Oleh : M. Anwar Djaelani, penulis buku Ulama Kritis Berjejak Manis dan sebelas judul lainnya
inpasonline.com – Renungkanlah ayat ini: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’.” (QS Fushshilat [41]: 33).
Ayat di atas, kata Hamka, bersifat pertanyaan tetapi pertanyaan yang mafhumnya sendiri telah memberikan jawabannya yaitu bahwa tidaklah ada orang yang lebih baik kalau dia berkata melainkan perkataan yang berisi dakwah, berisi seruan yang menginsafkan manusia agar berjalan di atas jalan yang telah digariskan oleh Allah. Apatah lagi kalau ucapan atau perkataan itu diiringinya pula dengan amalan yang shalih, perbuatan yang baik, jasa yang besar, manfaat untuk sesama anak Adam (2007: 6467).
Tak ada yang lebih dari “perkataan yang berisi dakwah”, kata Hamka bersandar kepada QS Fushshilat [41]: 33. Dengan demikian, seyogyanya segenap umat Islam harus menjadi Pecinta Dakwah. Lebih lugas lagi, sesuai kapasitas masing-masing, seluruh kaum Muslimin harus berperan sebagai pelaku dakwah alias pendakwah.
Jihad dan Sabar
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat” (QS Al-Baqarah [2]: 214).
Perhatikan ayat di atas. Bahwa, untuk masuk surga akan ada berbagai ujian atau cobaan yang harus kita hadapi. Berbagai ujian yang bisa mengguncang jiwa itu, juga menimpa orang-orang terdahulu.
Atas semua ujian atau cobaan, jangan gampang merajuk. Jangan mudah menyerah. Tetaplah berada di jalan jihad dan teguhlah dalam bersikap sabar. Perhatikan ayat ini: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar” (QS Ali ‘Imraan [3]: 142).
Sabar, ke Mana?
Wabah penyakit menular terjadi di masa lalu dan bisa kapan pun. Saat kita dikurung situasi tak nyaman akibat wabah, seperti Covid-19 misalnya, itulah musibah. Untuk itu kita harus menghadapinya dengan sabar dan disertai usaha mengatasinya. Juga, berupaya mengambil pelajaran.
Di antara cara mencegah meluasnya wabah penyakit, dengan lockdown. Istilah ini kita ingat, saat dulu menjadi salah satu usaha menahan penyebaran Covid-19. Intinya, lockdown adalah mengunci seluruh akses masuk maupun keluar dari suatu daerah atau negara.
Lockdown adalah protokol darurat yang digunakan untuk mencegah orang-orang meninggalkan atau masuk area tertentu. Kebijakan ini dibuat oleh pejabat yang berwenang dan merupakan perintah resmi karena adanya situasi berbahaya.
Lockdown yang bermakna sebagai karantina wilayah agar tidak ada perpindahan orang (baik masuk maupun keluar) di sebuah wilayah tentu punya banyak implikasi. Misalnya, pergerakan manusia akan melambat. Manusia akan mengurangi mobilitasnya.
Terkait ini, adakah pelajaran dari “gelap” karena lockdown? Perhatikan ayat ini: “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan” (QS Al-Hasyr [59]: 2).
Kita lalu ingat Nabi Yunus As, yang pernah merasakan tiga lapis kegelapan yang teramat pekat yaitu: Gelap di dalam perut ikan, gelap di kedalaman laut, dan gelap di malam hari. Tapi, apa gerangan yang menimpa Yunus As?
Mari renungkan ayat ini: “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya). Maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: ‘Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang dzalim’.” (QS Al-Anbiyaa’ [21]: 87).
Yunus As seorang Nabi. Setelah lama berdakwah, tak ada tanda-tanda berhasil. Umatnya kokoh dalam kekafiran. Dia kecewa, bahkan marah. Lalu, tanpa memohon petunjuk Allah, dia mengambil keputusan ekstrim: Pergi ke wilayah lain.
Berjalanlah Yunus As dan sampai ke sebuah pelabuhan. Kepada sebuah kapal yang siap berangkat, Yunus As menumpang. Saat di tengah laut, ombak bergulung-gulung dahsyat dan kapal yang sarat muatan itu terasa akan karam. Nakhoda kapal memerintahkan membuang barang-barang yang berat. Langkah itu tak cukup berhasil. Berikutnya, penumpang harus dikurangi dengan cara diundi. Hasilnya, Yunus As harus melompat ke laut.
Di momentum ini, sadarlah Yunus As. Bahwa Allah sedang menegur dia atas keputusan yang salah, yaitu meninggalkan kaumnya. Berdasar hal itu, dengan penuh tanggung-jawab, dia langsung melompat ke laut. Selesai-kah urusan?
Di laut, dia langsung ditelan seekor ikan yang besar. Ikan itu tak menggigitnya. Meski sangat gelap dia “aman” di dalam perut ikan, sebuah situasi yang memungkinnya sebagai orang beriman untuk makin menyadari bahwa inilah cara Allah mengingatkan dia. Inilah jalan Allah dalam memberikan pelajaran kepadanya, lewat sebuah ujian yang tak ringan: “Lockdown”, terkunci di kegelapan.
Tiga hari tiga malam dalam kegelapan, Yunus As merenung. Dia mengaku salah, pergi meninggalkan tugas dan tanggung-jawab. Sebagai orang beriman, Yunus As lalu bertobat. Dia memohon ampun kepada Allah.
Tobat Yunus As diterima. Si ikan besar lalu menepi ke pantai dan mengeluarkan Yunus As. Setelah sehat, Yunus As kembali berdakwah dan kali ini disambut positif oleh kaumnya. Perhatikanlah ayat ini: “Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman” (QS Al-Anbiyaa’ [21]: 88).
Sabar, Sabar!
Mari renungkan ayat ini, tentang Yunus As yang marah karena merasa dakwahnya tak berhasil. “Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu seperti orang yang berada dalam (perut) ikan ketika ia berdoa sedang ia dalam keadaan marah (kepada kaumnya)” (QS Al-Qalam [68]: 48).
Saat memberi ulasan atas ayat itu di Tafsir Al-Azhar, Hamka menyampaikan: “Jangan gelisah dan jangan merajuk mentang-mentang mereka tidak suka menerima seruan kebenaran itu”. Yunus As marah “Oleh karena kaumnya tidak memperdulikan seruan kebenaran yang dibawanya. Dia pun merajuk lalu meninggalkan kampung halamannya dan meninggalkan tugasnya hendak berlayar ke negeri lain,” tulis Hamka.
Mestinya, lanjut Hamka, “Dia telah mati. Namun Tuhan masih menolong dia. Maka di saat itulah dia menyesali diri dan mengakui bahwa jalan yang ditempuhnya itu adalah suatu kesalahan” (2003: 7593).
Di saat itulah Yunus As mengembalikan ingatannya kepada Allah. Dia pun berdoa “Laa ilaaha illaa Anta. Subhaana-Ka, innii kuntu minadz-dzoolimiin” (Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang dzalim).
Sekali lagi, perhatikan ayat ini: “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: ‘Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang dzalim’.” (QS Al-Anbiya’ [21]: 87).
Yunus As bertobat. Dia mengaku salah. Dia mengumpulkan kembali seluruh ingatannya kepada Allah. Maka permohonannya dikabulkan Allah. Dia pun dilepaskan Allah dari malapetaka itu. Hal ini karena Allah selalu menyelamatkan orang-orang yang beriman. Perhatikan ayat ini: “Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman” (QS Al-Anbiya’ [21]: 88).
Jalan Itu
Mari, persering menunduk, terutama di saat sulit. Lalu, di tengah-tengah “kegelapan”, jadilah Yunus As yang dengan sepenuh hati bertobat: “Laa ilaaha illaa Anta. Subhaana-Ka, innii kuntu minadz-dzoolimiin” (Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang dzalim). Semoga dengan cara itu, bersama ikhtiar lainnya, Allah segera memberikan jalan keluar.
Duhai semua pecinta dakwah, terutama kepada para pendakwah, selalu ingat-ingatlah nasihat Hamka ini: “Jangan gelisah dan jangan merajuk, mentang-mentang mereka tidak suka menerima seruan kebenaran” yang kita sampaikan. Teruslah berjuang, istiqomah-lah di jalan dakwah! []