Dr Anis Malik Thaha: Pluralisme Agama Itu Otoriter dan Kejam

Written by | Nasional

Buku itu dinilai beberapa kalangan sebagai karya brilian. Ketika masih berupa disertasi sudah menyabet penghargaan gold medal karena dinyatakan sebagai disertasi terbaik (1995). Juga meraih penghargaan dari Universitas Islam Internasional Malaysia (IIUM) dua tahun lalu. Sementara di Indonesia, menjadi buku terbaik non fiksi pada even Islamic Book Fair 2007.

Di Indonesia, paham pluralisme agama terus dikembangkan oleh pihak-pihak tertentu. Apalagi, setelah keluar fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang sesatnya paham tersebut, tiba-tiba bermunculan arus opini yang mencoba mementahkan fatwa itu dan mempertanyakan dasar penyesatannya. Juga muncul berbagai macam definisi tentang pluralisme, yang berbeda dengan rumusan fatwa MUI.

Bagi para pengasong ide-ide pluralisme agama, MUI dianggap tidak arif karena membuat pengertian dan pemaknaan tunggal terhadap definisi pluralisme agama. Padahal, kata mereka, definisi pluralisme agama sendiri sebenarnya tidak bersifat tunggal (monolitik), karena banyak para ahli yang memberikan definisi yang berbeda-beda terhadap pluralisme agama.

“Yang mengatakan demikian berarti kurang paham terhadap istilah pluralisme. Pluralisme itu sebuah Istilah. Oleh karena itu, ia harus digunakan sebagaimana lazimnya,” kata Anis yang bukunya menjadi rujukan MUI ini.

Lebih jauh Anis mengatakan, definisi MUI itu jelas dan gamblang. Kalau definisi itu diterima oleh kaum Muslimin, maka mereka yang selama ini mengkampanyekan pluralisme agama akan berhadapan dengan masyarakat.

“Seawam-awamnya umat Islam dalam beragama, mereka tidak akan mau dikatakan agamanya sama dengan agama lain. Karena selama ini dalam diri mereka tertanam keyakinan bahwa Islam satu-satunya agama yang benar. Kalau kemudian mereka tahu bahwa agamanya disamakan dengan agama lain, tentu mereka akan menolak dan berontak.”

Menurut alumnus Universitas Islam Madinah ini, pluralisme agama itu sendiri merupakan istilah baku yang dipakai dalam dunia akademik. Kemudian ia mengutip definisi populer pluralisme agama yang dirumuskan John Hick—seorang teolog Kristen–yang intinya ingin menegaskan bahwa sejatinya semua agama merupakan manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian semua agama sama dan tak ada yang lebih baik daripada yang lain. Tegasnya, semua agama dianggap benar.

Rumusan ini menurut Anis berangkat dari pendekatan substantif, yang mengungkung agama dalam ruang (privat) yang sangat sempit dan memandang agama lebih sebagai konsep hubungan manusia dengan kekuatan sakral yang transendental dan bersifat metafisik ketimbang sebagai suatu sistem sosial.

“Rumusan John Hick ini dipakai oleh para pengkaji pluralisme agama di Barat. Kalau ada rumusan lain, itu sifatnya perenial atau bersifat pinggiran,” jelas dosen Perbandingan Agama IIUM ini.

Bagaimana sejatinya duduk persoalan pluralisme agama? Apa bedanya dengan pluralitas? Apa pula pendapat Anis tentang beberapa kalangan yang gencar mengkampanyekan paham menyesatkan ini?

Simak penuturannya kepada majalah Suara Hidayatullah, yang dikutip InpasOnline.com.

Menurut pengamatan Anda, sejauh mana pengaruh paham pluralisme agama di tengah kaum Muslimin?

Dalam tataran wacana sebenarnya sudah jelas. Kita seringkali mendengar statemen-statemen dari beberapa mahasiswa di kampus-kampus Islam yang mempunyai pemikiran bahwa semua agama itu sama, terutama antara Islam, Yahudi, dan Kristen. Ini namanya mengkampanyekan paham tersebut.

Benih-benih seperti itu mulai tumbuh subur. Dalam tataran realitas, kita bisa saksikan maraknya pernikahan beda agama. Ini merupakan bukti bahwa paham tersebut sedikit banyak telah berhasil.

Mengapa ada yang terus mengkampanyekan paham sesat itu?

Ada dua kemungkinan. Pertama, mereka yang sudah paham kemungkinan punya maksud tertentu. Kedua, mereka yang tidak paham, akan berusaha menolak istilah tersebut karena dianggap tidak sama dengan yang mereka pahami selama ini. Mereka seperi itu karena selama ini over simplified (terlalu menyederhanakan) masalah.

Pluralisme bagi mereka sama dengan toleransi. Padahal arti toleransi dalam Islam sudah jelas. Bahkan Islam memiliki konsep yang bagus tentang toleransi. Islam mengakui adanya keberagaman. Inilah yang disebut pluralitas, bukan pluralisme.

Pluralisme merupakan sebuah paham atau isme yang artinya tidak sama dengan pluralitas. Istilah pluralisme itu sudah baku dan memiliki definisi tersendiri dan tujuan-tujuan serta implikasi tersendiri pula. Ia juga sudah menjadi bahan kajian tersendiri, yang dilakukan oleh mereka yang memiliki otoritas.

Dalam hal ini siapa yang punya otoritas?

Yaitu mereka yang paling banyak mengartikulasikan paham ini. Ini bisa kita baca dalam literatur-literatur Barat. Orang yang melakukan hal tersebut yaitu seorang filosof, yang aslinya seorang teolog Kristen, bernama John Hick. Hick inilah yang menjadi rujukan mereka yang mengkaji pluralisme agama. Ini bisa kita baca di mana-mana, baik di ensiklopedi agama dan literatur-literatur lainnya. Bahkan mereka yang mengambil program master dan PhD dalam bidang ini, rujukannya adalah karya-karya John Hick.

Apa ada kemungkinan para pengikut John Hick memiliki definisi yang berbeda dengannya?

Secara umum tidak ada, terutama kelompok posmo dan liberal. Mereka memiliki persepsi yang sama dengan John Hick, yang secara sederhana berpendapat bahwa semua agama itu sama.

Kalau begitu mereka yang menyederhanakan istilah pluralisme agama dan menyamakan dengan toleransi menunjukkan kurang paham dengan istilah tersebut?

Ya. Mereka salah. Ini juga menunjukkan bahwa mereka tidak membaca literatur-literatur tentang pluralisme agama.

Sejauh yang saya ketahui, para pakar pluralisme dari Barat semuanya sepakat dengan definisi dari John Hick. Mereka hanya tidak sepakat apakah teori pluralisme agama itu bisa dipertahankan atau tidak. Mereka banyak mengkritik dari sisi epistemologis dan ontologisnya.

Bagaimana sikap para agamawan di Barat, terutama kalangan gereja dengan paham ini?

Mereka termasuk kelompok yang paling tidak setuju dengan teori pluralisme agama. Kalau mereka saja menolak paham ini, kenapa kita (umat Islam) malah ada yang mengkampanyekannya? Ini aneh. Menurut saya, para cendekiawan kita yang mengkampanyekan teori ini karena tidak atau belum membaca literatur-literatur tentang pluralisme agama.

Dengan kata lain, mereka tidak sepatutnya berbicara masalah ini?

Iya dong. Mereka tidak punya otoritas. Kalau mereka mengaku memahami betul masalah ini, kita bisa tes. Kalau mereka kemudian membuat definisi sendiri, darimana sumber yang mereka pakai? Karena istilah pluralisme agama itu tidak ada dalam Islam. Apa ada dalam agama kita istilah religious pluralism? Istilah ini dari Barat, sehingga mau tidak mau mereka harus mengambil sumber dari Barat. Kalau seperti itu berarti mereka harus fair dong, yaitu mengikuti istilah yang sudah baku di Barat.

Kenapa gereja menolak paham ini?

Alih-alih menciptakan kerukuan dan toleransi, paham pluralisme agama itu sendiri sebenarnya sangat tidak toleran, otoriter, dan kejam, karena menafikan kebenaran semua agama, meskipun dengan jargon menerima kebenaran semua agama. Dengan dalih Piagam Hak Asasi PBB, maka semua agama harus tunduk dan patuh. Bahkan penganutnya menganggap Piagam PBB lebih pluralis.

Tapi ada beberapa kalangan yang terus ngotot mengkampanyekannya. Menurut Anda, kenapa?

Ini memang agenda kelompok tertentu untuk menghapus agama-agama di dunia. Mereka ini kumpulan orang-orang yang frustrasi terhadap agamanya.

Kalau di Malaysia sendiri paham ini seperti apa?

Di sini tidak akan hidup, karena secara resmi undang-undang Malaysia telah menetapkan bahwa dasar negara berdasar pada hukum Islam yang beri’tiqad Ahlusunnah wal-Jama’ah bermadzhab Syafi’iyah. Kalau ada paham lain yang masuk di sini, maka pemerintah akan cepat meresponsnya.*

Last modified: 18/04/2023

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *