PEMALSUAN HADITS VERSUS OTENTISITAS HADITS

Oleh Ainul Yaqin (peneliti di InPAS)

 

Salah satu kritik yang disampaikan oleh beberapa pihak terkait dengan otentisitas hadits adalah adanya praktik pemalsuan hadits. Kesimpulan yang sering dibuat bahwa banyaknya pemalsuan hadits menyebabkan susah mencari hadits yang otentik sehingga bisa disimpulkan tidak ada hadits yang otentik. Dalam hal ini Ulil dengan mengutip pendapat Abu Rayyah menuliskan:

Imam Bukhari menyuling 2600an hadis yang dianggap valid dari 300 ribuan hadis. Apa yang bisa disimpulkan dari fakta ini? Kata Abu Rayyah: dengan rasio 300.000:2600an, kita bisa mengatakan bahwa hadis pada umumnya adalah palsu atau lemah. Yang valid hanyalah perkecualian saja. Tentu, kita berbicara mengenai era Imam Bukhari. Dengan kata lain, pada zaman itu, betapa pervasif dan luas sekali persebaran hadis-hadis palsu atau minimal lemah. Begitu luasnya persebaran hadis palsu sehingga Abu Rayyah membuat semacam hukum: hadis yang palsu adalah “norm“, sementara hadis yang shahih adalah “exception” (http://ulil.net/).

Tak bisa dipungkiri bahwa dalam perjalanan sejarah memang telah terjadi banyak praktik pemalsuan hadits yang terjadi antara lain karena ulah pendusta. Bahkan praktik dusta itu telah terjadi sejak Rasulullah Saw masih hidup. Hadits Rasulullah Saw yang mengecam para pendusta atas nama Rasulullah menjadi salah satu bukti hal ini. Redaksi haditsnya sebagai berikut:

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah menyiapkan tempat duduknya di neraka”

Hadits tersebut merupakan hadits mutawatir, artinya diriwayatkan oleh banyak orang dari tiap-tiap generasinya. Hadits tersebut telah diriwayatkan oleh tujuh puluh orang lebih sahabat dengan redaksi yang sama (Nurddin Itr, 1988,; h. 405)

Adanya kedustaan sejak masa Nabi Saw tidak berarti bahwa kredibilitas sahabat diragukan, tetapi karena di samping sahabat, terdapat pula orang-orang munafik. Orang-orang inilah yang bisa saja melakukan kedustaan atas nama Nabi SAW. Namun hal yang perlu dicatat bahwa praktek dusta di masa Nabi SAW tidak sampai menimbulkan praktik periwayatan palsu oleh sahabat. Para sahabat akan mengkonfirmasikan kepada Nabi Saw terhadap setiap informasi yang dibawa oleh orang-orang munafik sesuai dengan perintah Al-Qur’an (al-Hujurat [49]: 6).

Praktik dusta dalam arti praktik pemalsuan riwayat hadits terjadi sejak masa fitnah al-kubra yakni sejak terjadi pertentangan antara Ali RA dan Muawiyah. Orang-orang munafik yang menyusup ke pihak masing-masing telah menciptakan statemen-statemen yang diatasnamakan  Rasulullah SAW untuk mendukung kelompoknya masing-masing.

Dr. Mustafa al-Siba’i mencatat bahwa tahun empat puluh hijriyah merupakan batas pemisah antara kemurnian dan kebebasan sunnah dari kebohongan di satu fihak dan adanya praktik kedustaan seperti penambahan, pengurangan, penggantian  serta penciptaan hadits palsu untuk kepentingan politik dan perpecahan Islam di pihak lain (al-Siba’i, tt: h.92).

Secara umum dapat disimpulkan bahwa praktik pemalsuan hadits didorong oleh beberapa hal, ada yang disengaja ada yang tidak. Adapun sebab yang disengaja antara lain: (1) Adanya niatan untuk merusak Islam yang dilakukan oleh orang-orang Zindik seperti yang dilakukan oleh al-Tsalji. Sebagaimana disampaikan oleh al-Baihaqi, al- Tsalji banyak menulis hadits-hadits palsu yang disandarkannya pada sahabat; (2) Upaya pembelaan terhadap aliran politik, hal ini antara lain banyak dilakukan oleh orang-orang Rafidlah; (3) Pembelaan terhadap aliran keagamaan; (4) Pembelaan terhadap aliran geografis untuk melebihkan geografis tertentu dari lainnya; (5) Keinginan mendekati penguasa; (6) Motif mencari massa; (7) Untuk kepentingan al-targhib wa al-tarhib (usaha untuk membuat orang menyukai kebaikan dan takut melakukan kejahatan). (Shalahuddin al-Adlabi, 1983: h. 50-56). 

Pemalsuan hadits untuk kepentingan al-targhib wa al-tarhib banyak dilakukan oleh orang-orang sufi yang kurang ilmu. Karena ketidaktahuannya mereka tidak memahami larangan berdusta atas nama Nabi SAW. Mereka bermaksud baik ingin memotivasi orang untuk beribadah atau menakut-nakuti orang agar tidak berbuat maksiat, kemudian menciptakan seruan-seruan yang dinisbahkan pada Nabi SAW. Mereka mengira yang dilakukannya adalah kebaikan padahal justru dapat merusak sendi dasar Islam.

Hadits palsu yang termasuk kelompok ini banyak sekali di antaranya hadits-hadits tentang anjuran untuk beramal di bulan Rajab termasuk puasa di dalamnya, ternyata banyak yang merupakan hadits palsu. Tentang hadits-hadits Rajab dapat diperiksa pula al-La’ali al-Mashnu’ah li al-Suyuthi Juz II h. 114-117.  Salah satu contoh:

من احيا ليلة من رجب وصام يوما اطعمه الله من ثمار الجنة ….

“Barang siapa yang menghidupkan satu malam dari bulan Rajab serta puasa di siang harinya Allah akan memberi makan dari buah surga…”

Hadits tersebut dinilai palsu dengan perawi tertuduh Hushain bin Mukhariq (al-La’ali al-Mashnu’ah li al-Suyuthi Juz II h. 117 dan al-Maudlu’at li Ibn al-Jauzi II h. 208).

          Contoh lain yang juga termasuk اhadits palsu kategori ini:

من قال لااله الا الله خلق الله من كل كلمة طيرا منقاره من ذهب وريشه من مرجان

“Barang siapa mengucapkan Laailaaha ila Allah untuk tiap-tiap kata yang diucapkan  Allah akan menciptakan seekor burung yang paruhnya dari emas dan sayapnya dari marjan” (lihat al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islam hal 103).

Adanya banyak hadits palsu, tidak berarti bahwa semua hadits yang ada palsu dan tidak berarti pula bahwa semua hadits tidak otentik sehingga tidak bisa digunakan sebagai pedoman. Kesimpulan yang menyatakan bahwa kedudukan al-hadits sebagai sumber hukum dipertanyakan dengan alasan banyak hadits yang dipalsukan adalah kesimpulan yang paralogis, artinya sebenarnya merupakan generalisasi yang tidak logis tapi terkesan logis. Hal ini karena walaupun telah terjadi banyak praktik pemalsuan, eksistensi hadits shahih masih dapat terlacak secara ilmiyah dan meyakinkan. Para ulama telah menempuh berbagai upaya untuk memelihara kemurnian hadits serta membersihkan hadits dari praktik pemalsuan ini.  Bahkan upaya ini secara dini telah dilakukan oleh generasi awal yakni para sahabat. Abdullah Ibnu Abbas misalnya, sangat berhati-hati dalam menerima hadits.  Sikap hati-hati ini merupakan sikap yang pertama-tama dilakukan oleh para ulama yang menunjukkan sikap selektif mereka untuk menangkal peredaran hadits palsu. Ibnu Abbas pernah didatangi Busyair al-Adawi seraya mengatakan; “Rasulullah bersabda”. Ibnu Abbas spontan melarang Busyair melanjutkan. Maka Busyair pun bertanya, wahai Ibnu Abbas mengapa engkau tidak berkenan menerima hadits. Beliau menjawab:

إِنَّا كُنَّا مَرَّةً إِذَا سَمِعْنَا رَجُلًا يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ابْتَدَرَتْهُ أَبْصَارُنَا وَأَصْغَيْنَا إِلَيْهِ بِآذَانِنَا فَلَمَّا رَكِبَ النَّاسُ الصَّعْبَ وَالذَّلُولَ لَمْ نَأْخُذْ مِنَ النَّاسِ إِلَّا مَا نَعْرِفُ

“Sesungguhnya kami sekali mendengar seseorang mengatakan ‘telah bersabda Rasulullah Saw, mata kami terbuka dan kami mendengarkan dengan telinga secara seksama, namun ketika manusia telah tertimpa kerumitan dan  mengalami degradasi, maka kami tidak menerima riwayat dari seseorang selain yang kami ketahui” (Shahih Muslim, 2006, jilid I h. 7)

Muawiyah Ibnu Abi Sufyan yang disebut-sebut termasuk orang yang terlibat konflik dalam tragedi fitnah al-Kubra ternyata juga mempunyai sikap yang sama seperti yang dilakukan oleh Ibnu Abbas. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim, beliau menyatakan:

إِيَّاكُمْ وَأَحَادِيثَ إِلَّا حَدِيثًا كَانَ فِي عَهْدِ عُمَرَ فَإِنَّ عُمَرَ كَانَ يُخِيفُ النَّاسَ فِي اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Berhati-hatilah kalian dengan hadits kecuali hadits yang telah beredar di masa Umar, karena sesungguhnya Umar adalah orang yang selalu memperingatkan kaumnya untuk senantiasa takut kepada Allah Azza wa Jalla” (HR Muslim, 2006); Jilid I/hal. 458).

Pada periode berikutnya muncul berbagai upaya untuk merumuskan kaidah-kaidah untuk memelihara kemurnian hadits dan menangkal peredaran hadits-hadits palsu antara lain kaidah untuk mengelompokkan hadits antara yang diterima (maqbul) dan yang ditolak (mardud). Hadits-hadits yang diterima harus memenuhi kriteria perawinya tsiqah, sanadnya bersambung (muttashil) serta tidak mengandung illat (cacat) maupun syadz (unsur yang meragukan). Dari sini muncul istilah hadits shahih, hasan, shahih lighairi, dan hasan lighairi dengan berbagai kriteria masing-masing, yang kesemuanya termasuk hadits maqbul. Kemudian di sisi lain ada hadits dhaif dengan berbagai tingkatan, hadits matruk, serta maudlu yang merupakan hadits mardud.

Untuk dapat menetapkan hadits maqbul atau tidak, melahirkan metode kajian tentang verifikasi sanad. Kaidah verifikasi sanad merupakan kaidah paling awal dalam tradisi penelusuran riwayat hadits. Dalam kaitannya verifikasi sanad, lahir berbagai disiplin kajian yang menjadi penyangganya antara lain kajian tentang sejarah para rawi yang mengungkap tahun kelahirannya, tahun wafatnya,  asal daerahnya, berbagai peristiwa yang berkaitan dengan para rawi termasuk tentang kepribadiannya. Juga masuk dalam kajian sejarah adalah kajian tentang thabaqat (tingkatan) para rawi, apakah dia termasuk generasi sahabat, tabi’in atau atbaa’ al-tabi’in.  Untuk menghindari kerancuan nama, muncul pula kajian verifikasi nama para rawi maupun nama yang disebut dalam teks, verifikasi gelar, nama panggilan, asal daerah, dan sebagainya. Selain itu ilmu yang penting untuk mengungkap dan menilai kepribadian para rawi adalah ilmu jarh wa ta’dil. (Istilah jarh diartikan sebagai mengungkap sifat-sifat tercela dari seorang rawi yang menyebabkan ia dipandang cacat dari sisi keadilan atau ke dlabithannya. Sebaliknya ta’dil adalah menilai atas sisi-sisi positif dari rawi sehingga ia dinyatakan adil atau dlabth).

Di samping verifikasi sanad, juga dikembangkan verifikasi matan, disebut juga kritik matan atau kritik internal. Hal ini karena sebuah hadits dinyatakan shahih harus memenuhi kriteria shahih secara sanad dan matan. Artinya dari sisi sanadnya bersambung (muttashil) dan rawinya  tsiqah. Di sisi lain, matannya tidak mengandung illat maupun syadz. Demikian juga para ahli hadits juga menetapkan kaidah penilaian matan, bahwa dari sisi matan ini tidak ada kejanggalan redaksi, sehingga hadits yang redaksinya janggal patut dicurigai palsu. Kandungan hadits tidak  bertentangan dengan nash al-Qur’an yang pertentangannya tidak mungkin dikompromikan karena secara akal tidak mungkin Rasulullah Saw menyampaikan pesan yang bertentangan dengan al-Qur’an, sehingga bila ada riwayat hadits yang bertentangan dengan al-Qur’an dengan pertentangan yang nyata dan tidak bisa dikompromikan maka patut dicurigai palsu. Berikutnya, makna hadits tidak mempelihatkan kesejajaran dengan kepentingan golongan tertentu yang dianut oleh perawinya misalnya hadits-hadits tentang ahlu al-Bait yang disampaikan oleh orang-orang Rafidlah patut dicurigai. Hal yang juga menjadi perhatian adalah adanya kekacauan makna yang secara nyata bertentangan dengan nalar akal sehat (common sense). Yang seperti ini patut dicurigai sebagai palsu. Sebagai contoh adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Nasa’i berikut:

 جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ عِنْدِي امْرَأَةً هِيَ مِنْ أَحَبِّ النَّاسِ إِلَيَّ وَهِيَ لَا تَمْنَعُ يَدَ لَامِسٍ قَالَ طَلِّقْهَا قَالَ لَا أَصْبِرُ عَنْهَا قَالَ اسْتَمْتِعْ بِهَا 

Telah datang kepada Rasulullah Saw, ia berkata; ‘Sesungguhnya aku mempunyai istri yang termasuk orang yang paling aku cintai, tetapi ia tidak menolak orang lain menyentuh tangannya’. Maka Rasulullah bersabda; ‘ceraikanlah dia’, laki-laki itu menjawab; ‘saya tak mampu berpisah darinya’. Rasul bersabda; ‘Bersenang-senanglah dengannya. (HR al-Nasa’i dalam Sunan al-Nasa’i hal 500, kitab al-Nikah bab tazwij al-zaniyah hadits No. 3229).

Imam Ahmad Ibn Hanbal menyebut hadits ini tidak mungkin berasal dari Rasul SAW sehingga Imam Ibnu al-Jauzi memasukkan hadits ini ke dalam al-Maudlu’at (al-Maudlu’at li Ibn al-Jauzi II h. 272). Hal yang janggal dari hadist ini bahwa Rasulullah Saw menyuruh orang untuk membiarkan mempunyai istri lacur (yang dalam bahasa halus tidak menolak disentuh tangannya oleh laki-laki lain). Secara akal hal ini jelas tidak masuk akal karena bertentangan dengan kaidah kebenaran umum. Karena itulah hadits ini dari sisi matannya dicurigai sebagai palsu sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ibnu al-Jauzi. Apa yang dilakukan oleh Ibn al-Jauzi dengan Imam Ahmad ini merupakan contoh saja bahwa yang dilakukan oleh para ulama tidak semata-mata menguji aspek eksternal (sanad) tetapi juga uji internal (matan).

Hal lain yang juga dilakukan oleh para ulama untuk menangkal peredaran hadits palsu adalah mengumpulkan hadits-hadits yang dicurigai palsu. Upaya ini dilakukan untuk mengisolasi hadits-hadits palsu agar mudah terdeteksi sehingga tidak menjerumuskan kaum muslimin dalam kesesatan. Dari sini bisa ditemui kitab-kitab yang secara khusus mengumpulkan hadits-hadits palsu antara lain; al-Maudlu’at karya Imam Ibnu al-Jauz, al-La’ali al-Mashnuah fi al-Ahadits al-Maudlu’ah karya al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi, Tanzih al-Syari’ah al-Marfu’ah an al- Akhbar al-Syaniyah al-Maudlu’ah karya Ibn Araq al-Kannani, dan sebagainya.

Sikap yang ditunjukkan oleh para ulama khususnya para ahli hadits dalam memelihara kemurnian hadits adalah sikap kehati-hatian. Mereka sangat berhati-hati dan tidak akan gegabah menyebut sesuatu sebagai hadits walaupun secara makna benar kecuali ada sanad yang bisa dipertanggungjawabkan dan secara meyakinkan tidak ada cacat maupun keraguan (syadz). Dalam konteks ini sering dijumpai teks-teks yang terkesan sebagai hadits, tetapi tidak bisa disebut hadits, bisa karena terang kepalsuannya atau karena tidak ditemui sanadnya yang jelas. Dalam menyikapi seperti ini para ulama ada yang menyebut langsung sebagai palsu, ada yang secara halus mengatakan tidak ditemukan sanad yang sah (bisa dipertanggungjawabkan). Sebagai contoh:

اطلبوا العلم ولو بالصين

 Carilah Ilmu walaupun sampai ke negeri Cina

Hadits ini sangat terkenal di masyarakat (masyhur fi alsinati al-nas), tetapi dalam pandangan ahli hadits termasuk bermasalah. Ibnu Hibban menyatakan bathil tidak jelas asal usulnya, dan Ibn al-Jauzi menghukumi palsu, sementara Imam al-Hakim menyebut sanadnya tidak sah (Ibn al-Jauzi, 1966; Juz II/hal. 216, al-Suyuthi, Juz I/hal 193-194, Muhammad bin Darwisy al-Huut, 1991; hal. 89).

          Contoh lain:

 الدنيا مزرعة الاخرة

Dunia adalah ladang Akhirat

Hadits ini dikutip oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya. Di kalangan ahli hadits, hadits ini termasuk hadits bermasalah walaupun menurut al-Qariy secara makna benar (al-Ajluni, 1351H; juz I/h. 412). Al-Sakhawi secara halus menolak hadits ini dengan mengatakan; ‘Aku tidak mengetahui sanadnya (Muhammad bin Darwisy al-Huut, 1991; h. 214). Al-Hafidz al-Iraqi memberi komentar dalam takhrijnya, ‘aku tidak menjumpai lafadz ini secara marfu’ (takhrij al-Iraqi atas Ihya dalam al-Ghazali, 2005; Juz IV/27).

Demikianlah upaya-upaya yang dilakukan oleh para ulama dalam membela al-hadits. Mereka telah melakukan kerja keras untuk membentengi al-hadits dari pencemaran. Karena itu tidak beralasan ketika disimpulkan bahwa hadits tidak otentik karena banyak yang dipalsukan, karena berkat jerih payah para ulama hadits-hadits yang maqbul bisa ditelusuri secara ilmiyah dan dipisah secara jelas dari yang lemah dan lebih-lebih lagi yang palsu.

Hal lain yang perlu juga diklarifikasi adalah pernyataan yang mengatakan bahwa Imam Bukhari menyuling 2600an hadis yang dianggap valid dari 300ribuan hadits. Sehingga disimpulkan bahwa hadits pada umumnya adalah palsu atau lemah dan yang valid hanyalah perkecualian saja.

Perlu difahami bahwa sebuah riwayat hadits memuat dua komponen yaitu komponen sanad dan komponen matan. Riwayat hadits yang shahih harus memenuhi kriteria shahih secara sanad maupun matan. Realitasnya bisa saja terdapat riwayat hadits yang sanadnya shahih karena telah memenuhi kriteria muttashil dan parawinya tsiqah, namun matannya tidak sahih karena mengandung syadz atau illat.  Sebaliknya, bisa juga sebuah riwayat hadits tidak shahih sanadnya tetapi matannya shahih karena terdapat riwayat lain dengan matan yang sama yang berderajat shahih. Hal ini terjadi bisa karena seorang rawi yang tidak memenuhi kriteria dlabth meriwayatkan hadits, maka hadits yang diriwayatkan berstatus dha’if, sementara hadits dengan matan yang sama juga diriwayatkan oleh rawi lain yang tsiqah dan dlabth sehingga dinyatakah shahih. Bisa juga terdapat riwayat yang sanadnya terputus sehingga dihukumi dha’if, namun di sisi lain ada riwayat dengan matan yang sama dengan sanad bersambung sehingga dihukumi shahih. Dalam konteks inilah bisa difahami apa yang dilakukan oleh Al-Bukhari. Beliau melakukan penelaahan dan pemilahan terhadap riwayat-riwayat yang bermacam-macam. Dalam hal ini bisa saja terdapat riwayat-riwayat dengan matan yang sama dengan status shahih tetapi dengan status sanad yang berbeda yang satu shahih dan yang lain status dhaif. Bisa saja sebuah riwayat yang shahih diikuti riwayat-riwayat yang jumlahnya banyak dengan matan yang sama tetapi tidak shahih sanadnya, mungkin karena terputus atau rawinya tidak tsiqah. Dalam konteks ini al-Bukhari menyeleksi dan mengambil hadits-hadits yang mempunyai sanad yang shahih saja sesuai dengan kitab yang beliau susun al-jami’ al-shahih.

Wallahu a’lam bi al-shawab. []

 

 

***

 

Daftar Pustaka

Adabi-al, Shalahuddin bin Ahmad; 1983, Manhaj Naqd al-Matni Inda Ulama al-Hadits al-Nabawi, Dar al-Afaq al-Jadidah, Bairut

Ajluni-al, Islamil bin Muhammad; 1391H, Kasyf al-Khafa wa Muziilu al-ilbas,  Dar Ihya al-Turats, al-Arabi, Bairut Cet III.

Bukhari-al, al-Imam; 2008, al-Jami’ al-Shahih, Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyah, Riyadl

Ghazali-al, al-Imam Abu Hamid; 2005, Ihya Ulum al-Diin, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut.

Huut-al, Muhammad bin Darwisy; 1991, Asna al-Mathalib fi Ahadits Mukhtalifah al-Maratib, Dar al-Fikr, Bairut.

Ibn al-Jauzi, al-Imam Abu al-Farj Abdurahman bin Ali; 1966, al-Maudlu’at, al-Maktabah al-Salafiyyah, Madinah

Ibn Majah, al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini; 1998, Sunan Ibn Majah, Dar al-Jail, Bairut

Itr, Nuruddin; 1988, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits,  Dar al-Fikr, Bairut

Muslim, al-Imam; 2006,  Shahih Muslim, Dar Thaibah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, Riyadl

Nasa’i-al, al-Imam Abu Abdirrahman Ahmad bin Syuaib; tt, Sunan al-Nasa’i, Maktabah al-Ma’arif, Riyadl

Nawawi-al, Imam; 1930, Syarh Shahih Muslim, al-Mathba’ah al-Mishriyah bi al-Azhar

Siba’i-al, Musthafa; tt, al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islam, al-Maktab al-Islami Dar al-Waraaq

Suyuthi-al, al-Imam Jalaluddin Abu Abdirrahman; tt, al-La’ali al-Mashnu’ah fi al-Ahadits al-Maudlu’ah, Dar al-Ma’rifah, Bairut, libanon

Tirmidzi-al, al-Imam; 1975, Sunan al-Tirmidzi, Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, Cairo, Mesir

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *