InpasOnle, 23/06/09
“Paham pluralisme agama itu menyesatkan. Kaum Muslimin dipaksa untuk tidak mengakui Islam sebagai satu-satunya agama yang benar,”kata Dr. Anis Malik Thaha. Di saat kebanyakan cendekiawan Muslim gandrung mengampanyekan perlunya pluralisme agama, dosen bidang perbandingan agama di International Islamic University Malaysia (IIUM) ini justru memilih untuk bersikap berseberangan.
Ia bersikap seperti itu karena secara ilmiah telah membuktikan kebobrokan paham tersebut. Desertasi doktornya khusus mengupas sisi buruk paham baru itu. Desertasi itu mendapat nilai terbaik dari International Islamic University Islamabad (IIUI), Pakistan. “Karena desertasi tersebut, Dr. Anis punya otoritas dibanding cendekiawan lain berbicara tentang pluralisme agama,” kata Adian Husaini, cendekiawan muslim Indonesia.
Sikap kontra-paham pluralisme agama ini dikampanyekan Anis lewat media masa dan seminar-seminar internasional. Bahkan ia secara rutin 3 bulan sekali tahun 2005 bersama kawan-kawannya dari Insists (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization) Malaysia mengisi workshop dan seminar tentang pemikiran Islam dan Barat di Indonesia. Kegiatan itu dilakukan di perguruan-perguruan tinggi, pesantren dan lembaga-lembaga dakwah di Surabaya, Malang, Jombang, Yogayakarta, Jakarta dan tempat lain. Mereka sengaja ‘turun gunung’ karena banyak cendekiawan Muslim negeri ini yang secara terang-terangan menjadi ‘pengasong’ ide-ide Barat, seperti ide pluralisme agama.
Ada fenomena menarik ketika ia mengisi workshop di Pamekasan, Madura, salah seorang peserta yang juga dosen STAIN di kota tersebut dengan panjang lebar menerangkan perlunya pluralisme agama di Indonesia. Menurutnya, Islam sangat menghargai pluaralisme. Namun setelah Anis menjelaskan bahwa yang ia maksud itu sebagai pluralitas bukan pluralisme, barulah sang dosen itu diam seribu bahasa. Hal yang sama juga terjadi pada workshop di UGM. “Ternyata banyak tokoh maupun cendekiawan kita yang tidak paham definisi pluralisme agama,” terang Anis. Kebanyakan mereka menyamakan antara pluralisme dan pluralitas.
Menurut lulusan PhD terbaik International Islamic University Islamabad (IIUI) Pakistan dengan menggondol medali emas (gold medal) pada Maret 2005 ini, paham pluralisme agama bertentangan dengan ajaran Islam. ”Haram hukumnya bagi kaum Muslimin untuk menganutnya,” jelas Anis.
Kesimpulan ini didasarkan pada riset yang pernah ia lakukan selama dua tahun. Pluralisme agama, kata Anis lagi, adalah paham yang mengajarkan semua agama sama. Karenanya, kebenaran setiap agama bersifat relatif. Setiap pemeluk agama tak boleh mengklaim hanya agamanya yang benar sedangkan agama lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di syurga.
Riset dan pemikiran Anis tentang masalah ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dibukukan dengan judul “Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis”. Majelis Ulama Indonesia sendiri berani mengeluarkan fatwa haram pluralisme agama setelah beberapa anggotanya berdiskusi dengan doktor kelahiran Demak, Jawa Tengah, 31 Desember 1964.
Anis dikenal sebagai cendekiawan Muslim yang kritis terhadap Barat. Ia dengan tegas berpendapat Barat telah menggunakan segala cara untuk menguasai dunia islam. Ketika menjadi pembicara dalam seminar internasional yang bertema “Islam: Religion of Peace, Progress and Harmony” di Bangladesh beberapa waktu lalu, ia mengatakan bahwa Barat (Amerika Serikat) menggunakan kata ‘terrorism’ sebagai senjata politik untuk menguasai dunia Islam. Karena itu kaum Mislimin harus memiliki media massa yang kuat untuk mengcounter propaganda itu. Juga harus memiliki ahli teknologi, ekonomi dan matematika yang handal sehingga mampu menghadapi tantangan dunia ke depan. Ini juga selalu ia katakan pada seminar-seminar internasional lainnya.
Sikap dia terhadap para pemikir Islam modern tidak seperti kebanyakan cendekiawam Muslim lainnya. Bila banyak diantara mereka kagum dan takjub bahkan menokohkan pemikir seperti Fazlurrahman, Nasr Hamid Abu Zaid, dan lain sebagainya, tidak demikian dengan alumni Pondok Pesantren Mathali’ul Falah Pati asuhan KH Sahal Mahfudz ini. Ia terlebih dulu mengkaji secara kritis karya-karya mereka sebelum menerima atau menolaknya. Misal, terhadap buku Nasr Hamid berjudul “Naqd al-Khitab al-Diiniy”, Anis melihat adanya dominasi pola pikir sekulerisme dalam diri Nasr Hamid.
Selain tema-tema perbandingan agama, pentolan INSIST ini juga diakui sebagai ilmuwan yang punya kapasitas dalam bidang filsafat Islam. Buktinya, ia ditunjuk mewakili IIUM di Muktamar Internasional Filsafat Islam ke-9 dengan tema; “Manahij al-Ulum al-Islamiyah baina al-Taqlid wa al-Tajdid” (Metodologi Ilmu-Ilmu Islam antara Taklid dan Tajdid) yang disponsori oleh Kuliah Darul Ulum Universitas Kairo, Mesir, pada tanggal 20-21 April 2004.
Biasanya setelah ia mengikuti acara-acara internasional, para mahasiswa Indonesia yang ada di sana mengundangnya untuk berdiskusi. Misalnya komunitas mahasiswa Indonesia di Mesir, Yordan, Pakistan dan lain-lain.
Kelebihan cendekiawan satu ini, meski ia lulusan universitas Islam, namun penguasaan bahasa Inggrisnya diakui sangat baik. Ia termasuk salah satu dosen di International Islamic University Malaysia (IIUM) yang menguasai bahasa Arab dan Inggris dengan baik. Mahasiswa-mahasiswa S2 dan S3 Indonesia di Mesir pun mengakui hal ini. Ketika ia berbicara di hadapan mereka, beberapa mahasiswa mengatakan kagum terhadap penguasaan bahasa Inggris putra pasangan H. Ahmad Thoha dan Hj. Maemunah ini. Ini juga diakui oleh para kyai di kalangan NU. “Ini yang membedakannya dengan kyai atau ulama NU lainnya,” kata KH Abdul Halim, ketua RMI Pasuruan.
Sejak kecil, Anis yang dikenal sebagai santri brilian ini menyelesaikan Madrasah Ibtidaiyah (SD) sampai Aliyah (SMA) di pesantren di Pati. Lulus Aliyah ia mencoba ikut tes melanjutkan studi ke Universitas Madinah. Dari ribuan peserta tes, ia termasuk belasan santri yang diterima. Setelah itu ia melanjutkan S2 di University of the Punjab Pakistan jurusan studi Islam dan International Islamic University Islamabad (IIUI) Pakistan jurusan perbandingan agama. Kemudian S3 di International Islamic University Islamabad (IIUI) Pakistan jurusan perbandingan agama.
Ketertarikannya terhadap ilmu-ilmu agama tidak tak bisa dilepas dari lingkungan keluarga dan masyarakat sekitarnya yang agamis. Ia memiliki ”darah biru” pesantren. Silsilah keluarganya masih memiliki pertautan dengan KH Sahal Mahfud dan KH Mas Subadar Pasuruan.
Meski sudah cukup lama tinggal di luar negeri, keinginannya untuk kembali ke Indonesia sangat kuat. ”Saya telah mempersiapkan segala sesuatunya jika nanti kembali ke Indonesia,” kata suami Zumrotus Sa’adah ini.