Oleh : Kholili Hasib
Inpasonline.com – “Bangsa tidak akan jaya jika warganya bodoh. Hanya dengan ilmu suatu bangsa menjadi baik.” Demikian kalimat Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari yang dikutip oleh Muhammad Asad Shahab dalam bukunya berjudul “Al-Allamah Muhammad Hasyim Asy’ari, Awwalu Waadi’I Labinati Istiqlali Indunisiyya”.
Muhammad Asad Shahab disebut-disebut penulis pertama biografi Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (Kiai Hasyim) merekam dengan baik gerak perjuangan Kiai Hasyim. Ketika di Makkah, Kiai Hasyim bersama para tokoh-tokoh dari berbagai negara Afrika dan Asia bersumpah di depan Multazam untuk memerdekan bangsanya masing-masing sepulang ke negerinya. Bertekad melawan penjajah untuk kejayaan Islam dan bangsanya.
Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari adalah ulama’ kenamaan yang lahir dari darah keturunan para ulama’. Ayahnya, Kyai Asy’ari adalah seorang ulama’ di daerah selatan Jombang yang memiliki pesantren. Kakeknya, Kyai Ustman, terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Ayah kakeknya, Kyai Sihah, juga ulama’, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.
Selama tujuh tahun ia nyantri di Makkah berguru kepada masyayikh di tanah haram. Di antaranya ia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib, Syekh ‘Alawi dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis yang berasal dari Termas Jawa Timur.
Sepulang ke tanah air, ia memulai tapak perjuangan melalui pendidikan dan organisasi sosial. Di bidang pendidikan ia mendirikan pesantren bercorak tradisional di Tebuireng Jombang. Untuk mengkonsolidasi dakwah secara efektif ia mendirikan jam’iyyah Nahdlatul Ulama’, yang artinya organisasi kebangkitan ulama’ pada 31 Januari tahun 1936.
Ia termasuk penulis produktif. Karya yang dibukukan sekarang ini ada sekitar 19 kitab. Jumlah kitab tersebut belum risalah-risalah pendek yang belum dicetak.Menurut informasi, risalah-risalah itu masih tersimpan di perpustakaan keluarga di Jombang.
Sepertinya Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari ingin meneladani Imam al-Ghazali dalam berdakwah. Imam al-Ghazali dalam gerakan pembaharuannya dilakukan dengan membenahi ilmu dan ulama’. Syekh Hasyim Asy’ari dengan berdirinya NU, berusaha membangkitkan ulama’ dan semangat untuk kembali kepada ajaran-ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja).
Ulama’ adalah ‘mesin’ dakwah Islam. Oleh sebab itu ketika terjadi krisis, ulama’ harus dibangkitkan, dibenahi keilmuannya dan diatur strategi perjuangannya.
Dalam kitabnya al-Tibyan fi al-Nahyi ‘an Muqatha’ati al-Arham wa al-‘Aqarib wa al-Ikhwan terekam nasihat-nasihat penting yang disampaikan dalam pidato mu’tamar NU ke-XV 9 Pebruari 1940 di Surabaya.
Ia menyeru kepada umat Islam untuk bersungguh-sungguh berjihad melawan akidah yang dikelirukan dan orang yang menghina al-Qur’an.
Dalam suatu pidato di Muktamar yang dihadiri para ulama’, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari menyeru untuk meninggalkan fanatisme buta kepada satu kelompok. Sebaliknya ia mewajibkan untuk membela agama Islam, berusaha keras menolak orang yang menghina al-Qur’an, dan sifat-sifat Allah SWT, dan memerangi pengikut ilmu-ilmu batil dan akidah yang rusak. Usaha dalam bentuk ini wajib hukumnya. Ia mengatakan:
“Wahai para ulama’ yang fanatik terhadap madzhab-madzhab atau terhadap suatu pendapat, tinggalkanlah kefanatikanmu terhadap perkara-perakar furu’, dimana para ulama telah memiliki dua pendapat yaitu; setiap mujtahid itu benar dan pendapat satunya mengatakan mujtahid yang benar itu satu akan tetapi pendapat yang salah itu tetap diberi pahala. Tinggalkanlah fanatisme dan hindarilah jurang yang merusakkan ini (fanatisme). Belalah agama Islam, berusahalah memerangi orang yang menghinal al-Qur’an, menghina sifat Allah dan perangi orang yang mengaku-ngaku ikut ilmu batil dan akidah yang rusak. Jihad dalam usaha memerangi (pemikiran-pemikiran) tersebut adalah wajib” (al-Tibyan, hal. 33).
Menurut Syekh Hasyim Asy’ari, fanatisme buta berlebih-lebihan (ghuluw) dalam satu perkara yang remeh tidak dipernkenankan oleh Allah SWT, tidak diridlai oleh Rasulullah SAW (al-Tibyan, hal. 33). Oleh sebab itu ia menyeru untuk menyatukan shaf.
Jika menghadapi sesama aswaja, ia melarang untuk bertindak keras dan kasar, tapi harus dengan cara yang hikmah. Sebaliknya, orang-orang yang menyalahi aturan qath’i tidak boleh didiamkan. Semuanya harus dikembalikan kepada al-Qur’an, hadis, dan pendapat para ulama terdahulu.
Dalam kitab Risalah Ahlus Sunnnah Syekh Hasyim Asy’ari menyinggung persoalan aliran-aliran pemikiran yang dikhawatirkan akan menyebarkan ke dalam umat Islam Indonesia. Misalnya, kelompok yang meyakini ada Nabi setelah Nabi Muhammad, Rafidlah yang mencaci sahabat Nabi SAW, dan kelompok Ibahiyyun harus diperangi dan dibenahi akidahnya.
Dalam kitab yang sama, beliau mengutip hadis dari kitab Fathul Baariy bahwa akan datang suatu masa bahwa keburukannya melebihi keburukan zaman sebelumnya. Para ulama dan pakar hukum telah banyak yang tiada. Yang tersisa adalah segolongan yang mengedepan rasio dalam berfatwa. Mereka ini yang merusak Islam dan membinasakannya.
Ditulis dalam Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyati Nadlatu al-‘Ulama, Hadratus Seykh Hasyim Asy’ari mewanti agar berhati-hati jangan jatuh pada fitnah, yakni orang yang tenggelam dalam lautan fitnah, yaitu berdakwah mengajak kepada agama Allah akan tetapi dalam hati ia durhaka kepada-Nya.
Inilah karakter Syekh Hasyim Asy’ari yang patut diteladani umat. Beliau salah satu tokoh nasional yang berjasa besar terhadap umat Islam Indonesia. Beliau tak segan membenahi umat Islam yang dalam kekeliruan. Semuanya demi Islam, demi keagungan Allah, bukan demi manusia tertentu.