Oleh: Ainul Yaqin
Sekretaris Umum MUI jatim

Inpasonline.com-Sekitar bulan Maret 2016 silam tiba-tiba saja media di Indonesia baik media cetak maupun televisi menyiarkan begitu gencar seputar aktifitas komunitas Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT). Apa yang terjadi ketika itu, kata anggota DPD RI Fahira Idris, gencarnya propaganda terhadap komunitas LGBT diduga karena adanya dukungan dana asing. Menurut Fahira, pendanaan organisasi LGBT di dunia ini sangat kuat, dan sekarang ingin menjadikan Indonesia sebagai targetnya .

Tak kurang Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH.Said Aqil Siradj waktu itu juga memberikan komentar bahwa pemerintah kurang tegas dalam menangani masalah LGBT di Indonesia. Menurutnya, hal ini berbeda sekali dengan RRC (Republik Rakyat China) dan Singapura misalnya yang sudah tegas melarang LGBT.
Isu LGBT mencuat kembali santer, setelah MK menolak memberikan ketentuan hukuman atas pelaku hubungan sesama jenis sebagaimana yang menjadi bagian dari permintaan uji materi atas perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 yang diajukan oleh Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.S. dan koleganya. Beberapa pihak menilai, putusan itu menjadi kemenangan bagi komunitas LGBT. Keputusan ini juga disambut riang oleh komunitas ini. Sementara di sisi lain, ada yang berpendapat termasuk Profesor Mahfudz MD, bahwa soal penanganan LGBT menjadi kewenangan bagi lembaga pembuat undang-undang, yakni DPR RI. Maka perlu mendorong lembaga ini untuk segera mengeluarkan undang-undang yang melarang LGBT.

Ramai soal LGBT, ada pertanyaan yang dimunculkan: “Apakah orientasi seksual merupakan pemberian Tuhan (kodrat, given) ataukah dikonstruksikan secara sosial budaya?” Pertanyaan ini muncul sengaja dikemukakan oleh pihak yang ingin menggiring menuju opini pembelaan terhadap LGBT. Terhadap pertanyaan seperti ini penulis buku “Fiqih Seksualitas” yang turut melontarkan pertanyaan tersebut memberikan jawabannya, bahwa orientasi seksual adalah kodrat pemberian Tuhan. Dengan kata lain homoseksual ataupun heteroseksual bukanlah sifat yang dibuat-buat, tetapi sudah diciptakan Tuhan sejak dalam kandungan.

Pandangan yang disampaikan penulis buku Fiqih Seksualitas ini sebenarnya bukan hal yang baru, dan bukan yang pertama kali. Jauh sebelum itu, pandangan seperti ini telah disampaikan oleh Havelock Ellis (1859-1939), seorang intelektual liberal dari Inggris. Ia menulis buku “Sexual Inversion”, di buku ini Ellis menuliskan bahwa homoseksual adalah bawaan dari lahir (congenital) dan pelakunya tidak akan membahayakan diri sendiri maupun masyarakat. Pandangan Ellis diperkuat oleh Magnus Hirschfeld (1868-1935) psikolog dan seksolog asal Jerman. Hirschfeld yang berstatus seorang homoseks menyampaikan bahwa homoseksualitas adalah hal yang alami sebagai ‘gender ketiga’.

Dr. Siti Musdah Mulia salah seorang dari penulis buku Fiqih Seksualitas, sebelumnya pernah pula menyampaikan: “Homo-sexuals and homosexuality are natural and created by God, thus permissible within Islam” (homoseksual dan homoseksualitas adalah alami dan diciptakan oleh Tuhan, karena itu dibolehkan dalam Islam).

Pandangan bahwa homoseksual adalah kodrati atau dengan kata lain diciptakan oleh Tuhan terus digelindingkan untuk dijadikan sebagai argumen pembelaan terhadap eksistensi komunitas LGBT. Logika yang dibangun, jika homoseksualitas itu kodrati maka tidak ada alasan menolak atau merendahkan eksistensi kaum homo ini. Jalan fikiran ini bisa dicermati dari pandangan Musdah Mulia berikut:

There were no reasons to reject homosexuals under Islam, and that the condemnation of homosexuals and homosexuality by mainstream ulema and many other Muslims was based on narrow-minded interpretations of Islamic teachings (tidak ada alasan untuk menolak homoseksual dalam Islam. Dan bahwasanya penjatuhan hukum (haram) terhadap homoseksual atau homoseksualitas oleh kalangan ulama arus utama dan kalangan Muslim lainnya hanyalah didasarkan pada penafsiran sempit terhadap ajaran Islam).

Tampaknya alasan kodrat memang acap kali digunakan sebagai pembenaran atas perilaku menyimpang dari norma, tidak hanya dalam soal homoseksual saja. Dengan alasan ini pula sekelompok orang mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atas pasal 2 ayat (1) undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Alasannya, pasal ini dianggap telah mengekang hak untuk melakukan perkawinan beda agama. Kata si penggugat, tidak ada yang tahu seseorang akan bertemu dengan siapa ke depannya, akan suka sama siapa, akan kawin dengan siapa . Dengan kata lain rasa suka, rasa cinta dan rasa senang adalah kodrat, goven, ciptaan Tuhan, sehingga tidak ada yang bisa melarang-larang seseorang mencintai siapa.

Tanpa bermaksud mendiskusikan soal kodrat, logika seperti ini perlu dicermati secara kritis. Sebagai orang yang beriman, tentu meyakini bahwa di dalam kehidupan ini tidak ada yang lepas dari kekuasaan dan kehendak Tuhan. Bukankah sakit, sehat, rasa suka, rasa cinta dan senang juga berasalah dari Tuhan pula. Tetapi apakah dengan alasan bahwa sakit merupakan kodrat atau given dari Tuhan lantas seseorang kemudian hanya diam saja tidak mengupayakan penyembuhan dan tidak berobat ketika sakit. Jadi meskipun sesuatu itu given tidaklah semua disikapi dengan ketidakberdayaan. Ada hal-hal yang manusia tidak bisa menguasai dan ada hal-hal yang menusia diberi ruang untuk menguasai.

Dengan menggunakan penalaran yang sama seperti itu, apakah dengan alasan bahwa cinta adalah kodrat seseorang boleh bebas-bebas saja menyalurkan rasa cintanya tanpa memperhatikan norma. Jika logika paralogis ini dibenarkan, dengan dalih cinta seseorang bisa suka-suka mencintai istri tetangganya, kondisinya bisa runyam. Disini tampak kacaunya logika pembela kaum homo ini. Ada yang dilupakan dari logika ini bahwa di dalam kehidupan agar tidak kacau ada norma yang mengatur, termasuk bagaimana seharusnya menyalurkan perasaan cinta dan suka atau tidak suka.

Dalam berbagai aspek, Islam telah memberikan aturan atau norma termasuk dalam hubungannya dengan berperilaku dan penyaluran kebutuhan seksual. Tidak boleh dengan alasan cinta, sesorang bisa sembarangan melakukan penyaluran kebutuhan seksualnya, seperti dengan hubungan yang tidak sah atau berzina. Hubungan seksual yang sah harus didahului dengan pernikahan yang sah pula. Pernikahan juga diatur ada yang boleh dan ada yang tidak boleh. Analog dengan itu pulalah penyikapan terhadap LGBT. Allah Swt berfirman dalam al-Qur’an:
قُل لِّلۡمُؤۡمِنِينَ يَغُضُّواْ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِمۡ وَيَحۡفَظُواْ فُرُوجَهُمۡۚ ذَٰلِكَ أَزۡكَىٰ لَهُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا يَصۡنَعُونَ ٣٠ وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ …
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan panda-ngannya, dan memelihara kemaluan-nya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan panda-ngannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya…..”. (QS. Al-Nur [24]: 30-31)

Demikian pula firman Allah Swt:
وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِفُرُوجِهِمۡ حَٰفِظُونَ ٥ إِلَّا عَلَىٰٓ أَزۡوَٰجِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُمۡ فَإِنَّهُمۡ غَيۡرُ مَلُومِينَ ٦ فَمَنِ
ٱبۡتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡعَادُونَ ٧
dan orang-orang yang menjaga kemaluan-nya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-Mu’minun [23]: 5-7)

Pembahasan tetang lesbian, gay, biseksual dan transgender untuk selanjutnya, perlu diperinci sesuai dengan definisi masing-masing. Merujuk definisi dari Wikipedia, lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan orientasi seksual-nya kepada sesama perempuan. Sedangkan gay adalah sebuah istilah yang umumnya digunakan untuk menunjuk orang homoseksual atau sifat-sifat homoseksual, untuk menggambarkan orang-orang yang tertarik dengan orang lain yang berkelamin sama dengannya. Dalam perkembangannya istilah gay berkonotasi pada laki-laki homoseksual. Adapun biseksual adalah sebutan untuk seseorang yang mempunyai ketertarikan seksual, atau kebiasaan seksual kepada pria maupun wanita. Ketiga hal, lesbian, gay dan biseksual berhubungan dengan orientasi seksual.

Berbeda dengan ketiganya itu, istilah transgender tidak secara langsung berkaitan dengan orientasi seksual. Istilah transgender digunakan untuk menyebut seseorang dengan kondisi adanya ketidaksamaan antara identitas gender dengan jenis kelaminnya, seperti jenis kelaminnya laki-laki tapi perilakunya seperti perempuan atau sebaliknya. Karena itu untuk membahasnya perlu diuraiakan secara terpisah.

Di dalam al-Qur’an telah disampaikan bahwa Allah menciptakan pasangan makhluk terdiri atas laki-laki dan perempuan:
وَأَنَّهُۥ خَلَقَ ٱلزَّوۡجَيۡنِ ٱلذَّكَرَ وَٱلۡأُنثَى
Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perem-puan. (QS. al-Najm [53]: 45)
Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ
Hai manusia, sesungguhnya Kami mencip-takan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu (QS. Al-Hujurat [49]:13)

Surat al-Hujurat [49] ayat 13 di atas memberi penegasan bahwa manusia tercipta dari pasangan laki-laki dan perempuan. Kemudian dalam QS. Al-Nisa [3]: ayat )1( Allah menjelaskan bahwa keturunan manusia yang terdiri atas laki-laki dan perempuan, terbentuk juga dari pasangan laki-laki dan perempuan.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآء
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.

Dari pemahaman terhadap ayat-ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa manusia secara normal terdiri atas laki-laki dan perempuan, dan laki-laki adalah pasangan dari perempuan.

Pandangan seperti ini sejalan dengan pandangan ilmu pengetahuan. Kajian ilmu genetika misalnya telah menjelaskan, kromosom pada sel somatik manusia yang normal yaitu sel yang membentuk tubuh manusia terdiri dari 23 pasang kromosom, 22 pasangnya adalah autosom dan 1 pasang sisanya adalah kromosom seks. Karena kromosom sel somatik berpasangan, maka disebut diploid, sehingga kesemuanya berjumlah 46 kromosom. Dari pasangan kromosom seks yang terdapat dalam sel somatik ini memberikan petunjuk yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Kromosom seks laki-laki diberi simbol XY sedangkan kromosom seks perempuan diberikan simbul XX.

Berbeda dengan sel somatik, sel gamet atau sel kelamin kromosomnya tidak berpasangan, disebut haploid. Sel gamet pada manusia normal terdiri atas 22 autosom yang tidak berpasangan dan 1 kromosom seks yang juga tidak berpasangan. Kromosom seks pada sel kelamim laki-laki (sperma) berbeda dengan kromosom seks pada perempuan (ovum). Kromosom seks pada sel kelamim laki-laki diberi simbol Y sedangkan pada perempuan diberi simbol X.

Dari tinjauan genetika tersebut menunjuk-kan bahwa manusia normal adalah berjenis kelamin laki-laki dan perempuan yang secara genetik dapat dibedakan dari kromosomnya. Demikian pula secara normal pasangan laki-laki adalah perempuan.

Berikutnya dari tinjauan endokrinologi menjelaskan pula adanya perbedaan hormonal antara laki-laki dan perempuan. Pada Laki-laki secara dominan dipengaruhi oleh hormon testosteron. Sekalipun hormon testosteron juga terdapat pada perempuan tapi jumlahnya jauh lebih kecil. Pada laki-laki, hormon ini berfungsi saat spermatogenesis, pematangan sperma, dan pertumbuhan kelamin sekunder pada pria yang menandakan adanya pertumbuhan akil baligh dengan ditandai munculnya tanda-tanda kelamin sekunder seperti tumbuh kumis dan jenggot, rambut pada dada, rambut pada sekitar alat kelamin, rambut pada ketiak dan sebagainya. Kebanyakan juga akan tumbuh jakun, nada suara akan semakin rendah, mulai muncul jerawat di sekitar wajah, serta mulai tampak ada otot-otot yang berkembang lebih besar dan menonjol.

Adapun pada wanita secara dominan dipengaruhi antara lain hormon estrogen. Hormon ini berfungsi membantu pembentukan kelamin sekunder seperti tumbuhnya payudara, panggul membesar, dan ciri lainnya. Estrogen juga berperan mengatur siklus menstruasi. Kesimpulannya, pengetahuan endokrinologi reproduksi pada manusia juga memberian petunjuk bahwa manusia normal adalah laki-laki dan perempuan yang keduanya merupakan pasangan.
Adapun dari tinjauan psikologi dan psikiatri, kajian ini sangat dipengaruhi paradigma yang digunakan.

Adanya pergeseran pandangan yang dipengaruhi paradigma ini, dapat dicermati dari buku manual psikiatri yang dikenal dengan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM). Buku ini merupakan pedoman bagi para psikolog dan psikiater untuk menentukan adanya kelainan, penyimpangan atau gangguan jiwa. DSM diterbitkan oleh American Psychiatric Association (APA).

Pada DSM yang terbit pertama kali tahun 1952, homoseksual dikategorikan sebagai penyimpangan seksual dan merupakan salah satu jenis gangguan jiwa yang termasuk dalam kelompok Sociopathic Personality Disturbance.
Namun pada DSM edisi berikutnya secara pelan-pelan persepsi tentang homoseksual mulai bergeser. Pada DSM edisi IV yang terbit tahun 1994, homoseksualitas tidak dikategorikan lagi sebagai gangguan jiwa. Perubahan persepsi bukanlah soal temuan, tetapi karena perubahan paradigma itu.

Setelah memperhatikan pandangan normatif yang disampaikan dalam al-Qur’an yang didukung oleh kajian ilmu pengetahuan, bisa disimpulkan bahwa manusia normal adalah laki-laki dan perempuan dengan sifatnya masing-masing. Jika ada kondisi yang berbeda dari kondisi normal maka kondisi itu disebut abnormal, atau penyimpangan, atau juga kelainan. Kondisi penyimpangan atau abnormal bisa berupa kelainan orientasi seksual, kelainan perilaku yang ditunjukkan dengan adanya perbedaan antara jenis kelamin dan identitas gendernya, atau kelainan organ secara fisik. Sehubungan dengan kondisi abnormal ini, fiqih Islam telah mengatur dan memberikan pandangan dan perlakuan masing-masing.

Berkaitan dengan kelainan organ fisik, dalam fiqih Islam dikenal istilah khuntsa (الخنثى ), yaitu orang yang statusnya samar apakah ia seorang laki-laki atau perempuan, karena ia memiliki alat kelamin laki-laki dan sekaligus alat kelamin perempuan secara bersamaan, atau ia tidak memiliki keduanya sama sekali . Khuntsa bukan suatu yang tercela. Para ulama membagi status khuntsa menjadi dua, khuntsa musykil yaitu yang sama sekali tidak bisa diidentifikasi status kelaminnya, karena tidak ada tanda-tanda yang mengarahkan kecenderungan ke laki-laki ataupun perempuan. Kemudian khuntsa ghoiru musykil yang bisa diidentifikasi status kelaminnya sebab ada tanda-tanda kecenderungan /kecondongan pada salah satunya . Pembahasan tentang khuntsa ini erat kaitannya dengan berbagai hal seperti masalah bersuci, batasan aurat, imamah dalam shalat, pergaulan dalam kehidupan dan pembahasan tentang warits. Jadi pembahasannya ada di banyak tempat.

Berikutnya berkaitan dengan kelainan transgender yaitu adanya perbedaan antara jenis kelamin dan identitas gendernya, yang termasuk dalam hal ini adalah mukhannats yaitu kondisi jenis kelaminnya laki-laki tetapi perilakunya seperti perempuan, atau sebaliknya mutarjjilat yaitu kondisi jenis kelaminnya perempuan tetapi perilakunya seperti laki-laki. Dalam tinjauan fiqih Islam, mukhannats (termasuk juga mutarjjilat) dikategorikan menjadi dua. Kategori pertama, keserupaan perilaku bersifat bawaan dari lahir (bersifat khilqat), tidak karena dibuat-buat. Maka yang demikian ini bukan termasuk perilaku yang tercela, jika yang bersangkutan tidak menghen-dakinya. Sehubungan dengan ini Ibn Hajar al-Asqalani memberikan catatan sebagai berikut:

وأما ذم التشبّه بالكلام والمشي فمختص بمن تعمد ذلك ، وأما من كان ذلك من أصل خلقته فإنما يؤمر بتكلف تركه والإدمان على ذلك بالتدريج ، فإن لم يفعل وتمادى دخله الذم، ولا سيما إن بدا منه ما يدل على الرضا به ، وأخذ هذا واضح من لفظ المتشبهين . وأما إطلاق من أطلق كالنووي وأن المخنث الخلقي لا يتجه عليه اللوم فمحمول على ما إذا لم يقدر على ترك التثني والتكسر في المشي والكلام بعد تعاطيه المعالجة لترك ذلك

Adapun celaan atas perilaku penyerupaan dalam ucapan dan cara berjalan hal ini berlaku bagi bagi siapa yang sengaja melakukannya. sedangkan bagi yang memang asal penciptaannya seperti itu, maka ia diperintahkan untuk berusaha keras meninggalkan perilaku kecanduan atas hal itu secara berangsur-angsur, dan jika ia tidak melakukannya dan secara sengaja mempertahankannya maka masuk ke dalam dirinya celaan, terutama jika terlihat darinya sikap senang akan hal itu, kesimpulan ini secara jelas tercakup dalam ungkapan “mutasyabbihin”(orang yang menyerupai), adapun pemutlakan bahwa seorang mukhannats bawaan (mukhannats khalqi) tidak dicela seperti yang disampaikan al-Nawawi, maka hal ini berlaku pada keadaan yang tidak sanggup untuk meninggalkan sifat kewanita-wanitaan dan kegemulaian dalam berjalan dan berkata-kata setelah ia berusaha mengobati akan hal itu.

Kategori kedua, sifat penyerupaan terjadi karena dibuat-buat, disengaja atau direkayasa. Maka yang demikian ini adalah perbuatan yang dicela dan dilaknat oleh Allah . Rasulullah Saw bersabda:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخَنَّثِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ وَقَالَ أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ قَالَ فَأَخْرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلَانًا وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلَانًا – رواه البخاري

Dari Ibnu Abbas ra berkata, bahwasanya Rasulullah Saw melaknat mukhannatsin (laki-laki yang menyerupai perempuan) dan mutarajjilat (perempuan yang menyerupai laki-laki). Beliau bersabda, ”Keluarkanlah mereka dari rumah-rumah kalian.” Maka Rasulullah Saw mengeluarkan Fulan dari rumahnya dan Umar juga mengeluarkan Fulan dari rumahnya. (HR. al-Bukhari)

Dalam riwayat lain Rasulullah Saw melarang perilaku menyerupaan, yaitu laki-laki yang menyerupai perempuan atau sebaliknya.
عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ – رواه البخاري
Dari Ikrimah dan Ibnu Abbas ra berkata, bahwa Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang meniru perempuan dan perempuan yang meniru laki-laki. (HR. al-Bukhari)

Jenis penyimpangan berikutnya adalah penyimpangan orientasi seksual yang dikenal dengan homoseksual, yaitu lesbian, gay dan biseksual. Jika merujuk pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) yang terbit perdana, perilaku ini termasuk jenis penyimpangan kepribadian, walaupun seperti telah diurakian di awal, DSM yang baru tidak memasukkan dalam kelainan karena ada pergeseran paradigma yang digunakan akibat pengaruh liberalisme yang didukung komunitas homoseksual. Homoseksual dipraktikkan dengan melakukan hubungan sesama jenis merupakan perbuatan sangat tercela, perbuatan keji yang menyimpang dari fitrah manusia. Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan hal ini yang dikaitkan dengan perbuatan yang dilakukan oleh kaum Nabi Luth as. Al-Qur’an menyebut pelaku homoseksual sebagai orang yang melampaui batas.

 

وَلُوطًا إِذۡ قَالَ لِقَوۡمِهِۦٓ أَتَأۡتُونَ ٱلۡفَٰحِشَةَ مَا سَبَقَكُم بِهَا مِنۡ أَحَدٖ مِّنَ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٨٠ إِنَّكُمۡ لَتَأۡتُونَ ٱلرِّجَالَ شَهۡوَةٗ مِّن دُونِ ٱلنِّسَآءِۚ بَلۡ أَنتُمۡ قَوۡمٞ مُّسۡرِفُونَ ٨١
Dan (Kami juga telah mengutus) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (di dunia ini). Sungguh, kamu telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama lelaki bukan kepada perempuan. Kamu benar-benar kaum yang melampaui batas (QS. al-A’raf [7]: 80-81)

أَتَأۡتُونَ ٱلذُّكۡرَانَ مِنَ ٱلۡعَٰلَمِينَ ١٦٥ وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمۡ رَبُّكُم مِّنۡ أَزۡوَٰجِكُمۚ بَلۡ أَنتُمۡ قَوۡمٌ عَادُونَ ١٦٦
Mengapa kamu mendatangi jenis laki-laki di antara manusia (berbuat homoseks), dan kamu tinggalkan perempuan yang dicipta-kan Tuhan untuk menjadi istri-istri kamu? Kamu (memang) orang-orang yang melampaui batas. (QS. al-Syuara’ [26]: 165-166)

Tidak ada perbedaan di kalangan para ulama tentang status homoseksual sebagai bentuk kejahatan moral, namun terdapat perbedaan dalam menentukan hukumannya. Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad menyampaikan bahwa hukuman bagi pelaku homoseksual adalah had, alasannya masalah ini telah ditegaskan dalam al-Qur’an tentang siksaan yang berat bagi pelakunya. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpandangan bahwa hukuman bagi pelaku homoseksual adalah ta’zir. Alasan Imam Abu Hanifah karena homoseksual tidak sampai menimbulkan percampuran nasab .

Penerapan hukuman had menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah yang paling jelas diantara dua riwayat dari Imam Ahmad adalah dirajam baik muhshan (sudah berkeluarga) maupun lajang . Hal ini didasarkan pada hadits:

مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ
“Siapa menjumpai orang yang melakukan perbuatan homo seperti perbuatan kaum Luth maka bunuhlah pelaku dan yang diajak melakukannya” (HR. Abu Dawud dan al-Tirmidzi )

Sedangkan had bagi pelaku homoseksual menurut ulama Syafi’iyah mengikuti had zina, jika pelakunya muhshan wajib dirajam, dan jika ghairu muhshan (lajang) dicambuk dan diasingkan. Pendapat ini didasarkan pada hadits berikut:

إِذَا جَاءَ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فَهُمَا زَانِيَانِ وَإِذَا أَتَتِ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ فَهُمَا زَانِيَتَان.ِ
Jika seorang laki-laki bersetubuh dengan laki-laki maka keduanya adalah pezina. Jika seorang wanita bersetubuh dengan sesama wanita maka kedua adalah pezina. (HR. al-Baihaqi dengan lafadz idza ata al-rajulu al-rajula )

Majelis Ulama Indonesia di dalam fatwa nomor 57 tahun 2014 tentang Lesbian, Gay, Sodomi, dan Pencabulan menyebutkan, bahwa aktifitas homoseksual selain dengan cara sodomi (liwath) hukumnya haram dan pelakunya dikenakan hukuman ta’zir. Sedangkan jika kejahatan (jarimah) homoseksual, sodomi, dan pencabulan dilakukan terhadap anak-anak, pelakunya dikenakan pemberatan hukuman hingga hukuman mati.

Tentang Buku Fiqih Seksualitas

Setidaknya ada tiga kekacauan dalam buku Fiqih Seksualitas ini sehubungan dengan LGBT. Pertama, soal logika bahwa homoseksual adalah kodrat , dengan alasan ini seolah-olah penulisnya ingin menggiring pada opini bahwa eksistensi komunitas homoseksual perlu diakui. Pandangan seperti ini kacau sebagaimana telah dibahas di awal tulisan ini. Bahwa penyaluran kebutuhan seksual mesti diatur dengan norma. Jika tidak demikian akan terjadi kekacauan.

Kedua, di buku ini ada kesengajaan merancukan antara konsep homoseksual dengan muhkannats dan mutarajjilat. Misalnya penulis buku ini mengartikan mukhannats khalqy dengan homoseksual kodrati . Pengkaburan ini terkesan disengaja, karena di awal mereka telah menguraikan pengertian masing-masing, bahwa homoseks berhubungan dengan orientasi seksual, sedangkan mukhannats berhubungan dengan perbedaan antara ekspresi gender dengan jenis kelamin yang dikenal dengan transgender . Dengan pengaitan konsep homoseksual kodrati dengan mukhannats khalqy penulis buku tersebut ingin menggiring pada kesimpulan bahwa jika homoseksual itu bersifat kodrati maka tidak dipermasalahkan, karena dianalogikan bahwa para ulama berpandangan mukhannats khalqy tidak dicela. Penulis buku tersebut juga sengaja tidak menyebut catatan yang disampaikan oleh Ibnu Hajar, bahwa kriteria tidak adanya celaan itu bila yang bersangkutan tidak menghendakinya dan telah berusaha mengubahnya. Dari sini tampak jalan fikiran mereka yang ingin mencari pembenaran terhadap perilaku homoseksual.

Ketiga, penulisnya ingin menegaskan bahwa homoseksual bukan liwath. Penulis buku tersebut ingin membatasi bahwa pelarangan pada peristiwa kaum Luth bukan soal perilaku homoseks atau pada persoalan hubungan seks sesama jenis, tetapi pada liwath yang diterjemahkan dengan perilaku sodomi . Pada catatan kaki di buku tersebut dijelaskan bahwa istilah sodomi adalah istilah hukum yang digunakan untuk merujuk kepada tindakan seks “tidak alami”, bisa seks oral atau semua bentuk pertemuan organ non-kelamin dengan alat kelamin baik yang dilakukan secara heteroseksual, homoseksual ataupun antara manusia dengan binatang.

Pandangan seperti di atas tidak mendasar karena jika dicermati, celaan terhadap kaum Nabi Luth tidak hanya berkaitan dengan praktik sodomi atau liwath atau persenggamaan lewat dubur saja, yang mungkin biasa dilakukan oleh kelompok gay. Tetapi celaan terhadap kaum Nabi Luth juga berkaitan dengan hubungan seksual sesama jenis. Dalam al-Qur’an juga disebutkan:

أَئِنَّكُمۡ لَتَأۡتُونَ ٱلرِّجَالَ شَهۡوَةٗ مِّن دُونِ ٱلنِّسَآءِۚ بَلۡ أَنتُمۡ قَوۡمٞ تَجۡهَلُونَ ٥٥
“Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) syahwat, bukan (mendatangi) perempuan? Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatan-mu).” (QS. al-Naml [27]: 55)

Imam al-Thabari menyampaikan bahwa ayat ini menjelaskan atas perbuatan tercela yaitu menyalurkan aktifitas seksual kepada sesama laki-laki bukan kepada perempuan yang dihalalkan oleh Allah melalui pernikahan . Artinya hal ini bukan semata-mata celaan atas perilaku sodomi saja sebagaimana kesimpulan penulis buku Fiqih Seksualitas yang juga mengklaim sesuai pendapat Imam al-Thabari, tetapi perilaku mendatangi sesama jenis untuk melakukan hubungan seksual.

Kesimpulan bahwa celaan terhadap kaum Nabi Luth adalah karena perilaku hubungan seks sesama jenis (homoseksual) dan bukan hanya karena praktik sodominya diperkuat dengan hadits Nabi Saw sebagai berikut:

لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ، وَلَا الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ، وَلَا يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، وَلَا تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ
Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain, dan janganlah seorang perempuan melihat aurat perempuan lain, dan janganlah seorang laki-laki telanjang bersama laki-laki lain dalam satu selimut, dan janganlah seorang perempuan telanjang bersama perempuan lain dalam satu selimut. (HR Muslim )

Demikian pula hadits Nabi Saw.
سِحَاقُ النِّسَآءِ بَيْنَهُنَّ زِنَا )رواه أبو يعلى
(Hubungan seksual wanita dengan sesama wanita adalah zina (HR. Abu Ya’la dengan sanad baik)

Tampaklah bahwa para pendukung LGBT berusaha dengan berbagai cara untuk membangun dukungan, termasuk tidak segan-segan juga menggunakan argumen agama.
***

One Comment

  1. Tai lah memangnya kalo pendanaan utk para teroris skala internasional ga kalah besar ga kalah lebih menakutkan sebelum belajar islam,belajar dulu jadi manusia shitt oh goshhh shitt people arounds

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *