Oleh: Kholili Hasib
Inpasonline.com-Hak Asasi Manusia (HAM) selama ini biasanya disalahgunakan sebagai ‘dalil’ untuk merebut dua isu; membuka jalan kemaksiatan dan memarginalkan agama. Dua isu yang justru akan ‘mengubur’ hak manusia yang paling asasi sendiri. Seorang anggota komisioner HAM, pada Kamis 12 Juni 2014 mengatakan di hadapan wanita tuna susila di gang Dolly: “Saya mendukung perjuangan ibu-ibu dan bapak-bapak. Itu hak Anda untuk memperjuangkan nasib dan kesejahteraan ekonomi,” (tempo.com/12/06).
Pernyataan ini dapat dimaksudkan, silahkan menjual diri, itu hak manusia demi meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Menjual diri dikatakan hak, namun memulyakan diri tidak diperjuangkan sebagai hak. Namun pernyataan tersebut ternyata diralat dan kini komnas HAM setuju penutupan Dolly.
Siti Musdah Mulia, salah satu anggota tim sukses salah satu capres, menyatakan kolom agama dalam KTP (Kartu Tanda Penduduk) lebih banyak memberi kerugian bagi warga. Karena itu harus dihapus. “Contoh lain lagi, kalau melamar pekerjaan, karena di KTP pelamar pekerjaan agamanya tidak sama dengan agama bosnya, maka tidak akan diterima. Itu diskriminasi,” ujarnya (hidayatullah.com 19/06). Pendapat Musda bermaksud, agama hanya bisa menciptakan diskriminasi, intoleransi dan chaos. Musda tidak sadar, bahwa pendapatnya tersebut merupakan bentuk arogansi yang ekstrim untuk ‘menenggelamkan’ hak manusia untuk mendzahirkan agamanya.
Dua pernyataan tersebut di atas sejatinya mematikan HAM itu sendiri. Prof. Syed Naquib al-Attas mengatakan bahwa beragama dan menyembah Allah Subhanahu wa ta’ala, merupakan kecenderungan alami manusia. Fitrah manusia untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, secara spesifik merupakan keadaan eksistensi alamiah (Syed M. Naquib al-Attas,Islam dan Sekularisme,hal.76).
Ide penghapusan kolom agama dalam KTP hanyalah sikap paranoid yang ekstrim terhadap agama. Kolom agama tidak lah membuat orang menjadi bodoh atau tidak maju. Karena itu, mempermasalahkan kolom agama dalam KTP adalah ide yang kosong.
Penulisan status agama di KTP sama sekali tidak mempengaruhi orang bertindak intoleransi atau ditindak secara diskriminatif. Tidak ada fakta. Itu hanya sikap argonasi belaka.
Sekularsime memang melahirkan sikap ekstrim dan benci kepada sesuatu yang berkaitan dengan agama. Esktrimisme selalu saja tidak terarah. Biasanya diasaskan oleh hati yang benci, dengki dan paranoid. Jika dibiarkan, membahayakan stabilitas kehidupan beragama. Bahkan sikap yang ekstrimis yang membuang agama merupakan pelanggaran HAM. Sebab, beragama dan mendzahirkan keagamaan merupakan hak paling asasi.
Manusia yang normal dapat dipastikan memiliki kecenderungan untuk beragama atau mengabdi kepada Tuhan. Dalam al-Qur’an, dikatakan jiwa manusia pernah bersumpah untuk menyembah Allah: “Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab: Betul Engkau Tuhan kami, kami bersaksi’”(QS. Al-A’raf: 172).
Karena itu, kehadiran Islam tidak pernah bertujuan mematikan hak asasi manusia. Justru dalam Islam, tujuan penetapkan hukum itu ada lima; yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta (Imam al-Ghazali, Al-Mustashfa, hal. 275). Menghindarkan manusia dari segala hal yang merusakkan. Merusak jiwa, harta, keturunan, akal dan agama.
Hukum agama merupakan petunjuk jalan kebenaran, bukan tali yang mengikat ruang gerak manusia. Maka semua syari’ah bersifat adil, semuanya rahmat, maslahat dan berhikmah. Ketika timbul benih-benih yang memantik kerusakan maka kesalahan itu bukan terletak pada teks syari’ah tapi pada pemahaman yang salah terhadap teks (nash).
Menolak kemungkaran, atau hal-hal yang memancing kemunkaran dapat disebut sikap menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sebab, tujuannya menjaga jiwa manusia dari kerusakan. Bukan menghentikan kebebasan.
Kebebasan dalam Islam bukan membiarkan sebebas-bebasnya manusia untuk berbuat apa saja. Kebebasan adalah bertindak sesuai dengan yang dituntut oleh hakikat sebenarnya dari dirinya. Apa itu hakikat diri? Prof. Al-Attas menjelaskan, yaitu kembali kepada kecenderungan alami, sebagai hamba yang khudu’ (patuh) kepada aturan Allah.
Prof. al-Attas menyebut konsep kebebasan itu dengan terminologi ikhtiyar (yakni memilih yang baik). Memilih itu bukan yang buruk. Sebab, jika manusia itu memilih yang buruk itu bukan kebebasan tapi kecelakaan (Al-Attas, Peri Ilmu dan Pandangan Alam, hal. 63).
Maka, kebebasan itu sebenarnya bentuk penghambaan yang murni kepada Allah. Kaitannya dengan hukum agama, sesungguhnya agama itu membebaskan manusia. Yakni membebaskan dari belenggu nafsu yang merusakkan dan mengakui hak-hak kemanusiaan secara proporsional.
Karena itu, menyediakan tempat pelacuran dan memberi izin kepadanya sesungguhnya merupakan aksi pelanggaran HAM. Menjual diri adalah aktivitas merusakkan kemanusiaan. Merendahkan harkat dan martabat wanita.
Bahkan, agama-agama yang diakui di Indonesia, tidak ada yang menganjurkan atau ‘menghalalkan’ perzinahan. Kalau ada oknum yang membenarkan, bisa dipastikan ia mengamalkan agama secara tidak normal.
Manusia yang normal, pasti tidak akan yang mengaku secara jujur bahwa melacurkan diri itu merupakan hak manusia. Sehingga, para pelindung tempat pelacuran harusnya diseret ke pengadilan sebagai pelanggar hak asasi manusia. Dampakanya tidak pernah tersamar; pelacuran merusak anak-anak, dan media penyebaran penyakit kelamin.
Mulai saat ini, harusnya, konsep HAM harus direvisi. Pengertian HAM yang kini berlaku merujuk kepada deklarasi DUHAM PBB yang penuh nilai sekularisme. Definisi dan maknanya telah lama disalahgunakan untuk meminggirkan agama, dan membuka kran liberalisme. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang berdasarkan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ semestinya memiliki konsep HAM yang pro kepada ketuhanan bukan anti-ketuhanan. HAM ditegakkan bukan untuk ‘menenggelamkan’ agama, tapi untuk memulyakan manusia yang secara fitrahnya bertauhid.