Mengaji Akidah Kepada Syekh Abd al-Shomad al-Falimbani

Oleh: Muhammad Ardiansyah

indexInpasonline.com-Aqidah adalah masalah paling penting dalam agama. Aqidah menjadi landasan segala amal. Beramal tanpa aqidah yang benar ibarat membangun tanpa memiliki lahan. Semua akan sia-sia belaka.

Untuk memahami aqidah yang benar seorang Muslim harus menuntut ilmu aqidah. Para ulama seperti Imam al-Ghazali menyatakan bahwa ilmu aqidah adalah ilmu fardhu ‘ain atas tiap Muslim. (Al-Ghazali, Ihya’ Uluum al-Diin, (Kairo:Dar Mishr li al-Thiba’ah, 1998), Juz I, hlm. 26). Artinya, orang yang tidak mempelajari ilmu aqidah akan menanggung dosa.

Dalam masalah aqidah, konsep Tuhan menjadi pembahasan utama sebelum masuk pembahasan lainnya. Kata Syekh Ibn Ruslan, Awwalu wajibin ‘ala al-insani, ma’rifat al-Ilahi bi istiqani, artinya, kewajiban manusia yang paling utama adalah mengenal Tuhan dengan yakin. (Ibn Ruslan, Matan Zubad, (Jakarta:al-Aidarus, tanpa tahun), hlm. 5).

Bagaimana kita bisa mengenal Tuhan dengan dengan yakin? Di sinilah kita harus merujuk kepada Ulama yang otoritatif dan bisa dipercaya. Ulama yang bermadzhab aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Bukan Syi’ah, Mu’tazilah, Khawarij ataupun aliran lain yang keluar dari jalan yang benar.

Salah satu ulama yang layak kita rujuk dalam pembahasan aqidah adalah Syekh Abd al-Shamad al-Falimbani. Pada bab pertama karyanya, Hidayat al-Salikin, al-Falimbani membahas secara ringkas masalah aqidah. Alhamdulillah, saat ini kitab itu sedang saya kaji bersama para santri ponpes Shoul Lin al-Islami, Depok.

Siapa Syekh Abd al-Shamad al-Falimbani?

Al-Falimbani adalah seorang ulama mujahid. Lahir sekitar tahun 1116 H/1704 M di Palembang. Perjalanan intelektualnya berawal di Kedah dan Patani, lalu berlanjut di Saudi Arabia. Di sana al-Falimbani bergabung dengan komunitas Nusantara seperti Muhammad Arsyad al-Banjari, Abd al-Wahhab al-Bugisi, Abd al-Rahman al-Batawi, dan Daud al-Fatani.

Al-Falimbani dan kawan-kawannya berguru pada ulama-ulama besar di tanah suci. Diantara guru-gurunya yang paling utama adalah Muhammad ibn Abd al-Karim al-Sammani, Muhammad ibn Sulayman al-Kurdi, dan Abd al-Mun’im al-Damanhuri. Di bawah bimbingan guru-guru yang hebat ini, tidak aneh jika kemudian al-Falimbani menjadi salah satu ulama yang paling berpengaruh pada abad XVIII M.

Hal itu dibuktikan dengan dua karyanya yang paling utama, Hidayat al-Salikin dan Sayr al-Salikin yang banyak beredar dan memiliki pengaruh luas di Nusantara. Sosok al-Falimbani sebagai ulama Mujahid bisa dilihat dari karya-karyanya yang selalu membangkitkan semangat jihad untuk melawan orang-orang Eropa, khususnya Belanda. (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, Edisi Perenial, (Jakarta:Kencana, 2013), hlm. 316-327).

Selain dua karya monumental, otoritas keilmuan al-Falimbani bisa dilihat dari isnad-isnad keilmuan yang dimilikinya. Syekh Yasin ibn Isa al-Fadani yang dikenal dengan gelar Musnid al-Dunya (pemegang sanad dunia), banyak menyebut nama al-Falimbani dalam sanad fiqh dan tasawufnya. (Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, edisi revisi, (Yogyakarta:Gading Publishing, 2012), hlm. 378-379)

Al-Falimbani menghabiskan umurnya dengan menghidupkan tradisi ilmu. Dia telah mewakafkan dirinya untuk umat Islam. Sampai akhirnya kembali ke Rahmatullah setelah merampungkan karyanya yang terakhir dan monumental, Sayr al-Salikin. (Azra, Jaringan Ulama, hlm. 320).

Pandangan Al-Falimbani tentang Konsep Tuhan

Dalam menjelaskan konsep Tuhan, al-Falimbani mengulasnya secara singkat tapi padat. Tidak menyertakan dalil-dalil yang detail dan contoh-contohnya. Dengan kata lain, al-Falimbani hanya menyampaikan kaidah kunci yang mendasar untuk memahami konsep Tuhan yang benar. Hal ini bisa dipahami, karena penyusunan kitab Hidayat al-Salikin memang ditujukan untuk pemula. Sehingga tidak diperlukan pembahasan yang lebih mendalam. Yang penting orang awam bisa paham dengan baik dan mampu membentengi dirinya dari berbagai “virus” yang menggoyahkan keyakinannya.

20160413_224530Al-Falimbani menggunakan metode tanzih dalam menyampaikan konsep Tuhan. Dia menyebutkan kaidah-kaidah untuk mensucikan Allah dari berbagai sifat yang tidak layak bagi-Nya. Menurutnya, setiap orang yang aqil baligh wajib mengetahui bahwa Allah SWT itu Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada bandingan-Nya, tiada awal dan tiada akhir untuk wujud-Nya, tidak menyerupai makhluk-Nya, bukan benda, tidak butuh kepada apapun seperti tempat, masa dan sebagainya. (Abd al-Shamad al-Falimbani, Hidayat al-Salikin, (Indonesia:Syirkah Maktabat al-Madaniyyah, tanpa tahun), hlm.19-20.

Selanjutnya, al-Falimbani mengurai kandungan dua kalimat Syahadat. Seperti Ulama Ahlussunnah pada umumnya, al-Falimbani menyatakan bahwa dalam kalimat Asyahadu allaa Ilaha illaLlah terkandung dua puluh sifat yang wajib bagi Allah, dua puluh yang mustahil dan satu yang jaiz. Dua puluh sifat yang wajib itu adalah wujud (ada), qidam (sedia), baqa’ (kekal), mukhalafatuhu li al-hawadits (bersalahan Ia bagi segal yang baharu), qiyamuhu Ta’ala binafsihi (berdiri dengan sendirinya), wahdaniyah (esa), qudrat (kuasa), iradat (berkehendak), ‘ilmu (mengetahui), hayat (hidup), sama’ (mendengar), bashar (melihat), kalam (berkata-kata), qaadirun (Yang Kuasa), Muriidun (Yang Berkehendak), ‘Aalimun (Yang Mengetahui), Hayyun (Yang Hidup), Samii’un (Yang Mendengar), Bashiirun (Yang Melihat), dan Mutakalllimun (Yang Berkata-kata). Dua puluh sifat yang mustahil adalah lawanan dari sifat-sifat itu. Sedangkan sifat yang jaiz hanya satu, yaitu berbuat yang mungkin atau meninggalkannya. (Ibid, hlm. 21-22).

Dalam tradisi keilmuan di Nusantara pemahaman semacam ini dikenal dengan aqidah sifat dua puluh. Bahkan Sayyid Utsman ibn Yahya, Mufti Betawi pada masanya memberi judul salah satu karyanya dengan nama Sifat Dua Puluh. Rumusan seperti ini bukan berarti membatasi sifat Allah SWT hanya dua puluh. Sebagai orang beriman, kita mesti meyakini bahwa Allah SWT memiliki sifat kesempurnaan yang tidak terbatas. Sebaliknya, Allah SWT mustahil memiliki sifat kekurangan yang tidak layak. Di sisi lain, kita juga harus meyakini bahwa Allah SWT boleh melakukan atau meninggalkan sesuatu yang bersifat mungkin seperti menciptakan, mematikan, menghidupkan dan sebagainya.

Sifat Allah SWT yang tidak terbatas hanya 99 apalagi 20 disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan Ibn Hibban dalam Shahih-nya. Di dalam hadits itu disebutkan bahwa Rasulullah SAW berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya aku hamba-Mu, aku memohon dengan perantaraan setiap nama yang Engkau miliki, baik Engkau namakan Zat-Mu dengan-Nya, atau Engkau turunkan nama itu dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang diantara makhluk-Mu, atau hanya Engkau saja yang mengetahui-Nya secara ghaib…”

Dari semua sifat yang Allah sebutkan di dalam al-Qur’an maupun hadits, para ulama membaginya menjadi dua. Pertama sifat al-Zat yang menjadi syarat Uluuhiyyah alias syarat mutlak ketuhanan Allah. Sifat-sifat ini wajib ada pada Allah. Lawan dari sifat-sifat ini adalah mustahil bagi-Nya. Inilah yang dirangkum dalam sifat 20 tadi. Sedangkan yang kedua adalah sifat al-Af’al. Yaitu sifat-sifat yang merupakan perbuatan Allah. Lawan dari sifat Af’al tidak mustahil bagi Allah. Misalnya sifat al-Muhyi yang berarti Maha Menghidupkan. Maka lawannya adalah sifat al-Mumit (Maha Mematikan). Sifat ini tidak mustahil bagi Allah. Karena Allah boleh menghidupkan makhluk-Nya dan boleh juga mematikannya. Kedua puluh sifat itu jika dipahami dengan baik insya Allah cukup untuk membentengi akidah seseorang dari pemahaman yang keliru mengenai Allah SWT. (Muhammad Idrus Ramli, Madzhab al-Asy’ari Benarkah Ahlussunnah wal Jama’ah?, (Surabaya:Khalista, 2009), hlm. 219-224).

Untuk mengkaji lebih dalam apa yang telah disampaikan al-Falimbani kita bisa merujuk karyanya yang lain, Sayr al-Salikin, atau karya al-Ghazali seperti Qawaid al-Aqa’id dan Al-‘Arbain fi Ushul al-Din. Tapi jika untuk pegangan sendiri, maka apa yang disampaikan al-Falimbani dalam Hidayat al-Salikin sudah cukup menjadi bekal menjaga keyakinan. Misalnya, jika di era modern ini ada pengasong pemikiran liberal mengatakan “…kenapa Dia (Allah) tidak mengadzab negeri-negeri yang menolerir LGBT sekarang?” Kita bisa dengan mudah menjawabnya. “Jika Allah menuruti kemauan ente mas, itu namanya bukan Tuhan, tetapi jongos.” Hal itu karena Allah bersifat iradat. Artinya, apapun yang dilakukan itu sesuai dengan kehendak-Nya, bukan kehendak hamba-Nya.

Umat Islam jangan hanya sibuk menjaga rumahnya, kendaraannya, dan hartanya yang lain, tapi lupa menjaga aqidahnya. Tantangan keyakinan di akhir zaman ini sangat dahsyat. Godaan dunia bisa membuat seorang menjual aqidahnya (yabi’u dinahum bi’aradhin min al-dunya). Oleh karena itu, mari sama-sama belajar, pahami dan jangan lupa berdoa agar Allah SWT senantiasa menjaga aqidah kita di zaman yang penuh fitnah dan kekeliruan ini.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *