Nomenklatur Filsafat Islam

Written by | Worldview

Oleh: Hamid Fahmy Zarkasyi

dsc_7280eeInpasonline.com-Salah satu bagian terpenting dalam framework kajian orientalis adalah nomenklatur filsafat Islam. Sebab ia berkaitan dengan framework kajian yang digunakan atau sebaliknya framework kajian mereka itu menentukan pemberian nama kepada filsafat Islam. Para orientalis umumnya berpegang bahwa nama filsafat Islam identik dengan falsafah. Falsafah tidak hanya dalam pengertian kosakata yang diambil dari bahasa Yunani Philo dan Sophia), tapi juga dalam arti konseptualnya. Pernyataan Sabra diatas menunjukkan bahwa filsafat adalah ilmu asing dalam Islam, sebab terminologinya berasal dari Yunani dalam bentuk yang di Arabkan (Arabicized), meskipun ia mengakui bahwa filsafat Yunani telah mengalami proses naturalisasi sebelum ia menjadi bagian dari ilmu Islam.

Hal ini menunjukkan bahwa dengan membawa fakta bahwa kata falsafah berasal dari kosakata Yunani yang di Arabkan Sabra berkesimpulan filsafat juga sebagai disiplin ilmu pengetahuan berasal dari peradaban asing. Materi yang dikaji pun pada mulanya berasal dari philosophia. Sehingga dengan nomenklatur ini yang diangap ahli falsafah dan disebut falasifah (filosof) hanyalah pemikir Muslim seperti al-Kindi 800-870M), al-Farabi (870-950 M), Ibn Sina (980-1037M), Ibn Rushd (1128-1196M), dll., padahal mereka dalam tradisi intelektual Islam hanyalah representasi dari apa yang kemudian disebut Muslim peripatetik (al-masha’un).

Dalam kajian modern nomenklatur filsafat Islam tidak lagi bertumpu pada kata falsafah. Para orientalis seperti  Montgomery Watt, Majid Fakhry, George Hourani, George Anawati, Henry Corbin, Michael Marmura, dan lain-lain menggunakan istilah Islamic Philosophy (Filsafat Islam), tapi makna substantifnya masih tetap falsafah dalam pengertian aslinya. Kata sifat Islam atau Islamic tidak mencerminkan substansi Islam dalam filsafat. Jadi hanya persoalan teknis kebahasaan saja. Fakhry misalnya, menggunakan istilah filsafat Islam, tapi ia setuju kalau “Filsafat Islam” disebut juga Filsafat Arab. Alasannya, filsafat dalam Islam merupakan produk dari proses intelektual yang kompleks yang melibatkan peran serta bangsa-bangsa Syria, Arab, Persia, Turki, Barbar dan lain-lain. Namun karena unsur Arab lebih dominan maka akan lebih mudah disebut dengan Filsafat Arab. Namun, anehnya, penulis-penulis Arab sendiri tidak pernah menggunakan istilah al-Falsafah al-Arabiyyah. Penekanan pada elemen Arab atau Yunani, agaknya menunjukkan suatu kesengajaan untuk menyembunyikan elemen Islam dalam filsafat. T.J.De Boer, malah memberi judul bukunya The History of Philosophy in Islam, yang bisa berarti “Sejarah Filsafat Yunani dalam Islam”.  Dalam buku Vergilius Ferm berjudul A History of Philosophical Systems,  bab ke 13 tentang filsafat Islam diberi judul The Arabic and Islamic Philosophy, tapi didalamnya lebih banyak menggunakan istilah Arab philosophy.

Dalam sebuah Kamus tentang Islam yang diterbitkan pada sekitar tahun 1920-an, filsafat Islam dimasukkan kedalam entri Muslim Philosophy, Arabic falsafah or ilmu ‘l-hikmah. Penamaan ini agak aneh, sebab falsafah disamakan dengan hikmah. Artinya Íikmah itu sama dengan Aristotelianisme yang dicampur dengan Neo-Platonisme. Keanehan yang lain juga terbaca ketika dinyatakan dengan hanya sekilas bahwa Albertus Magnus ( 1193-1280 M) menggunakan argumentasi tentang eksistensi Tuhan dari metafisika al-Farabi. Padahal para orientalis pada umumnya bersumsi bahwa filsafat Yunani telah lama berkembang dilingkungan Kristen, sehingga yang dikembangkan oleh para filosof Muslim adalah sesuatu yang telah lama berkembang ditengah orang-orang Kristen. Tapi mengapa Albertus Magnus, Thomas Aquinas dan lain-lain masih harus membaca karya-karya Yunani itu dari cara pandang cendekiawam Muslim.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam sejarah intelektual Islam, filsafat merupakan penjelasan, penafsiran dan adapsi (appropriating) elemen-elemen penting filsafat Yunani. Tapi fakta yang juga tidak dapat diingkari adalah bahwa cendekiawan Muslim telah menyeleksi dan mengembangkan elemen-elemen asing itu kedalam millieu peradaban Islam. Namun perlu dicatat bahwa cendekiawan Muslim tidak akan mampu menjelaskan, menafsirkan, mengadapsi elemen penting dalam filsafat Yunani dan memasukkannya kedalam peradaban Islam, kecuali dengan bekal pandangan hidup Islam yang mereka miliki.

Dikalangan Muslim sendiri, pada mulanya nama falsafah dipakai sebagai julukan yang diberikan kepada aktifitas ilmiyah pada sekitar abad ke 8 M.   yang utamanya mengkaji teks-teks Yunani. Namun, setelah proses, sebut saja, Islamisasi terjadi, nama falsafah difahami sebagai istilah umum yang dapat diterima sebagai salah satu cabang pengethuan dalam Islam. Asal usul nama falsafah pun akhirnya tidak lagi dipermasalahkan, yang lebih penting falsafah adalah ilmu tentang Wujud.  Ibn Taymiyyah juga tidak keberatan dengan istilah falsafah ini, asal ditambah dengan predikat al-dalalah. Demikian pula definisi filsafat sebagai ilmu tentang Wujud.

Ini berarti falsafah tidak lagi dipahami dalam kaitannya dengan pemikiran Yunani, tapi dipahami dalam arti luas dan bahkan dihubungkan dengan hikmah. Istilah hikmah disebut sekitar 20 kali dalam al-Qur’an itu sepadan dengan kata sophy atau sophia. Dikalangan masyarakat Muslim tradisional filsafat masih dipahami sebagai hikmah yang berkaitan dengan para Nabi dan para wali. Bahkan banyak orang yang tidak sadar bahwa wujud filsafat dalam Islam bisa ditemukan dalam ilmu-ilmu Islam seperti Tafsir, Hadith, Kalam, Usul al-Fiqh, Tasawwuf dan sudah tentu ilmu-ilmu alam dan mathematika, yang memiliki akar secara mendasar dalam al-Qur’an,  sumber hikmah itu sendiri.

Mungkin pernyataan Oliver Leaman bisa menggambarkan realitas ini. Ia manyatakan bahwa: “philosophy arose in Islamic theology and was without any direct contact with (Greek) philosophy”, tapi melalui perkembangan prinsip-prinsip penalaran dibidang hukum. Assimilasi pemikiran asing menjadi suatu keharusan ketika terjadi ekspansi Islam yang begitu cepat, sehingga Muslim menguasai peradaban yang sangat canggih. Meskipun demikian, asimilasi tersebut dilakukan melalui proses Islamisasi.

Artinya wacana-wacana dalam ilmu-ilmu Islam yang meliputi masalah-masalah Tuhan, akhlak, alam semesta, penciptaan, kehidupan dunia-akherat dsb. sudah dapat diklasifikasi kedalam metafisika, ontologi dan cosmologi, dan masuk kedalam kategori filsafat ketimbang teologi per se.

Terdapat kerancuan nomenklatur dikalangan orientalis. Disatu sisi mereka ingin berpegang pada nama falsafah yang merupakan kata pinjaman dari Yunani, namun disisi lain mereka menyamakan filsafat Islam dengan filsafat Muslim, filsafat Arab dan juga hikmah. Padahal nama-nama itu membawa implikasi sendiri. Istilah falsafah merujuk kepada filsafat Yunani, istilah filsafat Arab sekedar untuk menunjukkan bahasa yang dipakai dalam wacana filsafat pada waktu itu. Filsafat Muslim dan filsafat Islam dipakai untuk menunjukkan lingkungan kultural. Yang nampak rancu adalah ketika falsafah dicamakan dengan Íikmah dan kemudian mengartikannya sebagai warisan dari Yunani.

Last modified: 10/04/2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *