Oleh: Ainul Yaqin
Sekretaris Umum MUI Jawa Timur
Inpasonline.com-Ketika Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang aliran sesat yang sering diikuti dengan rekomendasi kepada pemerintah agar ada tindakan secara hukum terhadap para penyebarnya, beredar logika salah kaprah mengkirik MUI. Misalnya saja, ada yang mengkritik menggunakan asosiasi atau analogi dengan orang yang tersesat di jalan. Kata si empunya logika ini, kalau ada orang tersesat di jalan perlu diberi tahu agar dia tidak salah memilih jalan, jangan ditangkap dan dimasukkan penjara. Analoginya jika ada orang yang mengikuti aliran sesat harusnya diarahkan agar tidak salah, bukan difatwakan sesat, apa lagi diajukan kepengadilan.
Pandangan seperti ini memang bisa saja dibenarkan jika yang tersesat itu para pengikut yang hanya ikut-ikutan. Bagaimana dengan para pemimpin, pendiri dan penyebar aliran sesat, tentu tidak mudah mengajak untuk kembali ke jalan yang benar. Sementara mereka masih terus mengajak orang lain untuk menjadi tersesat. Di sinilah pendekatan pencegahan dengan penegakan hukum tentu menjadi solusi. Maka dalam hal ini analogi yang tepat bukan dengan orang yang tersesat di jalan, tapi dengan orang yang menggiring orang lain memilih jalan yang menyesatkan sehingga dia harus ditegur keras, jika tidak mau harus diberi sanksi.
Logika salah kaprah yang lain misalnya, disampaikan oleh seorang tokoh dalam beberapa kesempatan ceramahnya, yang antara lain disampaikan pada acara haul KH Muhammad Ushul III ke 62 di Bawang Salaman Magelang yang telah diunggah di Youtube. Ada kesan menyindir, sang penceramah mengatakan, ‘kurang apa sesatnya para penyembah sapi, tapi Sunan Kudus demi menghormati mereka dan menjaga perasaan mereka, malah meminta umat Islam berqurban dengan kerbau bukan dengan sapi”.
Pandangan seperti di atas juga sesat pikir dan perlu mendapatkan tanggapan karena disampaikan di forum publik, di forum pengajian, di media massa, termasuk yang diunggah di youtube yang bisa diakses banyak orang secara bebas. Lebih-lebih lagi kritik salah kaprah ini disampaikan oleh tokoh berpengaruh sehingga akan mudah diikuti oleh anggota masyarakat yang lain. Karena itu penting untuk ditanggapi, bukan dimaksudkan untuk menyudutkan siapapun, namun semata-mata untuk menghindari salah presepsi atau salah faham.
Kesalahfahaman umat terhadap MUI yang sering muncul akhir-akhir ini tentu tidak menguntungkan bagi kehidupan keberagamaan di Indonesia, khususnya bagi umat Islam sendiri. MUI adalah lembaga keislaman resmi, lembaga yang dibentuk oleh komponen umat Islam sendiri, berbadan hukum sah, terdaftar di KemenkumHAM, dan bahkan eksistensinya disebut dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Defacto maupun dejure MUI mempunyai banyak peran di berbagai sektor. Jika lembaga ini terus-menerus dilemahkan yang rugi umat Islam sendiri.
Penjernihan istilah juga penting, supaya setiap persoalan diposisikan sesuai dengan proporsi masing-masing sehingga tidak rancu. Umat atau masyarakat tidak sepatutnya diberi pengertian yang keliru.
Dalam hal ini, yang perlu dijernihkan adalah perspektif istilah antara kesesatan dan aliran sesat. Kesesatan secara luas tidak selalu identik dengan aliran sesat. Sederhananya aliran sesat masuk ke dalam bagian dari kesesatan, tetapi tidak semua kesesatan disebut aliran sesat. Kesesatan lebih luas cakupannya dari aliran sesat.
Kata sesat memang disebutkan dalam al-Qur’an maupun al-Hadits dalam berbagai bentuk. Di dalam al-Qur’an misalnya ada frase dhalaalan mubiina (QS), dhalaalan baidaa (QS), dhalaalin mubiin (QS), kemudian ada kata al-dhaalliin (QS), dhalaalah (hadits). Semua frase maupun kata tersebut merujuk pada istilah sesat. Misalnya dalam QS al-ahzab[33]: 36, menyebut perbuatan maksiat atau durhaka kepada Allah adalah bentuk kesesatan:
وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلٗا مُّبِينٗا
Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.
Kemudian dalam al-Hadits Rasulullah SAW bersabda bahwa setiap perbuatan mengada-ada dalam agama (yang tidak ada dasarnya) adalah bentuk kesesatan:
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Setiap bid’ah (perbuatan mengada-ada dalam agama yang tidak ada dasarnya) adalah sesat” (HR. Muslim (2006) Jilid I/h.375); al-Nasa’i No. 1576; Abu Dawud/ Sunan Abi Dawud V/h.13 hadits No.4607)
Adapun istilah aliran sesat atau faham menyimpang penggunaannya lebih sempit dari istilah kesesatan. Istilah aliran sesat muncul dari pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu faham atau aliran dalam suatu agama yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. Pengertian seperti ini dapat dicermati antara lain dalam peraturan Gubernur Jawa Timur No. 55 tahun 2012 pasal 1 ketentuan umum No. 6, sebagai berikut:
Aliran sesat adalah faham atau ajaran yang menamakan diri sebagai suatu ajaran agama dan pemikiran atau pendapat-pendapat tentang ajaran agama yang isinya menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama berdasarkan pertimbangan dari masing-masing majelis agama yang bersangkutan.
Sekalipun tidak disebut eksplisit istilah aliran sesat, penjelasan terkait dengan hal ini dapat dicermati dari peraturan yang kedudukannya lebih tinggi yaitu UU. No.1/PNPS/1965, pasal 1:
Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Dengan menggunakan definisi tersebut, dinamakan aliran sesat bila masih di dalam satu rumpun suatu agama, termasuk di dalamnya kelompok atau orang yang menggunakan kitab suci suatu agama yang ditafsirkan menyimpang dari ajaran agama yang bersangkutan.
Bagaimana dengan para penyembah berhala dan golongan orang-orang musyrik, seperti misalnya penyembah binatang, penyembah punden dan sebagainya. Dalam pandangan Islam perbuatan tersebut merupakan kesesatan.
وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلَۢا بَعِيدًا
Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. (QS al-Nisa: 116)
Namun hal tersebut tidak otimatis masuk dalam kategori aliran sesat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, kecuali bila praktik atau paham tersebut terjadi di lingkungan Islam atau menggunakan identitas Islam.
Dalam beberapa kajian, selain ada istilah aliran sesat, dikenal juga istilah aliran atau gerakan sempalan. Istilah ini umumnya berkembang dalam lingkup kajian sosiologi. Martin Van Bruinessen (1992) misalnya menyebut gerakan sempalan sebagai aliran keagamaan yang dianggap aneh alias menyimpang dari aqidah, ibadah, amalan, atau pendirian mayoritas umat. Martin (1992) juga menjelaskan, istilah sempalan bertolak dari pengertian tentang ortodoksi atau mainstream (aliran induk), disebut sempalan karena menyimpang dari faham induk. Istilah gerakan sempalan ini menurut Martin pertama kali dipakai oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Penyebaran aliran sesat di Indonesia temasuk perbuatan terlarang. Adapun dasar filosofi adanya peraturan yang melarang aliran sesat dapat dicermati dari penjelasan umum undang-undang No. 1/PNPS/1965 diantaranya disebutkan sebagai berikut:
Berhubung dengan maksud memupuk ketentera–man beragama inilah, maka Penetapan Presiden ini pertama-tama mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan (pasal 1-3); dan kedua kalinya aturan ini melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa/(Pasal 4).
Mencermati penjelasan umum UU No. 1/PNPS/th 1965 di atas, jelaslah bahwa pengaturan dan pelarangan aliran sesat dilakukan bukan dalam kerangka intervensi pemerintah terhadap agama yang dalam konteks HAM menjadi wilayah internum masing-masing pemeluk agama. Tetapi hal tersebut dilakukan untuk memelihara kehidupan umat beragama agar tetap kondusif, mencegah terjadinya benturan antar umat beragama serta mencegah terjadinya praktik perusakan ajaran agama yang sangat berpotensi menimbulkan pertentangan, ketidakstabilan, disharmonisasi masyarakat, terjadinya gangguan terhadap ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat yang pada akhirnya dapat membahayakan keutuhan NKRI. Tugas untuk memelihara ketenteraman umum dan ketertiban masyarakat serta memelihara persatuan dan kesatuan nasional adalah tugas dan kewajiban pemerintah sebagai penyelenggara negara.
Adapun dari sisi kajian Islam, penyikapan terhadap aliran sesat harus dilihat dari dua sisi, dari aspek dakwah dan dari aspek penegakan hukum. Dari aspek dakwah, para pengikut aliran sesat perlu diajak, dibina dan diarahkan jika memungkinkan. Dakwah Rasulullah Saw pada dasarnya mengajak orang-orang yang berada dalam kesesatan dalam arti luas untuk kembali kepada jalan yang benar. Hal ini misalnya dijelaskan dalam al-Qur’an.
هُوَ ٱلَّذِي بَعَثَ فِي ٱلۡأُمِّيِّۧنَ رَسُولٗا مِّنۡهُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبۡلُ لَفِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٖ – وَءَاخَرِينَ مِنۡهُمۡ لَمَّا يَلۡحَقُواْ بِهِمۡۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf, seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka, Kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya, mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka, yang belum berhubungan dengan mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Jum’ah [: 2-3)
Di sisi lain khususnya kepada penyebar dan pendiri aliran sesat, perlu penindakan hukum secara tegas. Sikap seperti ini dapat dicermati dari praktik yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq. Beliau memaklumkan perang kepada para pengaku nabi dan pembangkang zakat. Kebijakan Abu Bakar memaklumkan perang kepada para pengaku nabi ketika itu, tidak dibantah oleh seorangpun dari kalangan sahabat. Umar awalnya tidak sependapat akhirnya juga menyetujui langkah ini. Artinya hal ini sudah menjadi ijma’ sahabat. Semua itu dilakukan untuk memelihara dan menjaga agama dari penyimpangan (hifdz al-din).
Berangkat dari pemikiran tersebut, MUI telah merumuskan pedoman identifikasi aliran sesat. Diantara poin penting dalam pedoman tersebut adalah adanya prosedur pemanggilan terhadap pimpinan aliran atau kelompok untuk melakukan tahqiq dan tabayyun atas berbagai data, informasi dan bukti yang didapat tentang pemikiran dan aktifitas aliran atau kelompok itu sekaligus taushiyah bila memang salah agar yang bersangkutan meninggalkan pemikiran dan paham serta aktifitas yang salah dan kembali kepada jalan yang benar. MUI akan menerbitkan fatwa disertai rekomendasi. Jika para pengajur dan penyebar aliran sesat tetap ada pendirianya, maka penanganan secara hukum perlu ditegakkan unuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan, termasuk terkait dengan keselamatan yang bersangkutan.