Negara-Negara Adidaya di Bidang Ilmu Pengetahuan

Written by | Nasional

Berdasarkan kuantitas serta kualitas paper ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional, negara mana saja yang tergolong adidaya di bidang ilmu pengetahuan? Data dari The New York Times Syndicate mengungkapkan, negara-negara yang dianggap adidaya di bidang ilmu pengetahuan selama ini adalah Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Namun negara-negara tersebut kini punya sejumlah kompetitor baru. Yang paling menonjol adalah China. Meskipun sulit menentukan negara mana saja yang bisa bergabung dalam kelompok negara adidaya tersebut, tercatat sejumlah calon.

Kajian terbaru Akademi Sains Nasional Inggris, The Royal Society, menilai, China sebagai pemain baru di bidang penelitian ilmiah dan pengembangan. Kajian itu juga mencatat pemain-pemain baru lainnya yang terus bermunculan, di antaranya Brasil, India, Iran, Qatar, Tunisia, Turki, dan Singapura.

Kajian itu membuat peringkat berdasarkan banyaknya publikasi ilmiah yang dihasilkan setiap negara selama dua periode, yaitu 1993-2003 dan 2004-2008. Hasilnya, AS masih tetap memimpin, tetapi jumlah publikasi ilmiahnya anjlok dari 26 persen menjadi 21 persen.

Peringkat China terus meningkat, dari posisi keenam menjadi posisi kedua dengan kontribusi sekitar 10,2 persen secara global. Inggris tetap bertahan di posisi ketiga dengan 6,5 persen, sedikit turun dari 7 persen dalam kajian sebelumnya.

Penggunaan kutipan ilmiah juga menjadi salah satu faktor untuk menentukan jumlah aktivitas ilmiah di sebuah negara. AS dan Inggris tetap memimpin di kategori ini, diikuti Brasil, China, dan India.

Iran merupakan negara yang sangat cepat perkembangannya dalam hal publikasi ilmiah. Jika pada 1996 jumlah publikasi ilmiah hanya 736, jumlah itu meningkat menjadi 13.200 pada 2008.

Anehnya, data dari The New York Times Syndicate ini tidak menyebutkan Korea Selatan sebagai salah satu negara adidaya di bidang ilmu pengetahuan. Padahal, menurut data yang dihimpun oleh National Science Foundation (NSF), sebuah lembaga ilmu pengetahuan bergengsi milik pemerintah Amerika; pada kurun waktu 1998-2001, Korea Selatan tercatat sebagai negara dengan pertumbuhan publikasi hasil riset sebanyak 14 kali. Angka ini bahkan melampaui China dan Amerika Serikat yang masing-masing hanya 1,1 kali dan lima kali.

Tantangan-tantangan global, seperti perubahan iklim, punahnya keanekaragaman hayati, dan kebutuhan terhadap energi, membuat kolaborasi internasional di antara para ilmuwan untuk mencari solusinya semakin meningkat.

Kondisi pertumbuhan penelitian yang pesat ini membuat “kekhawatiran” di kalangan peneliti di Eropa bahwa kiblat ilmu pengetahuan akan berpindah ke benua Asia. Komisi Uni Eropa bahkan menyatakan sangat mungkin bagi Eropa untuk gagal memenuhi tujuan-tujuan pengembangan risetnya dengan pertumbuhan seperti ini. Van Bubnoff dalam artikel di majalah Nature bahkan menyatakan jika pertumbuhan riset di negara-negara Asia tetap seperti ini, dalam enam sampai tujuh tahun ke depan diyakini posisi Amerika di tempat kedua akan mampu digeser oleh Asia dalam jumlah publikasi paper ilmiah. Meskipun secara umum kualitas paper ilmiah Asia masih mungkin berada di bawah negara Eropa dan Amerika, kondisi pertumbuhan seperti ini dianggap mampu merangsang dan menciptakan kondisi kondusif bagi peneliti di negara-negara Asia Pasific untuk makin meningkatkan kualitas paper ilmiahnya. Dan bukannya tidak mungkin sedikit demi sedikit kualitas paper ilmiah dari negara Asia pun akan bisa mengungguli hasil riset dari Eropa dan Amerika. 

Bagaimana dengan Indonesia ?

Di tengah kebangkitan negara Asia yang lainnya, yang disebut oleh Nature sebagai paper tigers atau macannya paper ilmiah, prestasi paper ilmiah di Indonesia bisa dikatakan masih memprihatinkan. Sebuah lembaga ilmiah Thomson Scientific yang berbasis di Philadelphia Amerika secara berkala mengeluarkan data paper ilmiah yang dipublikasikan dalam jurnal internasional. Dari data tersebut didapatkan bahwa jumlah paper ilmiah yang berhasil di publikasikan selama tahun 2004 oleh peneliti di Indonesia (yang berafiliasi dengan lembaga penelitian atau universitas di Indonesia) berjumlah 522 paper ilmiah. Jumlah ini hanya sekitar 1/3 dari paper ilmiah yang hasilkan oleh negara tetangga Malayisa yang berjumlah 1438. 

Di antara negara ASEAN Indonesia menduduki peringkat keempat di bawah Singapore dengan 5781 paper, Thailand yang memiliki 2397 paper dan Malaysia. Sementara jika dibandingkan negara-negara maju di Asia jumlah paper Indonesia jelas sangat tertinggal di mana Jepang memiliki 83484 paper, Cina 57740 paper, Korea 24477 paper, dan India 23336 paper. Jumlah dari Indonesia juga hampir sama dengan paper ilmiah dari Vietnam yang memiliki 453 paper selama tahun 2004 tersebut. 

Jika kita lihat dari pertumbuhan jumlah paper antara tahun 1990 dan 2004, Indonesia yang pertumbuhan paper ilmiahnya 2.67 ternyata memiliki pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan negara ASEAN lainnya seperti Singapura (7), Thailand (4.81), Malaysia (3.89) Singapura (7) dan bahkan Vietnam (3.84). Negara kita hanya menang jika dibandingkan Philipina dan Brunei yang memang sangat sedikit jumlah paper ilmiahnya, yaitu dibawah 50 paper. 

Kondisi di atas setidaknya bisa merefleksikan bagaimana kondisi penelitian di Indonesia jika dibandingkan dengan kemajuan ilmu pengetahuan di dunia. Adalah realitas bahwa negara kita masih sangat lemah dari sisi pengembangan IPTEK bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara di tetangga. Ada beberapa hal yang menurut penulis perlu dikembangkan dalam kaitannya dengan dunia penelitian di Indonesia, antara lain:

Pertama, menghidupkan pertemuan ilmiah. Di negara maju seperti Jepang, pertemuan ilmiah yang diselenggarakan oleh komunitas ilmiah merupakan hal yang sangat lumrah bahkan bagi mahasiswa S1 dan S2 sekalipun. Selain dapat merangsang semangat meneliti, pertemuan ilmiah oleh komunitas ilmu tertentu akan dapat membantu mahasiswa dan peneliti mengetahui perkembangan terbaru dari riset di bidangnya. Selain itu pertemuan ilmiah yang juga menjadi ajang yang sangat penting untuk terbangunnya kerja sama antar laboratorium.

Kedua, mendorong terjadinya sinergi antar laboratorium. Adalah hal yang kita ketahui bersama bahwa pendanaan merupakan kendala terbesar bagi kemajuan riset di Indonesia. Dengan adanya keterbatasan tersebut, selayaknya dilakukan kerjasama dari dua atau bahkan beberapa laboratorium untuk mengatasi keterbatasan yang ada. Kerja sama antar laboratoirum juga akan mampu menekan penelitian yang berulang yang sebenrnya telah dilakukan oleh salah satu laboratorium.

Ketiga, mengembangkan jurnal-jurnal ilmiah di tanah air. Saat ini sebenarnya sudah ada beberapa jurnal ilmiah yang dikelola oleh komunitas ilmiah. Meskipun begitu praktis gaungnya tidak terlalu hidup kecuali sebatas pengurus komunitas ilmiahnya, disamping masalah pendanaan yang tidak jarang membuat sebuah jurnal ilmiah kemudian mati suri. Padahal keberadaan sebuah jurnal ilmiah yang terbit secara berkala merupakan parameter keberadaan riset pada bidang tersebut. Jurnal ilmiah ini juga bisa menjadi wahana saling bertukar informasi yang efektif pada sebuah bidang ilmu pengetahuan. 

Menghidupkan jurnal ilmiah akan menjadi satu jalan penting untuk kebangkitan IPTEK di Indonesia. Berbagai cara sebenarnya bisa dilakukan untuk mewujudkan hal ini mulai dari dimasukkannya poin penilaian secara khusus bagi peneliti yang mampu mempublikasikan paper di jurnal ilmiah, menjadikan syarat publikasi di jurnal untuk mendapatkan grant ataupun setelah grant penelitian selesai, syarat kelulusan studi S2 dan S3. Pengeloaan jurnal ilmiah secara elektronik melalui internet juga perlu dilakukan untuk mengatasi kendala biaya penerbitan. Di beberapa negara maju syarat seperti di atas ditetapkan kepada mahasiswa selain untuk menambah wawasan mahasiswa tersebut akan bidang yang ditelitinya, juga untuk mengetahui sejauh mana penilaian terhadap hasil penelitiannya dari peneliti lain melalui referee (penguji) dari jurnal ilmiah tersebut. 

Keempat, membuat prioritas penelitian. Meskipun dalam rencana strategis IPTEKNAS sudah diletakkan beberapa prioritas pokok Iptek yang akan dikembangkan di Indonesia, tetapi tetap saja arah penelitian yang berkembang baik di universitas maupun di lembaga penelitian belum mampu menciptakan sebuah trade mark tersendiri apa yang menjadi kompetensi bangsa Indonesia. Berbeda dengan Singapura yang meskipun sudah maju dari sisi penelitian, Singapura tetap memiliki prioritas di bidang Bioteknologi, demikian juga dengan Kuba atapun India yang juga fokus pada Bioteknologi selain IT nya. 

Masing-masing peneliti di lembaga penelitian di Indonesia kebanyakan hanya bekerja sendiri tanpa adanya sinergi untuk memfokuskan pada satu bidang yang diteliti. Sehingga wajar kalau kita kesulitan ketika meraba ada di mana kompetensi dari sebuah lembaga riset atau sebuah departemen di universitas misalnya. Kondisi ini bisa jadi disebabkan disebabkan karena masih lemahnya arahan pemerintah tentang fokus penelitian. Pemerintah juga masih terkesan memilih dana penelitian bisa tersebar merata ke banyak kelompok peneliti meskipun akhirnya dana yang relatif kecil tersebut tidak cukup produktif untuk menghasilkan sebuah penelitian yang berkualitas. 

Selain jumlah publikasi ilmiah yang masih sedikit jika dibanding dengan negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia juga masih kekurangan pakar dengan kemampuan berbahasa Inggris mumpuni, baik dalam konteks menulis maupun berbicara (lisan). Tidak banyak jurnal ilmiah prestisius berbahasa Inggris terbitan Indonesia, yang dapat diakses dengan mudah, baik di dalam maupun di luar negeri. Anda berminat menutupi kekurangan ini? (Kartika Pemilia)

 

Last modified: 23/08/2011

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *