Konsep Pembaharuan Politik dan Pendidikan dalam Pemikiran al-Kawakibi

                Sebagai respon terhadap situasi serba sulit bagi umat Islam ini, tumbuh  benih-benih kesadaran di tubuh sekelompok cendekiawan yang kemudian melahirkan gerakan-gerakan pembaharuan dan akhirnya mengkristal menjadi apa yang kemudian dikenal dengan istilah Al-ØaÍwah al-Islāmiyah.

Jika dirunut jauh kebelakang, gerakan-gerakan pembaruan ini memiliki akar sejarah pertumbuhan sejak dari gerakan-gerakan reformasi keagamaan yang muncul dua abad silam dan bisa dijabarkan kedalam tiga gelombang.[ii] Pertama, berlangsung antara pertengahan abad ke 18 sampai pertengahan abad ke 19 yang diwakili oleh gerakan dakwah Muhammad bin Abdul Wahhab (1702-1791) di Najed, Muhammad bin Nūh al-Fallaty (1752-1803) di Madinah, Waliyullāh al-Dahlawy (1702-1762) di India, MuÍamad ibn ‘Ali al-Shawkāni(1758-1874) di Yaman, Shihābuddin al-Alūsy (1803-1854) di Irak, ‘Ali al-SanËsi (1778-1859) di Maroko dan Muhammad al-Mahdi (1843-1885) di Sudan.

                Gelombang kedua, adalah gelombang yang muncul antara perempat terakhir abad ke 19 dan perempat awal  abad 20, ketika invasi militer dan politik imperialisme Barat berhasil menguasai negara-negara Arab dan Islam. Periode ini mengenal tokoh-tokoh seperti Jamāluddin al-Afghāni (1839-1896) sebagai pioner, `Abd al-Rahmān al-Kawākibi (w.1902),  MuÍamad `Abduh (1839-1905) dan MuÍamad Rashīd Ridlā (1865-1935).

                Gelombang ketiga, muncul setelah Perang Dunia I, berupa gerakan-gerakan keislaman yang lahir pada ahir tahun 1920-an dan berlangsung sampai pertengahan abad 20 dan mulai bercirikan kerja kolektif dan terorganisir. Fase ini diwakili oleh tokoh-tokoh seperti ×asan al-Banna (w.1949) di Mesir, `Abd al-×amīd ibn Bādīs (w.1940) di Aljazair, MusÏafā al-SibÉ`ī ( w. 1965) di Suriah, Abu al-A`lÉ al Mawdudi (w.1979) di Pakistan , Sayyid QuÏb(w.1966) dan Sa`īd al-Nursi (1878-1960) di Turki.

                 Tulisan ini berupaya untuk secara singkat menyibak upaya-upaya dan ide-ide pembaharuan salah seorang tokoh dari gelombang kedua, yaitu ‘Abd al-Rahmān al-Kawākibi, melalui kajian terhadap dua buku monumentalnya Umm al-Qurā[iii] dan Ùabāi` al-Istibdād.[iv] Pembahasan dibatasi pada bidang politik dan pendidikan, dua sektor yang dapat dikatakan termasuk paling penting dalam bangunan pemikiran pembaharuan Al-KawÉkibi.

 

SEKILAS TENTANG BIOGRAFI AL-KAWAKIBI[v]

Tokoh kajian kita ini memiliki nama lengkap `Abd al-Rahmān ibn Ahmad Bahā’i ibn Mas`ūd al-Kawākibi. Dilahirkan di Aleppo dari sebuah keluarga terhormat dan dikenal sebagai keluarga besar yang banyak melahirkan tokoh-tokoh agama (`ulamÉ) maupun pejabat pemerintahan (rijÉl al-dawlah). Tumbuhnya Al-Kawākibi dalam keluarga yang terpandang ini menjadi salah satu unsur penting yang kemudian membentuk karakter dan sekaligus memberikan kontribusi besar bagi kuatnya pengaruh Al-KawÉkibi di masyarakat Aleppo saat itu.

Ayah Al-Kawākibi, Shaikh AÍmad Mas’Ëd al-KawÉkibi merupakan seorang pemuka agama di Aleppo[vi] dan aktif mengajar di Al-Madrasah Al-KawÉkibiyah, sebuah lembaga pendidikan milik keluarga. Ibu Al-Kawākibi bernama `Afifah, anak seorang mufti dari Antioch[vii]. Nasab Al-Kawākibi tersambung kepada Ismā`īl Al-Øafawi pendiri klan Øafawiyah yang berhaluan Shi`ah di daerah Tabrīz[viii] dan pernah menguasai Iran selama kurang lebih satu setengah abad lamanya. Menurut beberapa sumber, nasab Al-KawÉkibi bahkan sampai kepada `Ali ibn AbË Thalib, baik melalui jalur keturunan ayah maupun ibu.

Para peneliti berselisih pendapat tentang tahun kelahiran Al-Kawākibi. Kebanyakan dari mereka menyebutkan kelahirannya berkisar antara tahun 1848, 1853 atau 1854 Masehi.[ix]  Akan tetapi diluar pendapat yang tiga tersebut, Al-Zirikli menyatakan bahwa Al-Kawākibi lahir pada tahun 1849 (1265 H)[x], berbeda dengan pendapat `Umar Ridlā KaÍālah yang menyebut tahun 1271 H [xi] (atau sekitar tahun 1839/1840 M). Pendapat yang paling akurat dan diadopsi oleh kebanyakan penulis adalah yang menyatakan bahwa Al-Kawākibi lahir di tahun 1854.

                Al-Kawākibi, yang sejak berusia enam tahun telah ditinggal mati ibunya, menghabiskan masa-masa pertumbuhan dan belajar dasarnya di Antioch dan Aleppo. Di Antioch al-Kawākibi  belajar baca tulis dan menghapal al-Qur’an kepada Shaikh Ùāhir al-Kalzi. Al-Kawākibi juga pernah berguru kepada Najīb al-Naqīb, salah seorang paman ibunya, yang juga menjadi guru bagi Khedive[xii] Abbās Hilmi, sang penguasa wilayah Mesir yang kelak memberikan perlindungan kepada Al-Kawākibi setelah kepergiannya dari Aleppo ke Mesir.

Sedangkan di Aleppo, Al-Kawākibi bersekolah di Al-Madrasah al-Kawākibiyah yang dipimpin oleh ayahnya sendiri. Di samping ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab, Al-Kawākibi juga mempelajari ilmu mantiq (logika), sejarah, filsafat, ilmu politik, dan ilmu hukum (qÉnËn), khususnya terkait dengan hukum dan undang-undang yang diterapkan oleh pemerintahan Turki Utsmani. Selain itu, Al-Kawākibi juga dikenal gemar membaca buku-buku terjemahan dari bahasa asing terutama dari bahasa Inggris dan Perancis.

Saat memasuki usia dewasa, kondisi masyarakat Aleppo yang hidup di bawah ketidakadilan pemerintah banyak menyita perhatian Al-KawÉkibi. Pada tahun 1978 atau hanya berselang dua tahun sejak ditunjuk oleh pemerintah sebagai editor sebuah surat kabar resmi pemerintah, Al-Furāt yang terbit di Aleppo, Al-Kawākibi mengundurkan diri dan selanjutnya mendirikan surat kabar swasta bernama Al-Shahbā. Tujuannya, Al-Kawakibi menginginkan suara hatinya yang memihak rakyat kecil dan mengingkari kelaliman pemerintah dapat terekspresikan dengan lebih lantang..

Guna menghindari pantauan penguasa yang telah ‘gerah’ dengan gerak-gerik dan kritik-kritiknya, Al-Kawākibi menggunakan nama rekannya Hāshim al-`AÏÏar sebagai pemilik koran tersebut. Namun upaya Al-Kawākibi tersebut tidak berhasil menyelamatkan nasib koran Al-Shahbā yang ahirnya dibredel oleh pemerintah setempat setelah terbit hanya sampai enam belas edisi.

Tidak jera dengan pembredelan Al-Shahbā, pada tahun 1879 Al-KawÉkibi kembali mendirikan surat kabar Al-I`tidāl dengan menggunakan nama rekannya yang lain. Meski kemudian koran ini mengalami nasib yang sama dengan Al-Shahbā, semangat perjuangan Al-Kawākibi melalui dunia junalistik tidak terhenti dengan tetap menulis artikel di berbagai surat kabar Arab lainnya seperti Al-NiÍlah, Al-Mu’ayyad, Al-Qāhirah dan lain-lain.

Selain aktif menulis, Al-Kawākibi berkecimpung cukup lama di dunia birokrasi. Bahkan beliau beberapa kali memegang sejumlah jabatan penting dalam administrasi pemerintahan `Utsmani.

Akan tetapi, konsistensinya dalam membela kepentingan publik serta kritik-kritiknya yang tajam terhadap pemerintah, membuat Al-KawÉkibi banyak menemui kesulitan dan sering mengalami ketegangan dengan penguasa, yang akhirnya menyebabkan diberhentikannya dari berbagai kedudukan tersebut.  Al-Kawākibi juga pernah dikenal sebagai abū al-dhu`afākarena kegigihannya membantu rakyat kecil melalui sebuah kantor bantuan hukum independen yang didirikannya.

Klimaks dari perseteruannya dengan pemerintah di Aleppo, ahirnya pada tahun 1899[xiii]  Al-Kawākibi memutuskan kabur ke Mesir (tepatnya ke kota Iskandariyah). Dan setelah berdiam beberapa waktu, Al-Kawākibi melanjutkan perjalanannya ke Zanzibar, Ethiopia, serta sejumlah negara di wilayah pantai Barat Asia.

 Sekembalinya ke Mesir, Al-Kawākibi melakukan perjalanan berikutnya ke Jazirah Arab, menjalankan ibadah haji ke Mekah, berkunjung ke Yaman, India, pantai pulau Jawa, negara-negara Teluk dan ahirnya kembali dan menetap kembali di Mesir pada tahun 1900. 

Al-Kawākibi memilih Mesir sebagai tempat pelariannya, karena pada zaman itu, di bawah Khedive Abbās Hilmi, Mesir meruapakan tempat mencari suaka dan perlindungan oleh para cendikiawan dan penulis yang mendambakan kebebasan.

Di Mesir, Al-Kawākibi menjalin persahabatan erat dengan beberapa jurnalis dan penulis Mesir seperti Muhammad Rashīd Ridlā (yang juga berasal dari Suriah), Rafīq al-`Adzīm, Muhamad Kurdi `Ali serta IbrÉhīm al-Najjār. Al-Kawākibi juga ikut terlibat sebagai salah seorang redaktur majalah Al-ManÉr yang didirikan oleh Muhamad `Abduh.

Tidak lama berkiprah di Mesir, atau hanya berselang dua tahun kemudian Al-Kawākibi menghembuskan nafasnya yang terakhir pada bulan Juni 1902. Menurut sumber-sumber sejarah biografinya, terdapat indikasi bahwa Al-Kawākibi mati diracun.  

 

LATAR BELAKANG SOSIO-POLITIK

Untuk dapat memahami konteks sosio-politik pemikiran Al-KawÉkibi secara lebih fokus, selain background besar seperti yang telah dipaparkan dalam pendahuluan di atas, tulisan ini akan sedikit menyinggung pula background pemikiran  Al-KawÉkibi secara lebih dekat. 

Al-Kawākibi hidup di ahir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dunia Arab-Islam yang pada waktu itu berada pada masa-masa kemunduran, mengalami interaksi cukup panjang -dalam beberapa aspeknya- dengan dunia Barat yang saat itu sudah menikmati kemajuan ilmu pengetahuan setelah lama terkungkung oleh kegelapan abad pertengahan. Hal ini terjadi khususnya setelah Muhamad `Ali BÉshÉ (1769-1849) meberlakukan kebijakan keterbukaannya di Mesir saat itu.

Usai berhasil mengalami kebangkitan di abad 16, Barat-Eropa kemudian menjalankan kebijakan imperialisme dan aksi agresinya ke berbagai belahan dunia Islam dan Arab yang diawali dengan agresi Napoleon Bonaparte ke Mesir tahun 1798 dan kemudian Aljazair tahun 1830.

Sejak itu sejumlah besar wilayah dunia Islam menjadi bagian dari kekuasaan Eropa dan selebihnya masih di bawah pemerintahan Turki `Usmani yang sudah mulai melemah dan secara sarkastis sering disebut sebagai the sick man.

Sadar dengan situasi dan kondisi dunia Islam yang memperihatinkan, beberapa kalangan terpelajar kemudian tersengat rasa semangatnya untuk melakukan respon balik dan berbagai upaya guna menghadang bahaya tersebut baik di bidang politik, sosial maupun agama. Maka lahirlah generasi nahdlah (kebangkitan) abad-19.

Era pertama generasi ini mengenal nama-nama seperti HamdÉn Khawjah (1773-1840), Khayr al-DÊn al-Tunisi (1812-1889), RifÉ’ah al-ÙahÏÉwi (1801-1875) dll. [xiv] Sebagai perintis, generasi mereka belum terlihat menonjol sampai munculnya generasi berikutnya yang dimotori oleh JamÉludin al-AfghÉni (1839-1897) dan MuÍamad `Abduh (1849-1905).

Pada masa generasi kedua inilah sosok Al-Kawākibi muncul dengan ide-idenya, terutama pasca pelariannya dari Aleppo ke Mesir.  Saat itu Mesir merupakan pusat gerakan pembaharuan Arab-Islam yang kondusif dimana sejak tahun 1860-an sejumlah pemikir dan aktivis dari berbagai negara Arab lainnya, terutama Suria dan Lebanon menjadikan negeri seribu menara tersebut sebagai tempat tujuan berhijrah.[xv]

 

KARYA TULIS PENINGGALAN AL-KAWÓKIBI

Sebagai seorang penulis dan jurnalis, kuantitas hasil karya Al-Kawākibi terhitung sangat sedikit. Beliau hanya meninggalkan dua buah buku kecil, Umm al-Qurā (Induk Negeri-negeri) dan Ùabāi` al-Istibdād (Karakteristik Despotisme-Tiran).[xvi] Hal ini barangkali bisa dimaklumi karena situai dan kondisi saat itu memang benar-benar tidak memberikan keleluasaan baginya untuk secara bebas mengekspresikan ide-ide dan gagasannya.

Al-KawÉkibi sendiri merahasiakan identitas diri dan menyamarkan namanya pada kedua bukunya tersebut. Beliau memakai nama “Al-RaÍÍÉla K” untuk bukunya Ùabāi` al-Istibdād dan “Al-Sayyid al-Furāti” untuk bukunya Umm al-Qurā.

Selain dua bukunya diatas, Al-Kawākibi disebut-sebut  juga mempunyai dua buku hasil karya lainnya yang berjudul Al-`Adzamatu li Allah dan ØaÍāif Quraysh.[xvii] Diduga, Al-Kawakibi juga sempat mencatat kisah perjalanannya ke sejumlah negara-negara di Asia dan Afrika. Namun buku-buku tersebut dikabarkan hilang dan tidak sempat diterbitkan.

 

Ùabāi` al-Istibdād

Dapat dijelaskan secara ringkas bahwa Ùabāi` al-Istibdād merupakan buku kritik terhadap sikap despotisme dan pemerintahan-pemerintahan tiran, khususnya pemerintahan Khilafah `Utsmani di zaman kepemimpinan Sultan Abdul Hamid II, meski buku tersebut tidak secara eksplisit menyebutkannya secara langsung. Ulasan panjang lebar tentang akibat-akibat buruk yang ditimbulkan oleh sistem pemerintahan tiran juga memenuhi halaman-halaman buku ini.

Secara berturut-turut, melalui Ùabāi` al-Istibdād Al-KawÉkibi membahas tentang hakekat tiranisme; hubungan tiranisme dengan agama; hubungan tiranisme dengan ilmu/pengetahuan; tiranisme dengan kehormatan; tiranisme dan harta; tiranisme dan etika-moral; tiranisme dan pendidikan; tiranisme dan kemajuan; serta jalan menuju kekebasan dari tiranisme.

Ùabāi` al-Istibdād menganjurkan pentingnya arti kemerdekaan atau kebebasan (al-Íurriyah) bagi manusia. Bagi Al-Kawākibi sendiri tidak ada sesuatu yang lebih dirindukannya selain daripada kemerdekaan. Kebebasan merupakan pilar paling penting dalam kehidupan, dimana setiap orang wajib mencarinya. Sedangkan despotisme atau sikap tiran sangat bertentangan dengan tabiat manusia (ÏabÊ’ah bashariyah).

Al-KawÉkibi juga mendorong setiap orang untuk berupaya membebaskan diri mereka dari despotisme dan kungkungan tirani meskipun harus berkorban dengan pengorbanan paling tinggi. Karena jika tekanan tirani/despotisme masih menguasai seseorang maka ia dapat mengubah kecenderungan alami manusia untuk maju dan berkembang (taraqqi) menjadi kecenderungan untuk selalu menjadi manusia yang rendah diri (tasafful).

Seseorang yang terbiasa hidup dalam suasana tiran akan relatif tunduk ke bawah dan menolak bentuk-bentuk kemajuan. Berbeda dengan mereka yang dengan hidup di alam merdeka dan bebas akan selalu berupaya mencapai kebebasan lebih tinggi dan terus menerus berusaha untuk maju.[xviii] 

                Sebagai catatan, buku Ùabāi` al-Istibdād merupakan salah satu buku langka yang ‘tidak lazim’. Pada zamannya, akan sulit ditemukan sebuah buku yang secara khusus berbicara mengenai politik seperti buku ini. Interaksi langsung Al-Kawākibi dengan situasi politik saat itu serta pengalaman-pengalaman aktualnya yang sangat kaya juga menjadikan  Ùabāi` al-Istibdād memiliki kelebihan tersendiri. Maka tidak salah jika seorang Jurji ZaydÉn memujinya sebagai buku yang teramat unik (farÊd fÊ naw`ihi).[xix]        

                Pemikiran-pemikiran Al-Kawākibi yang tertuang dalam Ùabāi` al-Istibdād tampaknya banyak terpengaruh oleh pemikiran penulis-penulis Perancis utamanya Montesquieu.[xx] Anggapan ini bukan tidak mungkin karena sebagaimana disebutkan di muka, sejak masa mudanya Al-KawÉkibi gemar membaca buku-buku terjemahan dari Eropa.

Contoh pengaruh ide-ide dari Eropa dalam buku Ùabāi` al-Istibdād adalah pernyataan Al-Kawākibi bahwa tiranisme politik merupakan akibat dari adanya tiranisme agama. Kesimpulan in adalah refleksi dari kenyataan faktual di Eropa, pada saat dimana gereja memiliki kekuasaan penuh terhadap akal, sebuah kondisi yang kemudian melahirkan sejumlah konsep yang melatar belakangi munculnya pilar-pilar despotisme sehingga orang tidak lagi mampu membedakan antara Tuhan yang disembah dengan penguasa yang tiran.[xxi]

Tulisan Al-KawÉkibi juga sering senada dengan pendapat Vittorio Alfieri (1749-1803), seorang penulis dan satrawan Italia, yang merupakan pengagum pemikiran Voltaire dan Rosseau. Karya-karya Alfieri banyak bercerita tentang kerinduan akan kebebasan dan perlawanan terhadap tiranisme.[xxii]

 

 

 

 

Umm al-QurÉ

Sejatinya Al Kawakibi menulis Umm al-QurÉ semenjak masih berada di Suriah dan baru menerbitkannya pertama kali di Mesir pada tahun 1900 M (1318 H).[xxiii] Karena itu banyak peneliti yang menetapkannya sebagai buku pertama Al-KawÉkibi sebelum Ùabāi` al-Istibdād.[xxiv]

Jika Ùabāi` al-Istibdād disebut ‘unik’ karena tema besarnya mengenai politik dan tiranisme yang jarang ditemukan dalam buku-buku berbahasa Arab lain sezaman, maka Umm al-QurÉ barangkali lebih unik karena gaya penulisannya yang mirip sebuah novel atau skenario fiktif yang memaparkan dialog-dialog dan jalannya persidangan sebuah pertemuan atau konferensi kecil di sebuah tempat di pinggiran kota Makkah..

Dalam khayalan Al-KawÉkibi, konferensi fiktif yang berlangsung sejak tanggal 15 Dzul Qa`dah hingga 29 Dzul Qa`dah 1316 H ini dihadiri oleh 23 tokoh delegasi perwakilan umat Islam dari hampir seluruh belahan dunia meliputi FurÉt, Suriah, Palestina (Quds), Alexandria, Kairo, Yaman, Basrah, Nejd, Madinah, Makah, Tunis, Fez, Inggris, Istanbul, Kurdistan, TabrÊz, Tatar, Kazakhstan, Turki, Afganistan, India, Cina dan Indus.

                Alur cerita Umm al-QurÉ memberikan kesan kesuksesan besar yang dicapai oleh penggagas konferensi, yaitu Al-Sayyid Al-Furati[xxv], yang juga merupakan nama samaran Al-KawÉkibi. Selama jalannya konferensi tersebut Al-Sayyid Al-Furati sendiri mengambil peran sebagai sekretaris sidang.

Berkat kepiawaian Al-KawÉkibi dalam memaparkan cerita fiktifnya, sebagaian pembaca barangkali akan mengira bahwa konferensi tersebut benar-benar nyata. Hal inilah yang terjadi terhadap beberapa orientalist seperti Laudrup Stoddart dan Cara de Vao yang meyakini bahwa sebuah konferensi kebangkitan Islam benar-benar telah terjadi.[xxvi]               

                Melalui Umm al-QurÉ ini Al-KawÉkibi berupaya mengurai berbagai permasalahan yang menimpa umat Islam dengan mendiagnosa sebab-sebab kelemahan dan kemundurannya.[xxvii] Pada pertemuan ke-7, Al-Sayyid Al-FurÉti sebagai sekretaris konferensi membacakan hasil-hasil pembahasan enam sidang sebelumnya mengenai sebab-sebab kemunduran umat Islam yang dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu; Pertama, sebab–sebab politik (asbÉb siyÉsiyah)[xxviii], yang utamanya diidentifikasikan dengan hilangnya rasa tanggung jawab penguasa terhadap rakyatnya; serta sikap tiran pemegang kekuasaan yang menjadi “aktor penting” hilangnya hak-hak politik umat, seperti kebebasan menyampaikan pendapat dan beraktivitas.

                Kedua, sebab-sebab yang terkait dengan ajaran agama (asbÉb dÊniyah)[xxix] yaitu antara lain ajaran aqidah jabariyah yang menghegemoni di tubuh umat; keyakinan bahwa ilmu-ilmu alam dan ilmu akal bertentangan dengan nilai-nilai Islam; serta banyaknya unsur-unsur dari luar Islam dan bermacam-macam bid’ah yang telah menginfiltrasi ajaran agama.  

                Ketiga, sebab-sebab moral-sosial (asbÉb khuluqiyyah),[xxx] antara lain berupa kebodohan yang akut dan sekaligus bahkan juga ‘dinikmati’; pudarnya ikatan-ikatan keagamaan; pendidikan agama dan etika yang semakin terdegradasi; serta lunturnya kekuatan jaminan sosial yang disebabkan oleh pengabaian terhadap zakat.

Selain mengurai sebab-sebab kemunduran, Umm al-QurÉ juga memberikan rasa optimisme bahwa upaya reformasi (islÉh) dari kondisi dunia Islam yang demikian memprihatinkan masih sangat dimungkinkan dengan digelarnya konferensi tersebut. Diantara tanda-tanda adanya harapan kebangkitan adalah dengan terlaksananya konferensi Umm al-Qura yang mencerminkan kebersamaan tokoh-tokoh umat dalam melakukan diagnosa penyakit umat Islam, membahas berbagai solusinya, serta tata cara bagaimana mengejawantahkan solusi tersebut secara efektif.[xxxi]

Di ahir urain mengenai buku Umm al-QurÉ ini, sebagai catatan, Sylvia G. Haim, kontributor The Encyclopaedia of Islam terbitan E.J Brill, menuding buku Umm al-QurÉ tidak lebih sekedar ‘copy’ dari pemikiran W.S Blunt dalam karyanya The Future of Islam yang terbit tahun 1882.[xxxii] Namun tudingan ini terbantahkan oleh beberapa argumen diantaranya bahwa buku Blunt tersebut hanya berkisar seputar satu tema pokok yaitu khilafah yang menghabiskan tiga perempat bagian buku. Sementara Umm al-Qura, tidak menyinggung persoalan khilafah kecuali sekilas.[xxxiii]  

 

IDE-IDE PEMBARUAN AL-KAWÓKIBI

a. Ide-ide Pembaharuan Politik

Sistem politik merupakan salah satu persoalan paling menonjol dalam bangunan pemikiran pembaharuan Al-KawÉkibi. Tema ini bahkan menjadi mainstream tulisan-tulisannya terutama terkait dengan kritiknya terhadap kekuasaan yang tiran, otoriter dan despotis.

Dalam konferensi fiktif Umm al-QurÉ, seorang delegasi dari Palestina (MandËb al-Quds) sejak sidang sesi kedua menyatakan bahwa keterbelakangan umat Islam dalam semua lini kehidupan merupakan akibat dari kemunduran sistem politik pemerintahan yang berkuasa.

Sistem politik yang awalnya ‘demokratis’[xxxiv] pada era KhulafÉ RÉshidun, bergeser menjadi sistem dinasti (kerajaan) yang pada masa-masa awalnya masih menghargai kaedah-kaedah pokok agama, namun kemudian menjadi kekuasaan yang sama sekali absolut dan pada ahirnya melahirkan pemerintahan yang tiran.[xxxv]

Mengutip penjelasan Samīr Abu Hamdan, Al-Kawākibi sebenarnya ingin menyatakan  bahwa kehidupan politik umat Islam pada periode awal tumbuhnya berdiri di atas dua pijakan yaitu ‘demokrasi’ dan ‘aristokrasi’. Demokrasi memiliki arti bahwa aspirasi, pandangan-pandangan (ÉrÉ’) dan kemaslahatan rakyat menjadi penentu kebijakan politik pemerintah. Sedangkan pijakan kedua (‘aristokrasi’) dimaknai dengan musyawarah yang dilakukan oleh perwakilan orang-orang terpilih dan terbaik (ahl al-Íall wa al-`aqd). Demikianlah prinsip politik Islam. Politik yang demokratis-aristokratik, yakni kebijakan politik yang diambil melalui permusyawaratan ahl al-Íall wa al-`aqd (bukan pribadi-pribadi yang memiliki kekuasaan absolut) dengan orientasi kepentingan demi tercapainya kemaslahatan rakyat banyak.[xxxvi]

Hal ini tentu jauh berbeda dengan kekuasaan yang diwarnai dengan tinta hitam tiranisme (al-istibdÉd), yang menurut Al-KawÉkibi secara generik berarti “mengagungkan pendapat diri sendiri di dalam persoalan-persoalan yang semestinya  memerlukan adanya musyawarah atau pertukaran pendapat dengan orang lain”.[xxxvii] Sedangkan dalam ilmu politik, tiranisme (al-istibdÉd) sering dimaknai dengan  “perlakuan seseorang atau kelompok terhadap hak-hak orang banyak dengan semena-mena tanpa menghiraukan akibat yang ditimbulkannya”.[xxxviii]

                Untuk menghindari terciptanya pemerintahan yang tiran, Al-KawÉkibi mendukung pemisahan kekuasaan legislatif (sulÏah tashrÊ`iyah) dan eksekutif (sulÏah tanfÊdziyah). Dalam hal ini Al-KawÉkibi menyatakan bahwa sebuah pemerintahan akan dapat terjerumus kepada tiranisme “manakala pemegang kekuasaan eksekutif tidak memepertanggungjawabkan tugasnya kepada pemegang kekuasaan legislatif, dan pemegang kekuasaan legislatif tidak mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada rakyat, yaitu rakyat yang tahu cara mengawasi dan mampu melakukan evaluasi”.[xxxix]

                Pada sisi lain, di samping memberikan perhatian besar dan kritik tajam pada model sistem pemerintahan yang tiran, Al-Kawākibi juga sangat tergugah dengan kondisi politik negara-negara Islam yang lemah dan tercerai berai. Kemajuan dan persatuan negara-negara Islam menjadi angan-angan terdepan Al-Kawākibi, sebagaimana tercermin dari rekomendasi utama konferensi Umm al-Qurā yang digagasnya.

