara melakukan pemeriksaan terhadap penumpang yang memakai jubah dan jilbab.
Sahal Mahfudh, ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengecam tindakan polisi itu dan menilainya tidak produktif. “Jika dilaksanakan, pengawasan itu mungkin menimbulkan kebencian umat Islam terhadap polisi,” katanya kemarin.
Menurut Sahal, kelompok yang radikal sangat kecil. Polisi tidak bisa menyalahkan semua umat islam dan menjadikan pesantren dalam pengawasan mereka. “Pemantauan ini menunjukkan pihak kepolisian curiga terhadap umat Islam. Ini bisa dianggap menghina,”jelasnya lagi.
Polisi pada Jum’at lalu mengumumkan akan mengawasi ceramah agama saat Ramadan untuk menghindari adanya kelompok yang memanfaatkan momen tersebut untuk membangkitkan pemahaman yang radikal dan memprovokasi jamaah melakukan kegiatan yang berbau radikal.
Rencana itu dibuat sebagai reaksi atas pengeboman pada 17 Juli lalu di dua hotel mewah. MUI dan ormasi islam lainnya sedang mempertimbangkan untuk membuat protes resmi kepada polisi.
“Saya teringat ketika Suharto berkuasa dan polisi menggunakan pelajar untuk memantau kegiatan di kampus,” kata Ismail Yusanto, jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia.
“Polisi membeli rekaman dari pelajar dengan harga Rp25,000 untuk setiap kaset dan jika menemui sesuatu yang mencurigakan, kaset itu kemudian digunakan sebagai bukti atas penceramah itu,”jelasnya.
Ismail juga mengutip berita tentang sebuah keluarga yang dalam perjalanan memakai pakaian Islam dan disidang di kota Banten, karena mereka tersesat pulang dan istirahat di sebuah masjid. ( Agns)