Kedudukan Sanad Dalam Islam

Keraguan orientalis seperti itu bisa dimaklumi karena mereka tidak memahami tradisi keilmuan dalam Islam. Berkaitan dengan hadits, kaum Muslimin sejak awal sudah memiliki metodologi yang mapan dalam menentukan otentisitas sebuah hadits. Salah satunya dengan memperhatikan masalah sanad.

Para sahabat dan tabi’in, setelah terjadinya fitnah besar atas terbunuhnya Khalifah Utsman, mengambil sikap hati-hati dalam meriwayatkan sebuah hadits. Mereka tidak menerima selain apa yang diketahui jalurnya dan merasa yakin dengan ke-tsiqah-an (keterpercayaan) dan keadilan para perawinya, yaitu melalui jalur sanad.

Imam Muslim meriwayatkan di dalam mukaddimah shahihnya dari Ibn Sirin rahimahullah, yang berkata, “Dulu mereka tidak pernah mempertanyakan tentang sanad, namun tatkala terjadi fitnah, mereka mengatakan, ‘Tolong sebutkan kepada kami para perawi kalian.!’ Lalu dilihatlah riwayat Ahlussunnah lantas diterima hadits mereka. Demikian pula, dilihatlah riwayat Ahli Bid’ah, lalu ditolak hadits mereka.”[i]
Demikian pula para muhaditsin (Ahli Hadits) ketika mendengar sebuah hadits, tidak langsung menerimanya. Mereka terlebih dulu menguji kebenaran hadits itu dengan melihat dan mempelajari matan (isi) dan sanadnya sekaligus. Melalui cara ini kemudian mereka menilai apakah sebuah hadits itu otentik dan akurat, atau tidak.

Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa kajian model seperti ini ternyata baru dilakukan oleh umat Islam. Pada tradisi di luar Islam, semisal Yahudi dan Nasrani, tidak mengenal kajian tersebut. Mereka hanya mengenal kajian isi (teks) semata dan tidak mengenal kajian sanad.

Ini membuktikan bahwa kajian tentang sanad atau periwayatan merupakan salah satu keistimewaan umat Islam yang tidak dimiliki umat-umat lain. Ibnu Hazm berkata: “Periwayatan orang-orang yang terpercaya hingga sampai ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kekhususan yang diberikan Allah kepada umat ini, yang tidak ada di agama lain. Adapun riwayat mursal atau mu’dhal (jenis-jenis riwayat yang terputus jalur periwayatannya), banyak terdapat di Yahudi tapi tidak sampai mendekati Musa alaihissalam sebagaimana riwayat kita sampai Rasulullah. Riwayat orang-orang Yahudi itu hanya sampai pada orang yang antara dia dengan Musa yang jaraknya lebih dari 30 masa. Mereka hanya sampai kepada Syam’un atau semisalnya. Sedangkan Nashrani, mereka tidak mempunyai periwayatan seperti ini kecuali riwayat pengharaman talak saja. Adapun riwayat yang didalamnya terdapat para pendusta maupun orang-orang yang tidak dikenal, maka hal ini banyak ditemui di periwayatan Yahudi dan Nashrani.”[ii]

Pernyataan Ibnu Hazm ini diperkuat adanya bukti sejarah bahwa keempat penulis kitab Injil yaitu Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, tidak pernah bertemu dengan Nabi Isa alaihissalam. Sejarah tidak dapat memberikan jawaban siapa yang meriwayatkan injil-injil tersebut dari Nabi Isa a.s. Lagi pula, tidak diketahui bahasa asalnya. Jadi bagaimana mungkin diyakini kebenarannya?[iii]

Ini berbeda dengan Islam, setiap sumbernya memiliki sanad yang jelas. Setiap hadits yang diklaim berasal dari Rasulullah SAW mempunyai sanad walaupun ia dhaif.

Jadi Islam menempatkan sanad sebagai sesuatu yang penting untuk menerima atau menolak sebuah berita. Para ulama Islam telah menetapkan sanad sebagai bagian penting dalam penerimaan hadits.

Melalui jalur ini, dimungkinkan penelitian terhadap kebenaran hadits-hadits dan berita-berita dengan mengenali para perawinya. Cara ini memberikan rasa tenteram dan percaya pada berita yang diriwayatkan. Sebab, dalam sanad terhimpun sejumlah bukti dan pendukung berupa perawi-perawinya yang bersifat adil, tsiqaat dan dhobit. Dari sinilah keshahihan suatu berita yang diriwayatkan menjadi kokoh.

Penetapan sanad ini dimaksudkan untuk memastikan keshahihan (keotentikan) suatu nash (teks) atau berita, serta melenyapkan kepalsuan dan kebohongan yang mungkin ada padanya. Karena dengan cara ini bisa diketahui siapa-siapa yang meriwayatkan sebuah berita. Bila yang meriwayatkan itu orang yang memenuhi kreteria di atas, periwayatannya diterima. Sebaliknya, jika tidak memenuhi kreteria tersebut, periwayatannya ditolak.

Kegunaan lainnya, riwayat-riwayat yang disandarkan pada sanad jauh lebih utama dibandingkan riwayat atau khabar yang disampaikan dengan tanpa sanad. Alasannya, sanad dalam suatu riwayat dapat digunakan untuk melacak keotentikan sebuah riwayat. Mekanisme kritik dan pengujiannya juga dapat dilakukan dengan cara yang jauh lebih sempurna dibanding dengan khabar-khabar atau riwayat yang tidak bersanad.[iv]

Karena pentingnya kedudukan sanad, para ulama berpendapat bahwa mengetahuinya sama dengan mengetahui satu bagian yang besar dalam ilmu-ilmu Islam. Imam Ali bin al- Madini berkata: “Kefahaman yang mendalam tentang makna-makna hadits adalah separuh ilmu dan mengenali para perawi adalah separuh ilmu.[v]

Kata-kata Ibn al-Madini ini menunjukkan betapa tingginya kedudukan ilmu periwayatan yang sebanding dengan ilmu memahami kandungan hadits. Sebab, hadits yang diperoleh atau diriwayatkan akan mengikuti siapa yang meriwayatkannya. Dengan sanad suatu periwayatan hadits dapat diketahui mana yang dapat diterima atau ditolak dan mana yang shahih atau tidak. Abdullah bin al-Mubarak (wafat th. 181 H) rahimahullah berkata: “Sanad itu termasuk dari agama, kalau seandainya tidak ada sanad, maka orang akan berkata sekehendaknya apa yang ia inginkan”[vi]

Bagi kaum Muslimin, sanad merupakan media untuk menentukan apakah suatu hadits benar penisbatannya kepada Rasulullah atau tidak. Sanad yang bersambung dan shahih merupakan karakteristik (kekhususan) umat Islam. Dengan sanad, para ahli hadits bisa membedakan mana hadits yang shahih, dhaif (lemah) dan maudhu’ (palsu).

Dengan sanad pula, muncul kesadaran dari umat Islam akan kedudukan as-Sunnah dan betapa pentingnya memberikan perhatian terhadapnya, karena ia ditetapkan dengan jalur-jalur kritik dan tahqiq (analisis) yang demikian detil, yang belum pernah dikenal manusia sebelumnya sepanjang sejarah. Dengan begitu, klaim musuh-musuh Islam yang senang membuat keraguan terhadap hadits dengan sendirinya akan gugur.


[i] Al-Naisaburi, Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Dar al-Fikr, tt, tth i/370-371

[ii] Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawy, Darul Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Libanon, Jilid 2, Cet.ke-1, 1997, hal. 94

[iii] Sulaiman al-Nadwi, al-Risalah al-Muhammadiyyah, al-Darul Aman Cet.ke-1, 1995, hal. 30

[iv] Akrom Dhia’ul Umary, Dirasat Tarikhiyah, Maktabah Al ‘Ubaikaan Riyadh, KSA, Cet. Ke-3, tt, hal 26

[v] Syaikh ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah, Lamahat min Tarkih as-Sunnah wa ‘Ulum al-Hadits, Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyyah, Halb, Syria, Cet.ke-1,1404 H. hal. 80

[vi] Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, (1/87)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *