Oleh: Usmanul Hakim
Inpasonline.com-Kampanye LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) di Indonesia semakin gencar dilakukan. Diawali fenomena pernikahan sejenis yang terjadi pada 17 September 2015 lalu di Bali. Selang beberapa hari, peristiwa pengibaran bendera pelangi (baca :LGBT) di kantor gubernur DKI Jakarta terjadi. Aksi yang dilaksanakan bersamaan dengan peringatan hari perdamain Internasional itu, disetujui oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok). Komunitas LGBT di Indonesia memandang, mereka perlu merayakan perdamaian untuk menghilangkan segala bentuk diskriminasi kepada seluruh manusia termasuk golongan minoritas seperti LGBT.
Belum selesai kedua berita itu diperbincangkan, muncul pengakuan mengejutkan dari PM putri dari seorang tokoh pers kenamaan, GM, bahwa dirinya lesbi. Kejadian yang terjadi secara berturut-turut ini, mengindikasikan bahwa kelompok LGBT sedang berjuang dengan sungguh-sungguh ingin mendapatkan pengakuan dari masyarakat dan bangsa Indonesia bahwa homo dan lesbi ini bukan penyakit.
Peristiwa pernikahan sejenis yang terjadi di Bali merupakan hal yang sangat serius. Indonesia sedang gawat darurat LGBT. Ini merupakan satu indikasi derasnya arus gerakan LGBT dunia yang masuk ke Indonesia. Kasus di Bali ini termasuk kasus yang pertama, namun jika tidak segera ditangani secara serius, tidak mustahil akan menyusul kasus-kasus sejenis berikutnya di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini menjadi sesuatu yang penting, mengingat fenomena pernikahan sejenis di Indonesia bertentangan dengan undang-undang dan norma-norma hidup yang berlaku.
Indonesia telah mengatur dengan sangat baik semua hal yang berkaitan dengan pernikahan. Sebuah undang-undang pernikahan telah dibuat. Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyebutkan bahwa yang dinamakan pernikahan sah adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri. Undang-undang yang telah berlaku lebih dari 3 dekade ini telah dirumuskan dengan sebaik-baiknya dan dengan pertimbangan yang matang dari segala aspek yang melingkupinya.
Jika sekarang di Indonesia tiba-tiba ada yang mengadakan perkawinan homo-lesbi, maka ini sungguh suatu kemunduran peradaban. Secara agama, perkawinan ini mungkar dan dosa besar. Secara hukum Pancasila juga tidak memiliki legalitas. Adanya ‘tragedi’ ini tidak lain dimulai dari kampanye kesetaraan gender di perguruan tinggi sejak lama, yang ‘mengcopy-paste’ dari Barat sekular.
LGBT dan Ideologi Feminisme
Jika kita membuka lembaran sejarah peradaban manusia, kita akan mendapati banyak fakta terkait penyimpangan homoseksual. Sejak dahulu, bahkan di Eropa pun, homo dan lesbi itu perbuatan keji menjijikkan. Colin Spenser dalam bukunya de I’homosexualite mengawali tulisannya dengan membuktikan keberadaan kaum homo pada peradaban kuno semisal Mesopotamia, Mesir dan China. Ia memberikan analisis terhadap mitologi dewa homo yang melakukan sodomi yaitu Horus dan Seth. Berlanjut ke masa Yunani dan Romawi. Analisi terhadap kitab suci Yahudi dan Nasrani yang melaknat perbuatan homoseksual adalah bukti yang menegaskan bahwa pada masa itu memang terdapat kaum homo. Untuk menunjukkan gejala homo, lesbian atau biseksual dalam masyarakat Islam, ia merujuk pada cerita seribu satu malam dan syair dari Ahmed ibn Yusuf al Tayfasy yang mengandung unsur pembelaan terhadap pelaku seksual yang menyimpang.
Di dalam masyarakat Eropa abad pertengahan pun demikian, praktek homoseksual, lesbian dan biseksual tetap ada meskipun terselubung. Tidak terang-terangan seperti sekarang. Sebagai contohnya skandal seks Raja Hendri III dari Prancis dan skandal Jacques dari Inggris. Walaupun demikian, baik negara, agama maupun masyarakat umum tidak mengakui legalitas perbuatan tersebut.
Pada masa pencerahan abad ke-18, kaum homo, lesbian dan biseksual mulai mendapatkan angin segar. Kaum feminis yang dinenekmoyangi Mary Wollstonecraft penulis A Vindication of the Right of Women ingin menghilangkan diskriminasi dan memperjuangkan hak-hak kaum wanita untuk mendapatkan keadilan yang semestinya, seperti kesamaan gaji dan suara dalam pemilu. Namun pada akhirnya kaum feminis memperluas cakupan gerakannya secara radikal yaitu dengan menampung dan memperjuangkan kaum homoseksual, mencemooh perkawinan, merayakan lesbian, melegalkan biseksual, menghalalkan aborsi, dan revolusi seks. Perubaha yang radikal tersebut juga mendapat kecaman dari kaum feminis sendiri. Susan Jane Gilman dalam Kiss My Tiara : How to Rule the Wordld As a Smartmouth Goddes beranggapan bahwa kaum feminis tidak jelas maunya dan tidak punya tujuan yang pasti. Penolakan juga dilakukan kaum feminis kultural yang memprotes pornografi, prostitusi, dan heteroseksual. Meskipun begitu, kaum heteroseksual mendapatkan tempat yang sangat luas dalam gerakan feminisme bahkan menjadi trademarknya kaum feminis.
Salah satu target gerakan feminis adalah legalitas LGBT di seluruh dunia. Undang-undang pernikahan otomatis menjadi sasaran tembak perombakan oleh gelombang feminisme ini. Tercatat 21 negara dunia yang telah melegalkan pernikahan sejenis. Yang terakhir adalah Amerika Serikat yang melegalkan pernikahan sejenis pada tahun 2015 ini. Dengan legalisasi pernikahan sejenis oleh pemerintah Amerika akan memicu negara lain untuk berbondong-bondong mengikuti langkah tersebut. Amerika Serikat selalu dijadikan barometer kemajuan dunia. Maka tidak mustahil jika dalam beberapa tahun kedapan separoh dunia akan melegalkan LGBT dan perkawinan sejenis.
LGBT alami atau menyimpang?
Secara garis besar ada dua pandangan terhadap perilaku LGBT. Pertama, yang menganggap itu adalah penyimpangan. Kedua, yang berpendapat LGBT adalah orientasi alami manusia yang diberikan Allah kepada manusia.
Dalam perkuliahan fakultas psikologi di berbagai universitas di seluruh dunia selalu menggunakan buku Diagnostic Statistical Manual sebagai panduan. Buku itu tidak memasukkan homoseksual sebagai gangguan mental. Hal ini berarti bahwa homoseksual adalah perbuatan yang normal. Sedangkan orang yang beranggapan bahwa homoseksual adalah menyimpang (homophobia) maka orang itu sendiri yang dianggap berkelainan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kasus LGBT adalah dianggap normal dan alami. Hal yang diberikan Allah dan manusia tidak dapat menolaknya. Hal itu tidak bisa dianggap salah karena memang merupakan pengaruh gen dan bawaan sejak lahir.
Ilmuwan pertama yang memperkenalkan teori “Gen Gay” adalah Magnus Hirscheld dari Jerman, Dalam The Origin of the Gay Liberation Movement, ia menegaskan bahwa homoseksual adalah bawaan,. Dia kemudian menyerukan persamaan hukum untuk kaum homoseksual. Kemudian banyak peneliti semacam Dr.Michael Bailey, Dr.Richard Pillard, Dean Hamer, Prof. George Rice, Prof Alan Sanders mengadakan berbagai penelitian guna membuktikan kebenaran teori “Gen Gay” tersebut. Hasil dari penelitian tersebut tidak ada satupun yang dapat mengkonfirmasi kebenaran teori gen gaynya Magnus Hirscheld. Dengan begitu kasus LGBT tidak dapat dimaklumi sebagi hal yang alami sebagai anugrah Allah kepada manusia. Dengan begitu pelakunya tidak dapat berlindung atas nama Hak Asasi Manusia.
Yang menjadi faktor utama penyebab perilaku LGBT sebenarnya adalah faktor sosialnya. Paul Cameron Ph.D dari Family Research Institute telah melakukan penelitian tentang hal ini. Dalam tulisannya What Causes Homosexual Desire and Can It Be Changed? Ia berpendapat bahwa di antara penyebab munculnya dorongan untuk berperilaku homoseksual adalah pernah disodomi dan pengaruh lingkungannya. Dengan begitu pelaku homoseksual, lesbi dan biseksual dapat disembuhkan. Oleh karena itu jelaslah LGBT adalah perilaku yang menyimpang dan perlu disembuhkan. Pendapat inilah yang paling rasional. Sedangkan pendapat bahwa LGBT itu normal adalah baru-baru saja, dan itu setelah dorongan ideologi feminism sangat kuat dan gencar. Jadi, pelegalan LBGT itu lebih didorong oleh alasan kepentingan ideologis daripada medis.
Ancaman terhadap Keluarga dan Bangsa
Konsep keluarga dalam masyarakat barat sungguh unik. Sufean Husein dalam Keluarga Ibu Tunggal dan Dasar Senario Menanggapinya, masyarakat barat telah memaknai institusi keluarga secara berbeda. Yang dmaksud dengan keluarga yaitu konsep hidup bersama antara dua orang atau lebih, baik sejenis dan atau berlainan jenis tanpa harus ada ikatan pernikahan. Bahkan hidup bersama dengan binatang kesayangan dalam satu rumah pun bisa dianggap berkeluarga. Dalam pengertian yang demikian pasangan sejenis rupanya sah disebut dengan sebuah keluarga. Model lain yang tercakup dalam konsep keluarga adalah model orang tua single, yaitu keluarga yang anggotanya hanya terdiri dari anak dan satu orang tua baik ayah saja ataupun ibu saja. Keluarga dengan konsep yang demikian disebut dengan keluarga alternative.
Aktualisasi konsep keluarga alternatif di Barat cukup menarik untuk dicermati. Peran dan fungsi setiap anggota keluarga dapat dipertukarkan. Sehingga tidak jelaslah mana yang hak dan mana yang kewajiban di dalam keluarga. Diantara hal yang dianggap hak adalah mengandung, menyusui, melayani suami atau istri, berselingkuh, aborsi, meninggalkan pasangan. Dan yag menjadi kewajiban menghormati hak-hak tersebut. Pemberatan beban pada satu sisi dan menghilangkan beban pada sisi yang lain tidak dapat dihindari. Dan akhirnya tujuan dibangunnya sebuah keluarga akan kabur dan hilang. Hal ini terjadi karena memang Institusi keluarga di barat dibangun bukan atas ikatan komitmen tiap anggotanya untuk mencapai tujuan keluarga tetapi atas dasar kebebasan dan nafsu saja. Maka wajarlah jika orang barat beranggapan bahwa keluarga adalah kungkungan dan penjara.
Dengan konsep keluarga alternatif diatas akan menimbulkan banyak masalah di dalam keluarga itu sendiri. Konsep pemimpin keluarga yang tidak jelas akan menimbulkan masalah dalam kebijakan keluarga. Ketiadaan fungsi dan peran yang pasti juga akan menjadikannya saling berebut dan saling lempar tanggung jawab. Kebebasan yang berlebihan akan menghilangkan sikap saling menghormati, menghargai dan menyayangi. Konsep membimbing dan mendidik menjadi kacau dikarenakan hilangnya contoh yang ideal.
Mengandung dan melahirkan dianggap sebagai hak yang dapat dipiilih. Hal ini menyebabkan banyak wanita barat yang tidak ingin mengandung dan melahirkan. Kasus yang lain adalah maraknya aborsi. Pasangan sejenis berpedoman bahwa adopsi atau sewa rahim adalah solusi. Sehingga tetap bisa mempunyai anak walaupun tidak pada nasabnya. Ancaman dari konsep hak yang berkaitan dengan reproduksi tersebut berdampak pada masalah demografi.
Bagi barat masalah demografi telah menajadi masalah yang serius. Sebuah penelitian yang bertajuk “The Future of the Global Muslim Population” oleh sejmlah pakar dari Pew Forum on Religion and Public Life memproyeksikan bahwa tingkat pertumbuhan penduduk muslim dunia dengan konsep keluarga Islamnya adalah 1,5 persen per tahun, sementara penduduk non muslim dengan konsep keluarga alternatifnya hanya tumbuh 0,7 persen per tahun. Dengan begitu umat Islam diperkirakan akan menjadi populasi terbesar di dunia beberpa tahun ke depan. Konsep keluarga alternative dan pernikahan sejenis tidak pernah memiliki tujuan untuk membentuk generasi masa depan.
Konsep pernikahan sejenis yang diusung oleh gerakan LGBT di Indonesia nampaknya menghendaki kerusakan Bangsa dan Negara Indonesia. Jika pernikahan sejenis dilegalkan, maka akan timbul beberapa masalah serius. Diantaranya Pertama, ancaman terhadap demografi bangsa. Karena LGBT terbentuk oleh lingkungan dan keadaan sosial maka penularan terhadap masyarakat luas tidak dapat dihindarka. Hal ini mengakibatkan demografi bangsa ini akan terancam. Tidak mustahil bebepa puluh tahun yang akan datang penduduk Indonesia akan menjadi minoritas di negerinya sendiri.
Kedua, merusak moralitas, kesehatan dan bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. Dr Malik Badri dalam Islamic versus Western Prevention : A Sosio-Medical Issue of Civilization Convlict berpendapat bahwa Jika LGBT dari budaya barat membawa pengaruh negative. Akan terjadi dekadensi moral kemaksiatan meraja lela dan berpeluang merusak kesehatan dengan merajalelanya penyakit HIV AIDS. Disamping itu, jika kemaksiatan meraja rela maka kriminalitas juga akan merajalela. Secara fitrahnya manusia diciptakan jenis laki-laki dan perampuan dengan persamaan dan perbedaan pada masing-masing jenis. Penciptaan laki-laki dan perempuan sudah cukup menjadi alasan ditolaknya pernikahan sejenis.
Ketiga, ancaman terhadap budaya nusantara. Jika kita lihat, budaya dan tradisi ketimuran sangat menghormati tatanan sosial yang dibangunnya terutama konsep keluarga. Seperti pernikahan diatur oleh budaya sedemikian rupa dan selama ini berjalan dengan baik. Konsep marga, pertunangan, upacara adat masih sangat menjunjung tinggi konsep keluarga. Budaya dan agama sesungguhnya telah menjadi benteng masyarakat dari penyelewangan moral.
Keempat, ancaman kepada agama dan keberagaam di Indonesia. Seluruh ajaran agama yang ada di Indonesia melarang pernikahan sejenis. Jika hal itu dilegalkan maka akan mambuat masyarakat bingung antara mengikuti tren atau taat kepada agama. Akhirnya akan menggiring masyarakat Indonesia yang agamis menjadi sekuler. Mengikis Keimanan dan kepatuhan masyarakat terhadap agama. Contohnya di barat agama telah ditinggalkan gereja, kuil dan sinagog sedikit pengunjungnya bahkan kosong. Semua jenis syariat dalam Islam yang berlaku telah mengandung maslahat bagi manusia itu sendiri. Semua jenis syariat yang berlaku sesungguhnya telah mengandung maslahat bagi manusia itu sendiri.
Kelima, ancaman terhadap negara dan bangsa. Husein Muhammad Yusuf dalam Ahdaafu Al Usroh Fi Al Islam Wa At Tayyaaru Al Mudhoddah menjelaskan bahwa keluarga adalah institusi terkecil suatu masyarakat dan negara. Jika baik dan kuat keluarga maka baik dan kuat pula negara. Perlu diingat keluarga juga berfungsi sebagai produsen generasi penerus. Jika keluarga rusak, dapat dipastikan masyarakat dan negara akan segera menemui kehancurannya.
Usaha legalisasi LGBTdalam undang-undang perkawinan akan menimbulkan banyak kerugian, tidak mendatangkan kemaslahatan apapun. Jika mengakomodir kepentingan kelompok yang kecil, tetapi menghancurkan maslahat yang besar adalah suatu kekeliruan. Maka sudah seharusnya bagi pemerintah dan masyarakat untuk menolak legalisasi LGBT di Indonesia. Bukankah Allah telah memperingatkan kepada kita dalam Al-Qur’an (Q.S.: Hud : 77-83 / : Asyuara’ : 160-175 /:Al-‘Araf 80-84 /:Al-Ankabut: 28-35) bagaiman kaum LGBT umat nabi Luth dihancurkan? Wallahu a’lam bil shawab
*Penulis adalah peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) angkatan-IX UNIDA Gontor