Menurut hitungan Prof. Dr. Muhamad Zaki Khidlr akar kata bā syīn rā dengan segala derivasinya dalam al-Qur’ān terulang sebanyak 123 kali. Sedangkan jumlah kosa kata yang diderivasikan dari akar nūn dzāl rā terulang sebanyak 130 kali.[i] Mayoritas atau bahkan hampir keseluruhan kosa kata tersebut terkait dengan makna pemberian kabar gembira dan pemberian peringatan.
Dalam Al-Qur’ān sendiri penyebutan kata basyīr dan nadzīr terkadang digunakan untuk menyifati Al-Qur’ān (misal pada QS. Fushilat/41:3-4) atau para Nabi dan Rasul (misal pada QS. Al-Kahf/18:56) dan secara khusus untuk Nabi Muhammad r (misal pada QS. Al-Baqarah/2:119).
Akan tetapi memahami makna kosa kata-kosa kata tersebut sebagai yang berdiri sendiri tidaklah cukup untuk menghasilkan konsep dimaksud. Kosa kata basyīr dan nadzīr dengan segala derivasinya yang terkait harus juga dipahami dalam konteks (siyāq) kalimat ayat-ayatnya. Dan ayat-ayat itu sendiri juga harus dipahami dalam konteks asbab al-nuzūl-nya –meskipun nantinya akan dihasilkan ‘ibrah sesuai keumuman lafadznya–, serta konteks letak ayat-ayat tersebut dalam rangkaian ayat-ayat Al-Qur’an lainnya sesuai dengan ‘ilm al-Munāsabāt.
Dan tentu saja, sebagaimana telah disinggung dalam pendahuluan, ayat-ayat yang tidak mengandung kosa kata baik basyīr maupun nadzīr dengan segala derivasinya, namun secara substantif berisi kabar gembira maupun ancaman (āyāt al-wa’d wa al-wa’īd) harus juga diperhitungkan dan dikaji secara komprehensif dan simultan untuk kemudian diraih maghzā dan petunjuk, serta prinsip-prinsip guna membangun konsep basyīr dan nadzīr dalam Al-Qur’an.
Dalam makalah ini, setelah mencoba memperhatikan “beberapa contoh” ayat-ayat dimaksud maka penulis dapat sampai kepada sejumlah kesimpulan sebagaimana dapat dilihat di bawah ini.
Tabsyīr dan Indzār Merupakan Inti dan Tujuan Utama Risalah
Menurut ayat QS.Al-An’ām/6:48[ii] bahwa tujuan Allah mengutus para Rasul adalah untuk menyampaikan ayat-ayat Allah dengan jalan memberikan kabar gembira kepada orang-orang beriman dan peringatan kepada mereka yang kufur kepada ayat-ayatNya. Al-Sa’dy secara lebih tegas menyatakan bahwa tabsyīr dan indzār merupakan inti (zubdat) pengiriman para Rasul.[iii] Demikian pula dengan tujuan diutusnya Rasulullah r sebagaimana dalam QS. Al-Furqān/25:56 dan QS. Saba’/34:28. Kesimpulan ini senada dengan ayat-ayat lain yang menyatakan bahwa tugas para Rasul adalah menyampaikan risalah yang mereka terima dari Allah (tablīgh).[iv]
Jika tugas ini sudah terlaksana dengan baik, maka tidak ada lagi tanggung jawab Rasul terhadap orang-orang yang membangkang (QS. Al-Baqarah/2 :119) dan tidak ada lagi hak bagi orang-orang yang menolak kebenaran untuk berhujjah di hadapan Allah (QS. Al-Nisā/4 :165 dan QS. Al-Māidah/5 :19).
Pelajaran yang dapat diambil dari keterangan di atas, bahwa kewajiban para ulama dan du’āt sebagai penerus tugas Rasulullah r adalah berupaya menyampaikan semua ayat-ayat Allah baik berupa kabar gembira maupun peringatan selengkap-lengkapnya dengan tujuan agar ”agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu”.[v] Memahami konsep ini juga mengharuskan para dai dan siapa saja yang bergerak di medan dakwah untuk mencari berbagai jalan dan upaya agar risalah Islam bisa tersebar seluas-luasnya dan informasi lengkap tentang berbagai aspek ajaran Islam dapat diakses oleh sebanyak mungkin manusia.
Keserasian Konsep Tabsyīr dan Indzār dalam Al-Quran
Di dalam kitab suci Al-Qur’an, penyampaian pesan-pesan Allah dengan menggunakan pendekatan tabsyīr dan indzār atau antara targhīb dan tarhīb berjalan sangat serasi dan seimbang. Menukil pendapat Imam Al-Syāthiby (w.790H),[vi] beliau menegaskan bahwa setiap kali terdapat ayat tabsyīr atau targhīb atau ayat yang memberikan secercah pengharapan (tarjiyah) akan selalu beriringan dengan ayat indzār atau tarhīb atau ayat-ayat takhwīf (menakut-nakuti), baik datang pada ayat sebelumnya, ayat setelahnya, maupun pada satu ayat yang sama. Demikian juga sebaliknya.[vii]
Bahwa terkadang satu aspek lebih dominan dari aspek lainnya. Seperti dalam Surah Al-An’ām misalnya, ayat-ayat indzār tersebutkan secara beruntun. Hal itu disebabkan oleh konteks surat itu yang berbicara untuk menegaskan al-haqq, mengingkari perilaku orang-orang yang kufur kepada Allah dan orang-orang yang keras kepala. Meskipun demikian di sela-selanya terdapat ayat-ayat tabsyīr karena walau bagaimanapun keras dan kufurnya mereka, namun mereka tetap diharapkan untuk dapat diajak kepada kebenaran.
Sementara itu pada lain kesempatan, seperti pada QS. Al-Zumar/39:53, sangat terasa sekali suasana penuh pengharapan tercipta begitu dominan. Hal ini, sekali lagi menurut Al-Syāthiby, disesuaikan dengan prakondisi objek dakwah saat turunnya ayat tersebut, yaitu orang-orang dari kaum musyrik yang mengaku telah banyak membunuh dan berzina, kemudian mendatangi Nabi Muhamad r dengan tujuan mendapatkan cara bertaubat dan menebus kesalahan-kesalahan mereka.[viii]
Jadi, prinsip keserasian dan keseimbangan antara tabsyīr dan indzār atau antara targhīb dan tarhīb dapat berubah sewaktu-waktu disesuaikan situasi dan kondisi, yang dalam cabang ‘ilmu al-ma’āniy[ix] disebut dengan muqtadla al-hāl (secara harfiah dapat diartikan sebagai “kebutuhan situasi dan kondisi”).
Kesimpulannya, kata Al-Syathīby, jika objek yang dihadapi Nabi r cenderung kuat pembangkangannya maka pendekatan indzār atau takhwīf lebih didahulukan seperti pada QS. Al-Ahzab:57. Adapun bagi orang-orang yang memiliki kekhawatiran terhadap dirinya (setelah mengakui kesalahannya) atau bahkan berpotensi untuk berputus asa maka pendekatan tabsyīr atau targhīb atau tarjiyah lebih didahulukan. Seperti pada QS. Al-Zumar:53 diatas.[x]
Keseimbangan dan keserasian ini sangat sesuai dengan tabiat kejiwaan manusia yang memiliki rasa takut dan kekhawatiran akan sesuatu, sekaligus keinginan-keinginan untuk mendapatkan kesenangan atapun kebahagiaan. Dalam konteks perbuatan baik dan buruk manusia, seorang yang telah banyak berbuat dosa ketika mendengar ayat-ayat indzār akan timbul dalam dirinya rasa takut dari azab Allah. Kemudian mencoba mengevaluasi diri dan berusaha mencari jalan keselamatan . Dengan mendengar ayat-ayat tabsyīr ia melihat bahwa kesempatan masih terbuka lebar dan bersegera menuju jalan yang benar dan bertaubat dari dosanya.
Sementara itu, orang-orang salih dan beriman jika mendengar ayat-ayat tarhīb akan merasa takut melakukan maksiyat dan ketika mendengar ayat-ayat targhīb akan semakin mendorongnya untuk menambah ketaatan kepada Allah dan mengharap pahala disisiNya.[xi]
Ketidakseimbangan dalam konsep ini akan mengakibatkan hal-hal yang tidak dinginkan. Tabsyīr yang terlalu dominan tanpa memperhatikan prakondisi seseorang bisa mengantarkannya kepada sikap tawākul, meremehkan dosa dan kurangnya rasa takut. Sedangkan terlalu berat pada aspek tarhīb dapat menyebabkan seseorang menjadi berputus asa dan kehilangan harapan.
Benarkah Targhīb Harus didahulukan dari Tarhīb?
Sebagain aktivis dakwah meyakini bahwa dalam melakukan kegiatan dakwah pendekatan targhīb harus didahulukan dari pada tarhīb. Jum’ah Amīn Abd Al-‘Azīz, salah seorang tokoh gerakan Al-Ikhwān al-Muslimūn misalnya, menyatakan bahwa satu diantara sepuluh kaidah atau prinsip utama dakwah yang harus dimengerti dan dilakukan oleh para dai adalah prinsip al-targhīb qabla al-tarhīb aw al-bisyārah qabl al-nadzārah.[xii]
Diantara alasan yang digunakan oleh Jum’ah Amīn untuk mendukung pendapatnya adalah kisah sekelompok jin yang kembali dan berdakwah kepada kaumnya setelah mendengar tentang Al-Quran mereka dengan mengatakan,
“Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih. Dan orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah maka dia tidak akan melepaskan diri dari azab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” [xiii]
Meskipun Jum’ah Amīn juga tidak menafikan prinsip tarhīb akan tetapi kesimpulannya mengenai keharusan didahulukannya targhīb sebelum tarhīb tidaklah tepat. Ketidak tepatan ini bisa dibuktikan dari sejarah dakwah Nabi r. Diantara wahyu yang pertama turun dan memerintahkan beliau untuk menyampaikan dakwahnya menggunakan istilah indzār, seperti pada QS. Al-Mudatsir/74:1-2 dan QS. Al-Syu’arā/26:214.
Bahkan beberapa hadits yang diriwayatkan terkait turunnya ayat QS. Al-Syu’arā/26:214 tersebut semakin memperkuat kesimpulan ini, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibn Abbas bahwa ketika Allah menurunkan ayat { وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأقْرَبِينَ } Nabi r mendatangi bukit Shafa dan mengumpulkan manusia kemudian mengatakan “ Wahai Bani Abdul Muthalib, wahai Bani Fihr, wahai Bani Lu’ay, akankah jika aku kabarkan kepada kalian bahwa seekor kuda di kaki bukit ini akan menyerang kalian, akankah kalian mempercayaiku? Mereka menjawab: Iya. Nabi r bersabda: Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian akan datangnya azab yang pedih… dst[xiv]
Untuk memahami persoalan ini dan jika ada pertanyaan yang barangkali muncul, mengapa Rasulullah r saat pertama kali diperintahkan menyampaikan dakwahnya menggunakan kata andzir (berilah peringatan) bukannya basysyir (berilah kabar gembira)? Jawabannya dapat ditelusuri melalui pembahasan tentang keserasian konsep basyīr dan nadzīr sebagaimana telah dijelaskan di atas.
PENUTUP
Kajian terhadap terminologi-terminologi qur’ani –termasuk diantaranya terminologi basyīr dan nadzīr– adalah mutlak diperlukan sehingga dapat menghasilkan konsep-konsep yang benar dan utuh untuk kemudian “dibumikan” dalam berbagai kehidupan nyata. Konsep basyīr dan nadzīr sendiri menempati posisi cukup penting dalam Al-Qur’an dan mencakup kira-kira sepertiga jumlah keseluruhan ayat-ayat Al-Quran, sehingga penelitian lebih lanjut dan mendalam akan bernilai sangat berharga dalam memahami konsep ini secara komperehensif.
Konsep basyīr dan nadzīr merupakan inti dari dakwah para Rasul yang harus diteladani oleh para da’i dan pendidik muslim dengan memperhatikan keserasian antara dua aspek yang terkandung didalamnya sehingga mampu menjawab kebutuhan jiwa para objek dakwah. (mm)
* Mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun, Bogor, Konsentrasi Bidang Pendidikan dan Pemikiran Islam.
[i] Muhammad Zaky Muhamad Khidlr, Mu’jam Kalimāt al-Qur’ān al-Karīm, (Software Al-Maktabah Al-Shāmela Edisi 3.13)
[ii] Selengkapnya ayatnya berbunyi : وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ فَمَنْ آمَنَ وَأَصْلَحَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُون Ayat lainnya yang senada adalah QS. Al-Kahf/18:56
[iii] ‘Abd Al-Rahmān ibn Nāshir ibn al-Sa’dy, Taysīr al-Karīm al-Rahmān fī Tafsīr Kalām al-Mannān, Tahqiq: Abd al-Rahmān ibn Mu’allā al-Luwayhīq, (Beirut, Muassasah Al-Risālah, Cet.I, 2000M/1420H), h.257
[iv] Ayat-ayat yang menegasakan hal ini sangatlah banyak sebagai misal QS. Al-Māidah/5:99, QS. Yā Sīn/36:17, QS. Al-Taghābun/64:12 dan lain-lain.
[v] QS. Al-Nisā/4:165
[vi] Dalam makalah ini Penulis sengaja mengambil pendapat Imam Al-Syāthiby yang selama ini lebih dikenal sebagai pakar ilmu Ushūl al-Fiqh dan ilmu Maqāshid al-Syarī’ah. Ternyata, menurut penelitian Dr. Syāyi’ ibn ‘Abduh ibn Syāyi’ al-Asmary, seorang Assistant Profesor di Fakultas Ilmu-ilmu Al-Qur’an di Universitas Islam Madinah, bahwa dari sejumlah buku-buku karya Al-Syāthiby terdapat banyak sekali kajian-kajian penting dalam bidang ilmu tafsir dan ‘Ulūm al-Qur’ān yang selama ini kurang mendapat perhatian para peneliti maupun pengkaji. Lihat selengkapnya hasil penelitian beliau dalam makalahnya yang berujdul “Ma’a al-Imām Abī Ishāq al-Syāthiby fi Mabāhits min ‘Ulūm al-Qur’ān al-Karīm wa Tafsīrihi”, dalam Majallah Al-Jāmi’ah Al-Islāmiyah, (Madinah, Islamic University, 1423H/2002M), vol. 115
[vii] Lihat lebih lanjut dengan contoh-contohnya: Ibrāhīm ibn Mūsa ibn Muhammad Al-Lakhamy Al-Gharnāthy, Abū Ishāq Al-Syāthiby, Al-Muwāfaqāt, Tahqiq: Abū Ubaydah Masyhūr ibn Hasan Aāl Salmān, (tt, Dār Ibn ‘Affān, Cet. I, 1417H/1997), Jilid. VI, h. 167-169
[viii] Selengkapnya riwayat tersebut dapat dijumpai di Shahīh Al-Bukhāry no.4810, Shahīh Muslim no.122, Sunan Abī Dawūd no.7274 dan Sunan Al-Nasāiy 7/86. Lihat lebih lanjut: Abū al-Fidā Ismā’il ibn ‘Umar ibn Katsīr Al-Qurasyi al-Dimasyqy, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Adzīm, Tahqiq: Sāmy ibn Muhamad Salāmah, (Dār Tybah li al-Nasyr wa al-Tauzī’, Cet. II, 1420H/1999M), Jilid. VII, h.106
[ix] Salah satu cabang ‘ilmu balāghah yang mempelajari bentuk-bentuk (ahwāl) lafadz dalam bahasa Arab untuk disesuaikan dengan kebutuhan situasi dan kondisi. Lihat: Ibrāhīm Musthafā, dkk, Al-Mu’jam Al-Wasīth, h. 633
[x] Ibrāhīm ibn Mūsa ibn Muhammad Al-Lakhamy Al-Gharnāthy, Al-Syāthiby, Al-Muwāfaqāt, Jilid. VI, h. 179
[xi] ‘Adnān ibn Muhamad Aāl ‘Ar’ūr, Manhaj al-Da’wah fi Dlaw al-Wāqi’ al-Mu’āshir, (ebook di terbitkan oleh www.saaid.net, cet. I, 1426H/2005), h. 70. Sebagai catatan bahwa buku ini disebutkan sebagai peraih Penghargaan Amir Nāyif ibn ‘Abd al-‘Azīz Aāl Sa’ūd dalam bidang Sunah Nabi dan Studi Islam Kontemporer
[xii] Lihat: Jum’ah Amīn Abd Al-‘Azīz, Al-Da’wah: Qawā’id wa Ushūl, (Alexandria, Dār al-Da’wah, Cet. IV, 1415H/1999), h. 214-218
[xiii] QS. Al-Ahqāf/46:31-32
[xiv] Hadits tersebut juga diriwayatkan dalam Sahīh Al-Bukhāry no.4801, Sahīh Muslim no.208, Al-Nasāiy dalam Al-Sunan al-Kubrā no.11714, serta Sunan Al-Tirmidzy no. 3363. Lihat: Abū al-Fidā Ismā’il ibn ‘Umar ibn Katsīr Al-Qurasyi al-Dimasyqy, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Adzīm, Tahqiq: Sāmy ibn Muhamad Salāmah, (Dār Tybah li al-Nasyr wa al-Tauzī’, Cet. II, 1420H/1999M), Jilid. VI, h. 166