Peradaban Islam, Sains, dan Khilafah

Oleh: Dr. Syamsuddin Arif

1403131275137Inpasonline.com-  Aarti peradaban? Peradaban ialah keseluruhan prestasi dan hasil karya suatu bangsa atau masyarakat yang hidup bersama dalam sebuah kota atau negara. Karena itulah peradaban itu identik dengan ‘Madīnah’ atau ‘civitas’ dalam bahasa latin yang mengisyaratkan terjadinya kesepakatan antar berbagai kelompok masyarakat untuk hidup bersama secara aman, damai, dan adil.

Maka suku-suku nomad tidak pernah melahirkan peradaban. Begitu pula suku-suku barbarian yang asyik berperang satu sama lain. Nah, prasyarat-prasyarat itulah yang dipenuhi oleh Rasulullah sesudah tinggal di Madinah. Mengikat tali kepentingan berbagai komponen –Arab Khazraj dan Aws, kaum Muhajirin dan Anshar, puak-puak Yahudi, Kristen, dan Majusi– dengan sebuah perjanjian semacam ‘social contract’.

Baru setelah itu kita saksikan peradaban Islam perlahan-perlahan muncul ke permukaan dan menjulang megah di panggung sejarah manusia dengan seabreg prestasi politik, militer, ekonomi, saintifik, kultural, dan sebagainya, yang terpancar dalam karya-karya sastra, filsafat, sains, teknologi, arsitektur, seni rupa, dan banyak lagi.

Mendiang Professor Arberry pernah mengatakan, ketika menjawab pertanyaannya sendiri: “What is meant by the term Islamic civilization?” bahwa peradaban Islam itu lahir dari perjalanan yang sangat panjang dan kekuatan yang sangat dahsyat (the long processes and the massive forces), di mana bangsa-bangsa hebat yang aslinya bermacam-macam dan berbeda-beda telah diikat oleh satu visi, satu misi, satu tradisi, dan satu jalan hidup (a powerful group of nations held closely together in the common bonds of a shared tradition and way of life, despite passing domestic differences). Lihat bukunya: Aspects of Islamic Civilization as Depicted in the Original Texts, hlm. 9 (London: Routledge, 1964).

Definisi yang lebih tegas diberikan oleh Profesor al-Attas dalam bukunya, Historical Fact and Fiction (Johor Bahru: Universiti Teknologi Malaysia Press, 2011), hlm. xv: “I define Islamic civilization as a civilization that emerges among the diversity of cultures of Muslim peoples of the world as a result of the permeation of the basic elements of the religion of Islam which those peoples have caused to emerge from within themselves. … It is a living civilization whose pulse describes a process of Islamization, … in the sense of an unfolding of the theoretical and practical principles of Islam in the life of the people, in the sense of an actualization of the essentials and potentials of Islam in the realms of existence. … Islamic civilization is therefore a manifestation of unity in diversity as well as of diversity in unity.”

Intinya bahwa Peradaban Islam itu adalah hasil dari proses kolektif-selektif-kreatif yang dinamakan Islamisasi. Sumber energinya adalah wahyu –yakni Kitābullāh dan Sunnah Rasululullah. Ini internalnya, sementara eksternalnya dari peradaban-peradaban asing. Terjadilah pengambilan, pengumpulan, penyaringan, dan rekacipta. Namun, unsur-unsur asing itu tidak hanya di-adopsi, tetapi juga di-adapsi, diterima dan diubah agar tidak bertentangan dengan tata nilai atau ‘worldview’ Islam. Maka peradaban Islam itu merupakan paduan keberagaman dan keberagaman terpadu, kata al-Attas.

Peradaban Islam saat ini memang tidak seperti dulu, karena umat Islam sedang terpecah-pecah menjadi banyak negara yang masing-masing punya pemerintahan dan kepentingan sendiri, ideologi dan visi sendiri-sendiri, di mana nasionalisme dikedepankan, sekularisme diutamakan, komunisme dirayakan, kapitalisme diterapkan, dan liberalisme ditanamkam. Umat Islam hanya tampak menyatu ketika tawaf di Ka‘bah atau wukuf di Arafah. Sementara di PBB jarang kompak. Dalam banyak isu lebih sering tidak sepakat.

Peradaban Islam saat ini ibarat piramid yang masih berdiri tegak namun banyak dindingnya mengalami erosi sejak lima ratus tahun terakhir, akibat rembesan nilai-nilai hubbud-dunyā dan karāhiyatul-maut, terkikis oleh air bah peradaban Barat modern yang sarat dengan rasionalisme dan empirisisme. Di sini kita perlu bedakan ya: rasionalisme itu tidak sama rasionalitas – dan empirisisme itu bukan ‘empeira’ atau experience. Sebagaimana komunitas itu beda dengan komunisme, dan pluralitas itu lain dengan pluralisme. Nah, di antara ciri khas peradaban Islam dibanding peradaban lain kita temukan di sana. Peradaban Islam menerima rasionalitas dan data empiris, akan tetapi tidak kejeblos dalam rasionalisme dan empirisisme. Tidak menuhankan akal dan tidak mengabsolutkan pengalaman inderawi. Peradaban Islam itu mengakui dan menerima pluralitas akan tetapi menolak pluralisme. Orang-orang Yahudi dan Nasrani dijamin keselamatannya, dihormati kepercayaannya, dibebaskan ibadahnya, dan diakui kontribusinya, meskipun tetap dipandang keliru atau sesat dan nir-iman alias kuffar.

Supaya lebih akurat, saya kutip di sini apa kata Marvin Perry dan rekan-rekannya dalam buku mereka yang berjudul “Western Civilization: Ideas, Politics, and Society since 1400” (cetakan Boston: Houghton, 2009), bahwa pilar-pilar utama peradaban Barat itu adalah pemisahan agama dari negara, kebebasan dan toleransi beragama, pengukuhan hak-hak asasi dan kesetaraan manusia. Semua ini diwujudkan dalam bentuk negara sekular dengan sistem politik demokrasi. Bagi mereka ini adalah esensi sekaligus prestasi peradaban Barat yang merupakan pola terbaik alias ‘uswatun hasanah’ –menurut mereka, sehingga siapapun dan bangsa manapun yang tidak mengikutinya dianggap belum sempurna kemanusiaannya dan arena itu tidak berperadaban: “As the history of the twentieth century demonstrates, when we lose confidence in [the core values of] this heritage [of Greco-Roman, Judeo-Christian traditions and the modern European Enlightenment ideals], we risk losing our humanity, and civilized life is threatened by organized barbarism” (hlm. 901). Inilah sebabnya mengapa Samuel Huntington menulis “The Clash of Civilizations” dan Niall Ferguson menulis “The West and the Rest”. Bahwa tidak lama lagi dan sekarang pun Peradaban Barat berhadapan dengan peradaban-peradaban besar yang pernah jaya selama ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya, yaitu peradaban Cina, peradaban India, dan peradaban Islam.

Kemunduran Peradaban Islam?

Maaf, kalau saya tidak setuju dengan istilah stagnasi dan kemunduran. Meski hanya kiasan, kedua metafora tersebut tidak tepat. Kalau dalam bahasa Inggris kan stagnan itu artinya diam, tidak bergerak sama sekali, beku dan mati (still, motionless, inactive, moribund). Padahal kenyataannya tidak demikian, karena umat Islam di seluruh dunia masih terus bergerak dan aktif memperjuangkan cita-cita Islam.

Contohnya di Indonesia saja ada NU, Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis, Gontor, Hidayatullah yang jelas sekali menyangkal deskripsi negatif di atas. Begitu pula istilah ‘kemunduran’ yang juga kurang tepat. Kalau kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah itu dibilang mundur, lha orang-orang Amerika dan Eropa saat ini pun masih menyeru kepada cita-cita founding fathers mereka, prinsip-prinsip Revolusi Prancis, dan pemikiran tokoh-tokoh Abad Pencerahan dan Renaissance bahkan gagasan-gagasan filosof Yunani kuno –dan itu tidak mereka anggap sebagai kemunduran! Bangsa yang ingin maju perlu pedoman, perlu road-map. Untuk itulah mereka kembali kepada tradisi masa lalu untuk melangkah ke depan.

Yang terjadi sebenarnya bukan maju atau mundur, akan tetapi berjalan di depan atau di belakang. Yang di depan itu berjalan menuju ke sebuah destinasi. Sementara yang di belakang mengikuti saja. Nah, jika umat Islam mengekori orang Barat, sudah tentu orang Barat disebut terdepan (advanced) dan umat Islam dianggap terbelakang atau tertinggal. Padahal justru ini yang diwanti-wanti Rasulullah: jangan sampai umat Islam ikut-ikutan umat lain yang berjalan dengan tujuannya sendiri. Pertanyaannya, berapa banyak di antara kita yang paham dan sadar quo vadit atau menuju ke mana peradaban Barat itu? Apakah makna negara maju? Maju terus hingga ke mana? Ataukah ia merupakan perjalanan yang tak ada ujung akhirnya?

Kembali ke pertanyaan di atas, umat Islam kini harus berhenti sejenak. Berhenti mengekori orang lain. Berhenti untuk introspeksi mau kemana sebenarnya kita ini. Mau maju kemana, mengapa dan untuk apa? Di sinilah pentingnya kita kembali menengok, menggali, dan mengkaji tradisi leluhur kita, warisan intelektual peradaban kita sendiri, agar bisa berkata seperti Jacques Ellul dengan bangganya berkata: “I see no other satisfactory model that can replace what the West has produced” (Lihat bukunya: The Betrayal of the West, New York 1978, hlm. 19).

Sains memang penting untuk membangun sebuah peradaban, tetapi dengan itu saja tidak cukup. Peradaban berdiri di atas kekuatan metafisis, yaitu iman dan ilmu –orang Barat menyebutnya faith and knowledge, dan tentu saja kerja keras yang dalam perspektif kita adalah amal sholih dan jihad fi sabilillah. Dan ini dibenarkan oleh orang Barat yang mengakui bahwa peradaban mereka dibangun atas fondasi kepercayaan Yahudi-Kristen dan warisan intelektual-kultural Yunani-Romawi kuno. Sains hanya satu dari banyak komponen peradaban.

Dalam buku “Orientalis dan Diabolisme Pemikiran” (2008) disebutkan beberapa teori para ahli tentang nasib sains di dunia Islam. Salah satunya menurut Profesor Sabra dari universitas Harvard. Ia melihat perkembangan sains di dunia Islam setelah melewati fase keempat yang disebutnya sebagai ‘appropriasi’, lebih banyak mengarah pada pemenuhan kebutuhan praktis, sehingga peran sains menyempit sekadar menjadi pelayan agama (handmaiden of religion). Namun, bagi saya penjelasan ini tidak terlalu tepat. Sebab pada banyak kasus, asas manfaat justru berperan penting dalam mendorong perkembangan dan kemajuan sains. Teori kedua dikemukakan oleh David C. Lindberg dari universitas Wisconsin Madison. Menurutnya ada tiga faktor penghambat kemajuan sains dalam dunia Islam: pertama, oposisi kaum konservatif. Kedua, krisis ekonomi dan politik. Dan ketiga, keterasingan. Lindberg menyebut sebagai contoh kasus pembakaran buku-buku sains dan filsafat di Cordoba yang menyebabkan saintis Muslim ketakutan. Di sini memang kerap bercampur antara fakta dan fiksi, antara realitas dan imajinasi.

Saya sendiri berpendapat setidaknya ada tiga hal faktor yang menghambat kemajuan sains di dunia Islam sebelum zaman modern. Pertama, banyaknya saintis Muslim yang secara diam-diam telah meninggalkan Islam. Tren yang berlaku pada saat itu pun adalah free-thinking alias berpikiran liberal. Sebagian bahkan mengingkari kenabian Rasulullah. Ada juga yang terang-terangan minum khamar. Faktor kedua adalah krisis ekonomi dan politik. Konflik berkepanjangan seringkali disertai perang saudara yang mengakibatkan disintegrasi dan hancurnya ekonomi. Belum lagi serangan tentara salib yang memakan ribuan korban. Demikian pula invasi pasukan Mongol yang memporak-porandakan Baghdad pada tahun 1258 M. Faktor ketiga adalah gerakan sufi palsu yang menyebarkan dan menyuburkan irrasionalitas, sehingga masyarakat lebih tertarik kepada aspek-aspek mistis dan magis, kesaktian dan keajaiban daripada aspek ubudiyah, ilmiah, dan akhlak.

Kebangkitan dan Isu Khilafah

Lalu, apakah peradaban Islam bisa bangkit kembali? Seperti saya katakan di muka, peradaban Islam belum mati dan tidak beku. Peradaban Islam masih terus bergerak meski sebagai entitas masih berserak. Peradaban Islam kini belum berdiri sebagai satu entitas tunggal yang solid dan utuh. Salah satunya karena umat Islam yang menjadi penyangga peradaban tersebut sedang berusaha mengatasi krisis epistemologis, misorientasi, dan disorientasi teleologis, ndak jelas dan ndak tegas maunya ke mana. Mau ikut al-Qur’an takut dibilang ketinggalan zaman. Mau ikut Nabi takut dimusuhi. Mau melawan atau menolak takut dicap fundamentalis, ekstrimis, atau teroris. Mau mengekori Barat takut kebablasan. Pendek kata, harapan bangkit kembali bukan tidak ada. Optimisme kita didukung oleh hadis Nabi saw: layaghlibanna hādzal-amru! –bahwa peradaban Islam akan menang dan jaya. Juga dipacu oleh firman Allah dalam al-Qur’an: la tay’asū min rawhillāh! –jangan pernah putus harapan kepada pertolongan Allah.

Dan memang sudah tampak beberapa indikator ke arah itu. Sebutlah sebagai contoh perubahan demografi penduduk dunia sekarang ini. Kemudian fakta bahwa sumber-sumber energi dan kekayaan alam terdapat di negara-negara Muslim. Begitu pula proses desekularisasi yang berjalan sama kencangnya dengan proses Islamisasi di banyak belahan dunia. Maka insyā Allah akan tiba saatnya nashrun minallāhi wa fathun qarīb. Kita hanya disuruh berbuat dan bekerja, dan tidak dituntut akan hasilnya. Waqul i‘malū fasayarallāhu ‘amalakum! (Laksanakan tugas kita sesuai dengan profesi dan kapasitas diri masing-masing).

Ada yang meyakini bahwa kejayaan dan kejatuhan peradaban Islam itu bergantung pada atau bahkan disebabkan oleh tegaknya dan runtuhnya ‘khilafah’ (sistem politik dan tata negara yang dipimpin oleh seorang ‘khalifah’). Memang benar, khilafah itu hanya istilah. Di dalam al-Qur’an sendiri, istilah khalifah itu lebih bernuansa teologis ketimbang politis. Khilāfah atau istikhlāf itu adalah pelimpahan kuasa Tuhan kepada manusia untuk mengatur kehidupan di bumi. Adapun dalam koleksi hadis Nabi, seperti kitab Sahih Muslim, yang kita temukan adalah istilah imārah untuk kepemimpinan politik, bukan khilafah. Sementara dalam literatur ilmu kalam yang sering dipakai adalah istilah imamah, tentang siapa yang berhak memimpin umat dan negara, syarat-syaratnya, dan sebagainya. Namun menurut saya, yang amat sangat esensial dalam tata kelola negara (siyāsatul madīnah) adalah asas keadilan dan kebaikan (al-‘adl wal ihsān). Keadilan bukan persamaan. Dan kebaikan bukan berarti menuruti kehendak masyarakat atau suara rakyat (vox populi) belaka. Adil di sini membutuhkan ilmu dan hikmah, meniscayakan amal dan adab, dan pastinya bersendikan petunjuk wahyu. Dengan demikian, soal apakah cita-cita menegakkan khilafah itu utopia atau dystopia menjadi tidak signifikan.

Berkenaan gerakan ISIS (Islamic State of Iraqi and Syiria) dan sepak terjang mereka di Timur Tengah, kita tidak boleh gegabah menyebut mereka bagian dari kebangkitan peradaban Islam ataupun mengecam mereka sebagai anasir-anasir perusak dan pengacau umat Islam. Hal ini dikarenakan tidak adanya informasi yang lengkap dan terpercaya. Berita-berita yang kita baca, dengar, atau lihat itu kebanyakan datang dari media orang fasiq. Untuk melakukan tabayyun tidak mudah. Untuk langsung memvonis, takut berdosa karena firman Allah: inna ba’dhaz-zhanni itsmun! Maka dalam hal ini sikap terbaik adalah diam (tawaqquf). Yang jelas, membangun sebuah peradaban –apalagi yang Islami– itu mustahil tanpa melibatkan para ulama, yakni orang-orang yang paham benar seluk-beluk ajaran Islam mengenai aqidah, hukum, akhlaq dan adab politik, ekonomi dan seterusnya. Jika tidak, maka seperti sabda Rasulullah saw: “idza wussidal-amru ila ghayri ahlihi fa’ntazhiris-sā’ah!”

Model Negara Islam?

Seringkali orang bertanya apakah ada negara yang dapat disebut Islami di zaman sekarang ini untuk kita jadikan contoh. Tentu saja hal ini mengandaikan kesepakatan pada tataran definisi. Apakah sebuah negara itu disebut Islami karena penduduknya Muslim (dengan atau tanpa melihat persentase, kualitas, dan posisi mereka di negara tersebut)? Ataukah sebuah negara itu disebut Islami lantaran nilai-nilai Islam terwujud secara fisik dalam tata kehidupan masyarakat dan tata ruang yang rapi, bersih, indah, dan sebagainya? Ataukah sebuah negara itu Islami karena Syariat Islam diberlakukan dalam kehidupan pribadi maupun sosial, dalam berpolitik maupun berekonomi, dalam sistem perundangan dan peradilan? Ataukah sebuah negara itu Islami sebab undang-undang dasar atau konstitusinya berasaskan Islam?

Meski belum sempurna, Malaysia adalah salah satu dari beberapa negara modern yang konstitusinya secara eksplisit menjadikan Islam sebagai agama resmi negara. Konsekuensinya, Yang Dipertuan Agung sebagai kepala negara maupun Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan memikul amanah konstitusi untuk menjunjung tinggi agama Islam dan memelihara eksistensinya. Warga non-Muslim tetap dijamin hak-haknya untuk menganut dan mengamalkan agama mereka secara aman dan harmonis. Mungkin karena itu sekularisme sukar untuk berkembang di Malaysia.

Kedua, pemerintah Malaysia sangat peduli (concerned) dengan pendidikan dan kesejahteraan rakyat. Ini dibuktikan dengan penyediaan bermacam-macam skema beasiswa dan pembangunan serta perbaikan fasilitas umum secara masif dan bertanggung jawab. Korupsi memang terjadi, namun tidak merajalela dan tidak menjalar ke mana-mana bagaikan kanker ganas seperti halnya di negara-negara lain. Ketiga, umat Islam di Malaysia pada umumnya mudah diatur, tunduk pada pemerintah dan patuh pada aturan hukum dan undang-undang. Sifat-sifat ini memudahkan mereka untuk mengelola banyak hal secara efektif dan efisien, dan menyelesaikan konflik secara bijak dan baik. Jarang sekali mengutamakan otot daripada otak. Seperti jawaban seorang diplomat mereka saat terjadi sengketa pulau dengan Indonesia: “We will cross that bridge when we come to it.” Wallāhu a‘lam.*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *