Oleh: Moh. Isom Mudin*
Inpasonline.com-Tulisan berikut akan mencoba mengupas perjalanan singkat Ibn Athaillah al-Sakandari, mulai dari sikap antipati terhadapa tasawwuf hingga menjadi mufti dalam dua madzhab. Beliau adalah seorang sufi ternama dari Mesir. Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Athaillah al-Sakandari al-Maliki as-Syadzily, Bergelar ‘Shahib al-Hikam’ Pemilik hikmah-hikmah. Ini disandarkan sebuah karya monumental beliau, ‘al-Hikam’. ‘Taj ad-din’ Mahkota agama, ‘ Tarjuman al-`Arifin’ juru bicara oran-orang arif. Tidak ada yang tahu pasti kapan beliau lahir. Dari analisa penulis sekitar tahun 657 H-679 H di kota Iskandaria Mesir. Wafat pada tepat pada Jumad al-akhirah 709 H. Dengan demikian beliau hidup pada paruh kedua abad ke tujuh dan memasuki awal abad ke delapan Hijriyah.
Berawal dari Kesalahfahaman
Sejak awal, Ibn Athailah mengatakan tidak pada tasawwuf. Beliau banyak terlibat berbagai dialog dengan murid-murid Syaikh Abu al-Abbas al-Mursyi, mursyid kedua dalam silsalah thariqat Syadziliyyah yang nantinya berperan besar dalam kehidupan tasawwuf beliau. Hal ini bisa saja dikarenakan fakta adanya beberapa ‘sufi jahil’, atau dengan istilah Al-Attas ‘pseudo sufi’ yang meremehkan syari`at pada masanya. Beliau mengungkapkan ‘kebenaran ilmu hanya pada ilmu dhahir (fiqh), mereka (kaum sufi) biasa melontarkan hal-hal mengherankan yang ditolak oleh kaca mata ilmu Syari`at’. (Ibn Athaillah, Lathaif al-Minan, 105)
Faktor pendidikan dan keluarga nampaknya juga melatarbelakangi pemikiran anti tasawwuf beliau. Ayah dan sang Kakek, Muhammad Bin Abd al-Karim Bin Athaillah as-Sakandary, adalah seorang ulama besar dan faqih bermadzhab maliki yang juga sering bersebrangan dengan Imam Abu Hasan as-Syadzily dan Abu abbas al-Mursi. Pendidikan keluraga inilah yang juga menjadikan Athaillah sebagai faqih ternama dalam madzhab Maliki. Disamping itu, tidak ada keterangan yang menjelaskan bahwa beliau bertemu langsung dengan sufi besar yang bisa menjelaskan sufi sebenarnya. Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa antipati ini karena adanya standar ganda informasi tasawwuf yang beliau dapatkan.
Tibalah saat jalan syari`at membingnya menuju langkah hakikat. Diskusi dengan murid-murid thariqah syadziliyyah membuatnya kembali berfikir untuk berhadapan dan mengklarifikasi langsung dengan Syaikh Abu al-Abbas al-Mursyi. Dalam pandanan syari`at beliau, orang yang dalam kebenaran pasti memiliki tanda-tanda. Ketika tiba di majlis Abu al-Abbas, entah kebetulan atau bukan, beliau sedang menjelaskan masalah jiwa (anfas), makrifat dan esensi tasawwuf yang sebenarnya. Ungkapan Abu al-Abbas yang direkam Ibn `Athaillah dan Inilah makna tasawwuf sebenarnya yang dicari-carinya:
“Tingkatan pertama adalah Islam: tunduk, taat dan melaksanakan berbagai ketentuan syari`at. Tingkatan kedua adalah Iman: mengenala hakikat syari`at dan menajalankan berbagai konsekwensi ubudiyyah. Tingkatan ketiga adalah Ihsan, yakni menyaksikan Allah swt dalam qalbu. Dengan kata lain tingkatan pertama adalah ibadah, kemudia ubudiyyah (pengabdian), dan yang terakhir adalah ubudah (penghambaan). Dengan kata lain, tingkatan pertama adalah syari`at, kedua hakikat, dan ketiga adalah tahaqquq (kesadaran bersama-Nya). Beberapa kali ia mengatakan: ‘dengan kata lain….dengan kata lain…’, hingga akalku terang, aku yakin orang ini telah tenggelam dalam lautan ilmu ilahi ”. (Ibn Athaillah, Lathaif al-Minan, 105-106)
Keterangan guru Ibn Athaillah ini juga senada dengan sufi ‘alawiyyun’ dan juga pemikir kontemporer; Syed Muhammad Naquib al-Attas. Dalam ungkapan singkat dan mendalam, tasawwuf adalah ‘The Practice of Shari`ah at the Station (maqam) of Ihsan”, mengamalkan syari`at dalam tingkatan ihsan. Dua penjelasan tersebut adalah refleksi dan pengejewantahan Hadits Shahih yang dibawa oleh malaikat Jibril tentang trilogi agama Islam. Ini berarti, inti dan tujuan tasawwuf adalah tingkatan Ihsan. Tentu harus melewati dua maqam sebelumnya. Oleh sebab itu, jika memang ada golongan yang mengaku pengikut sufi namun meremehkan syari`at, mereka sebenarnya bukan sufi. Istilah yang dipakai al-Attas adalah ‘Psuedo sufi’.
Arti Seorang Guru
Seorang sufi pada tingkatan ‘salik’ kadang kala mengalami kekhawatiran dan kebingunan dalam perjalan spiritualnya. Hal ini juga di alami Ibn Athaillah. Setelah pertemuanya dengan Abu al-Abbas al-Mursi, Ia masih bingung dengan keadaan dirinya. Ada makna-makna yang belum dia fahami. Untuk itu, sementara waktu dia tidak berkumpul dengan kelurga seperti biasanya. Hanya merenung memandang langit malam dan gemerlap bintang. Namun, perasaan itu tidak kunjung hilang. Untuk itu, ada keinginan untuk ‘sowan’ kepada Abu al-Abbas al-Mursi.
Di pertemuan yang kedua, nampaknya Ibn Athaillah benar-benar mendapatkan pencerahan jiwa. Semenjak mengetuk pintu hingga, Abu al-Abbas al-Mursi menyabutnya dengan penuh perhatian, seolah-olah menyambut ulama besar. Malah beliau merasa tidak enak, ada perasaan ‘pakewoh’. Berikut ceritanya:
“Tuan, demi Allah aku mencintaimu’, Ia menjawab, ‘Semoga Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintaiku’. Lalu aku mengadukan kegelisahan yang kurasakan. Ia menjawab, “Hanya ada empat keadaan yang dialami seorang hamba: nikmat, cobaan, taat, dan maksiat. Jika berada dalam nikmat, bersyukurlah. Jika berada dalam cobaan, bersabarlah. Jika berada dalam ketaatan, saksikanlah anugrah-Nya kepadamu. Jika berada dalam maksiat, segeralah baertaubat. Setelah mendengar nasihatnya, aku segera beranjak dari hadapanya. Semua kegelisahan dan kerisauan sirna laksana sehelai baju yang ditinggalkan” (Ibn Athaillah, Lathaif al-Minan, 106)
Inilah arti penting seorang ‘musyrif’, pembimbing dalam meniti Tasawwuf. Al-Qur`an telah benyak menyinggungnya. Setiap kaum ada seorang pemberi petunjuk (had),(ar-Ra`d: 7), perintah meneladani orang-orang yang kembali pada Allah (luqman: 15). Logika sederhananya, mursyid seperti seorang Nabi bagi kaumnya, seorang dosen bagi mahasiswanya, seorang pelatih bagi para atlit, seorang pimpinan bagi para karyawan, seoraang Kiai bagi para santri. Mereka lebih berpengalaman dalam menjalakan aktifitasnya. Tanpa bimbingan, dikhawatirkan seorang siswa akan salah jalan. Seperti anak yatim tanpa kedua orang tua.
Namun, dalam tasawwuf mursyid memiliki peran yang sangat sentral dan memiliki ciri khas. Dalam pandangan Ibn Athaillah peranan guru seperti yang dia sebutkan dengan gaya sastra tinggi.
وليس شيخك من سمعت منه، إنما شيخك من أخذت عنه، وليس شيخك من واجهتك عبارته، إنما شيخك الذى سرت فيك إشارته، وليس شيخك من دعاك إلى الباب، إنما شيخك الذى رفع بينك وبينه الحجاب، وليس شيخك من واجهك مقاله، إنما شيخك الذى نهضك حاله، شيخك هو الذى أخرجك من سجن الهوى، ودخل بك على المولى.
“Gurumu bukan hanya kau dengar. Tetapi adalah orang yang kau ambil darinya. Gurumu bukan saja orang yang penjelasanya mengarah padamu. Tetapi, gurumu adalah yang isyaratnya mengalir kepadamu. Gurumu bukan hanya yang mengajakmu ke pintu. Akan tetapi, gurumu adalah orang yang mengangkat hijab antara dirimu dan dia. Gurumu bukan saja orang yag ucapanya tertuju kepadamu. Akan tetapi, gurumu adalah yang ruhaninya membangkitkan semangatmu. Gurumu adalah orang yang membebaskanmu dari penjara nafsu, dan mengantarmu menemui Tuan yang Maha Tinggi.” (Ibn Athaillah, Lathaif al-Minan, 204)
Mufti Dua Madzhab
Dalam tasawwuf secara umum, khususnya paradigma yang dibangun oleh Syadziliyyah, seseorang yang ingin bertasawwuf tidak diharuskan untuk meninggalkan profesi keseharianya. Ibn Athaillah sendiri pernah bingung apakah harus meninggalkan study berbagai cabang ilmu pengetahuan di al-Azhar, atau hanya belajar ilmu tasawwuf dan beribadah di ‘ribath’ Abu al-Abbas al-Mursi. Akhirnya, al-Mursi sendiri yang menyuruhnya untuk memilih kedua-duanya. Argumenya, Nabi Muhammad saw dalam menjalankan dakwahnya tidak lantas menyuruh para sahabat untuk meninggalkan pekerjaanya. Disela-sela aktifitasnya, mereka tetap berdagang, bertenun, membuat roti dan sebagainya. Inilah yang mengilhami konsep ‘tajrid’ dan ‘asbab’ Ibn Athaillah as-Sakandary.
Abu al-Abbas al-Mursyi melatunkan sajak indah kepada Ibn Athaillah, jika Dia terus istiqamah dalam mempelajari ilmu tasawwuf dan menjalankan profesinya sebagai mahasiswa al-Azhar, maka suatu saat dia akan menjadi mufti dalam ilmu lahir dan batin. “Malamku di wajahmu merona. Sedang kegelapan mengitari manusia. Mereka diselimuti kegelapan. Kita bersama di terang cahaya siang. Demi Allah, istiqamahlah !!!, Jika engkau istiqamah, kau akan menjadi mufti dua madzhab: Bidang Syari`ah ilmu dhahir dan bidang haikikat ilmu Batin,” (Ibn Athaillah, Lathaif al-Minan, 106).
Benar saja, Ibn Athaillah menjadi juru bicara ilmu lahir dan batin. Walapun beliau menjadi maha guru thariqah Syadziliyyah beliau tetap mengajar berbagai cabang ilmu pengetahuan di al-Azhar, almamater tercinta tempat dia belajar. Diantara mahasiswanya adalah Imam Taqiyyuddin as-Subki (w.756 h), Abu hasan al-Qarrafi dan beberapa alumnus al-Azhar yang lain. Menurut Imam as-Suyuthy, beliau juga menulis ringkasan fiqh Maliki berjudul ‘Mukhtashar Tahdzib al-Mudawwawah’. Namun, kitab ini sudah tidak ditemukan keberadaanya. Adapun cabang ilmu tasawwuf, beliau mempunyai halaqah khusus di universitas ini. Berbagai ulama dari penjuru dunia menghadiri majlis tasawwufnya.
Ada sekiatar sepuluh karya tasawwuf beliau tulis. Yang paling monumental adalah ‘al-Hikam al-Athaiyyah’ yang berisi hikmah-hikmah singkat dengan gaya bahas tingkat tinggi. Syaikh al-Azhar dahulu, Muhammad Abduh sendiri berdetak kagum. Ungkapnya ‘Nyaris seperti al-Qur`an’. Buku ini masih dibaca di halaqah universitas al-Azhar dan beberapa Negara diseluruh penjuru dunia. Di Indonesia, kitab al-Hikam adalah kitab wajib bagi santri senior di pesantren-pesantren tradisional (salaf). Dikaji dan diteliti dalam thesis dan disertasi di berbagai universitas.
Kesimpulan
Ilmu syari`at membawa Ibnu Athaillah bertemu dan berkecimpung dalam dunia batin. Perjalanan hidupnya membawa corak tersendiri dalam paradigma tasawwufnya. Tasawwuf yang menggabungkan ketiga eleman, Iman, Islam dan ihsan. Hingga beliau menjadi mufti ilmu lahir dan mufti ilmu batin. Allah telah memilihkan jalan hidupnya sesuai apa yang diinginkanya-Nya. Hikmah bersajak Ibn Athailah bisa menggambarkan kedudukanya sekarang: “Tertundanya pemberian setelah engkau mengulang-ulang permintaan, lantas jangan membuatmu putus harapan. Allah menjamin doa terkabulkan sesuai dengan apa yang telah dia pilih buatmu, bukan menurut apa yang engkau pilih sendiri, dan pada saat yang Dia kehendaki, bukan pada waktu yang engkau ingini” (lâ yakun taakhhur amad al-athâ` ma`a al-ilhâh fi ad-du`â mûjiban liyaksik, fa huwa dlamina lak al-ijâbah, fî mâ yakhtâruh lak, la fî mâ takhtâruh linafsik, wa fî al-waqt al-ladzy yurîd lâ fi al-waqt al-ladzy turîd).
*Guru Madrasah Diniyyah Miftahul Huda Jugil Selok Anyar Pasirian Lumajang