Acara Dialog dan Tabayyun tersebut dilaksanakan demi mencari kebenaran, seperti yang diterangkan oleh KH. Abdurrahman Navis, M.H.I, yang saat itu didapuk sebagai moderator. Dihadiri oleh sejumlah pengurus serta kader NU Jatim, serta para peminat kajian pemikiran Islam, ada dua poin utama yang menjadi tema dialog adalah (1) Kebebasan beragama dan pluralisme, (2) Desakralisasi Al-Qur’an. Kedua poin utama tersebut diangkat guna meluruskan penyimpangan pemikiran dari Ulil Abshar Abdalla dan teman-temannya di JIL. Dimulai dari tulisan yang dibuat oleh Ulil Abshar Abdalla panda tanggal 18 November 2002 yang dimuat di harian Kompas berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”. “Kalangan Nahdliyin merasa terusik dengan pemikiran-pemikiran yang kerap dlontarkan oleh Gus Ulil terlebih lagi ketika menempatkan Gus Ulil sebagai bagian dari komunitas NU”, jelas Gus A’ab.

Lebih lanjut Gus A’ab menjelaskan, bahwa terdapat asumsi-asumsi di kalangan NU ketika mendengar beberapa lontaran ide-ide Ulil. Rupanya kalangan Nahdliyin merasa terganggu dan terusik. Ada yang memvonisnya fasik bahkan kalangan ulama Jawa Barat memberikan vonis halal darahnya (Ulil Abshar, red). Oleh karena itulah Forum Kiai Muda Jatim melakukan tabayyun. Tabayyun ini tentunya tidak berangkat dari sesuatu yang kosong, bukan hanya sekedar informasi, tapi didasarkan pada bacaan atau pemahaman terhadap tulisan-tulisan Ulil sendiri, diantaranya tulisan dalam buku ‘Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam’ yang dimuat di media massa selama beberapa episode. Dari situ ada beberapa catatan yang butuh klarifikasi. Sebuah produk pemikiran, apabila akan dijadikan sebagai bagian dari pemikiran Islam, maka harus didasarkan kepada dalil-dalil yang diakui keabsahannya oleh mayoritas umat Islam sendiri. Yang dianggap sebagai dasar yg disepakati oleh mayoritas umat Islam. Demikian juga dalam kapasitas Ulil sebagai aktivis NU, tentu produk-produk pemikiran yang dilontarkan juga tidak bisa lepas dari koridor-koridor yg telah ditetapkan oleh NU. Aturan-aturan itu sering ditabrak oleh Ulil ketika dia melepaskan pemikirannya dari pemikiran Islam dan identitasnya sebagai aktivis NU masih melekat. Hal ini tentunya tidak bisa diabaikan begitu saja

Dalam banyak tulisannya, Ulil menganggap kebebasan beragama adalah kebebasan yang sebebas-bebasnya. Memilih agama bagai memilih baju di toko. Jika suka baju merah ya baju merah dipakai, dan kalau suka baju kuning, ya baju kuning dipakai. Ketika seseorang sudah masuk Islam, maka dia harus mengikuti aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Islam. Sesuai dengan pemahaman NU, kebebasan bergama adalah bukan kebebasan yang sebebas-bebasnya, tapi pilihan yg beresiko, sesuai dengan Q.S. Al-Baqarah ayat 256. Oleh karena itu orang yang menggunakan fitrahnya secara benar, maka fitrah itu bisa menerima kebenaran, dan dia tidak bisa mengelak menerima Islam sebagai satu-satunya agama yang benar. Memang, jika agama dipaksakan, maka akan berujung kemunafikan, tapi ketika dia tidak menerima fitrahnya itu, maka dia akan dimasukkan ke dalam neraka. Jadi, kebebasan ini adalah kebebasan yang berkonsekuensi atau beresiko. Dalam memahami Islam, kita harus mengikuti aturan-aturan main dalam Islam. Menurut pemahaman NU, Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Tetapi keyakinan NU bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar, tidak menghalangi NU untuk bertoleransi terhadap penganut agama lain sebatas hal-hal yang bersifat muamalah. “Jadi jangan pernah mengaggap semua agama benar. Kita harus tetap meyakini Islam itu yang benar tanpa harus menafikan kebenaran agama lain sesuai yang diyakini pemeluknya. Dan kita sebagai pemeluk Islam, tidak membenarkan keyakinan agama lain. Jika menganggap semua agama itu benar, maka kita dipaksa mengakui keyakinan agama lain dan hal itu tidak dibenarkan” tukas Gus A’ab.

Sebuah kejadian unik terjadi, ketika salah seorang hadirin bertanya kepada Ulil, “Darimana JIL memperoleh dana? Jangan cuma Saifuddin Zuhri (tersangka aksi terorisme) dan kawan-kawannya saja yang diobok-obok, dicari sumber dana mereka darimana, sementara JIL kok tidak pernah diselidiki darimana sumber dananya?!?”. Mendengar pertanyaan ini, Ulil kontan bereaksi keras. Dengan wajah memerah, Ulil menegaskan, bahwa di era globalisasi seperti sekarang, menerima dana dari founding-founding Amerika itu biasa dan banyak organisasi lain yang menerima bantuan dari Amerika.

Kemudian mengenai desakralisasi Al-Qur’an yang dilontarkan oleh Ulil Abshar dan teman-temannya di JIL, Gus A’ab menyatakan secara tegas bahwa dalam memahami Al-Qur’an ada caranya, ada metodenya. Metode memahami Al-Qur’an tidak lepas dari pemahaman terhadap bahasa Arab, tafsir ayat maupun hadits. Ulil Abshar menyatakan bahwa Al-Qur’an perlu catatan kaki, pandangannya ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam. “Ketika Al-Qur’an harus diberi catatan kaki, lalu Al-Qur’an harus bermanifes (merujuk) kemana Al-Qur’an itu? Padahal Al-Qur’an adalah firman Allah, yang kita yakini pasti benar, termasuk cerita-cerita yang dimuat dalam Al-Qur’an yang kesemuanya merupakan fakta yang tidak boleh diragukan kebenarannya,” imbuh Gus A’ab. Ustadz Idrus Romli (salah satu tim Bahtsul Masail NU Jember, red) yang saat itu mendampingi Gus A’ab menyatakan bahwa keraguan Ulil terhadap kebenaran kisah-kisah dalam Al-Qur’an itu sangat bermasalah dan menyimpang dari ajaran Islam. “Bahkan seseorang yang membuat hadits maudhu’ (hadits palsu) saja hukumannya neraka, apalagi ragu terhadap kebenaran Al-Qur’an,” tegas ustadz Idrus Romli.

Gus A’ab (Drs. Abdullah Syamsul Arifin, M.H.I) adalah juru bicara Forum Kiai Muda Jawa Timur. Beliau merupakan Ketua Tim LBM (Lembaga Bahtsul Masail) NU Jember, salah seorang Wakil Katib Syuriah PWNU Jatim, sekaligus dosen STAIN Jember.

Di sisi lain, ketegasan Gus A’ab agar Ulil Abshar tidak menisbatkan lontaran pemikiran-pemikirannya kepada Islam dan NU, mampu membuat Ulil kian terpojok, setelah sebelumnya Ulil tidak mampu menjawab lontaran-lontaran pertanyaan dari Gus A’ab. Terlebih lagi hadirin banyak yang berteriak marah ketika Ulil lagi-lagi menghidari pernyataannya sendiri di berbagai tulisannya. Padahal, Forum Kiai Muda Jatim membawa segepok foto copy tulisan Ulil yang berisi pemikiran  kontroversial itu. Di akhir dialog, Maman Imanulhaq, anggota AKKB yang mendampingi Ulil sempat angkat bicara, menyelamatkan Ulil dari isu mengeluarkan Ulil dari NU, mengingat saat ini Ulil tengah mencalonkan diri menjadi the next leader for PBNU.

Dalam kesempatan ini, beliau (Gus A’ab, red) juga memberi peringatan kepada Ulil agar tidak melakukan ketidakjujuran intelektual dengan mengambil pemikiran ulama untuk menjustifikasi pemikirannya, namun tidak menyajikan secara lengkap kutipan pemikiran ulama tersebut, sehingga menimbulkan kesalahpahaman, bahkan sesat pikir di kalangan awam. Pelanggaran etika ini akademis semacam  ini sering sekali dilakukan oleh Ulil dan teman-teman JIL-nya.

Saat Gus Ali Masyhuri ditanya, apakah acara Dialog dan Tabayyun ini diadakan sebagai sinyal dukungan Gus Ali kepada Ulil, beliau menjawab, “Saya sebagai ortu, tidak ada dukung-mendukung. Kalo sekedar mencalonkan diri menjadi Ketua PBNU, siapa saja boleh. Tetapi kita tetap mengacu kepada beberapa kriteria. Pertama, harus punya aqidah yang jelas. Kedua, punya keilmuan yg memadai. Ketiga, punya militansi. Keempat, independensi. Tidak ada intervensi dari kekuatan manapun. Kelima, mampu tampil menjadikan akhlakul karimah menjadi panglima dalam kehidupan sehari-hari. Saya tegaskan sekali lagi, tidak ada dukung-mendukung! NU harus dipimpin oleh siapapun yang memenuhi lima kriteria tadi”. (kar)

 

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *