Menimbang kembali Pendidikan Multikulturalisme

Munculnya  Multikulturalisme

Multikulturalisme adalah  kesejajaran budaya. Masing-masing budaya manusia atau kelompok etnis harus diposisikan sejajar dan setara. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih dominan .(Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008). Melihat istilah ini, multikulturalisme berarti ingin menumbuhkan sikap ragu-ragu atau skeptis sehingga yang ada hanya relatif. Kemudian juga Prof. Dr. Syafiq A. Mughni, M.A dalam pengantar buku Pendidikan Multikultural mengatakan ” setiap peradaban dan kebudayaan yang ada berada pada posisi yang sejajar dan sama. Tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi atau dianggap tinggi (superior) dari kebudayaan lain. Ungkapan seperti inilah yang harus disikapi dengan arif dan bijak.

Dari ungkapan diatas bisa diartikan bahwa semua kebudayaan adalah sama tak ada yang lebih tinggi. Jika hal ini yang dimaksud berarti istilah baik dan buruk adalah memiliki makna yang sama. Sebab semua dipukul rata. Tidak ada yang lebih unggul. Padahal dalam ajaran islam suatu kebaikan adalah lebih tinggi derajatnya dari sesuatu yang lebih buruk. Sesuatu yang benar lebih mendapatkan tempat dari pada kesalahan. Islam juga sangat jelas membendakan haq dan bathil, muslim dan musyrik.

Sebetulnya istilah multikulturalisme dimunculkan dan ditawarkan untuk meminimalisir konflik antar budaya yang ada tetapi yang terjadi hanya kedamaian yang semu. Di era globalisasi adalah era keterbukaan. Tidak ada sekat pembatas antar golongan. Sehingga semua golongan akan bercampur baur dalam satu kehidupan. bahkan seorang ahli komunikasi Kanada, McLuhan mengatakan “dunia merupakan kampung besar (global Village). Dengan ada globalisasi berarti sekat-sekat yang ada harus di leburkan. Bahkan Samuel P. Huntington meramalkan dalam bukunya The Clas of Civilization akan terjadi benturan peradaban dan disinyalir akibat dari beberapa factor: politik, sosial, budaya, ekonomi, ras dan bahkan agama.

Namun, sangat disayangkan, solusi yang ditawarkan bukan meminimalkan permasalahan tetapi sebaliknya menambah permasalahan. Dengan menawarkan solusi multikulturalisme, berarti akan mengaburkan nilai-nilai yang ada. Adapaun nilai-nilai tersebut seperti norma agama, baik-buruk, haq-bathil, benar-salah dan lain sebagainya dianggap sederajat dan sama tidak ada sekat yang membedakan yang kontradiktif berbeda. Jika seperti itu maka ajaran agama akan kabur dan semakin tidak jelas. Padahal dalam islam dari nilai-nilai agamalah konstruksi perdaban terbentuk dan bukan budaya yang membentuk konstruksi agama. inilah yang membedakan antara islam dan Barat. Istilah multikulturalisme adalah lahir dari sejarah Barat. Istilah ini pernah muncul di Amerika pada tahun 1960. kala itu terdapat diskriminasi terhadap penduduk asli Amerika.

Bahaya multikulturalisme

Multikulturalisme bukanlah sekedar wacana tetapi merupakan sebuah idiologi. Idiologi yang dikembangkan adalah melalui bangunan perbedaan yang ada. Perbedaan yang ada tersebut diramu dan diracik sehingga menghasilkan sebuah teori tidak ada klaim kebenaran (truth claim) dan superior diantara golongan, sebab manusia tidak dapat meraih kebenaran yang absolut. Hal ini senada dengan St. Nugroho, multikulturalisme harus disikapi dengan rendah hati “menerima kenyataan” bahwa seseorang tidak mampu memiliki kebenaran absolute (Multikulturalisme, Belajar Hidup bersama dalam Perbedaan, Indeks 2009). Padahal ungkapan St. Nugroho ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Menurut Islam kebenaran absolute bisa sampai kepada manusia. Manusia oleh Allah dibekali panca indera, akal serta wahyu. Dari tiga komponen inilah kebenaran absolut bisa sampai pada manusia. Bahkan juga Allah mengutus para nabi dan rasul. Sehingga sifat keragu-raguan terhadap kebenaran dapat dihilangkan. Jika umat Islam ragu-ragu dengan ajaran Islam berarti terjadi kesalahan dalam keimanannya.

Para pendukung ide atau teori ini sangat menarik untuk dicermati. Mereka para pendukung ide multikulturalisme ini mengklaim bahwa apa yang mereka tawarkan adalah sesuatu yang harus diikuti oleh semua kalangan, tetapi golongan diluar mereka tidak boleh mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar. Bahkan para pendukung ide/teori ini memberikan cap diluar golongan mereka dengan primitive, konserfatif atau fundamental. Jika para pendukung ide/teori multikulturalisme tetap mengklaim bahwa ide atau teori tersebut adalah benar dan harus diikuti oleh semua golongan. Maka, teori tersebut telah runtuh sebab bertentangan dengan teori yang sedang dibangun oleh teori itu sendiri.

Multikulturalisme juga akan menganggap bahwa semua agama adalah sama dan sederajat dengan golongan yang lainnya, kebenaran absolute tidak dapat diterima oleh manusia sebab manusia meruang dan mewaktu, padahal dalam Islam kebenaran absolute itu dapat diterima yaitu melalui kabar terpercaya atau riwayat-riwayat yang  terpercaya (tsiqoh). Jika multikulturalisme ditelan mentah-mentah umat Islam berarti akan merusak bangunan Islam yang telah final, dan Islam akan didekontruksi ulang. Padahal ajaran Islam telah sempurna. Dan Islam sholihul makan wa zaman, islam sangat sesuai dengan perkembangan zaman, sebab ajaran Islam telah lengkap dan sempurna.

Multikulturalisme beranggapan bahwa semua agama adalah sama, tidak ada yang superior atau yang berpendapat lebih baik atau lebih benar dari yang lain. Sebab manusia sifatnya relative. Bahaya ini juga akan menimpa pada pernikahan. Pendukung multikulturalisme menyatakan bahwa menikah benda agama adalah sah. Bisa kita lihat ungkapan Ulil Agshar Abdalla, “…. Islam adalah agama revolusioner. Ini dibuktikan dengan dibolehkannya kawin campur, antara laki-laki Muslim dengan perempuan ahl kitab. Revolusi ini mesti diteruskan, sehingga pernikahan beda agama tak lagi menjadi soal”. Selain itu juga dalam buku Memoar Cintaku yang ditulis Ahmad Nurcholish menceritakan pengalaman perjalanan cinta sang penulis dengan seorang perempuan Khonghucu dan pada pernikahan tersebut Ulil Abshar Abdalla menjadi saksinya.

Multikulturalisme pada saat sekarang menjadi salah satu isu dalam dunia pendidikan. Bahkan mantan Menteri Pendidikan Nasional, Malik Fajar (2004) pernah mengatakan pentingnya pendidikan multikulturalisme di Indonesia. Menurutnya, pendidikan multikulturalisme perlu ditumbuhkembangkan, karena potensi yang dimiliki Indonesia secara kultural, tradisi, dan lingkungan geografi serta demografis sangat luar biasa. Kemudian juga Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, khususnya Pasal 13 sempat ditentang oleh sebagian golongan. Menurut mereka Undang-Undang tersebut tidak sesuai dengan nafas multikulturalisme bahkan semakin memperuncing diskriminasi. Padahal jika ditelaah dengan seksama Undang-Undang tersebut memberikan porsi yang adil. Adil dalam makna menempatkan sesuatu pada tempatnya. Sudah selayaknya peserta didik menerima materi agama dari guru agamanya yang seagama. Agama adalah sesuatu yang sangat penting sebab agama adalah way of life bagi setiap pemeluknya. Jika ide/teori ini dimasukkan dalam kurikulum pendidikan, maka yang dihasilkan adalah generasi yang bingung, ragu-ragu dan skeptis terhadap ajaran agamanya. Inilah bahayanya ide/teori multikulturalisme, dan ide ini sebenarnya adalah kepanjangan dari ide pluralisme yang pada saat sekarang banyak ditentang oleh masyarakat.

Pluralitas dan multikultur

Pluralitas dan multikultur adalah sebuah fenomena dan realitas sosial dan itu bukan mejadi kendala dalam Islam. Realitas yang plural dan multikultur adalah sudah menjadi sunnatullah. Keberanekaragaman corak budaya, bahasa, ras, etnis, suku serta agama adalah sebuah realita yang ada pada saat sekarang dan itu merupakan wujud kekuasaan Allah swt, tetapi kenyataan realitas tersebut bukan harus membenarkan yang salah, terus diangkat pada derajat kebenaran “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”.  QS Ar-Ruum 22

Berdasarkan ayat tersebut keberagaman adalah sunnatullah dan untuk menjadikan satu adalah sebuah kemustahilan. Sebab Allah menciptakan manusia yang beraneka ragam adalah supaya manusia saling mengenal dan saling menghargai. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. QS Al-Hujuraat 13.

Dari dua ayat ini dapat dipahami bahwa didunia ini terdiri dari berbagai macam bahasa yang dimiliki oleh makhluk, kemudian manusia bukan hanya terdiri dari satu macam kulit tetapi terdiri dari berbagai corak warna kulit. Manusia juga bukan hanya terdiri dari satu jenis tetapi terdiri dari laki-laki dan perempuan. Manusia juga bukan terdiri dari satu bangsa dan suku tetapi manusia terdiri dari berbagai suku dan bangsa. Itu semua oleh Allah tunjukkan kepada manusia, bahwa Allah Mahakuasa serta dari berbagai macam corak tersebut bukan untuk menjadi kendala manusia untuk membangun sebuah kebersamaan untuk mencari kemuliaan Allah dimuka bumi ini dan membangun peradaban yang mulia serta berakhlaqul karimah. Islam mengakui pluralitas dan multikultur adalah frealitas sosial. Dan untuk mendamaikan keberbedaan ini adalah melalui toleransi. Menghargai keberadaannya, menghormati aktifitasnya akan tetapi umat Islam harus tetap yakin bahwa Islam adalah jalan yang paling benar.

Solusi

Globalisasi merupakan sebuah kenyataan yang harus dihadapi dan disikapi dengan bijaksana. Kenyataan ini tidak dapat ditolak, tetapi juga bukan berarti harus diterima. Menurut Hamid Fahmy Zarkasyi “Globalisasi merupakan keadaan, dimana bangsa-bangsa terkondisikan untuk menerima kultur, tradisi dan nilai-nilai yang dianggap mendunia dan menyeluruh. (Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis), CIOS-ISID Gontor, 2008). Globalisasi perlu dipahami dan direspon secara tepat

Salah satu cara yang bisa dilakukan dalam memfilter nilai-nilai globalisasi yang tidak sesuai corak serta gaya hidup masyarakat adalah melalui pendidikan. Pendidikan merupakan agent of change. Melalui pendidikanlah masyarakat mengetahui hitam-putih, benar-salah, baik-buruk, haq-bathil dan lain sebagainya. Tetapi jika wadah ini tidak berani untuk membedakan antara haq-bathil, benar-salah, baik buruk kepada peserta didiknya, serta yang diajarkan adalah bentuk kerelativitasan, maka yang akan dihasilkan adalah “generasi abu-abu”, generasi yang “banci” karena tidak berani menyatakan dengan jelas suatu kebenaran.

Pendidikan adalah sarana manusia untuk menuju suatu perubahan. Muhammad Abduh mengatakan bahwa pendidikan merupakan alat yang ampuh untuk melakukan perubahan. Menurut konferensi internasional pendidikan Islam di Universitas King Abdul Aziz tahun 1977 merumuskan bahwa pendidikan tidak bisa lepas dari pengertian ta`lim, tarbiyah dan ta`dib, dari ketiga unsur ini hanyalah untuk mengabdikan kepada Allah dan untuk kemaslahatan umat.

Peranan pendidikan dalam masyarakat memiliki peranan yang sangat vital. Tanpa pendidikan sebuah bangsa atau masyarakat tidak akan merasakan kemajuan, sebab peradaban manusia akan terlahir dari tingkat penguasaan ilmu pengetahuan, pengabdian dan keihlasan serta pengamalan ilmu. Banyak dari generasi yang memiliki kemampuan dalam penguasaan ilmu pengetahuan tetapi tidak didasari dengan pengabdian serta keihlasan akhirnya mendatangkan bencana. Jadi tingkat majunya sebuah peradaban disuatu bangsa atau masyarakat dapat dilihat dari cara berfikirnya masyarakat. Baik kemajuan politik, social, ekonomi, budaya dan agama.

Jadi pendidikan multikulturalisme bukanlah solusi dalam memecahkan permasalahan yang ada, tetapi timbulnya paham ini memberikan efek yang sangat bahaya terhadap peserta didik. Sebab multikulturalisme tujuannya adalah persamaan dan kesederajatan. Jika antara salah dan benar dianggap sama atau budaya baik dan budaya buruk dianggap sama, maka yang terjadi adalah kebingungan dan skeptisisme peserta didik. Keadaan seperti ini seperti masyarakat Barat, bingung dengan tujuan mereka untuk hidup.

Last modified: 19/12/2023

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *