Oleh M. Anwar Djaelani, aktif menulis artikel sejak 1996 dan penulis 13 buku
inpasonline.com – Luluk, siapa dia? Apa makna komunitas ”Apa yang Kita Cari”. Boleh jadi, itulah dua pertanyaan yang segera mengedepan saat kita membaca judul tulisan ini.
Baiklah, kita mulai dari sebuah nasihat Hamka. Nasihat itu ada di kisah berikut ini, yang di internet cukup mudah kita dapatkan. Salah satunya, di artikel Zainut Tauhid Sa’adi.
Berikut ini, petikan tulisan dari salah satu Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat 2020-2025 tersebut. Bahwa, di sebuah ceramahnya, Hamka (1908-1981) pernah mengemukakan dialognya dengan seseorang.
“Subhanallah Buya, sungguh saya tidak menyangka. Ternyata di Mekkah ada wanita nakal. Kok bisa,” tanya seorang laki-laki.
“Oh ya? Saya baru saja dari Los Angeles dan New York. Masya Allah, ternyata di sana tidak ada wanita nakal,” jawab Hamka tenang.
“Ah, mana mungkin Buya! Di Mekkah saja ada. Pasti di Amerika jauh lebih banyak,” tukas si penanya.
“Kita memang hanya akan dipertemukan dengan apa-apa yang kita cari,” respons Hamka sembari tersenyum (https://halalmui.org/halal-itu-mudah-dan-membawa-berkah/).
Saya telah beberapa kali membaca kisah di atas. Ternyata, maaf, saya punya beberapa pengalaman yang bisa dibilang sesuai dengan apa yang disampaikan Hamka ini: “Kita memang hanya akan dipertemukan dengan apa-apa yang kita cari”.
Salah satu kisah itu, sebagai berikut. Mungkin, detilnya tidak persis. Hal ini karena kisah awalnya terjadi sekitar 13 tahun lalu.
Sahabat Lama
Pada Selasa 15 April 2025, sebuah pesan masuk ke ponsel saya. ”Assalamu ‘alaikum Pak Anwar. Saya hendak mengundang Bapak di acara Bedah Buku (komunitas) Pena Perajut Aksara Sidoarjo yang akan dilaksanakan insya Allah 6 Mei di Sidoarjo”.
Saya tak tahu siapa si pengirim pesan, karena namanya tak keluar di ponsel saya. Penasaran, saya buka profilnya. Ternyata, sahabat lama. Kami telah lama tidak berkomunikasi dan rupanya nomor ponselnya berganti.
Ingatan saya lalu terbuka. Nama dia, Luluk Sulistyorini, tinggal di Sidoarjo. Dia suka membaca dan ingin bisa menulis. Lantaran ingin bisa menulis itulah, kami menjadi terhubung pada 2012.
Ceritanya, pada 2012, Majalah Hidayatulah menyelenggarakan Pelatihan Jurnalistik di kantor mereka, di Surabaya. Saya salah satu pematerinya. Luluk salah satu pesertanya. Kenal-lah kami.
Saat ikut pelatihan itu Luluk baru saja mendapat karunia, anak ke-3. Juga, masih aktif bekerja di sebuah perusahaan. Kemudian, di tahun yang sama, kami ketemu lagi di dua acara dakwah di Surabaya.
Setelah itu, sesekali kami berkomunikasi lewat pesan singkat via ponsel. Materinya, tentang kepenulisan dan/atau dakwah. Lalu, sangat lama kami putus komunikasi sampai saya tak tahu jika Luluk telah berganti nomor telepon.
Buku Baru
Kembali ke undangan Luluk. Tentu saya senang menerimanya. Pertama, setelah bertahun-tahun tak saling berbagi kabar, kami terhubung lagi. Kedua, menjadi lebih senang karena saya diundang untuk acara Peluncuran Buku. Tentu bagi pecinta buku, ini menarik.
Acaranya maju, menjadi 24 April 2025. Buku yang diluncurkan berjudul Aku (Tidak) Baik-Baik Saja. Ini buku antologi. Isinya, 20 tulisan. Berikut ini, sekadar tiga judul di antaranya: 1).Ibu, Apa Kabar Hari Ini? 2).Jejak Waktu di Istambul. 3).Sesal tak Bertepi. Adapun judul buku yaitu Aku (Tidak) Baik-Baik Saja, diambil dari salah satu judul tulisan.
Pada 21 April 2025, bakda maghrib, saya sudah menerima buku setebal ix+226 halaman itu. Performanya menarik. Cover, ilustrasi dan warnanya, bagus. Tiap akhir sebuah tulisan, dilengkapi profil singkat si penulis.
Siapa mereka? Ternyata, di Sidoarjo Luluk punya komunitas Pena Perajut Aksara. Anggotanya sekitar 30 orang dengan rata-rata ibu rumah-tangga yang berusia 35-55 tahun.
Bagi saya, Pena Perajut Aksara adalah komunitas asyik dan bagus. Anggotanya pasti suka membaca sekaligus menulis. Komunitas ini dan yang sejenis, harus kita dukung.
Aktif menulis, pasti aktif pula membaca. Hal ini, karena modal utama seorang penulis adalah banyak membaca. Tulisan bagus, hanya akan lahir dari mereka yang rakus membaca. Membaca dan menulis seperti dua muka dari sebuah mata uang.
Sungguh Bernilai
Pena Perajut Aksara, komunitas yang ”mahal”. Banyak di antara anggotanya yang masih aktif sebagai guru, dosen, ASN, pengusaha, aktivis sosial, dan lain-lain. Tingkat pendidikannya, ada beberapa yang sampai level Magister. Sementara, latar belakang keilmuannya beragam seperti teknologi kelautan, arsitektur, psikologi, dan lain-lain.
Pena Perajut Aksara, komunitas yang ”mahal”. Melihat tempat lahir para anggotanya, beragam. Ini, sangat bagus, jaringan silaturrahim anggotanya luas. Ada yang lahir Surabaya, Mojokerto, Magetan, dan Ponorogo. Ada yang lahir di tepi Danau Toba, Sumatera Utara. Ada yang lahir di Bulukumba – Sulawesi. Ada, yang meski tidak lahir di sana, tapi berdarah Minangkabau.
Pena Perajut Aksara, komunitas yang ”mahal”. Status anggotanya, ada ”Ibu dari sejumlah anak”. Ada pula ”Nenek dari sejumlah cucu”. Ada yang sudah berkarya di 15 buku antologi. Bahkan, ada yang sudah punya jejak kepenulisan di lebih dari 30 buku antologi.
Pena Perajut Aksara, komunitas yang ”mahal”. Di antara anggotanya, tak hanya bisa menulis fiksi tapi juga artikel ilmiah. Memang, di dalamnya ada dosen yang aktif menulis buku serta artikel penelitian. Karya-karyanya, bisa diakses di Google Scholar. Selain itu, ada yang aktif di dakwah, sosial, dan politik sekaligus.
Terus, Teruslah!
Aktif membaca sekaligus menulis, karunia Allah yang sangat besar. Hal ini, karena kedua aktivitas tersebut bagian pokok dari lima ayat pertama yang Allah turunkan. Disebut nikmat besar, karena tenyata hanya sedikit di antara kita yang giat membaca dan menulis.
Terkait, semoga Pena Perajut Aksara: Pertama, istiqomah di Jalan Literasi. Kedua, sabar dalam mengampanyekan Gerakan Membaca dan Menulis. Ketiga, kegiatannya diikuti oleh kalangan lain di berbagai kota.
Terakhir, kembali ke kalimat Hamka ini: “Kita memang hanya akan dipertemukan dengan apa-apa yang kita cari”. Pertama, mudah-mudahan kisah sederhana persahabatan saya dengan Luluk termasuk yang dimaksud kalimat Hamka itu. Kedua, komunitas Pena Perajut Aksara semoga termasuk orang-orang yang dipertemukan karena yang dicari adalah hal yang sama. Mereka punya latar belakang yang bermacam-macam, tapi dipertemukan karena sama-sama ingin berkarya lewat tulisan. []