KH Wahab HasbullahOleh: Anwar Djaelani

 Inpasonline.com- KH.Abdul Wahab Hasbullah adalah ulama yang penuh energi dan kaya ide. Dengan ilmunya yang tinggi dia bisa bergaul dengan banyak kalangan. Berbekal ilmunya yang dalam dia mampu memberikan jawaban untuk aneka persoalan. Dengan ilmunya yang luas, dia bisa menggerakkan masyarakat melakukan berbagai perubahan positif.

Sangat Dinamis

Abdul Wahab Hasbullah lahir di Tambakberas Jombang pada 1888. Nama belakang dia dinisbahkan kepada sang ayah yaitu KH Hasbullah Said, pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang. Keluarga dan lingkungan sangat mendukungnya untuk tumbuh-kembang menjadi pribadi yang berakhlaq mulia, suka bekerja, dan ikhlas berjuang.

Dia dikenal rajin belajar sejak belia. Awalnya, Abdul Wahab Hasbullah belajar kepada ayahnya sendiri. Jenis keilmuan yang dipelajarinya antara lain ilmu fiqh, tauhid, tasawuf, dan bahasa Arab.

Pada usia 13 tahun Abdul Wahab Hasbullah berguru di Pesantren Langitan Tuban, selama 4 tahun. Lalu, melanjutkan belajar di sejumlah pesantren lainnya seperti di Mojosari Nganjuk, Tawangsari Sepanjang-Surabaya, dan Tebuireng Jombang. Juga, di pesantren yang diasuh Kiai Kholil di Bangkalan Madura. Di berbagai tempat itu dia mendapatkan ilmu yang menjadi ‘ciri khas’ dari masing-masing pesantren. Misal, dengan Kiai Kholil Bangkalan dia belajar bahasa Arab lewat kitab Alfiah Ibnu Malik.

Pada umur 27 tahun, Abdul Wahab Hasbullah berhaji dan lalu mukim di Mekkah untuk belajar. Di Mekkah –selama lima tahun- dia belajar kepada ulama terkemuka dari dunia Islam, termasuk ke sejumlah ulama Indonesia yang ada di sana seperti Syekh Machfudz At-Termasi dan Syekh Ahmad Khotib Al-Minangkabawi. Lewat Syekh Machfudz At-Termasi, misalnya, dia berhasil menamatkan kitab-kitab besar seperti Fathul Wahab. Selain itu, dia juga mempelajari perkembangan politik nasional dan internasional bersama aktivis dari seluruh dunia.

Pada 1904, Abdul Wahab Hasbullah kembali ke Indonesia. Kala itu, dia tak hanya mengasuh pesantrennya saja di Tambakberas Jombang, tetapi juga aktif dalam pergerakan nasional. Pada 1916 dia mendirikan organisasi pergerakan yang dinamai Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Negeri) yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran rakyat. Untuk memperkuatnya, pada 1918 Abdul Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Saudagar). Lembaga yang disebut terakhir ini dimaksudkan untuk menjadi pusat penggalangan dana bagi perjuangan umat Islam dan bangsa Indonesia.

Pada 1919, Abdul Wahab Hasbullah mendirikan Tasywirul Afkar di Surabaya. Sesuai dengan namanya, lembaga itu menjadi forum diskusi antarpemikir (baca: antarulama) dari berbagai ‘aliran pemikiran’. Mas Mansur, misalnya, adalah salah satu ulama yang juga aktif di forum itu. Kelak di kemudian hari, Mas Mansur dalam sejarah Muhammadiyah dikenal sebagai salah satu Ketua Umum-nya.

Abdul Wahab Hasbullah seperti tiada henti bergerak dan menggerakkan. Cermatilah, mulai masa pembentukan NU (Nahdlatul Ulama) sampai sesudahnya, Abdul Wahab Hasbullah selalu tampil di depan. Saat masih mampu hadir, di manapun muktamar NU diselenggarakan –mulai dari yang pertama kali di Surabaya- dia selalu datang dan memimpin. Lihatlah pula, di masa menjelang dan dalam mempertahankan kemerdekaan dia aktif di medan tempur dengan memimpin Barisan Kiai, sebuah organisasi yang secara diam-diam menopang Hizbullah dan Sabilillah.

Sebagai ulama yang ingin masyarakatnya maju, dia terus berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia bersama dengan ulama lain melalui pemikiran dan pergerakan. Untuk menyebarkan dakwah dan seruan perjuangan, Abdul Wahab Hasbullah mendirikan media massa berupa beberapa majalah dan surat kabar seperti Berita Nahdlatoel Oelama, Oetoesan Nahdlatoel Oelama, Soeara Nahdlatoel Oelama, Duta Masyarakat, dan sebagainya. Dia sendiri aktif menjadi salah seorang penyandang dananya dan sekaligus sebagai penulis.

Tampak, Abdul Wahab Hasbullah sadar bahwa dakwah lewat tulisan sangat efektif dalam mengabarkan gerakan NU dan pesantren ke publik. Gagasan itu semakin memperoleh ‘tenaga’ ketika Machfudz Siddiq dan Wahid Hasyim turut aktif dalam pengembangan media massa itu.

Abdul Wahab Hasbullah juga menulis kitab yaitu Sendi Aqoid dan Fikih Ahlussunnah wal Jama’ah. Kehadiran buku itu menunjukkan kedalaman penguasaannya di bidang ilmu dasar tersebut.

Kecuali ilmunya yang tinggi, Abdul Wahab Hasbullah juga dikenal bijaksana. Perhatikanlah, di tiap Bahtsul Masail muktamar NU dia selalu mampu memberikan jalan keluar dari berbagai ‘jalan buntu’ (mauquf) yang dihadapi ulama lain.

Di soal keluwesannya dalam memberikan jalan keluar dari sebuah masalah, ada kisah menarik. Pernah, seseorang bertanya kepada Bisri Syansuri (seorang kiai ahli fiqih) tentang pahala berkurban seekor sapi. Pertanyaan itu didorong oleh rasa penasaran karena dia punya seorang anak yang masih kecil, tetapi jika dihitung menjadi “orang kedelapan” dari keluarga yang akan berqurban itu. Rupanya, si penanya berharap mendapat jawaban bahwa anaknya yang masih kecil bisa juga ikut mendapat pahala qurban itu. Kiai Bisri Syansuri-pun menjawab lugas, bahwa “Menurut hukum fiqih, berqurban seekor sapi itu pahalanya hanya untuk tujuh orang saja”.

Tak puas dengan jawaban itu, orang tersebut lalu menanyakan hal yang sama kepada Abdul Wahab Hasbullah. Lalu, muncullah solusi yang logis bagi si penanya. “Untuk anak Anda yang kecil tadi, belikanlah seekor kambing agar bisa dijadikan lompatan ke punggung sapi,” tutur Abdul Wahab Hasbullah.

Dari sepotong kisah di atas, Abdul Wahab Hasbullah seperti ingin mengirim pesan kepada kita. Bahwa, sebaiknya kita harus mengetahui dengan jelas tentang seni berdakwah di tengah masyarakat dan untuk itu diperlukan cakrawala pemikiran yang luas.

Datang Gelar

Abdul Wahab Hasbullah wafat pada 29/12/1971. Dia tokoh pergerakan nasional yang berakar dari pesantren. Jasa-jasanya banyak dan itu tak dilupakan oleh pemerintah. Atas dasar itu, pada 07/11/2014 pemerintah memutuskan untuk memberi gelar Sang Ulama-Penggerak sebagai Pahlawan Nasional. []

 

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *