Mukjizat Al-Qur’an, Ditinjau dari Kebahasaan

Mukjizat Al-Qur’an, Ditinjau dari Kebahasaan

Kalimat yang baik adalah yang tidak bertele-tele tetapi tidak pula mengaburkan pesan. Seperti kata mutiara Arab yang mengatakan bahwa sebaik-baik pembicaraan adalah yang singkat tapi jelas. Selanjutnya, kata yang dipilih tidak asing bagi pendengaran atau pengetahuan lawan bicara, dan sebaiknya pula mudah diucapkan serta tidak berat terdengar di telinga. Selain itu, harus pula memperhatikan sikap lawan bicara, apakah percaya, atau ragu-ragu. Tingkat dan keadaan lawan bicara, juga harus menjadi dasar pertimbangan dalam menyusun kata atau kalimat. Dan yang tidak kalah penting adalah kesesuaian kalimat dengan tata bahasa.[i]

            Kei’jazan Al-Qur’an dari aspek kebahasaan, paling tidak ada tiga hal:

Pertama, Pemakaian huruf yang menjadi pembuka surat. Rasyad Khalifah,[ii] sebagaimana dikutip Quraish Shihab telah mengemukakan hasil penelitian tentang keajaiban Al Qur’an, yakni konsistensi pemakaian huruf yang digunakan sebagai pembuka surat, sekaligus memperlihatkan otentisitasnya sebagai wahyu Allah. Sebagaimana dikatakannya, dalam setiap surat yang dimulai dengan huruf, maka jumlah huruf dalam surat itu selalu habis dibagi 19, yang merupakan jumlah huruf pada kata basmalah. Huruf qaf, misalnya, yang merupakan surat ke-50, ditemukan terulang sebanyak 57 kali, yakni 3 X 19. Huruf nun, yang merupakan pembuka surat al-Qolam terulang sebanyak 133 kali, yakni 7 X 19. Huruf ya dan sin pembuka surat yasiin terulang sebanyak 285 kali, yakni 15 X 19. Demikian juga huruf-huruf yang lain yang berfungsi sebagai pembuka dalam surat al-Qur’an lainnya.[iii]

 Kedua, Keseimbangan dalam pemakaian kata.[iv] Abdurrazaq Naufal dalam bukunya Al-I’jaz al-‘Adad al-Qur’an al-Karim (Kemukjizatan dari segi bilangan dalam Al-Qur’an) yang terdiri dari tiga jilid, mengemukakan sekian banyak contoh tentang keseimbangan tersebut, yang penulis ringkas sebagai berikut:[v]

  • Keseimbangan antara jumlah kata dengan antonimnya. Diantaranya: al hayah (kehidupan) dan al maut (kematian) sebanyak 145 kali; al har (panas) dan al bard (dingin) sebanyak 4 kali.
  • Keseimbangan antara jumlah kata dan sinonimnya. Diantaranya: al harts (membajak sawah) dan al zira’ah (bertani) sebanyak 14 kali; al jahr (nyata) dan al ‘alaaniyyah (nyata) sebanyak 16 kali.
  • Keseimbangan-keseimbangan lain yang bersifat khusus. Misalnya, kata yaum (hari) dalam bentuk tunggal sebanyak 365 sesuai dengan jumlah hari dalam setahun. Sedangkan kata ayyam (bentuk jamak yaum) dan yaumayn (bentuk mutsanna) jumlah pemakaiannya hanya 30 kali, sesuai dengan jumlah hari dalam sebulan. Kata syahr (bulan) hanya ada 12 kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun. Di samping itu, ada juga contoh lainnya seperti kata-kata yang menunjukkan utusan Allah, yakni rosul, nabiy, basyir, nadir yang keseluruhannya berjumlah 518. Jumlah ini sama dengan jumlah penyebutan nama-nama Nabi dan rasul pembawa risalah-risalah Tuhan, yakni sebanyak 518.

            Ketiga, Keindahan susunan kata dan pola-pola kalimatnya. Untuk yang terakhir ini, ada beberapa hal yang sangat memukau, antara lain:

  1. Singkat dan padat.[vi]

            Sebagai contoh, firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 212.

وَاللهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Ayat ini sangat singkat tetapi sangat padat maknanya. Bahkan satu potong ayat ini bisa melahirkan beberapa makna:

  1. Allah memberikan rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa ada yang berhak mempertanyakan kepada-Nya mengapa Dia memperluas rizki kepada seseorang dan mempersempit yang lain.
  2. Allah memberikan rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa Dia (Allah) memperhitungkan pemberian itu (karena Dia Maha Kaya, sama dengan orang yang tidak mempedulikan pengeluarannya).
  3. Allah memberikan rizki kepada seseorang tanpa yang diberi rizki tersebut dapat menduga kehadiran rizki itu.
  4. Allah memberikan rizki kepada seseorang dengan jumlah rizki yang amat banyak sehingga yang bersangkutan tidak mampu menghitungnya.
  5. Allah memberikan rizki kepada seseorang tanpa yang bersangkutan dihitung secara detail amal-amalnya.

Bahkan boleh jadi masih ada makna lain yang dapat digali dari penggalan ayat ini.

  1. Keindahan dan ketepatan maknanya.

Perhatikan penggalan surat Maryam: 4 berikut ini:[vii]

واشتعل الرأس شيبا

Susunan di atas memiliki keunggulan untuk menunjukkan makna syumul, yakni untuk menggambarkan bahwa kepalanya penuh dengan uban, tidak ada sedikitpun rambut yang berwarna hitam. Selain itu jumlah huruf yang digunakan untuk menyusunnya pun tidak lebih banyak bila dibandingkan dengan susunan yang lain. Makna syumul di atas tidak bisa tercakup bila menggunakan kalimat berikut ini:

واشتعل شيب الرأس

atau

واشتعل الشيب في الرأس

Pola susunan kalimat seperti di atas, juga terdapat dalam ayat yang lain [QS 54: 12]:

وفجرنا الأرض عيونا

Kalimat di atas juga menunjukkan makna syumul, yakni semua bagian dari bumi telah dijadikan mata air, dan tiap mata air memancarkan air. Coba bandingkan dengan susunan berikut:

وفجرنا عيون الأرض

وفجرنا العيون في الأرض

Kedua susunan kalimat di atas tidak menggambarkan makna syumul sebagaimana yang ditunjukkan oleh susunan kalimat pertama. Kedua kalimat yang terakhir menunjukkan bahwa air keluar dari sumber air yang letaknya berpencar-pencar di permukaan bumi.

  1. Nada dan langgamnya.

Al Qur’an memiliki susunan kata dan kalimat yang memiliki nada dan langgam yang sangat indah. Ayat-ayat Al-Qur’an walaupun telah ditegaskan dengan sangat jelas bahwa ia bukan syair atau puisi, namun sangat disadari bahwa ia memiliki keunikan dalam irama dan ritmenya.[viii]

Cendekiawan Inggris, Marmaduke Pickthall dalam The Meaning of Glorious Qur’an, menulis:[ix]

“Al-Qur’an mempunyai simfoni yang tidak ada taranya di mana setiap nada-nadanya bisa menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka-cita”.

 

Contohnya bisa kita lihat dalam Al-Qur’an surat al-‘Aadiyaat:

وَالْعَادِيَاتِ ضَبْحًا (1) فَالْمُورِيَاتِ قَدْحًا (2) فَالْمُغِيرَاتِ صُبْحًا

Kemudian ketika pendengaran kita sudah terbiasa dengan nada dan langgamnya, Al-Qur’an mengubah nada dan langgamnya. Perhatikan lanjutan ayatnya,

فَأَثَرْنَ بِهِ نَقْعًا (4) فَوَسَطْنَ بِهِ جَمْعًا

Dan begitu selanjutnya, selalu membuai pendengaran dan kenikmatan pembaca.

  1. Memuaskan para pemikir dan orang kebanyakan.[x]

Jika membaca suatu artikel, anda boleh jadi menilainya sangat dangkal sehingga tidak sesuai dengan selera ilmuwan. Atau boleh jadi sebaliknya, sehingga atikel itu tidak dapat dikonsumsi oleh orang kebanyakan.

Al-Qur’an tidak demikian. Bisa jadi orang awam akan merasa puas dan memahami ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan keterbatasannya, tetapi ayat yang sama dapat dipahami dengan luas oleh ilmuwan dalam pengertian baru yang tidak terjangkau oleh orang kebanyakan.

Sebagai contoh, perhatikan surat Yaa siin (36): 80.

الَّذِي جَعَلَ لَكُمْ مِنَ الشَّجَرِ الْأَخْضَرِ نَارًا فَإِذَا أَنْتُمْ مِنْهُ تُوقِدُونَ

Yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu (memperoleh bahan bakar dariya).

 

      Sungguh jelas maksud kandungan ayat tersebut. Tapi coba perhatikan ulasan seorang filosof Muslim Al-Kindi sebagaimana dikutip oleh Abdul Halim Mahmud dalam bukunya At-Tafkiir Al-Falsafi fi Al-Islam:

 

Kehadiran atau wujud sesuatu dari sumber yang berlawanan dengannya bisa terjadi, sebagaimana terciptanya api dari daun hijau (yang mengandung air).

 

           Sedangkan menurut ilmuwan, istilah asy-syajar al-akhdhar adalah zat hijau daun atau klorofil. Di dalam klorofil terjadi proses fotosintesa yaitu proses penggabungan secara biokimia dengan menggunakan cahaya matahari sebagai sumber energi antara karbondioksida dan air sehingga terbentuklah zat hidrang arang.

  1. Memuaskan akal dan jiwa.[xi]

Manusia memiliki daya pikir dan daya rasa, atau akal dan kalbu. Daya pikir mendorongnya antara lain untuk memberikan argumentasi-argumentasi guna mendukung pandangan-pandangannya, sedang daya kalbu mengantarkannya untuk mengekspresikan keindahan dan mengembangkan imajinasi. Dalam berbahasa, sulit sekali memuaskan kedua daya tersebut pada saat yang sama.

Nah, ada sesuatu yang unik dalam bahasa al-Qur’an, yaitu kemampuannya menggabungkan kedua hal tersebut. Karena itu, ketika berbicara tentang sesuatu — hukum misalnya — redaksi yang digunakannya tidak “kaku” sebagaimana halnya redaksi para pakar hukum. Al-Qur’an menguraikan ketetapan hukum itu dengan argumentasi logika dan dengan gaya bahasa yang berbeda-beda.

  1. Tidak ada kontradiksi dan perbedaan di dalamnya.

Allah berfirman dalam surat an Nisa’ [4]: 82.

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرً

. Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.

Dalam ayat ini Allah memberitahukan bahwa perkataan manusia itu jika banyak, maka akan terjadi kontradiksi di dalamnya dan akan nampak pula kekacauannya.

Betapa menakjubkan rangkaian al-Qur’an dan betapa indah susunannya. Tak ada kontradiksi dan perbedaan di dalamnya, padahal ia membeberkan banyak segi yang dicakupnya, seperti kisah dan nasihat, argumentasi, hikmah dan hukum, tuntutan dan peringatan, janji dan ancaman, kabar gembira dan berita duka, serta akhlak mulia, pekerti tinggi, perilaku baik dan lain sebagainya. Sementara itu kita dapatkan kalam pujangga pentolan, penyair ulung dan orator agitator akan berbeda-beda dan berlainan sesuai dengan perbedaan hal-hal tersebut. Di antara penyair ada yang hanya pandai memuji tetapi tak pandai mencaci. Ada yang unggul dalam kelalaian tetapi tidak pandai dalam peringatan. Ada pula yang hanya pandai melukiskan unta dan kuda, memerikan perjalanan malam, menggambarkan peperangan, taman, khamar, sendau gurau, cumbuan dan lain-lainnya yang dapat dicakup dalam syair dan dituangkan dalam kalam.[xii]

[i] Azzah Zain Al-Hasany, Al-Quran Puncak Selera Sastra, (Surakarta: Ziyad, 2007), hal. 86.

[ii] Tidak sedikit yang mendukung pendapatnya ini, tetapi tidak sedikit pula yang menentangnya. Bahkan ada yang menilai ide tersebut adalah pengaruh dan atau pengembangan paham orang-orang Yahudi yang kemudian diterima oleh sementara masyarakat Arab dari apa yang dinamai “Hisab Al-Jummal“.

[iii] Supiana, M.Ag. – M.Karman, M.Ag., Ulumul Quran dan Pengenalan Metodologi Tafsir, (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), hal. 226.

[iv] Ini juga merupakan salah satu penemuan tentang bentuk perimbangan angka-angka dalam al-Qur’an, yang masih menjadi perbedaan di antara ulama. Terlepas dari perbedaan pendapat itu, surat asy-syura [42]: 17 menyatakan bahwa:

Allah yang telah menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) dengan penuh kebenaran serta dengan timbangan (perimbangan), dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu telah dekat.

[v] M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, (Bandung: Mizan, 2007), hal. 145.

[vi] Ibid, hal. 124 -126.

[vii] Dr. Shubhi ash-Sholih, Mabakhits fii ‘uluumil Quran, (Jakarta: Dinamika Barokah Utama), hal. 314 – 315.

[viii] Azzah Zain Al-Hasany, op cit, hal. 88.

[ix] M. Quraih Shihab, op cit, hal. 123.

[x] M. Quraih Shihab, op cit, hal. 127.

[xi] Ibid, hal. 131.

[xii]Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (terj) cetakan ke-6, (Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 2001), hal 384-385.

*19 Agustus 2009

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *