Oleh: Muhammad Ardiansyah
Inpasonline.com-Bulan Mei 2016, wajah pendidikan nasional kembali tercoreng. Tepat di hari pendidikan terjadi kasus yang memilukan dan memalukan. Seorang mahasiswa menghabisi nyawa dosennya hanya gara-gara masalah skripsi. Ini baru sebagian kecil dari dari segudang problematika yang ada. Pendidikan yang setiap tahun diperingati sepertinya belum berhasil mewujudkan kemaslahatan baik untuk diri pelajar maupun masyarakat secara luas, khususnya dalam masalah moral dan adab.
Dalam pandangan Islam, kemaslahatan menjadi masalah penting untuk diperhatikan dan diwujudkan. Pembahasan tentang masalah ini bisa dilihat dalam kajian tujuan-tujuan syariat (Maqâshid al-Syarî’ah) yang sudah dibahas sejak era klasik para ulama seperti Ibrahim al-Nakha’i, Hujjat al-Islam al-Ghazali al-Thusi, ‘Izzuddin Ibn Abd al-Salam, Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, dan Abu Ishaq al-Syathibi di dalam karya-karya mereka. Di era modern kajian Maqashid al-Syari’ah juga dibahas oleh oleh sejumlah ulama seperti Ibn Asyur, Abd al-Wahhab Khalaf, Syekh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy dan ulama lainnya.
Meski kajian ini masuk dalam disiplin ilmu syari‘ah, namun menurut Abdurrahman al-Nahlawi, konsep maslahah ini memiliki hubungan yang erat dengan pendidikan. Oleh karena itu konsep maslahah harus menjadi tujuan yang harus dicapai dan diwujudkan. (Abdurrahman al-Nahlawi, Ushûl al-Tarbiyah al-Islâmiyah, Beirut:Dar al-Fikr, 2003, hlm. 69-74).
Dalam kajian ini ada Maslahah Dharuriyyah adalah mashlahah esensial yang mesti diperhatikan demi terwujudnya kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Jika mashlahah dharuriyyah ini tidak terwujud, niscaya tatanan kehidupan manusia akan rusak. (Abu Hamid al-Ghazali, al-Musthasfâ min ‘Ilm al-Ushûl, Kairo:Dar al-Hadits, 2011, hlm. 536-537, lihat juga Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwâfaqat, Kairo:Dar al-Fadhilah, 2010, Juz 2, hlm. 9-10). Mashalah dharuriyyah ini meliputi lima hal pokok yang harus dipelihara, yaitu;
Pertama, pemeliharaan agama (Hifz al-Dîn). Dalam dunia pendidikan, pemeliharaan agama bisa dilakukan dengan menanamkan aqidah yang kuat sejak dini. Para pelajar Muslim harus ditanamkan bahwa Islam satu-satunya agama yang diterima dan diridhoi Allah (QS Ali ‘Imran:19 dan 85), Islam agama yang sempurna (QS al-Maidah:3), Islam satu-satunya agama wahyu, bukan agama sejarah, bukan agama budaya (SMN al-Attas, Prolegomena, Kuala Lumpur:ISTAC, 1995, hlm. 9-10). Islam hanya satu, tidak perlu embel-embel kata Liberal, Pluralis, Progresif, Nusantara dan sebagainya di belakang namanya.
Meski demikian, pelajar harus dididik untuk bersikap toleran kepada pemeluk agama lain. Islam tidak mengajarkan umatnya memaksa orang lain memeluk agama Islam (QS al-Baqarah:256). Islam melarang umatnya mencela keyakinan orang lain (QS al-An‘am:108). Di sisi lain Islam juga tidak membenarkan “mengoplos” ajarannya dengan agama lain (QS al-Kafirun:1-6). Inilah keyakinan yang mesti dijaga. Para pelajar harus meyakini kebenaran Islam, namun tetap menghargai keyakinan orang lain tanpa ikut meyakini dan membenarkannya, apalagi ikut menjalankan keyakinan orang lain.
Muatan pelajaran aqidah juga harus disiapkan untuk menjawab tantangan pemikiran di zaman modern ini. Pembahasannya harus meliputi berbagai pemikiran keliru yang muncul sejak zaman klasik maupun modern seperti Syi‘ah, Khawarij, liberalisme, pluralisme, feminisme, dan sebagainya. Seperti kata Imam al-Ghazali, mengetahui yang tidak baik itu diperlukan, bukan untuk mengikutinya tapi untuk menghindarinya, sebab orang yang tidak mengetahui hal yang tidak baik, bisa terjerumus ke dalamnya (Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûmiddîn, Kairo:Dar Misrh Li al-Thiba‘ah, Juz I, hlm.104) Aqidah yang tertanam kuat akan menjadi benteng pertahanan menghadapi berbagai kekeliruan pemikiran yang bisa menggoyahkan keyakinan.
Para pendidik Muslim tidak boleh mendukung dan mempromosikan paham-paham yang menyimpang. Metode yang bisa merusak penafsiran al-Qur’an dan Hadits juga harus dicegah. Pelecehan dan penistaan agama di lembaga pendidikan seperti menghina Allah, menginjak mushaf al-Qur’an dan sebagainya harus ditindak tegas. Karena membiarkan pemikiran dan perilaku biadab seperti itu berarti mendiamkan orang yang ingin menghancurkan agama Islam.
Kedua, pemeliharan jiwa (Hifz al-Nafs). Islam sangat menghargai jiwa manusia. Allah SWT melarang hamba-Nya untuk menyakiti sesama, apalagi sampai membunuhnya. Bahkan Allah SWT memberi ancaman keras kepada pelakunya (QS al-Isra’:33, QS al-Nisa’:93). Oleh karena itu, pendidikan dalam pandangan Islam harus menanamkan rasa kasih sayang terhadap sesama, bahkan terhadap makluk lain.
Berbagai perilaku yang mengancam dan berpotensi menghilangkan jiwa seseorang harus dihentikan. Para pendidik harus menutup jalan terjadinya bullying, perpeloncoan yang tidak lucu, perilaku biadab murid kepada guru yang mengancam keselamatan jiwa. Jika hal ini menjadi perhatian, insya Allah kita tidak akan mendengar ada perkelahian antar pelajar, tidak ada lagi intimidasi dan tidak ada lagi nyawa dosen yang melayang di tangan mahasiswanya.
Ketiga, pemeliharaan akal (Hifz al-Aql). Dengan akal manusia bisa berpikir, membedakan yang baik dan buruk. Jika akalnya rusak, maka nilai manusia akan jatuh. Perhatian Islam terhadap akal bisa dilihat dengan banyaknya ayat yang berbicara tentang akal. Imam Syafi’i menjadikan akal yang cerdas sebagai syarat utama meraih ilmu (dzaka’) sebelum syarat lainnya. Oleh karena itu akal harus dijaga dari hal-hal yang bisa merusaknya seperti rokok, minuman keras, narkotika dan sebagainya.
Para pendidik harus mengawasi dan memproteksi anak didiknya dari penggunaan dan penyebaran khamr dan sejenisnya yang merupakan induk dari segala kejahatan (umm al-khabâits) (HR al-Thabrani). Khamr dan sejenisnya adalah bahaya yang mengancam keselamatan orang yang mengkonsumsinya dan orang lain di sekitarnya. Maka sungguh aneh jika ada orang yang menyatakan bahwa khamr tidak berbahaya. Dalam pandangan Islam, setiap yang berbahaya harus dibinasakan (al-dharar yuzal) sesuai kaidah fiqh yang sudah terkenal (Abdurrahman al-Suyuthi, al-Asybâh wa al-Nazhâir fi al-Furû’, Beirut:Dar al-Fikr, tanpa tahun, hlm. 59, Abd al-Aziz, Muhammad Azzam, al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah, Kairo:Dar al-Hadits, 2005, hlm. 162). Untuk menanggulangi masalah ini para pendidik bisa menggandeng lembaga yang concern terhadap masalah narkotika dan juga pihak kepolisian untuk memberi penyuluhan, peringatan bahkan sanksi yang tegas kepada pelakunya.
Keempat, pemeliharaan keturunan (Hifz al-Nasab). Untuk memelihara nasab yang jelas Islam memberi solusi yang sesuai dengan fitrah manusia. Yaitu pernikahan yang disebut dengan mitsâqan ghalîzhâ (perjanjian yang kokoh). Pernikahan merupakan ikatan yang menjaga kehormatan seseorang dari perbuatan keji (fâhisyah). Para pendidik harus menanamkan kepada para pelajar pentingnya menjaga diri dan kehormatan. Islam memahami kebutuhan biologis manusia, tapi tidak membiarkannya untuk diumbar sembarangan. Sebab tanpa adanya ikatan yang suci hanya akan menimbulkan syubhat garis keturunan sebagaimana yang pernah terjadi pada masa jahiliyyah.
Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits yang menceritakan keberhasilan Rasulullah SAW mendidik seorang pemuda agar tidak rusak nasabnya. Ketika ada seorang pemuda yang ingin berzina, Rasulullah SAW mengajak pemuda tadi berbicara dan memikirkan betapa jahatnya perbuatan zina. Sampai akhirnya pemuda itu insyaf, bertaubat dan tidak ada keinginan lagi untuk melakukan zina.
Selain itu, usaha untuk menjaga keturunan ini bisa dilakukan dengan membatasi pergaulan lawan jenis. Lebih baik jika bisa dipisahkan. Sebab membiarkan mereka bercampur dan bergaul secara bebas berarti membuka lebar pintu maksiat yang lebih besar. Seperti kata Bang Napi, kejahatan bisa terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan, waspadalah! Waspadalah!.
Kelima, pemeliharaan harta (Hifz al-Mâl). Untuk memelihara harta, Islam melarang umatnya mengambil harta orang lain dengan cara yang batil (QS al-Baqarah:188). Setiap orang boleh memiliki harta asalkan diperoleh dengan cara yang benar. Oleh karena itu, para pendidik juga harus membekali para pelajar dengan keterampilan hidup agar bisa memperoleh penghasilan yang halal dan baik.
Perlunya bekal keterampilan agar para pelajar menjadi insan yang kreatif, sukses dan bermanfaat bagi orang lain. Hasil dari usaha tangan sendiri itu penuh berkah. Nabi Daud as makan dari hasil usahanya (HR Bukhari). Bahkan Nabi Muhammad SAW sejak kecil sudah dibekali dan dilatih untuk mengembala domba dan juga berniaga.
Selain bekal keterampilan, para pelajar juga harus dibekali bekal spiritual dalam menjalankan usahanya. Yang paling penting adalah ditanamkan sifat zuhud terhadap dunia. Sehingga jika sudah menjadi orang yang sukses, dunia tidak menetap di hati mereka, tapi hanya disimpan di saku saja. Ketika ada ajakan untuk jihâd bi al-mâl, tangannya tidak merasa berat untuk mengeluarkan sebagian hartanya.
Di zaman modern ini banyak jalan untuk meraih harta yang halal tanpa harus bekerja di luar rumah. Asalkan ada kemauan dan bekal keterampilan yang memadai, insya Allah bisa meraih hasil yang cukup dan berkah. Sosok entrepreneur sukses seperti Abdurrahman ibn ‘Auf dan Khadijah akan lahir kembali di era modern ini. Pengusaha sukses dengan hasil melimpah, zuhud terhadap dunia dan meraih berkah dunia dan akhirat.
Semoga tulisan ini bisa menjadi satu tawaran solusi untuk memperbaiki kondisi pendidikan nasional, dari yang penuh masalah menjadi penuh maslahah.Wallâhu a’lam bis shawâb. 9 Mei 2016
Penulis adalah Mudir Ponpes Shou-Lin Depok