Salah satu tantangan internal dalam pemikiran Islam adalah munculnya fenomena penciutan atau penyempitan khazanah pemikiran Islam yang luas dan kompleks. Penyempitan pemikiran Islam itu mislanya dikatakan Islam hanya persoalan fikih semata, lalu disemmpitkan lagi bahwa fikih itu hadis, lalu hadis dipersempit lagi hanya hadis shohih saja.
Demikian dikatakan oleh Dr. Ugi Suharto dalam Dauroh ilmiah yang diselenggarakan di kantor INSISTS di Jl. Raya Kalibata Utara II Jakarta Sabtu lalu (11/01).
“Jika kita hendak membangun peradaban maka kita memerlukan warisan khazanah pengetahuan Islam yang pernah berjaya lama, tapi ketika fenomena penyempitan pemikiran Islam ini berkembang, banyak sekali dari khazanah keilmuan islam seperti para ulama dan kitab-kitabnya yang terlupakan,” jelasnya.
Ugi Suharto yang kini menjabat sebagai Associate Professor di University College of Bahrain menjelaskan, fenomena penyempitan khazanah pemikiran Islam ini pernah dikritik oleh Imam al-Ghazali.
Mengutip kitab Ihya’ Ulumuddin, salah satu pendiri INSISTS memaparkan kritik al-Ghazali tentang penyempitan makna fikih. Fikih pada abad 1 H tidak sekedar ibadah dzahir, tapi makna fikih secara mutlak merujuk kepada ilmu akhirat.
“Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin menjelaskan karakter keilmuan para imam madzhab sebagai seorang yang ‘aabid (ahli ibadah), zaahidan (zuhud), ‘aaliman bi umuri al akhiroh (‘alim dalam ilmu yang terkait dengan akhirat), faaqihan fii masholihul kholqi fid dunya (faqih dalam menetukan mashlahat makhluk di dunia), wa muriidan bi fiqhihi wajhullahi ta’ala (dan hasrat keinginannya dalam ber-fiqih adalah mengharap ridlo Allah semata),” terangnya.
Ugi Suharto menambahkan, apabila kini istidlal itu hanya pada hadis dalam persolan hukum-hukum fikih, maka ruang lingkup sumber-sumber fikih menjadi semakin sempit.
Akibar dari penyempitan itu, kata Dr. Ugi, umat kurang mengenal ulama-ulama kalam dan tasawwuf. Tidak hanya mengenal, bahkan mencercanya.
Seperti dicontohkan oleh Dr. Ugi, banyak dijumpai masyarakat yang menemui persoalan hukum yang ditanyakan adalah “mana hadisnya?”. Pertanyaan ini merupakan pertanyaan menyempitkan.
“Hukum-hukum fikih yang sudah baku selalu ingin dimentahkan kembali dengan pertanyaan ‘mana hadisnya’. Seolah-olah sumber pengambilan hukum Islam itu hanya dari hadis semata-mata”, tegas alumni ISTAC Malaysia ini.
Daurah Ilmiah ini diselenggarakan dalam rangka tasyakkur sebelas tahun perjalanan dakwah, Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS). Dihadiri lebih dari 80 peserta yang datang dari perwakilan-perwakilan INSISTS di berbagai daerah.