Oleh: Irwan Malik Marpaung
Prolog
Epistemologi1 menempati posisi penting dalam dunia pemikiran, sebab ia menentukan corak pemikiran dan pernyataan kebenaran yang dihasilkannya. Bangunan dasar epistemologi berbeda dari satu peradaban dengan yang lainnya. Epistemologi adalah produk langsung dari worldview2 yang dimilikinya. Dalam hal ini E.G Guba dan Y.S. Lincoln menyatakan bahwa: “the basic belief system or worldview guides not only in choices of method but in ontologically and epistemologically fundamental ways.” Pernyataan ini sebenarnya mengungkap rahasia mengapa ilmu itu value laden atau tidak bebas nilai3. Dalam Islam, epistemologi berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang telah terformulasikan sejalan dengan wahyu, hadith, akal, pengalaman dan intuisi. Ini berarti bahwa ilmu dalam Islam merupakan produk dari pemahaman (tafaqquh) terhadap wahyu yang memiliki konsep-konsep yang universal, permanen (thawabit), dinamis (mutaghoyyirat), pasti (muhkamat) dan samar-samar (mutasyabih), yang asasi (ushul) dan yang tidak (furu’).4
Sehubungan dengan masalah ini, berikut ini akan dibahas epistemologi yang digagas oleh Muhammad Arkoun, seorang cendikiawan Muslim asal Aljazair yang kini banyak dirujuk oleh cendikiawan Muslim Indonesia. Ia dikenal karena kritiknya atas bangunan epistemologi yang telah terbangun dalam tradisi intelektual Islam. Menurutnya masyarakat Muslim dewasa ini telah dikuasai oleh nalar Islami yang memiliki karakter logosentrism5 dengan ruang perkembangan yang sangat sempit, belum membuka diri pada kemodernan pemikiran dan karena itu tidak dapat menjawab tantangan yang dihadapi ummat Muslim kontemporer.
Dari kondisi sedemikian ini, Arkoun mencoba melontarkan pemikirannya yang bercorak kritik epistemologis, dan membebankan beberapa tugas kepada intelektual Muslim (termasuk dirinya sendiri). Pertama, melakukan klarifikasi historis terhadap kesejarahan umat Islam dan membaca Alqur’an kembali secara benar dan baru. Kedua, menyusun kembali seluruh syari’ah sebagai sistem semiologis yang merelevankan wacana al-Qur’an dengan sejarah manusia, di samping sebagai tatanan sosial yang ideal. Ketiga, meniadakan dikotomi tradisional (antara iman dan nalar, wahyu dan sejarah, jiwa dan materi, ortodoksi dan heterodoksi dan sebagainya) untuk menyelaraskan teori dan praktik. Keempat, memperjuangkan suasana berfikir bebas dalam mencari kebenaran agar tidak ada gagasan yang terkungkung di dalam ketertutupan baru atau di dalam taqlid.
Metodologi dan Landasan Epitemologi Gagasan Arkoun
Sebagaimana banyak intelektual, baik Muslim dan non-muslim yang belajar di Prancis, Arkoun memiliki kecenderungan berpikir yang terbilang rumit. Perpaduan dari berbagai jenis perkembangan wacana ilmu yang digandrungi di sana, seperti Derrida (Dekonstruksi-grammatologi), Lacan (psikologi), Barthes (semiologi), Foucault (epistemologi), Poststrukturalisme ala Saussure (linguistik), Levi Strauss (antropologi), Politik (Voltaire), Eksistensialisme (Nietzche dan Sartre), Rasionalisme (Descartes), juga ilmu-ilmu arkeologi-sosial-sejarah Mazhab Analle6 Prancis. Arkoun tidak sendirian dalam hal ini. Salah seorangnya ada juga ideolog Mesir kenamaan, Hassan Hanafi, yang menggoncang gairah pemikiran Islam dengan teori Islam Kirinya. Arkoun banyak meminjam konsep-konsep kaum poststrukturalisme untuk kemudian diterapkannya ke dalam wilayah kajian Islam. Konsep-konsep seperti korpus, epistema, wacana, dekontruksi, mitos, logosentrisme, yang tak terpikir dan dipikirkan, parole7, aktant dan lain-lain, adalah bukti bahwa Arkoun memang dimatangkan dalam kancah pergulatannya dengan post-strukturalisme.
Pembacaan Arkoun yang paling menonjol dalam mendekati turats Islam sebagai berikut: historis dan antropologis (humainora), linguistis, semiotika dan sastra, tafsir logiko-leksikografis dan tafsir-tafsir ideologi-teologis keimanan serta segenap perangkat metodologi anyar.8 Dalam menerapkannya ia tidak pernah setia pada satu metodologi tertentu melainkan dengan aproach secara inter disipliner (tadakhûl mutaadidah alikhtishasât). Atinya ia menggunakan prinsip eklektik ketimbang selektif pada suatu mazhab/metodologis.
Dengan metode asal comot ini, praktis ia tidak mempedulikan perang kritik antar satu metode dengan metode lainnya atau mazhab strukturalis dengan post-strukturalis. Kalangan strukturalis, umpamanya, sangat kritis terhadap empirisme dan positivisme, bahkan, dengan “keimanannya” terhadap realitas semata, akan melabrak entitas metafisik yang didaku oleh mazhab post-strukturalis. Begitu juga kritik balik poststrukturalis terhadap strukturalis yang terlalu mendewakan akal dan realita. Sebab bagi mazhab strukturalis hakikat tidak tersimpan di balik kenyataan. Kenyataanlah hakikat sebenarnya, jadinya yang ada pada alam semesta merupakan fenomena dan bukan nomena: suatu yang tersimpan di balik prase “fe”; realita-realita gugusan penampakan.
Arkoun tampak tidak peduli dengan perdebatan dikotomik ini. Baginya, selagi masih didamaikan dan dimanfaatkan, maka tidak ada masalah. Ia tampak terbuai oleh aliran strukturalis yang menekankan kesejarahan makna kebenaran serta kognitas suatu pemikiran pada komunitas sosial atau budaya tertentu.
Karenanya ia menganut humanisme strukturalis Levi Staruss, di mana menekankan pentingnya perilaku serta
tindak tanduk individual dan sosial sebagai landasan bagi terbukanya akses makna kebenaran dan moralitas religius yang dianut dan dicita-citakannya: kebebasan nalar intelektual. Metode historisisme yang dipakai Arkoun adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir (post) strukturalis Perancis.
Ia menekankan pentingnya metode historisisme tidak lain untuk membangun suatu penyejarahan baru
yang tidak sesuai dengan model sejarah dominan saat ini: sarat aura dogmatis dan ortodoks. Karenanya ia mulai membangun dengan memanfaatkan segala perangkat metodologi Barat sebagai upaya menerjemahkan Islam secara fundamental. Baik dalam sejarah pemikiran Islam maupun dalam pembacaan ulang al-Qur’an. Ia mengandaikan pembaharuan secara totalitas: teologi ketuhanan, teologi pewahyuan, teologi sejarah pemikiran, teologi etika dan filsafat. Ia ingin membuang bentuk-bentuk pranata keagamaan yang menurutnya tidak lain merupakan tahayul masyarakat semata (mikhyâl al-mujtama’) yang kemudian diyakini menjadi bagian dari praktik keagamaan dan disakralkan terkemudian. Menurutnya, agama telah terkontaminasi oleh budaya-budaya yang sebetulnya itu bukan dari ajaran murni agama sendiri. Sebab ia membedakan Islam Asli (Islam al-Asîl) dan Islam Lokal (Islam al-Mujtama’) di mana agama telah berakulturasi dan menjelma menjadi Islam Lokal. Sehingga pada tahap tertentu, bukan lagi sebagai representasi agama murni –akibat terkontaminasi oleh budaya cetakan lokal yang penuh muatan mitos dan mistis.9
Arkoun menginginkan ada upaya purifikasi serta pembersihan secara besarbesaran dengan mendekonstruksi nalar dogmatis masa lampau yang menghegemonik hingga kini. Langkahnya tidak main-main. Untuk merealisasikan ia menggagas Islam Aplikatif (Islamologie Appliquee) guna membangun proyek Kritik nalar Islam (Critique de la Raison Islamique) terhadap turast Islam sebagai obyek kajian terbesarnya. Dalam
persepsinya turats tidak hanya khazanah masa lalu hasil dari produksi para ulama dalam menafsirkan al-Qur’an dan Hadits dalam berbagai disiplin ilmu. Melainkan juga al- Qur’an sendiri. Arkoun membagi turats menjadi dua kategori. Pertama, teks primer, yaitu al-Qur’an. Kedua, teks sekunder, yaitu seluruh teks yang mengabdi pada al-Qur’an. Tak heran jika garapannya yang paling ditekankan adalah pembacaan ulang al-Qur’an sebab ia merupakan piranti dalam yang paling mendasar atas segalanya; dari sanalah mulai lahir turats Islam secara umum, sehingga, untuk menggarap ulang, harus dari sana pula memulainya agar kran akal Islam yang tertutup bisa terbuka kembali. Salah satunya adalah kampanye membuka workshop studi-studi al -Qur’an.10
Dalam kajian antropologi, Arkoun begitu terpengeruh oleh pemikir Levi Strauss yang memiliki spesifikasi dalam menyingkap mitologi yang dibentuk oleh budaya masyarakat tertentu. Dimana segala bentukan budaya sebetulya tidak akan lepas dari tarik-ulur masa lalu.11 Ia mendeteksi bahwa bahasa merupakan jalan menuju cakrawala pembacaan baru dan sebagai acuan analisa antropologi suatu masyarakat dan (bahkan) segala bentuk pengetahuan ciptaan masyarakat. Strauss agaknya terpengaruh oleh Lacan12, seorang psikologi-strukturalis penerus Frued, dimana keduanya memiliki kesamaan dalam dua konstruksi pinggiran: pertama, mitologi masa lalu. Kedua, sejarah pemikiran.13 Kecenderungan wacana pinggiran biasanya akan tetap survive, tidak berada di bawah payung kekuasaan-politik. Artinya tidak ada sokongan dari luar melainkan dari
watak diri pengetahuan tersebut.14 Ini artinya pengetahuan atau mitos tidak selalu memerlukan kekuasaan politik, sebab pada dasarnya, kekuasaan politik hanyalah faktor penyambung atau alat hegemonik pengetahuan. Tentunya hipotesa ini sesuai dengan adagium: pengetahuan adalah kekuasaan (knowlodge is power) sebab ia akan mengeluarkan semacam energi kuasa bagi dirinya sendiri yang suatu saat bisa berpotensi di(muncul)kan –sekalipun disumbat oleh rezim penguasa masanya. Tentunya dengan dua pemikir ini, Arkoun merasa mendapat asupan kekuatan guna melengkapi perangkat metodologinya.
Karenanya tak heran jika banyak suara yang menyatakan bahwa ia berhasil menerapkan dalam sejarah pemikiran Islam. Salah satu “kelinci percobaan” hasil uji metodologinya adalah Naz’ah Ansanah fi Fikr al-Araby: Jayl Miskawih wa al-Tauhidi. Bisa dikatakan sekalipun Arkoun “terlalu sibuk” mempromosikan Kritik nalar Islamnya, kitab ini merupakan bukti kongkrit bahwa ia berhasil menerapkan Islam aplikatifnya dan
salah satu dari representasi nalar Islam ideal. Ia menilai bahwa pemikiran Miskawih dan al-Tauhidi patut diangkat dan ditarik dari pengasingannya yang sekian abad akibat terpinggirkan dan nyaris tenggelam pada abad skolastik: masa-masa dimana kejumudan dan konservatisme merajalela. Sebab kedua pemikir ini, lanjut Arkoun, merupakan bukti nyata bahwa dalam Islam terdapat filsafat humanisme. Yang dalam waktu bersamaan, sebetulnya Arkoun berambisi ingin membuktikan pada publik Barat di saat seru-serunya meneriakan filsafat: suara kematian Tuhan ala Nietzsche dan kematian manusia ala Foucualt.15 Tampaknya Arkoun berhasrat memposisikan diri sebagai seorang defensif dan langkahnya tampak sebagai kebijakan apologetik di mana akan selalu memberontak dengan suara mayoritas Barat dan pada saat yang sama ia sendiri jatuh hati dan tergilagila dengan perangkat metodologi Barat sekaligus sejarah pencerahan Barat. Paling tidak, alasan paling logisnya adalah bahwa proyek humanisme Islam yang dibangun kembali oleh Arkoun ini ingin mengukuhkan “kepentingannya” dalam mengunggulkan kecenderungan rasionalitas (naz’ah ‘aqlaniyah) dibanding kecenderungan-kecenderungan lainnya.
Kritik–kritiknya
Sebagai seorang pemikir post-modern16, Arkoun adalah pengkritik tradisi kemapanan, tradisi objektivisme dan positivisme yang menurutnya tidak hanya merasuki ilmu pengetahuan Islam, namun juga Barat dan orientalis Barat. Arkoun berargumen bahwa paradigma orientalis benar-benar menyokong konsepsi ortodoks tentang “nalar Islam”17 dengan menggunakan kategori-kategori yang sama, simbol-simbol yang sama dan signifikansi yang sama.18 Dan demi menembus lapisan terdalam dari geologi pemikiran Islam, Arkoun pun menjamah jantung eksistensialnya: Al-Qur’an, sunnah dan Ushul. Bagi Arkoun, Al-Qur’an tunduk pada sejarah (the Qur’an is subject to historicity).19 Mengikuti analisis semiotik, Arkoun menekankan bahwa teks yang ada di tengah-tengah kita adalah hasil tindakan pengujaran (enonciation). Dengan kata lain, teks ini berasal dari bahasa lisan yang kemudian ditranskripsi ke dalam bentuk teks. Tidak terkecuali teks-teks kitab suci, termasuk Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diterima dan disampaikan nabi Muhammad saw kepada umat manusia selama tidak kurang dari dua dasawarsa. Akan tetapi, wahyu dalam bentuk bahasa lisan ini kemudian dibukukan setelah memasuki masa Utsman, sekitar satu setengah periode setelah nabi Muhammad saw. wafat.
Jauh sebelum Arkoun, karya ulama yang menjelaskan sejarah transmisi dan kodifikasi Al-Quran sebenarnya telah banyak memberikan informasi mengenai penulisan dan pembakuan wahyu menjadi mushaf Utsmani ini. Hanya saja, Arkoun melihat bahwa informasi-informasi tersebut belum dipertimbangkan secara serius bagi penjelajahan makna Al-Qur’an.20 Baginya, lantaran Assyafi’i berhasil membuat sistematika konsep sunnah dan pembakuan ushul kepada standar tertentu serta pembakuan al-Qur’an kepada sebuah mushaf resmi (kopus resmi tertutup/mushaf Utsman) menjadi awal ummat Islam didominasi oleh logosentrisme, dimana fuqaha dan ulama percaya bahwa mereka mampu menggenggam dan menguasai kebenaran wahyu dengan sarana analisis naskah secara gramatikal dan leksikal, dengan asumsi bahwa bahasa pada dasarnya merupakan refleksi dari dunia. Arkoun menganggap Islam sebagai fakta fenomena yang berkembang secara historis, terlepas dari upaya para alim-ulama baik qudama (klasik) maupun modern untuk memahami dan menetapkan makna kebenaran yang disampaikan oleh wahyu.21
Menurutnya kesalahan para fuqaha dan ulama terletak pada keyakinan mereka bahwa pengetahuan bahasa membuat mereka mampu memahami naskah, sedangkan mereka sendiri mengabaikan kebenaran yang lebih hakiki mengenai kesejarahan dari bahasa itu sendiri. Menurutnya, nalar Islam yang dibangun oleh para alim ulama adalah atas interpretasi doktriner dan kebutuhan politis untuk mengontrol penafsiran atas wahyu dan maknanya.22 Hal inilah yang menurutnya menyebabkan kemunduran filsafat Islam dan terbangunnya cloture logocentrique yang dengannya pemahaman alternatif selain dari wahyu menjadi kemustahilan.23 Arkoun menegaskan bahwa semua yang memiliki otoritas keilmuan sebagai penentu sifat utama kebenaran, pemikiran atau kebajikan semestinya dikenai kritik intelektual, berdasarkan asumsi strukturalis tentunya.24 Dengan
begitu, ia akan leluasa melontarkan kritik strukturalis multidisipliner terhadap dominasi serta kemapanan otoritas alim ulama disetiap institusi-institusi maupun pemerintahan Muslim, baik yang klasik maupun modern.
Berangkat dari asumsi di atas, Arkoun memandang bahwa nalar bersifat inklusif dan tidak tunggal –dan yang dimaksud bukanlah nalar aktif-potensial atau bakat intelektual (al-Mukawwin/la raison constituante), melainkan nalar bentukan dan didikan yang berisi doktrin-doktrin pengetahuan (al-Mukawwan/la raison constituee), jika meminjam teori A Lalande25. Ia (nalar Islam), yang terbingkai frame sejarah, akan mengayun dan melandaskan diri ke mana hendak dibawa sehingga menjadi suatu entitas yang membentuk dan meng-ada. Karenanya ia bersifat historik, multi kultural dan (bahkan) sejarah itu sendiri.26 Nalar Islam tak lain merupakan piranti yang menghasilkan produk-produk pengetahuan Islam dalam bentangan panjang sejarah. Ia diartikan sebagai diskursus atau wacana nalar Islam yang darinya, menghasilkan ragam disiplin keilmuan Islam.27
Maka, dikenallah nalar Taswauf, nalar Sunni, nalar Muktazilah, nalar Syi’ah, nalar Hasan Bashri, nalar Ibn Khaldun, nalar Muhamad Abduh dan seterusnya hingga kini. Itulah nalar-nalar Islam, dengan segenap identitas dan ciri khasnya masing-masing, karena pada dasarnya merujuk pada pokok dan otoritas yang sama: al-Qur’an dan Hadits. Namun, yang perlu dijadikan entry point, nalar tersebut mempunyai titik tolak dalam sejumlah kognitas dasar dan kepentingan-kepentingan tertentu yang membentuknya.
Secara historik, nalar-nalar tersebut kerap bersaing, berseteru, dan bahkan bermusuhan yang berujung pada kematian/kehancuran. Hal yang paling mendasar, bahwa dalam kemajemukan nalar tersebut, sesungguhnya memiliki titik konvergensi dan persenyawaan yang oleh Arkoun, disederhanakan sebagai terma nalar Islam. Singkatnya, ia sengaja membredel nalar di atas menuju “ruang kematian” dengan cara mendekonstruksinya
menjadi nalar Tunggal (Binyah al-Muwahadah), yakni: nalar Islam. “Kematian” di sini tentunya diartikulasikan dengan pembacaan kini, dengan pemaknaan ala Derrida, yakni suatu pengalihan posisi tawar dari alam klasik menuju alam kontemporer.28
Demi menuju ke arah kesadaran ini, Arkoun melakukan analisa kritik historis atau klarifikasi historitas dengan membagi sejarah nalar Islam menjadi empat periodesasi.29
1. Era fundamentalitas Islam, yaitu periode kenabian ini ditandai dengan terbukanya wacana-wacana pembakuan keagamaan yang baru lahir dan sedang mencari jati dirinya, baik dalam ranah sosial maupun politik. Ditandainya dengan terbukanya kebebasan serta penghormatan tinggi terhadap cita kemaslahatan dan humanisme. Di samping gerak perubahan sejarah yang dinamis, progresif, dan gradual.
2. Era jati diri nalar Islam klasik, Yang ditandai pembasisan, pembakuan, dan pembukuan disiplin ilmu pengetahuan, terutama lini syariah dan teologi. Era nalar Islam klasik ini dimulai sejak pertengahan abad pertama sampai penghujung abad keempat. Pada era ini kecenderungan dialektik antara agama dan nalar masih menguat dibanding kecenderungan ortodoksi.Yang paling mengesankan bagi Arkoun pribadi, periode ini melahirkan filsafat humanisme di tangan Miskawyh dan Abu Hayan al-Tawhidi. Keduanya berhasil membangun filsafat humanisme dalam perwujudan nalar etika Islam yang mengenyahakan nalar ortodoksi serta mengawinkannya dengan filsafat. Miskawyh dalam karya Tadzhib al-Akhlâq-nya membangun etika berdasarkan ontologi rasional Igrik, sementara Abu Hayan al-Tawhidi membangun humanisme murni dalam sejumlah karya-karyanya.
3. Era skolastik. Era ini dimulai sejak abad ke lima Hijriyyah. Yang ditandai dengan kemunduran nalar Islam dan menyeruaknya bentuk-bentuk ortodoksi agama, dengan menguatnya nalar pragmatis pembebekan dibanding nalar ilmiah. Era ini merupakan babak-babak era keterpenjaraan akal Islam. Jika pun ada dan bertahan, nalar ilmiah ini mesti ditopang oleh dukungan penguasa setempat.
4. Era modern. Era ini tidak jauh berbeda dengan era sebelumnya sebagai era kejumudan dan pembebekan serta hegemoni ortodoksi. Ini dipandang dari persepsi, bahwa era ini masih mewarisi era skolastik secara dominan –sekalipun mulai ada rinai-rinai pembaharuan yang dibawa Muhamad Abduh yang getol mengkampanyekan gerakan kembali ke salaf: masa di mana belum timbul perselisihan umat.30
Dengan membagi sejarah nalar sedemikian rupa di atas, Arkoun bermaksud untuk menjelaskan terma “yang terpikirkan” (le pensable/thinkable), “yang tak terpikirkan” (l’impinse/unthinkable) dan “yang belum terpikirkan” (l’impensable/not yet thought), untuk kemudian diterapkan dalam rangka membedah sejarah sistem pemikiran Arab- Islam. Tentunya terma ini amat kental terpengaruh metodisasi ‘diskontinuitas’ ala Michel Foucault atas penggalan-penggalan, mutasi-mutasi, dan retakan-retakan epistemik dan geologi sejarah nalar Islam. Terma “yang terpikirkan” adalah hal-hal yang mungkin umat Islam memikirkannya, karena jelas dan boleh dipikirkan. Karena keterjangkauannya yang diperbantukan oleh bahasa, pikiran, dan kondisi masyarakat.31 Sementara “yang tak terpikirkan” adalah hal-hal “tabu” akibat kemampuan akal sejarah yang belum sampai ke sana atau karena tersumbatnya pemikiran yang ada oleh sebab tidak ada kaitannya antara ajaran agama dengan praktek kehidupan yang berlaku saat itu. Atau ketertindasan pemikiran tersebut oleh faktor agamawan maupun penguasa politik.32 Dan, karenanya, Arkoun pun ingin membuka lebar-lebar wilayah tak terpikirkan ini yang menurutnya sudah saatnya melebar di era kontemporer.
Arkoun menekankan pentingnya bercermin terhadap masa lampau bukan berarti harus mengikuti arus balik serta mereproduksi tanpa produktivitas pemikirannya, melainkan agar bisa “bertamasya” serta menganalisa ulang terhadap diskursus yang terjadi pada masa lalu itu. Bertujuan demi menemukan problem solving dengan konteks kekinian -atau bisa juga sebaliknya: maju-mundur, karena besar kemungkinan akan menemukan solusinya dengan menelisik akar genealoginya. Tak heran pula jika sering terserak dalam kitab-kitabnya terma la raison emergente: yang berarti hasrat melampaui segala apa yang pernah dicapai oleh muslimin, di satu sisi, dan hasrat mengatasi akal modern dan post modern sekaligus, di sisi lain.33 Untuk mencapai tujuan itu, ia mendapuk segala perangkat-perangkat metodologi post-strukturalis guna dimodifikasi dan dijadikan metode nalar postulat interdisipliner yang lebih dikenal sebagai Islamologi Aplikatif: satuan piranti yang “diislamkan” atau disesuaikan dengan fragment keislaman. Secara holistik ia mencabarkannya sebagai suatu metode kajian yang concern terhadap segala objek yang berhubungan dengan kehidupan manusia secara umum. Di mana manusia, sebagai makhluk berakal, tidak akan lepas dari jejaring entitas yang demikian kompleks: mulai bahasa, sosial, individual, politik, ekonomi, sejarah, psikis, rasional, imaginatif, religius, dan sebagainya.34
Tak bisa disangkal, gugus tujuan kritik Arkoun tidak bersifat historis melainkan epistemologis. Historitas dan antropologi tampaknya hanya menjadi kendaraan untuk mencapai tujuannya: menuju kritik sistematika nalar Islam. Di mana analisa sistematik ini diawali dengan penyejajaran nalar Islam dengan imajinasi sosial kaum muslimin. Nalar Islam diidentikan dengan kekakuan penafsiran, kekuatan politik, dan imajinasi sosial. Yang dalam pada itu pula tersimpan diam-diam ruh-ruh kebebasan, modernitas, perubahan dan perbedaan. Dialektika antara keduanya menjadi tema sentralnya. Imaginaire telah tersingkir dan ditebus dengan analisa kritis interdisipliner baru tentang nalar Islam versinya. Tentunya, dengan mengaplikasikan perangkat-perangkat (post) strukturalis, yang, darinya, (berharap-harap) akan mampu membebaskan nalar ummat Muslim. Belajar (mencoba-coba) untuk berpikir terhadap segala hal yang dianggap tak terpikirkan oleh ulama kolot. Sejatinya kritik nalar Islam ini tidak hanya mendekonstruksi terhadap epistema ortodoksi dan dogmatisme abad pertengahan. Sebab jika Arkoun berhasil melakukan kritik-kritiknya niscaya ia telah membuat catatan sejarah yang belum pernah terjadi dalam bentangan sejarah Islam. Ia akan dikenal sebagai revolusioner pengetahuan Islam.
Kritik Atas Epistemologi Mohammed Arkoun
Secara historis, pertarungan antara agama dan ilmu pengetahuan telah terjadi di Eropa. Pertarungan keduanya semakin gencar dan “blak-blakan seiring dengan penemuan-penemuan ilmiah yang dihasilkan ilmu pengetahuan modern yang dimulai sejak revolusi politik di Prancis dan revolusi industri di Inggris. Sejak masa itu, dominasi kaum Clergy (rahib, atau kalangan gerejawi)—sebagai kelompok elit kecil—yang sejak ribuan tahun mendominasi dan menghegemoni kekuasaan dalam bidang sosialkemasyarakatan sebagai penentu kebijakan (decision maker) runtuh hancur-lebur tatkala teologi yang selama ini menjadi legitimasi mereka harus berhadapan dengan temuan-temuan ilmu pengetahuan. Isu-isu sosial yang pada awalnya berkenaan dengan sosial, ekonomi dan politik berkembang menjadi isu-isu yang menggugat dimensi transendental, yakni agama. Dialog inipun kemudian berujung pada pemisahan dua kebenaran yang tidak bisa disatukan satu sama lain. Kebenaran agama pada satu sisi, dan kebenaran ilmu pengetahuan pada sisi lain. Karena itu, muncullah istilah yang saat ini disebut “sekularisme”.
Namun, dalam sejarah Islam event pertarungan antara kaum intelektual dengan fuqoha tidaklah terjadi, Islam menghargai pengetahuan sebagaimana Islam menghargai keyakinannya pada Rasulullah. Al-Quran sebagai kitab suci yang tiada satupun keterangan di dalamnya yang tidak dapat diuraikan untuk penelitian ilmiah, baik yang berhubungan dengan realitas-realitas alam, genetika, atau kajian-kajian tentang kedalaman laut. Bahkan, sungguh Al-Qur’an telah membuktikan kebenarannya lewat keterangan yang mendetail tentang pertumbuhan janin, seperti yang kita kenal sekarang yang tidak mungkin dibuktikan, kecuali dengan menggunakan alat pendeteksi dalam rahim. Sekalipun demikian, al-Quran adalah hakikat-hakikat yang berhubungan dengan ushuluddin, bukan hakikat-hakikat ilmiah, dan bukan dengan elaborasi penyingkapan ilmiah, kebenaran wahyu hakiki akan tergapai, karena Al-Qur’an bukanlah ringkasan ilmu-ilmu fisika, biologi, atau kimia. Sekalipun demikian, sejarah telah mencatat keberhasilan ulama-ulama terdahulu yang telah melahirkan disiplin-disiplin pengetahuan dari pendalaman mereka terhadap al-Quran, sesuai dengan afiliasinya masing-masing.
Sepertinya Arkoun dengan proyek kritik nalar Islamnya hendak menggiring sejarah Islam pada fase pertarungan antara agama dan ilmu pengetahuan. Menempatkan agama sebagai pengetahuan yang bersifat mitos dan ia berada di pihak pengetahuan yang bersifat rasional. Dengan menggunakan disiplin ilmu humaniora, antropologi, arkeologi pemikiran dll, ia ingin menunjukkan pada umat Islam bahwa al-Quran tidak lepas dari historisitas, dan bahkan seluruh disiplin ilmu pengetahuan yang lahir dari padanya didakwakan sebagai penyebab kejumudan nalar Islam. Arkon tidak memperhitungkan seluruh informasi yang menyatakan ke-otentikan transmisi dan kompilasi al-Quran. Sekalipun seluruh informasi itu bisa diuji dan dibuktikan keilmiyahannya.
Perlu kita ketahui, sosiologi sebagai disipilin ilmu humaniora, demikian juga antropologi sebagai anak cabangnya, bukan merupakan disiplin ilmu normatif melainkan suatu disiplin yang kategoris, artinya sosiologi membatasi pada apa yang terjadi dewasa ini dan bukan mengenai apa yang seharusnya terjadi. Sebagai suatu pengetahuan, sosiologi membatasi diri terhadap “penilaian ideologis” atau subjektivitas tertentu. Artinya tidak menetapkan ke arah mana sesuatu seharusnya berkembang, dalam arti memberikan petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan maupun keagamaan dari proses lawatan sejarahnya. Pandangan-pandangan sosiologis tidak dapat menilai apa yang buruk dan apa yang baik, apa yang benar dan apa yang salah serta segala seuatu yang bersangkut terhadap nilai kemanusian. Dengan demikian, sosiologi hanya merupakan ilmu pengetahuan murni (pure science) dan sama sekali bukan merupakan ilmu pengetahuan terapan atau terpakai (applied science).35 Dari sudut penerapannya ilmu pengetahuan menjadi dua bagian. Ilmu pengetahuan murni adalah ilmu yang bertujuan membentuk dan mengembangkan ilmu pengetahuan secara abstrak hanya untuk mempertinggi mutunya, tanpa menggunakan dalam masyarakat. Ilmu pengetahuan terapan adalah ilmu yang bertujuan untuk mempergunakan dan menerapkan ilmu tersebut dalam masyarakat dengan maksud membantu kehidupan masyarakat maupun keagamaan. Dalam hal ini, sosiologi bukanlah pengetahuan ilmu terapan, sebab hanya bertujuan mendapatkan fakta-fakta masyarakat yang mungkin dapat dipergunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan kemasyarakatan.36
Kebanyakan karya yang membicarakan sejarah dengan pendekatan sosiologi-antropologi terjebak atau terbagi dalam dua hal. Pertama, pendekatan biografis, yakni penguraian bahwa sejarah selalu melekat pada tokoh, sehingga tokoh-tokoh ini secara disadari atau tidak menjadi sosok yang lebih menonjol daripada unsur-unsur pemikiran teoritisnya sendiri. Sebab, bagaimanapun, pemikiran tak bisa dilepaskan dari jejaring para pemikir yang menghasilkan pemikiran tersebut. Dengan menjelaskan biografi dan perjalanan sejarah pemikir; diskursus pemikiran dengan sendirinya praktis tereksplorasi.
Kedua, pendekatan taksonomis. Sebuah penguraian sejarah pemikiran berdasarkan kecenderungan-kecenderungan tertentu. Fenomena pemikiran ini didekati lewat hasil klasifikasi-klasifikasi berdasarkan mazhab pemikiran (school of thought). Misalnya, membagi mazhab pemikiran tersebut pada Syiah, Suni, Muktazilah dan sebagainya. Dan kebanyakan, ekses menampilkan pendekatan ini, penulis kadang tak mampu mengendalikan diri untuk tidak berpihak pada salah satu arus pemikiran tertentu. Selalu ada bias-bias dari penulis untuk menampilkan ide pemikiran tertentu dan, demi ideologi kepentingannya, kadang mengaburkan pandangan lainnya. Padahal ini merupakan kecacatan etika pengetahuan –dalam konteks keilmuan sosialisme– karena tidak boleh ada keberpihakan atau pra asumsi penilaian.
Dan Arkoun tampaknya mengikut pada pendekatan kedua. Bahkan, disadari atau tidak, ikut hanyut untuk menjadi bagian pemain di dalamnya. Menampilkan mazhab yang terpinggirkan menjadi aktor utama dalam proyek Kritik nalar Islamnya –seperti pembelaan kental terhadap rasionalitas Muktazilah atau filsafat Ibn Rusyd. Ia, dengan demikian, melanggar rambu-rambu etika sosiologi-antropologis, dengan inkonsistensinya
terhadap aturan pengetahuan tersebut. Dari sini, setidaknya sudah menyiratkan kepentingan tertentu. Ada bias-bias ideologis yang bersemayam dalam buncahan pemikiran Arkoun. Bahkan ditengarai, gara-gara “kepanasan” dengan sejarah pencerahan Eropa. Sebab Eropa, dalam dongeng sejarahnya, terbagi menjadi atas fase modern dan post modern.
Pada masa modern, munculnya kejayaan science, Revolution of Science abad XVII, telah memberi keyakinan bahwa manusia dapat mencapai kejayaan tanpa harus patuh pada otoritas agama. Agama dianggap sebagai penghambat kemajuan dan bertentangan dengan filsafat pencerahan. Agama Katolik hanya identik dengan zaman pertengahan yang statis dan tidak progresif. Nalar menjadi dewa dan agama (iman) tersungkur dipecundangi. Namun demikian, pandangan pemikir-pemikir zaman pencerahan di abad XVIII banyak berubah. Mengembalikan enlightenment dan kemodernan Eropa terhadap induk agama seperti pemikir Locke, Thomas Aquinas, dan Kant. Namun penerimaan mereka bukanlah berdasarkan kepercayaan atau penerimaan otoritas Gereja semata, melainkan lebih didasarkan pada pemikiran dan argumentasi rasional terhadap agama. Problemnya adalah bahwa terma modernitas terlanjur identik dengan kemewahan akal dan mempecundangi agama. Artinya secara esensial sudah ada kontradiksi dengan ruh modernitas sendiri, sehingga inilah yang kemudian melahirkan era post modernisme di mana akal seiring seirama dengan agama.37
Pada zaman pencerahan juga terlihat adanya perkembangan epistemologi dan filsafat. Para ahli epistemologi mulai mencoba mengupas persoalan mendasar sifat ilmu, serta peranan yang dimainkan oleh akal-budi manusia dalam menghasilkan ilmu. Tujuannya ialah untuk memahami bentuk ilmu yang dihasilkan oleh manusia, dan sejauh mana ia bisa dipercayai serta mewujudkan suatu landasan rasional bagi penerimaan ilmu, yang kini asas penerimaannya tidak lagi didasarkan pada otoritas agama. Akal digunakan untuk mendirikan landasan kebenaran sendiri bagi filsafat keilmuan. Pendekatan “foundationalisme” ini merupakan satu ciri zaman pencerahan yang sangat menggantungkan pada kemampuan akal manusia serta rasionalitas. Di sinilah Arkoun tampak tergila-tergila dengan babak-babak perubahan sosial dan institusional agama yang kemudian mengantarkan Eropa pada era modern: filsafat pencerahan serta serentetan kronologi sejarah “rationalization” –meminjam bahasa Max Weber. Rationalization nampak terlihat terhadap adanya upaya reinterpretasi agama Katolik, Rasionalisasi agama. Kemudian Arkoun mencoba mempraktekannya terhadap ranah keislaman dengan harapan akan datangnya pencerahan model Islam. Namun, menurut Muhammad almzogy, Arkoun tidaklah mendatangkan pencerahan, bahkan justru mendatangkan keragu-raguan pada kemampuan Akal.
Dalam Kritik Nalar Arabnya, Abed al-Jabiri menyatakan retakan epistemologi antara Andalusia-Maghrib dan Masyriq: di mana Barat tidak hanya dibedakan secara geografis melainkan juga epistemologis: antara representasi rasionalisme empirik Barat dan representasi illuminatif dan kecenderungan irrasional Timur, maka pemaknaan retakan epistemologi bagi Arkoun pun memiliki kecenderungan tipologi sendiri, bahkan lebih luas tidak hanya sekedar lokalitas Arab namun Islam secara umum. Sebagaimana telah maklum, ide ini pertama kali dimunculkan oleh Gaston Bachelard pada kisar tahun tiga puluhan di abad XIX, kemudian diadopsi oleh Luis al-Tuser dan Michel Foucault. Dalam perjalanannya, ide ini terus berkembang dan menjadi trend keilmuan yang mampu diaplikasikan dalam filsafat humaniora dan cabang ilmu lainnya.38 Tak terkecuali agama. Di tangan Arkoun-lah terma diskontinuitas diterapkan dalam melacak lapisan dasar nalar pemikiran Islam silam.
Sejatinya, jika menelusuri pemikiran menggunakan pisau analisa retakan epistemologi sangat berbahaya dan terlalu mengambil resiko tinggi. Sebab, efeknya akan menimbulkan pembelahan dikotomik dan menyerang terhadap pengetahuan itu sendiri. Di samping resiko dihadapkan pada satu pilihan. Ide ini cenderung mengakibatkan wilayah hitam dan putih pengetahuan: antara pilihan benar dan salah; ilmiah dan khurafat; rasional dan irrasional. Ini juga yang dialami pemikir Maroko Abed al-Jabiri, dengan mengunggulkan nalar Barat atas nalar Timur. Menjadikan terkotak-kotaknya pengetahuan secara geografis. Sementara Arkoun, dalam persepsi Ali Harb, menjadikan nalar pengetahuan Islam tercerai berai secara ideologis.39
Dalam pembacaan Ron Haleber, seorang islamolog kontemporer asal Belanda, Arkoun menyatakan bahwa retakan epistemologi dalam agama (Islam dan Kristen di Barat) ada tiga bagian. (1) Transformasi budaya oral menuju budaya tulis serta ruang jeda masa transisi keduanya. (2) Transformasi dari nalar murni ilmu, agama, dan politik menuju lampauan ideologis terhadap ketiganya. (3) Transformasi dari diskursus ortodoksi dan mitologi menuju diskursus modern dan rasionalitas serta jeda masa transisi keduanya. Dalam hal ini Michel Foucalt memainkan peranannya sebagai pendobrak kemapanan yang ada dan menjadi inspirator bagi lainnya.40
Tampaknya Arkoun, aku Ron Haleber, tidak begitu memahami secara menyeluruh parade-parade persitiwa pencerahan di Eropa atau filsafat pencerahan Barat. Sebab jika benar ia paham tentunya tidak akan menganalogikan persis dengan pemaknaan yang serupa, antara epistema Barat dan Islam. Bagi Ron Haleber kesimpulan Arkoun ini terlalu ceroboh dan mereduksi sejarah pencerahan Barat sendiri. Bahkan semena-mena dalam menerapkan metode karena menyalahi logika metodologi itu sendiri. Betapa, Arkoun mencampur aduk antara metodologi mazhab strukturalis dan metodologi mazhab post strukturalis. Padahal kedua mazhab ini bertentangan. Sebab munculnya kaum post strukturalis merupakan reaksi protes dari kaum strukturalis. Namun Arkoun tampaknya tidak menyadari itu. Terkesan cuek bebek mana kala mencomot sana-sini demi
kepentingannya tanpa memperhatikan dari prosedural bakunya sehingga berakibat menghasilkan konklusi yang kerap tidak sesuai dengan tujuan metodologi itu sendiri.41
Wajarlah jika ia tak mau disebut pengikut aliran strukturalis maupun post strukturalis, akibat oportunismenya.42 Sehingga wajar jika Ron Haleber tampak geram dan seakan, dengan bukunya, ingin menghabisi (metodologi) Arkoun, bahwa metodologi Arkoun mengalami kecacatan dan ketimpangan akut –jika dihadapkan langsung di depan altar pencerahan Barat. Ia dianggap telah memutus urat nadi pengetahuan (fishom alma’rifiyah). Semata-mata demi mendahulukan ideologi ilmiah rasionalitas-nya dibanding “aturan main” serta syarat-syarat ontologi pengetahuan.43 Semata-semata berambisi menampilkan di mata Islam kontemperer (lebih-lebih Barat) adanya eksistensialisme Islam, humanisme Islam, dan rasionalisme Islam. Dalam konteks yang demikian, mestinya Arkoun memilah dan harus lebih berhati-hati dalam melakukan percobaan menjadikan pengalaman Eropa sebagai acuan bagi gerakan revolusi keagamaan. Tidak terperosok terhadap yang hampir-hampir menyerupai ‘taqlid buta’. Dan jika ‘taqlid buta’ yang terjadi, maka ijtihad Arkoun telah terperangkap ke dalam kubangannya sendiri: dogmatisme baru.
Epilog
Tradisi mengkaji al-Quran dikalangan orientalis telah berjalan cukup lama. Tapi kajian mereka tentu tidak sama dengan kajian para ulama. Ketika para orientalis mengkaji al-Quran, mereka memang merujuk kepada sumber-sumber Islam. Namun sikap mereka yang selektif terhadap fakta-fakta sejarah al-Quran menunjukkkan adanya suatu kepentingan tertentu. Upaya untuk meruntuhkan otentisitas Mushaf Uthmani tampak lebih menonjol dibanding tujuan lainnya. Syubhat ini kemudian dilanjutkan oleh intelektual Islam sebagaimana yang telah dilakukan oleh Arkoun. Bahkan, di atas syubhat tersebut ia membangun mega proyeknya yaitu ‘kritik nalar Islam’. Proyek inipun langsung menyentuh sisi paling sensitif dalam bangunan epistemologi Islam. Dengan kajian ini, ia berharap bisa membebaskan umat Islam dari belenggu doktrinitas yang telah berlaku sejak meninggalnya rasulullah Muhammad saw. Ia berusaha memutus jalur ilmu pengetahun Islam. Namun, sebagaimana mereka orientalis dan para penyeru nihilisme, Arkoun tidak menyuguhkan solusi bagi kebangkrutan nalar yang sudah ia bongkar. Ia hanya mengkaji, mendekonstruksi dan disaat yang sama ia membiarkan ideologi Islam tercerai berai.
1 Epistemologi merupakan cabang filsafat ilmu yang berbicara tentang metode untuk memperoleh dan menyusun struktur bangunan ilmu, atau struktur nalar yang membentuk ilmu.
2 Secara awam worldview atau pandangan hidup sering diartikan filsafat hidup. Setiap kepercayaan, bangsa, kebudayaan atau peradaban dan bahkan setiap orang memiliki worldview masing-masing. Maka dari itu jika worldview diasosiasikan kepada suatu kebudayaan maka spektrum maknanya dan juga termanya akan mengikuti kebudayaan tersebut. Lihat: Hamid Fahmy Zarkasyi, “Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam”, ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN II No.5 April-Juni 2005, hal 10-20., Prof. Alparslan mengartikan worldview sebagai asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dalam pengertian itu maka aktifitas manusia dapat direduksi menjadi pandangan hidup. (the foundation of all human conduct, including scientific and technological activities. Every human activity is ultimately traceable to its worldview, and as such it is reducible to that worldview. Alparslan Acikgence, “The Framework for A history of Islamic Philosophy”, Al-Shajarah, Journal of The International Institute of Islamic Thought and Civlization, (ISTAC, 1996, vol.1. Nos. 1&2, 6). Dari definisi di atas setidaknya kita dapat memahami bahwa worldview adalah identitas untuk membedakan antara suatu peradaban dengan yang lain. Dan dapat kita mengerti bahwa worldview melibatkan aktifitas epistemologis manusia, sebab ia merupakan faktor penting dalam aktifitas penalaran manusia.
3 Al-Attas, Risalah Kaum Muslimin, International Institute of Islamic Thought and Civilization, 2000, hal. 49-50.
4 Hamid Fahmy Zarkasyi, “Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam”, ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN II No.5 April-Juni 2005, hal 9. Dengan kata lain, dalam epistemologi Islam, wahyu menempati hirarki tertinggi dalam sumber kebenaran, sedangkan dalam epistemologi Barat wahyu tidak memiliki tempat sebagai sumber kebenaran.
5 Mohammed Arkoun, “Logocentrisme et verite religieuse dans la pensee Islamique” dalam Studia Islamica XXXV, Paris, 1972, hlm. 12-15, yang dikutip dalam Suadi Putro, Mohammed Arkoun, Tentang Islam dan Modernitas, cet. I (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 38.
6 Mazhab Analle adalah Pengkajian sejarah yang tidak hanya menitik beratkan pada sejarah politik dan sejarah orang-orang besar/terkenal saja. “sejarah yang lebih luas dan lebih manusiawi”, suatu sejarah yang berbicara tentang semua kegiatan manusia dan kurang berminat kepada penceritaan kejadian dibanding kepada analisis struktur (Burke, 2001: 22). Itulah madzab Annales yang telah meletakkan tonggak baru pengkajian sejarah jenis baru. Misalnya, para sejarawan Perancis mulai akrab dengan penggunaan konsepkonsep ilmu sosial lain di luar sejarah, termasuk psikologi, demografi, sosiologi, dan geologi. Kadang-kadang cara kerja sejarawan diandaikan seperti seorang geolog yang sedang menggali lapisan bumi, dimulai dari lapisan atas untuk menemukan isi paling dalam lapisan bumi itu (dalam kasus penelitian sejarah kebudayaan berarti ingin menemukan fakta mental). Karya Braudel tentang dunia Laut Tengah atau karya Dennys Lombard tentang Silang Budaya yang terjadi di Nusa Jawa dapat dijadikan contoh mengenai model pengkajian dan penulisan sejarah yang dikembangkan oleh madzab Analles itu.
7 Istilah parole dan langue dipinjam dari Bapak perintis semiotika dari Swis (1857-1713). Dalam seluruh gejala kebahasaan—ia menyebutnya langage—perlu dibedakan dua segi: sistem kebahasaan yang disebutnya sebagai langue dan pemakaian bahasa dalam ungkapan-ungkapan nyata yang disebutnya sebagai parole. Dengan kata lain, parole adalah penggunaan bahasa secara individual.Penutur seolah-olah memilih unsur-unsur dari “kamus” umum (langue) tersebut. Menurut St. sunardi, secara implisit dapat ditangkap bahwa langue dan parole beroposisi, tetapi sekaligus juga saling tergantung. Itu berarti bahwa tidak ada yang lebih utama. Di satu pihak sistem yang berlaku dalam langue adalah hasil produksi dari kegiatan parole, dan di lain pihak pemahaman parole serta pengungkapannya hanya mungkin lewat dan dalam langue sebagai sistem. Lihat St. Sunardi, Op. Cit., h. 65., dan Johan Hendrik Meuleman, “Riwayat Hidup…”, Op. Cit, h. 14
8 Muhamad Arkoun, op.cit, hal. 39. lihat juga, beberapa kitabnya yang membahas khusus tentang urgensitas ilmu humainora: Naj’ah al-Ansanah fi Fikr al-Arabi, Dar al-Saqi, cet. II. 2006, hal. 24, al-Fikr al- Islami: Qira`ah ‘Ilmiyyah, Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, cet, III, 1996, hal. 87, al-Fikr al-Ushuli wa Istihalah al-Ta`shil: Nahwa Tarikh Akhar li al-Fikr al-Islami, Dar al-Saqi, cet. II, 2007, hal. 295.
9 Muhamad Arkoun, Târîkhiyyah al-Fikri al-Arabiy al-Islâmiy, Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, cet. II, 1996, hal. 31
10 Muhamad Arkoun, Qadhaya fi Naqd al-Aql al-Dini: Kayfa Nafhamu al-Islam al-Yawm?, Dar al- Thali’ah, cet. III, hal. 58
11 Ideas Cresol, Ushr al-Binyawiyah, Dar al-Sa’ad al-Shabah, cet. I, 1993, hal. 36
12 Jaques Lacan adalah seorang pemikir Prancis yang mempelajari psikologi Sigmund Frued. Ia bisa mengembangkan lebih jauh pemikiran Frued, sebab mampu mengkomparisakan psikologi dengan analisa kebahasaan, dan, karenanya, menganggap bahwa psiko-analisis sebanding lurus dengan strukturalis. Dan ini yang mengantarkan namanyaa mencuat di Prancis yang semula alergi terhadap pemikiran Freud. Lihat: Ideas Cresol, op.cit., hal. 208
13 Lihat: Ideas Cresol, op.cit., hal. 48
14 Ibid., hal. 56
15 Muhamad Arkoun, Naz’ah al-Ansanah fi Fikr al-Araby, op.cit., hal. 24
16 Howard M Federspiel menyetarakan kedudukannya dengan Fazlurrahman dan Faruqi. Lihat makalahnya “Post-modernist Muslim Thought: Fazlurrahman, Faruqi and Arkoun” yang didiskusikan di beberapa kampus di Indonesia, Oktober 1994.
17 Menyoal Istilah antara Kritik Nalar Arab-nya Abed al-Jabiri dan Kritik Nalar Islam-nya Arkoun, tentunya mempunyai siginifikansi dan konsekuensi sendiri-sendiri. Alasan Arkoun lebih memilih “Nalar Islam” –dibanding “Nalar Arab”– sebab ingin menuju terhadap jantung langsung: Akidah Islam, di mana, dengan demikian, terma tersebut mempunyai cakupan melampaui perikehidupan muslim secara utuhmenyeluruh, tidak hanya terjebak dengan letak geografis Arab dan bahasanya. Dan secara praktis ketika al- Jabiri lebih banyak mengandalkan dominasi perangkat metodologinya pada wilayah Arab, maka Arkoun mengunggulinya terhadap wilayah akidah Islam secara universal. Lihat: Mukhtar al-Fajjari, Naqd al-‘Aql al- Islami ‘inda Muhamad Arkoun, Dar al-Thali’ah, hal.72
18 Dalam hal ini ada dua nama orientalis yang disebut-sebut Arkoun sebagai orientalis yang gemilang. Pertama, Joseph Van Ess, dalam buku Theology Und Gesellschaft in 2 und 3 Jahrhundert Hidschra: Eine Geschichte des Religgios Denkens in Fruhen Islam, terbitan Berlin dan Newyork tahun 1991- 1997 dalam enam jilid. Sebagai orang yang berdarah Jerman, Van Ess tampak menguasai serta mewarisi dengan baik metode filologi yang muncul dari tanah kelahirannya. Disamping mewarisi metode dari leluhurnnya, ia juga mampu menerapkan metode metode sosiologi-sejarah dalam menjelaskan keterkaitan hubungan antar sejarah teologi dengan kelompok masyarakat, dan sistem politik-budaya yang multikultural pada abad-abad pertama hijriah. Ia, dengan demikian, telah berhasil melampaui loncatan epistemiologis dibanding para pendahulunya. Lihat: Muhamad Arkoun, Qadhaya fi Naqd al-Aql al-Dini: Kayfa Nafhamu al-Islam al-Yawm? op.cit., hal. 47-49. Kedua Jacquiline Chabbi dalam karya, Le Seigneur de Tribus – l’Islam de Mohamet, terbit di Paris 1997. Buku ini merupakan usaha keras historisasi wacana teks al-Qur’an dengan cara menghubungkannya dengan lingkungan geografis, naturalitas, dan kemanusiaan, yang ada pada semenanjung arab pada abad VII M. Lihat: Muhamada Arkoun, al-Qur’an: Min al-Tafsîr al-mauruts ila tahlil khitab al-diniy, op.cit., hal. 21
19 Dikutip dari Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interriligious Solidarity against Oppression, (Oxford: Oneworld, 1997), h. 69.
20 Johan Hendrik Meuleman, “Riwayat Hidup dan Latar Belakang Mohammed Arkoun”, dalam Mohammed Arkoun, Nalar Islami …, op.cit. , h. 26.
21 Mohammed Arkoun, La Pensee arabe, ed. Ke-3 Paris: PUF, 1979, Bab 1, “Le fait coranique,” hal.5 dst.
22 Leonard Binder, Islam Liberal, Kritik terhadap Idiologi-ideologi Pembangunan, alih bahasa Imam Muttaqin, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2001, hal.239
23 Mohammed Arkoun, Essais, hal. 189 dan catatan lain yang menyinggung tentang penggunaan istilah itu oleh Derrida dalam karyanya, De la grammatologie.
24 Leonard Binder, ibid, hal.238
25 (1867-1963) Andre Lalande adalah seorang penulis besar dari francis, salah satu buku fenomenalnya adalah Dictionnaire des philosophes yang kemudian diterjemahkan kebahasa Arab oleh Kholil Ahmad Kholil Mausu’atu Lalande al-Falsafiyah.
26 Mukhtar al-Fajjari, Naqd al-‘Aql al-Islami ‘inda Muhamad Arkoun, op.cit., hal. 68. Ini berarti, secara tegas, Arkoun membedakan posisi akal historical-nya dan akal ala neo platonic/helenestik yang menyatakan akal sebagai lajur transedental dan metafisik secara konteks. Sebab ia sendiri setuju dengan pemaknaan akal transendental (akal ilahi) sebagi salah satu struktur bangunan akal Islam elementer.
27 Mukhtar al-Fajjari, Ibid, hal. 70.
28 Mukhtar al-Fajjari, Naqd al-‘Aql al-Islami ‘inda Muhamad Arkoun, op.cit., hal. 70-71
29 Ibid., hal. 141-146
30 Dalam era terakhir inilah sosok Arkoun menampilkan diri dengan mencoba mendobrak kemapanan diskursus ortodoksi. Ia meneriakan purifikasi modernitas ala Islam. Modernitas, dalam konteks arkounis, adalah milik setiap bangsa. Adalah salah kaprah juga jika terma modernitas hanya didaku Barat –sebagaimana asumsi para orientalis. Sebab menurutnya, modernitas tidak hanya milik Barat dan muncul di Barat saja. Setiap manusia, di mana pun berada, memiliki karakter modernitas sesuai takaran ruang bahasa, ras budaya, dan geografis. Barangkali dalam pemaknaan Barat, modernitas bercirikan dengan jargon “the death of God” atau “the death of human”. Realitanya, humanisme –sebagai ejawantah ruh modernitas– ternyata tidak hanya muncul di Eropa, melainkan di dalam peradaban Islam juga. Penokohan ikon-ikon modernitas Islam seperti Miskawyh, Tawhidi, dan al-Jahidh, jauh-jauh hari sudah ada sebelum muncul ledakan modernitas di Barat. Lihat: Mukhtar al-Fajjari, Naqd al-‘Aql al-Islami ‘inda Muhamad Arkoun, op.cit., hal. 159
31 Muhamad Arkoun, al-fikri al-ushuli wa istihalah al-ta’sil, op.cit, hal. 10
32 Ibid.,op.cit, hal. 11, Namun menurut Ali Hab, Arkoun kerap menyepelekan hal-hal teknis seperti mendefinisikan secara detail suatu diskursus serta kebanyakan menggunakan “terma-terma membingungkan” pembaca; karenanya Ali Harb memplesetkan “wilayah tak terpikirkan Arkoun” (l’impinse/unthinkable/alla mufakar fîh) menjadi wilayah terlarang (al-mumtani’ ‘an al-tafkîr). Lihat: Ali Harb, “al-Mamnu’ wa al- Mumtani’”, al-Markaj al-Tsaqafi al-Arabi, Beirut, cet. IV 2005, hal.123.
33 Ini yang kemudian agak membingungkan para pengkaji Arkoun dalam membedakan terma Kritik nalar Islam dan Islam Aplikatif: antara mana subjek metodologi dan objek kajian. Sebab keduanya memiliki hampir kemiripan dan kesamaan atau jangan-jangan memang hanya beda terma tapi satu substantif. Wajar jika para pemerhati pemikiran Arkoun berbeda pandangan dalam memposisikan ‘Islamologi Aplikatif’ dan ‘Kritik nalar Islam’. Mukhtar Fajjari menafsiri terma Islamologi Aplikatif secara teoritis, sementara Kritik nalar Islam diartikulasikan secara praksis: yakni sebagai terapan objek kajian Arkoun. Dalam satu kesempatan, ia memahami bahwa keduanya merupakan terma yang berkelindan dan mata rantai yang sulit dipisahkan serupa mata uang. Namun dalam persepsi Fauzi Badawi lain lagi, yang memaknai Islamologi Aplikatif sebagai metode sekaligus proyek dan objek kajian Arkoun. Sebab dalam prakteknya, sebagaimana termaktub dalam pembacaan baru surat al-Fatihah, Arkoun tampak tidak memilah secara tegas antara objek kajian dan metodologi. Tentu hal ini dilatarbelakangi akibat relasi antara Islamologi Aplikatif dan Kritik nalar Islam Arkoun yang terkesan integral sebagai suatu kesatuan (talazum-tadûkhul) dan, Arkoun sendiri tidak menjelaskan secara kompleks, terbiar mengalir begitu saja dalam setiap karya-karya. Suatu ritme anual dan membosankan bagi pembaca, barangkali.
34 Mukhtar al-Fajjari, Naqd al-‘Aql al-Islami ‘inda Muhamad Arkoun, op.cit., hal.178
35 Soerjono Soekanto, Sosiologi; Ssuatu Pengantar, Rajawali Press, cet. XXVI, 1990, hal.21
36 Ibid., 21-22
37 Hasyim Sholeh, Madkhâl ila al-Tanwîr al-Uruba, Dar al-Ahaliah, cet. I, 2005, hal. 241-246
38 Ibid., hal. 129-130
39 Ali harb, al-Mamnu’ wa al-Mumtani’, op.cit. hal. 124
40 Ron Haleber, al-Aql al-Islam amam Turats Ushru al-Anwr fi al-Gharb; al-Juhud al-Falsafiyah inda Arkoun, cet. I, Syria, Al-Ahali, 2001, hal. 198
41 Ibid., hal. 303
42 Ibid., hal. 159
43 Ali Harb, al-Mamnu’ wa al-Mumtani’, op.cit. hal. 121