                Dalam pandangan Al-Kawākibi dunia Islam yang telah terpisah-pisah menjadi negara-negara dan wilayah kekuasaan yang berdiri sendiri, bahkan ditambah pula dengan semakin banyaknya umat Islam yang hidup di negara-negara non-muslim, memerlukan ikatan-ikatan yang memersatukan. Unsur-unsur ikatan tersebut dapat dikelompokan menjadi 3 bagian.[xl]

                Pertama, Ikatan Keagamaan yang Sentralistik. Diimplementasikan dengan adanya seorang ‘Khalifah’ tunggal yang fungsi utamanya sebagai simbol persatuan spiritualitas keagamaan serta simbol politik dan administrasi dunia Islam. Sesuai konsep ini, keberadaan sang Khalifah sama sekali tidak membatalkan kedaulatan masing-masing Negara Islam.

Kedua, Ikatan Politik yang ter-desentralisasi. Terwujud melalui pembentukan institusi permusyawaratan yang anggotanya merupakan wakil-wakil dari seluruh dunia Islam. Fungsi institusi ini adalah sebagai wadah koordinasi kebijakan-kebijkan politik bersama antar dunia Islam.

                Ketiga, Ikatan Keilmuan Bersama, yang direpresentasikan dengan pembentukan Jam’iyyah Ta`lÊm al-MuwaÍÍidÊn, yaitu sebuah organisasi bersama milik dunia Islam yang bekerja untuk memberikan pendidikan bagi generasi muda sesuai dengan nilai-nilai Islam. Al-Kawakibi menganggap organisasi ini sebagai salah satu pilar penting karena menurutnya sumber segala penyakit dan kemunduran dunia Islam adalah merajalelanya kebodohan akut (al-jahl al-muÏlaq).[xli] 

 

b. Ide-ide Pembaharuan Pendidikan

Sebagaimana dipahami dari paragrap di atas, Al-Kawākibi menempatkan pendidikan sebagai salah satu tema terpenting dalam proyek pembaruannya. Hal ini tentu tidak aneh, mengingat sejak awal jalannya sidang konferensi Umm al-QurÉ, ketua sidang pada pidato pembukaannya menegaskan bahwa sebab utama kemunduran umat Islam adalah adanya “kebodohan menyeluruh” (al-jahl al-shÉmil).[xlii]

Besarnya perhatian dan melimpahnya ide-ide Al-Kawākibi tentang pembaharuan pendidikan membuat Dr. Muhamad `ImÉrah -secara berlebihan- menyatakan bahwa pemikiran Al-Kawākibi tersebut dapat dianggap sebagai karya ilmiah yang sangat layak diajukan untuk meraih gelar master atau bahkan doktoral.[xliii]

Al-Kawākibi tidak hanya menyatakan keprihatinannya pada kebodohan yang menimpa umat Islam secara umum, tapi juga ‘kebodohan’ yang menimpa para pemuka agama yang selama ini mengaku sebagai ulama dan pemimpin umat. Melalui lidah delegasi dari Madinah dalam Konferensi Umm al-QurÉ, Al-Kawakibi mengeluhkan kemiskinan intelektual (al-faqr al-fikri) para ulama palsu yang membodohi umat dengan ajaran-ajaran tasawuf yang tidak benar[xliv]. Melalui lidah seorang delegasi dari Konstantinopel, Al-Kawakibi juga mengecam ulama yang menjadi penjilat penguasa Utsmani yang tiran.[xlv]

Berangkat dari situ Al-KawÉkibi menegaskan pentingnya pendidikan yang benar bagi umat Islam. Al-KawÉkibi juga menggarisbawahi bahwa pendidikan bukanlah satu hal yang berdiri sendiri, melainkan hakikatnya adalah sebuah kerja sosial (`amaliyah ijtimÉ`iyah) yang ditentukan oleh peran seluruh komponen masyarakat[xlvi], dan output-nya sekaligus harus dapat menjawab dan memenuhi kebutuhan sosial masyarakat.

Untuk itu, Al-KawÉkibi menyatakan perlunya pengajaran dan pengembangan ilmu-ilmu alam dan eksakta[xlvii] yang pada masa itu cenderung ditinggalkan. Pendidikan agama juga harus dibersihkan dari unsur-unsur negatif yang lahir dari fanatisme buta.  Dan untuk menjamin penguasaan mendalam ilmu-ilmu tersebut baik ilmu agama maupun ilmu umum,  Al-Kawakibi melihat perlunya spesialisasi ilmu.[xlviii]

Yang menarik untuk dicermati, Al-KawÉkibi ternyata juga menganggap penting pendidikan profesi atau keahlian kerja (ta’hÊl mihnÊ) bagi para pemuda. Padahal alih-alih di dunia Arab-Islam, konsep ini baru mulai diterapkan di negara-negara Eropa pada tahun 1900-an.[xlix]

Singkatnya, Al-Kawakibi menginginkan sebuah sistem pendidikan yang mampu memadukan antara pendidikan agama yang bebas dari segala bentuk campuran dari unsur asing (bid`ah) dengan pendidikan umum dan ketrampilan kerja yang dapat memenuhi kebutuhan hidup sesuai dengan kemajuan zamannya, serta pada tahapan berikutnya mampu melahirkan spesialis-spesialis yang benar-benar menguasai ilmu di bidangnya.

                Dalam hubungannya antara pendidikan dengan pemerintahan, Al-Kawakibi juga sempat menyinggung bahwa berbeda dengan pemerintahan yang tiran, sebuah pemerintahan yang baik dan adil tentu akan memberikan perhatian sangat besar terhadap pendidikan anak pada tahapan-tahapan yang paling dini bahkan sejak sebelum anak tersebut lahir.[l]

 

PENUTUP

            Sebagai seorang pemikir dan pembaharu, nama Al-KawÉkibi tidak terdengar sehebat pendahulunya, JamÉludin al-AfghÉni (1839-1897) maupun pembaharu sezamannya, MuÍamad `Abduh (1849-1905). Meski jika diperhatikan dengan seksama produk pemikiran dan gagasannya tidak kalah kualitas dibanding dua pembaharu tersebut diatas.

Hal itu barangkali dipengaruhi antara lain oleh usianya yang relatif pendek serta kehidupan politiknya yang selalu dikejar-kejar oleh penguasa sehingga Al-KawÉkibi tidak dapat leluasa mengembangkan aktivitas dan gagasannya meski setelah ia berada di Mesir.     Kematiannya yang mendadak dengan adanya indikasi pembunuhan beracun, serta hilangnya beberapa karya Al-KawÉkibi setidaknya bisa membuktikan hal itu.

                Faktor lain yang barangkali turut mempengaruhi adalah tidak berhasilnya Al-KawÉkibi menciptakan “garis keturunan akademis” yang kemudian mengembangkan dan mempopulerkan pemikirannya, sementara buku-bukunya saat itu tersebar secara terbatas.    

Dibanding dengan pemikiran dua pembaharu abad 19 lainnya di atas, postur gagasan besar Al-KawÉkibi memiliki kesamaan di satu sisi, yang merupakan hasil interaksi pemikiran dan saling mempengaruhi antar mereka, namun juga memiliki kecenderungan khusus yang berbeda.

Sebagai contoh, JamÉludin al-AfghÉni lebih menitik beratkan solusinya atas berbagai persoalan umat Islam dengan menggagas berdirinya “Pan-Islamisme” (Al-JÉmi’ah al-IslÉmiyah) dengan cara-cara yang cukup radikal, yaitu melakukan perlawanan terhadap penguasa. Sementara MuÍamad `Abduh yang sejatinya juga menginginkan terciptanya persatuan Islam atau “Pan-Islamisme” yang kurang lebih sama konsepnya dengan milik Al-AfghÉni, lebih mendahulukan cara perjuangan yang lebih ‘lembut’, yaitu melalui perbaikan (iÎlÉÍ) di bidang pendidikan.

Adapun Al-KawÉkibi, meski ‘mewarisi’ semangat berkobar Al-AfghÉni dalam menentang pemerintahan yang tiran dan menghabiskan banyak lembar bukunya untuk mengkritik despotisme penguasa, namun pemikiran tentang konsep “Pan-Islamisme”-nya lebih didorong sebagai bentuk kerjasama yang digalang antar bangsa atau umat, bukan antar pemerintahan di dunia Islam. Dan dibanding milik Al-AfghÉni yang lebih bersifat retoris-normatif, konsep “Pan-Islamisme” yang diusung Al-KawÉkibi dalam Umm al-QurÉ-nya juga lebih ‘faktual-implementable’, terinci dan matang.

Selanjutnya, dibandingkan dengan MuÍamad `Abduh yang lebih dikenal sebagai reformis bidang pendidikan, Al-KawÉkibi juga konsep-konsep besar dalam upaya mereformasi pendidikan di dunia Islam sebagai salah satu solusi utama kebangkitan umat. Secara panjang lebar Al-KawÉkibi telah membeberkan konsep-konsep pendidikannya dalam buku Umm al-QurÉ dan sebagian kecilnya dalam Ùabāi` al-Istibdād.

Wal hasil, kontribusi pemikiran Al-KawÉkibi sebagai seorang pembaharu besar, khususnya di wilayah politik dan pendidikan, tidak perlu lagi diperdebatkan. Meski sebenarnya, kajian terhadap sosok yang satu ini masih menyisakan beberapa hal kontroversial. Misalnya mengenai beberapa gagasannya yang dianggap merepresentasikan pemikiran sekular, maupun anggapan bahwa semangat Arabisme dalam diri Al-KawÉkibi dianggap lebih kental dibanding semangat Islamismenya.®

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. _________, Encyclopaedia Britannica Ultimate Reference Suite 2007 (Software)
  2. _________,Al-Mawsū`ah al-`Arabiyyah al-`Ālamiyah, dalam Software Al-Maktabah al-ShÉmilah, Edisi. 3.13
  3. Abū Hamdān, Samīr, `Abd al-Rahmān al-Kawākibi wa Falsafat al-Istibdād, Beirut, Dār al-Kitāb al-`Alami, 1992,
  4. Al-KawÉkibi, `Abd al-RaÍmÉn, (Al-Sayyid Al-FurÉti), Umm al-QurÉ, Kairo, Al-Maktabah al-TijÉriyah al-Kubro, 1931
  5. Al-KawÉkibi, `Abd al-RaÍmÉn, ÙabÉ`i al-IstibdÉd,  Al-Hai’ah al-MiÎriyah al-`Ómmah li al-KitÉb, 1993
  6. Al-Qaradlāwi, Yūsuf, Ayna al-Khalal, Kairo, Maktabah Al-Wahbah, cet. 6, 1997
  7. Al-Ziriklī, Khayr al-Dīn Ibn Mahmūd, Al-A’lām, Beirut, Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, Cet. 15, Mei 2002
  8. AmÊn, AÍmad, Zu`amÉ’ al-IÎlÉh fi `AÎr al-×adith, Beirut, DÉr al-KitÉb al-`Arabi, tt
  9. Ben Qaynah, `Umar, Al-Ru’yah al-Fikriyah laday  Ibn al-Muqaffa`, Ibn al-`AnnÉbi` wa Al-Kawākibi, Amman, cet.1, 2000
  10. Donzel , E. Van, et. al. (Ed.), The Encyclopaedia of Islam, Leiden, E.J. Brill, 1997
  11. ×allali, `Abd al-RaÍman, Ru’yah al-`Ólam bayna Al-Kawākibi wa Mālik bin Nabi, http://www.islamonline.net/Arabic/contemporary/culture/2006/09/02c.shtml
  12. ×amËd, MÉjidah, `Abd al-RaÍmÉn Al-KawÉkibi: FÉris al-Nahdlah wa al-Adab, Damaskus, IttiÍÉd al-KuttÉb al-`Arab, tt
  13. `Imārah, Muhammad, `Abd Al-Rahman Al-Kawākibi: Shahīd al-Hurriyyah wa Mujaddid al-Islām, Kairo, Dār al-Shurūq, cet. II, 1988
  14. Kahālah, `Umar Ridlā, Mu`jam al-Mu’allifīn, Jilid. V, h. 115 dalam Al-Maktabah al-Shāmilah, Edisi 3.13
  15. Murajjab, Muhamad Sahrul, “Yūsuf Al-Qaradlāwi: Visi Moderasi dalam Proyek Shahwah”, dalam Majalah Al-Ukhuwwah, Tripoli, Divisi Jurnalistik Kesatuan Keluarga Mahasiswa Indonesia di Libya, 2003
  16. Sirkīs, Eliyān, Mu’jam al-Mathbū`āt al-‘Arabiyyah, Jilid II, h. 1574-6, dalam Software Al-Maktabah al-Shāmilah, Edisi. 3.13
  17. Tapiero, Norber, Al-KawÉkibi: Al-Mufakkir al-TsÉ’ir, diterjemahkan dari bahasa Perancis ke dalam bahasa Arab oleh `Ali SalÉmah, Beirut, DÉr al-ÓdÉb, Cet. 2, 1981


[i] Yūsuf al-Qaradlāwi, Ayna al-Khalal, Kairo, Maktabah Al-Wahbah, cet. 6, 1997, h. 9 dst.

[ii] Muhamad Sahrul Murajjab, “Yūsuf Al-Qaradlāwi: Visi Moderasi dalam Proyek Øahwah”, dalam Majalah Al-Ukhuwwah, Tripoli, Divisi Jurnalistik Kesatuan Keluarga Mahasiswa Indonesia di Libya, 2003.

[iii] Nama lengkap atau judul panjang buku tersebut adalah “Umm al-QurÉ: wa Huwa DlabÏ MufÉwadlÉt wa MuqarrarÉt Mu’tamar al-Nahdlah al-IslÉmiyah al-Mun`aqid fÊ Makkah al-Mukarramah Sanah 1316”. Naskah asli dari buku Umm al-Qurā tersebut diterbitkan oleh Al-Maktabah al-Tijāriyah al-Kubrā, Cairo, tahun 1350H/1931M.  Dalam buku setebal lebih dari 200 halaman tersebut Al-Kawākibi menamakan dirinya dengan nama samaran Al-Sayyid al-Furāti. Naskah digital atau scanned copy buku ini bisa diunduh dari www.marefa.org.

[iv] Judul lengkapnya “Ùabāi` al-Istibdād wa MaÎÉri` al-Ist`bÉd”. Merupakan buku yang bermula dari kumpulan artikel-artikel yang pernah ditulis oleh Al-KawÉkibi di berbagai surat kabar tentang tiranisme. Naskah asli buku Ùabāi` al-Istibdād tersebut diterbitkan oleh Al-Hai’ah al-MiÎriyah al-`Ómmah li al-KitÉb tahun 1993. Naskah elektronik buku ini dalam bentuk PDF dapat diunduh di www.al-mostafa.com.

[v] Biografi singkat al-Kawakibi dapat ditemukan di beberapa ensiklopaedia dan buku tarājim seperti: E. Van Donzel et. al. (Ed.), The Encyclopaedia of Islam, Leiden, E.J. Brill, 1997, vol. IV, h. 775-76;  Al-Mawsū`ah al-`Arabiyyah al-`Ālamiyah, entry: Al-Kawākibi, Software Al-Maktabah al-Shamilah, Edisi. 3.13; Khayr al-Dīn Ibn Mahmūd Al-Ziriklī, Al-A’lām, Beirut, Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, Cet. 15, Mei 2002, Juz. III, h. 298; `Umar Ridlā Kahālah, Mu`jam al-Mu’allifīn, Jilid. V, h. 115  dalam Al-Maktabah al-Shāmilah, Edisi 3.13; Eliyān Sirkīs, Mu’jam al-Mathbū`āt al-‘Arabiyyah, Jilid II, h. 1574-6, dalam Software Al-Maktabah al-Shāmilah, Edisi. 3.13. Adapun biografi paling lengkap dalam bentuk buku pernah ditulis oleh cucu Al-Kawākibi sendiri,  Sa`ad Zaghlūl Al-Kawākibi dengan judul `Abd Al-Rahmān al-Kawākibi: Sīrah Dzātiyah, diterbitkan oleh Dār Baysān, Beirut, 1998. Selain dari sumber-sumber diatas, paparan tentang biografi singkat Al-KawÉkibi  diambil dari berbagai buku kajian tentang tokoh Al-KawÉkibi yang menjadi referensi tulisan ini. 

[vi] Aleppo atau alab dalam bahasa Arab,  sebuah kota penting di wilayah utara Suriah dan kota terbesar kedua setelah Damaskus.

[vii] Dalam bahasa Arab biasa disebut Anthākiya. Sebuah kota yang dulunya bagian dari Syiria, kini termasuk bagian selatan-tengah wilayah Turki.

[viii] TabrÊz atau Tauris dalam bahasa Persi, sebuah kota yang kini menjadi kota terbesar keempat di Iran.

[ix] Muhammad `Imārah, `Abd Al-Rahman Al-Kawākibi: Shahīd al-Hurriyyah wa Mujaddid al-Islām, Kairo, Dār al-Shurūq, cet. II, 1988, h. 18-19; Samīr Abū Hamdān, `Abd al-Rahmān al-Kawākibi wa Falsafat al-Istibdād, Beirut, Dār al-Kitāb al-`Alami, 1992, h. 9-10

[x] Khayr al-Dīn Ibn Mahmūd Al-Ziriklī, Al-A’lām, Beirut, Dār al-‘Ilm li al-Malāyīn, Cet. 15, Mei 2002, Juz. III, hal. 298

[xi] `Umar Ridlā Kahālah, Mu`jam al-Mu’allifīn, Jilid. 5, hal.115  dalam Al-Maktabah al-Shāmilah, Edisi 3.13 

[xii] Hidiv dalam bahasa Turki atau  Khidīwī dalam bahasa Arab. Yaitu gelar yang diberikan oleh salah seorang Sultan Turki ‘Usmani, SulÏÉn ‘Abd al-‘Aziz, kepada  penguasa wilayah Mesir Ismā`īl Pasha tahun 1867, dan selanjutnya dipakai secara turun temurun oleh penggantinya Tawfīq and `Abbās ilmī II.  Gelar ini kemudian diganti dengan sebutan Sultan sejak tahun 1914, ketika Mesir menjadi protektorat Inggris.  Lihat : Software Encyclopaedia Britannica Ultimate Reference Suite 2007.

[xiii] Riwayat lain menyebutkan tahun 1900.

[xiv] Lihat: Dr. `Umar Ben Qaynah, Al-Ru’yah al-Fikriyah laday  Ibn al-Muqaffa`, Ibn al-`AnnÉbi` wa Al-Kawākibi, Amman, cet.1, 2000, h. 67-69

[xv] Norber Taptero, Al-KawÉkibi: Al-Mufakkir al-TsÉ’ir, diterjemahkan dari bahasa Perancis ke dalam bahasa Arab oleh `Ali SalÉmah, Beirut, DÉr al-ÓdÉb, Cet. 2, 1981,  h. 50

[xvi] Para pemerhati sejarah Al-Kawakibi berbeda pendapat mengenai mengenai buku mana yang terlebih dulu ditulis.

[xvii] Samīr Abū ×amdān, `Abd al-RaÍmān al-Kawākibi wa Falsafat al-Istibdād, Beirut, Dār al-Kitāb al-`Alami, 1992, h. 39; `Umar Ridlā KaÍālah, Mu`jam al-Mu’allifīn, Jilid. 5, hal.115 

[xviii] Samīr Abū Hamdān, `Abd al-RaÍmān al-Kawākibi wa Falsafah al-Istibdād, Beirut, h. 32

[xix] Norber Tapiero, Al-KawÉkibi: Al-Mufakkir al-TsÉ’ir, h. 63

[xx] Norber Tapiero, Al-KawÉkibi: Al-Mufakkir al-TsÉ’ir, h. 64

[xxi] Samīr Abū Hamdān, `Abd al-RaÍmān al-Kawākibi wa Falsafat al-Istibdād, h. 36

[xxii] AÍmad AmÊn, Zu`amÉ’ al-IÎlÉh fi `AÎr al-×adith, Beirut, DÉr al-KitÉb al-`Arabi, tt, h. 254

[xxiii] MusÏafa QaÎÎaÎ, Abd al-RaÍman al-KawÉkibi, Kata Pengantar dalam Norber Tapiero, Al-KawÉkibi: Al-Mufakkir al-TsÉ’ir, h. 9

[xxiv] Menurut Dr. MÉjidah ×amËd, Umm al-QurÉ justru ditulis tiga tahun mendahului Ùabāi` al-Istibdād. Buku yang terakhir dimaksudkan oleh Al-KawÉkibi untuk mengulas secara panjang lebar tentang salah satu sebab utama kemunduran umat Islam yaitu tiranisme, yang sebelumnya secara sekilas telah disinggung dalam Umm al-QurÉ. Lihat: Dr. MÉjidah ×amËd, ` Abd al-RaÍmÉn Al-KawÉkibi: FÉris al-Nahdlah wa al-Adab, Damaskus, IttiÍÉd al-KuttÉb al-`Arab, tt, h. 51

[xxv] Dikatakan, bahwa nama ini dipakai sebagai nama samaran Al-KawÉkibi karena tulisan-tulisannya yang banyak diterbitkan di surat kabar Al-FurÉt. Adapun gelar al-sayyid disematkan kepada dirinya sebagai salah seorang keturunan Nabi SAW.  

[xxvi] Norber Tapiero, Al-KawÉkibi: Al-Mufakkir al-TsÉ’ir, h. 56-57

[xxvii] Dalam skenario konferensi tersebut, diceritakan bahwa masing-masing utusan yang hadir menjelaskan satu sebab kemunduran yang kemudian dikompilasikan oleh Al-Sayyid al-FurÉti melalui sebuah pidato yang cukup panjang. Lihat: Al-Sayyid Al-FurÉti (`Abd al-RaÍmÉn Al-KawÉkibi), Umm al-QurÉ, Kairo, Al-Maktabah al-TijÉriyah al-Kubro, 1931, h.137-165

[xxviii] Al-Sayyid Al-FurÉti (`Abd al-RaÍmÉn Al-KawÉkibi), Umm al-QurÉ, h.139-141

[xxix] Al-Sayyid Al-FurÉti (`Abd al-RaÍmÉn Al-KawÉkibi), Umm al-QurÉ, h.138-139

[xxx] Al-Sayyid Al-FurÉti (`Abd al-RaÍmÉn Al-KawÉkibi), Umm al-QurÉ, h.141-142

[xxxi] AÍmad AmÊn, Zu`ama’ al-IÎlÉh fi `AÎr al-×adith, h. 267

[xxxii] E. Van Donzel et. al. (Ed.), The Encyclopaedia of Islam, Leiden, E.J. Brill, 1997, vol. IV, h. 776

[xxxiii] Dr. MÉjidah ×amËd, ` Abd al-RaÍmÉn Al-KawÉkibi: FÉris al-Nahdlah wa al-Adab, h. 48-49

[xxxiv] Selain istilah ‘demokrasi’ (demËqrÉÏiyah) Al-KawÉkibi menggunakan istilah lain sebagai padanan yaitu  niyÉbiyah ishtirÉkiyah yang dapat dimaknai sebagai kepemimpinan yang terpilih sebagai wakil rakyat (niyÉbiyah) dan mengedepankan keberpihakannya kepada masyarakat banyak atau rakyat itu sendiri (berorientasi sosial/ ishtirÉkiyah). Pada tempat lain Al-KawÉkibi menyebutnya dengan istilah ÍukËmah dÊmuqrÉÏiyah wa sha`biyah wa shËrÉ-awrustuqrÉÏiyah.

[xxxv] Selengkapnya mengenai pendapat Utusan dari Palestina ini , lihat: Al-Sayyid Al-FurÉti (`Abd al-RaÍmÉn Al-KawÉkibi), Umm al-QurÉ, h. 25-27

[xxxvi] Samīr Abū Hamdān, `Abd al-Rahmān al-Kawākibi wa Falsafat al-Istibdād, h.. 37-38

[xxxvii] `Abd al-RaÍmÉn Al-KawÉkibi, ÙabÉ`i al-IstibdÉd,  Al-Hai’ah al-MiÎriyah al-`Ómmah li al-KitÉb, 1993, h. 5

[xxxviii] `Abd al-RaÍmÉn Al-KawÉkibi, ÙabÉ`i al-IstibdÉd, h. 6

[xxxix] `Abd al-RaÍmÉn Al-KawÉkibi, ÙabÉ`i al-IstibdÉd, h. 7

[xl] Dr.`Abd al-RaÍman ×allali, Ru’yah al-`Ólam bayna Al-Kawākibi wa Mālik bin Nabi, http://www.islamonline. net/Arabic/contemporary/culture/2006/09/02c.shtml, diakses terakhir pada tanggal 9 Maret 2009

[xli] Hal ini disebutkan dalam mukadimah QÉnËn (Anggaran Dasar) Jam’iyyah Ta`lÊm al-MuwaÍÍidÊn, poin keempat. QÉnËn ini selengkapnya dapat dilihat dalam: Al-Sayyid Al-FurÉti (`Abd al-RaÍmÉn Al-KawÉkibi), Umm al-QurÉ, h. 168-186

[xlii] Al-Sayyid Al-FurÉti (`Abd al-RaÍmÉn Al-KawÉkibi), Umm al-QurÉ, h.10

[xliii] Muhammad `Imārah, `Abd Al-Rahman Al-Kawākibi: Shahīd al-×urriyyah wa Mujaddid al-Islām, h. 131

[xliv] Al-Sayyid Al-FurÉti (`Abd al-RaÍmÉn Al-KawÉkibi), Umm al-QurÉ, h. 35

[xlv] Al-Sayyid Al-FurÉti (`Abd al-RaÍmÉn Al-KawÉkibi), Umm al-QurÉ, h. 40

[xlvi] Muhammad `Imārah, `Abd Al-Rahman Al-Kawākibi: Shahīd al-×urriyyah wa Mujaddid al-Islām, h. 132

[xlvii] Al-Sayyid Al-FurÉti (`Abd al-RaÍmÉn Al-KawÉkibi), Umm al-QurÉ, h. 46-47

[xlviii] Al-Sayyid Al-FurÉti (`Abd al-RaÍmÉn Al-KawÉkibi), Umm al-QurÉ, h. 50; Lihat pula ulasan Muhamad `Imarah tentang hal ini dalam Abd Al-Rahman Al-Kawākibi: Shahīd al-×urriyyah wa Mujaddid al-Islām, h. 133-135

[xlix] Norber Tapiero, Al-KawÉkibi: Al-Mufakkir al-TsÉ’ir, h. 128

[l] AÍmad AmÊn, Zu`amÉ’ al-IÎlÉÍ fi al-`AÎr al-×adith, h. 263

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *