Oleh M. Anwar Djaelani
inpasonline.com – Imam Syafi’i masyhur sebagai salah satu dari empat Imam Mazhab. Dia bergelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits karena kesetiaannya dalam mengikuti Sunnah dan Hadits. Pemilik lebih dari seratus karya tulis yang meninggal dalam usia relatif muda -54 tahun- itu memenuhi hampir seluruh hidupnya untuk mencari dan menyebarkan ilmu.
Perjalanan Panjang
Imam Syafi’i lahir di Gaza pada tahun 150 H (757 M), tepat di hari ketika Imam Hanafi wafat. Nama lengkapnya, Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Saib bin Ubaid bin Hisyam bin Abdul Muthalib bin Abdul Manaf bin Qushaiy. Beliau memulai hidup sebagai anak yatim yang tak berpunya. Tapi –seperti kesaksian Imam Nawawi- ibunda Imam Syafi’i adalah wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan tinggi. Dia -ibunda Imam Syafi’i- adalah seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath (www.muslim.or.id).
Imam Syafi’i kecil dibawa ibunya ke Mekkah untuk belajar kepada seorang guru. Sebenarnya si ibu tak mampu membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tak dibayar setelah melihat kecerdasan dan kecepatan Imam Syafi’i dalam menghafal.
Imam Syafi’i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Al-Qur’an), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Al-Qur’an. Maka, saya ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepada saya, ‘Tidak halal bagi saya mengambil upah sedikitpun dari engkau’.”
Tak hanya itu, dengan segera guru itu lalu mengangkat Imam Syafi’i sebagai penggantinya jika dia berhalangan untuk mengawasi murid-murid lain. Artinya, Imam Syafi’i telah menjadi guru di saat dia belum baligh.
Setelah dapat menghafal Al-Qur’an –dalam usia 7 tahun-, Imam Syafi’i pindah ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Dia -sekalipun miskin- tidak pernah berputus asa dalam mencari ilmu.
Dari Mekkah Imam Syafi’i ke Madinah untuk mengambil ilmu dari para ulama dan terlebih lagi karena di sana ada Imam Malik, penyusun kitab Al-Muwaththa’. Saat di hadapan Imam Malik, Imam Syafi’i membaca Al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah. Hal itu membuat Imam Malik kagum kepada Imam Syafi’i.
Imam Syafi’i belajar kepada Imam Malik sampai sang guru wafat pada tahun 179 H. Kecuali itu, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma’il bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d dan masih banyak lagi.
Setelah sempat kembali ke Mekkah, Imam Syafi’i kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Lalu, ke Iraq belajar ke banyak guru. Setelah meraih ilmu dari para ulama Iraq, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal banyak orang.
Di Mekkah, mulailah dia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, banyak jamaah haji yang berdatangan. Mereka yang telah mendengar nama Imam Syafi’i dengan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya. Nama beliau-pun semakin dikenal luas.
Ketika kemasyhurannya sampai ke Kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi’i dan memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Al-Qur’an, serta lain-lainnya. Maka, beliaupun menulis kitab yang lalu terkenal, yaitu Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, Imam Syafi’i kembali ke Iraq untuk kali kedua. Beliau menetap di Iraq selama dua tahun. Lalu, pada tahun 197 H beliau kembali ke Mekkah. Di sana beliau mulai menyebarkan mazhabnya sendiri.
Tahun 198 Imam Syafi’i ke Iraq lagi. Beliau hanya tinggal beberapa bulan saja lantaran telah terjadi “perubahan situasi”. Kala itu, khalifahnya berfaham bahwa Al-Qur’an itu makhluq. Akibatnya, banyak ulama yang tak sefaham dengan hal itu lalu mendapatkan perlakuan buruk.
Imam Syafi’i-pun memutuskan untuk pergi ke Mesir. Di sana beliau berdakwah dan mendapatkan sambutan masyarakat. Di sana pula dia menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi Kitab Ar-Risalah.
Atas diri Imam Syafi’i, Imam Ahmad (Imam Hanbali) pernah memberi tamsil yang menarik. Bahwa, “Imam Syafi’i bagaikan matahari bagi alam raya dan kesehatan bagi tubuh. Apakah ada manusia yang tidak membutuhkannya?”
Tamsil Imam Hanbali –rasanya- tak berlebihan. Cermatilah, Imam Syafi’i pernah berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain.” Itu menunjukkan komitmennya yang tinggi dalam mengikuti Sunnah dan sekaligus membelanya. Tak aneh, jika Imam Syafi’i lalu digelari Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Karya tulis Imam Syafi’i yang lebih dari seratus itu mengkaji beragam tema seperti tafsir, fiqih, kesusastraan, dan lain-lainnya. Di antara karyanya yang paling terkenal adalah Al-Umm yang terdiri dari 4 jilid dan berisi 128 masalah fiqih.
Imam Syafi’i juga seorang ahli nasab, penyair yang bijak, serta ahli bahasa dan asal-muasalnya. Berikut ini sebagian ungkapan berhikmahnya: “Barang-siapa hafal Al-Qur’an akan mulia nasibnya”. “Barang-siapa mendalami ilmu fiqih akan tinggi derajatnya”. “Barang-siapa hafal Hadits akan kuat argumentasinya”. Juga, “Barang-siapa tidak menjaga diri akan tidak bermanfaat ilmunya”.
Sementara, syair-syair Imam Syafi’i antara lain: “Kita menghina zaman, padahal kehinaan pada diri kita/ Tidak ada kehinaan pada zaman dan tidak pula pada yang lain/ Suci bersih zaman ini/ Kalau zaman bisa berkata kepada kita, ‘Sucikanlah dirimu’.”
Berikut ini syair Imam Syafi’i tentang kaitan belajar, ilmu dan pemuda. “Barang-siapa belum merasakan nikmatnya belajar walau sebentar/ Terjerumus ke lembah kebodohan selama hidupnya”. “Barang-siapa tidak mengajarkan ilmu waktu mudanya/ Hantarkan takbir empat kali karena kematiannya”. “Hidupya pemuda –wallahi– dengan ilmu dan taqwa/ Jika tidak, maka tidak akan tergambar kenikmatannya”.
Siapa Membela
Imam Syafi’i wafat pada tahun 204 H di Mesir. Jika ingin menunjukkan bahwa kita mencintainya karena Allah, maka pilihan jalannya adalah dengan menjadi pembela Sunnah dan Hadits sebagaimana yang telah diteladankan oleh Imam Syafi’i. []