Pengaruh Orientalis dalam Penafsiran Al Qur’an

Pernyataan mantan guru besar Universitas Birmingham, Inggris ini tentu bukan tanpa alasan. la”bersama para sarjana Kristen dan Yahudi lainnya telah kecewa terhadap kitab suci mereka yang ternyata bermasalah. Bible yang selama ini mereka percayai sebagai kitab suci terbukti bukan asli alias palsu. Terlalu banyak campur tangan manusia di dalamnya, sehingga sukar membedakan mana yang benar-benarwahyu dan bukan.

Kurt Aland dan Barbara Aland, dalam The Text of the New Testament (Michigan: Grand Rapids, 1995) mengatakan bahwa sampai pada permulaan abad keempat, teks Perjanjian Baru dikembangkan secara leluasa. Artinya, banyak yang melakukan koreksi. Demikian pula Saint Jerome, seorang rahib Katolik Roma yang belajar teologi, mengeluhkan fakta banyaknya penulis Bible yang diketahui bukan menyalin perkataan yang mereka temukan, tetapi malah menuliskan apa yang mereka pikir sebagai maknanya. Sehingga yang terjadi bukan pembetulan kesalahan,tetapi justru penambahan kesalahan. “Mereka menuliskan apa yang tidak ditemukan tapi apa yang mereka pikirkan artinya; selagi mereka mencoba meralat kesalahan oranglain, mereka hanya mengungkapkan dirinya sendiri,”ujarJerome sebagaimana dikutip dalam The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption and Restoration (1992).

Disebabkan kecewa dengan kenyataan semacam itu, maka pada tahun 1720, Master of Trinity College, R. Bentley, menyeru kepada umat Kristen agar mengabaikan kitab suci mereka, yakni naskah Perjanjian Baru yang diterbitkan pada tahun 1592 versi Paus Clement. Seruan tersebut kemudian diikuti dengan munculnya “edisi kritis” Perjanjian Baru hasil suntingan Brooke Foss Westcott (1825-1903) dan Fenton John Anthony Hort (1828-1892).

Kenyataan pahit seperti ini kemudian yang mendorong mereka untuk melakukan hal .yang sama terhadap AI-Qur’an. Para oreintalis itu berharap kaum muslimin juga melakukan interpretasi atau pemaknaan terhadap Al-Qur’an sesuai dengan pikiran(akal)nya, masing-masing.

Alhamdulillah, usaha mereka itu belum pernah berhasil, karena para ulama Islam telah membuat kaedah yang mapan tentang cara memahami dan menafsirkan Al-Qur’an. Dengan kaedah tersebut, tidak sembarang orang bisa menginterpretasi atau memaknai Al-Qur’an menurut nafsunya. Setiap ada usaha ke sana, cepat atau lambat pasti akan diketahui dan mudah dipatahkan oleh kaum muslimin.

Kaidah-kaidah Memahami AI-Qur’an

Karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas maka kaidah yang diperlukan untuk memahaminya harus berpatokan pada kaidah bahasa tersebut.”Sesungguhnya Kami menurunkan AI-Qur’an dengan bahasa Arab agar kamu memahaminya” (Yusuf (12):2)

Seseorang yang ingin memahami Al-Qur’an dengan benar,ia harus menguasai kaidah bahasa Arab yang antara lain meliputi ilmu nahwu, sharaf, balagha, maani, bade’, bayan dan lain-lain. Pemahaman terhadap ilmu-ilmu tersebut sifatnya mutlak. Sebab jika tidak, hasil pemahamannya terhadap Al-Qur’an pasti keliru.

Sebagai contoh misalkan, dalam sebuah buku berjudul Revolutionarry Way Learning Al-Qur’an (RLQ) yang ditulis oleh Aris Gunawan, seorang insinyur sipil, terdapat banyak kesalahan di dalamnya. Ini karena sang penulis,tanpa pemahaman bahasa Arab yang memadai, sudah berani mengintepretasikan Al-Qur’an sesuai hawa nafsunya. Akibatnya,sesuatu yang qath’i dalam Al-Qur’an ia rubah dengan seenaknya.

Tindakan penulis itu, sadar atau tidak, sebenarnya sudah masuk dalam skenario orientalis yang punya niat menghancurkan Al-Qur’an. Mereka memang sengaja mendorong kaum muslim agar berani menginterpretasikan AI-Qur’an sesuai pikirannya, meski tanpa bekal ilmu yang memadai. Dengan cara inilah mereka ingin membuktikan bahwa AI-Qur’an juga bermasalah, sebagaimana yang terjadi pada kitab mereka.

Tentu saja usaha dan pemikiran seperti itu harus dilawan. Dengan sekuat tenaga, kita harus menjaga kemurnian Al-Qur’an dari tangan-tanganjahil yang tidak bertanggungjawab sebagaimana yang dilakukan oleh penulis buku tersebut.

Setelah menguasai kaidah bahasa Arab, seseorang yang hendak memahami AI-Qur’an harus menguasai kaidah syar’iyah yang sudah disepakati oleh kaum muslimin. Kaidah tersebut meliputi:

Pertama, memahami Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Dalilnya surat An-Nahl 64. Inilah penafisaran Al-Qur’an yang tertinggi.

Kedua, memahami Al-Qur’an dengan Sunnah. Dalilnya firman Allah:”Dan ingatlah, ketika Allah mengambil janji dan i orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): ‘Hendaklah kamu (Muhammad) menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya’, lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima.” (QS 3:18). Anehnya, banyak kalangan yang mengaku Islam tapi menolak hadits Nabi SAW dengan alasan kebenarannya tidak mutlak. Sungguh penolakan ini sangat berbahaya. Tan pa hadits Nabi SAW, kita tidak bisa melaksanakan shalat, puasa, haji dan sebagainya karena secara teknis tidak diterangkan dalam Al-Qur’an.

Ketiga, bila tidak juga ditemukan Sunnah yang menerangkai ayat tersebut, langkah selanjutm dicarikan perkataan dari sahabat, salnya dari tim pencatat wahyu yang memang diakui Nabi SAW sebagai hablul ummah (penyambung ummat) yaitu Abdullah bin Abbas (Tafsir Ibn Abbas),juga sahabat yang lain seperti Abdullah bin Mas’ud dan lain-lain. Peran para sahabat tersebut tidak bisa diremehkan karena mereka mengetahui betul teks dan konteks ayat diturunkan. Belum lagi, mereka sebagai generasi pertama menghafal Alquran yang tsubut (percaya). Mengingkari peran para sahabat sama saja memo-tong mata rantai tafsir Al-Qur’an.

Keempat, bila tidak ada perkataan sahabat mengenai tafsir sebuah ayat, maka kita melacaknya dari perkataan para tabi’in, seperti Hasan Basri, Ibnu Qatadah,Mujahid,dan lain-lain.Mereka adalah para pengikut sahabat yang setia sehingga kepercayaannya terjamin dan pantas diikuti oleh generasi kemudian.

Kelima, setelah perkataan generasi tabi’in pun tidak ada, baru dicarikan pendapat para imam,seperti Syafi’i,Maliki, Hanbali, Hanafi, dan sebagainya.

Itulah beberapa kaidah yang harus kita kuasai dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an, agar tidak keliru. Kekeliruan dalam memahami Al-Qur’an akibatnya akan fatal sebagaimana yang disabdakan Rasulullah: “Siapa yang menafsiri AI-Quran dengan ra’yunya (akalnya), siap-siaplah untuk menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Turmt,ldzi). Semoga kita tidak termasuk orang seperti itu. Amin

  *artikel ini terbit di inpasonline.com pada 4 Agustus 2010

Last modified: 17/01/2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *