oleh M. Anwar Djaelani
Judul buku : Tokoh-Tokoh Fenomenal Penggetar Nalar
Penulis : Yusuf Maulana
Penerbit : Pro-U Media – Yogyakarta
Terbit : Desember 2020
Tebal : 296 halaman
Buku ini bak etalase. Isinya, fragmen-fragmen yang sangat menggugah dari puluhan tokoh. Darinya, banyak pelajaran yang bisa kita serap. Penting kita baca, sebab sarat dengan kisah pengundang hikmah.
Pertama, buku ini memuat banyak pelajaran berharga. Di dalamnya, misalnya, ada pesan bagi seorang pemimpin atau penguasa jika mendapat masukan dari anggota masyarakat yang dipimpinnya.
Bacalah “Hubab” di h. 32-33. “Hubab” adalah naskah pembuka buku ini. Bahwa, ada pelajaran besar di Perang Badar yang legendaris itu. Syahdan, Hubab-salah seorang Sahabat-berpendapat bahwa apa yang diputuskan Nabi Saw tidak tepat dalam hal pemberhentian pasukan. Sebagai orang yang paham terkait medan perang kala itu, dia bertanya kepada Rasul Saw, apakah pemilihan tempat itu berasal dari wahyu atau sekadar strategi belaka?
Ketika Hubab mendapat penjelasan bahwa itu pemikiran Nabi Saw sendiri, maka beliau lalu memberikan saran: Ada sebuah lokasi strategis yang bisa mengunci pasukan musuh pimpinan Abu Jahal. Hasilnya, ketika saran itu diakomodasi oleh Nabi Saw, sebuah kemenangan yang gemilang diraih kaum Muslimin.
Fragmen yang serupa terulang lagi di Perang Khaibar. Atas hal itu Rasulullah Saw lalu memberikan pujian kepada sang sahabat yang memiliki pendapat cemerlang.
Tentu saja, untuk zaman apapun, pesan dari fragmen di atas sangat relevan. Bahwa, menjadi pemimpin harus selalu bersedia menerima masukan-dan bahkan kritik-dari siapapun. Pemimpin itu tak selalu benar dan oleh karena itu dia harus selalu siap mendengar dari kalangan mana saja. Pemimpin harus senantiasa mau belajar dari sumber manapun.
Masih berupa pelajaran terutama kepada penguasa. Kali ini dari Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Kata dia, “Raja-raja sekarang telah berubah menjadi Tuhan bagi kebanyakan orang. Dunia, kekayaan, kekuasaan, dan kekuatan, telah menjadi Tuhan. Celakalah, kalian telah menjadikan cabang menjadi pokok …..” (h. 65).
Nasihat Al-Jailani di atas sungguh lugas serta mudah difahami dan dilaksanakan. Bahwa, penguasa hendaknya jangan menjadi “Tuhan” dengan, misalnya, menafsiri hukum sesuai dengan selera dan kepentingan diri (dan golongan) sendiri. Penguasa hendaknya tidak menjadi “Tuhan” yang merasa paling berkuasa dengan antara lain menerapkan aksi tebang pilih dalam penegakan hukum.
Selanjutnya, Al-Jailani juga memberi pencerahan kepada rakyat. Beliau menasihati umat “Agar tidak mudah diperdaya” (h. 65). Artinya, rakyat harus kritis. Umat harus berani menyampaikan yang haq itu haq dan yang bathil itu bathil, termasuk di hadapan penguasa.
Ada lagi, pelajaran untuk para orangtua. Simaklah bahasan berjudul “Pewarisan” (h. 115). Di situ ada ungkapan menarik seorang ayah-yaitu Abdullah bin Muchsin Al-Attas-kepada sang anak yang bernama Ali. Si ayah adalah ulama terpandang di Bogor. Kharismanya terlihat antara lain dari asal anak didiknya, ada yang datang dari Mekkah.
“Engkau takkan jadi orang besar. Cucuku inilah yang bakal jadi ulama besar,” kata Habib Abdullah Empang Bogor – sapaan karib Abdullah bin Muchsin Al-Attas. Ucapan orangtua, terutama dalam konteks ini, bermuatan doa.
Di kemudian hari, meski sang kakek hanya sebentar membersamai si cucu (hanya dua tahun, sebelum beliau wafat), ucapan itu terbukti. Sekarang, masyarakat Islam internasional mengenal dengan baik sang cucu. Namanya, Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Beliau-yang menetap di Malaysia-adalah seorang filsuf Islam dengan pemikiran besar.
Menarik, ketika penulis buku mengulas: “Sebagai sosok yang dikenal (banyak) makan asam garam dan dikenal (sebagai) ‘orang pintar’ dalam ilmu keislaman, Habib Abdullah mungkin paham Ali belum sekapasitas dirinya sebagai pelanjut perjuangan. Namun, ini bukan berarti Ali sang anak tak memiliki potensi. Potensinya lain, yakni sebagai pembimbing hadirnya pahlawan baru di keluarga. Kolaborasi ayah dan anak ini kelak hadirkan generasi ketiga yang memadai pembuktian doa Habib Abdullah” (h. 116).
Tak berhenti di situ. Ada pencerahan lagi dari penulis buku, bahwa: “Tradisi pengetahuan ataupun budaya ilmu merupakan mata rantai yang menjaga eksistensi peradaban Islam dalam posisi bagaimanapun juga. Keluarga-keluarga pejuang keilmuan tidak serta-merta hadir semata karena hubungan darah. Sanad ilmu tak selalu segaris dengan nasab, genealogi biologis. Dalam fakta sejarah pengilmuan Islam yang panjang, tetaplah sanad dan nasab selalu diperjuangkan” (h. 117).
Kedua, di buku ini bertebaran peristiwa sejarah yang dinarasikan sedemikian rupa mampu memicu ghirah. Bacalah “Radikal” (h. 162-165). Usai membaca bahasan itu, siapapun pasti akan merasa bangga jika disebut radikal.
Betapa tidak akan bangga, betapa tidak akan bergelora semangat kita, kalau mencermati makna radikal seperti yang dipikirkan oleh Hatta (1902-1980). Bagi Hatta-proklamator kemerdekaan Republik Indonesia bersama Soekarno-, setidaknya ada empat indikator seseorang itu radikal. Keempat hal itu: Beriman teguh, berakhlak mulia, sesuai antara kata dengan perbuatan, dan bekerja teratur dengan semangat yang kuat.
Ketiga, lewat berbagai peristiwa sejarah para tokoh di buku ini, ada harapan kita lebih beradab. Manifestasinya, ada keinginan supaya kita punya kecakapan dalam menempatkan sesuatu pada tempatnya secara haq.
Simaklah tulisan berjudul “Baswedan” di h. 203-207. Ada cermin besar berupa sosok bernama Abdul Rahman Baswedan (1908-1986). Di saat beliau menjadi Wakil Rakyat di Jakarta, jika ada persidangan parlemen dia lebih suka tinggal sekamar di hotel yang disediakan panitia dengan politikus dari kalangan komunis. Ini kebiasaan yang tak lazim di kalangan politikus Masyumi, partai asal Baswedan. Jamaknya, politikus Masyumi memilih teman sesama partai atau setidaknya sesama partai Islam. Begitu juga ketika memilih surat kabar, Baswedan mendahulukan Harian Rakyat – koran Partai Komunis Indonesia.
Tentu bukan tanpa maksud bila AR Baswedan (ini, penulisan nama Abdul Rahman Baswedan yang banyak dikenal publik) melakukan dua tindakan “aneh” tersebut. Lewat hasil bergaul dan membaca itu, AR Baswedan paham betul bagaimana partai komunis melakukan pengorganisasian dan pengkaderan (h. 204).
Apa ulasan penulis buku? ”Berkat kesenangannya membaca majalah-majalah gerakan komunis, baik dari dalam negeri maupaun luar negeri, serta pendekatannya dalam bergaul dengan tokoh-tokoh PNI dan komunis, dapat dia ketahui dengan jelas bahwa komunis sangat memperhatikan angkatan muda, juga memperhatikan soal kebudayaan, terbukti dengan lembaga kebudayaan rakyat (Lekra)-nya. Hal-hal seperti ini, menurut AR Baswedan, kurang mendapat perhatian dari Masyumi” (h. 204).
Berdasar itu, AR Baswedan lalu konsisten memperjuangkan seni sebagai media perjuangan. Di antara buah usahanya adalah hadirnya Teater Muslim yang tersohor di zamannya. Masih dalam konteks berkesenian, AR Baswedan pernah punya catatan “perjumpan” dengan tokoh beken seperti WS Rendra dan Emha Ainun Nadjib (h. 206).
Demikianlah, benar, saat Anies Baswedan-Gubernur DKI sekarang-bilang bahwa dari buku ini “Kita bisa menimba banyak pelajaran”. Betul, ketika Salim A. Fillah mengatakan bahwa si penulis buku “Teliti dan telaten meramu berbagai kronik sejarah menjadi narasi yang bergelora”. Tepat, kala Adian Husaini menyampaikan, bahwa buku ini bagian dari ikhtiar “Mengarifi peristiwa sejarah dan tokohnya, agar kita beradab”.
Alhasil, buku ini sungguh berharga untuk dikoleksi dan dibaca. Memang, sejumlah kekurangan kecil di buku ini ada. Misal, pertama, perlu diberikan apa kepanjangan dari singkatan PNI di halaman 163. Boleh jadi, melihat konteks kalimatnya, itu bukan Partai Nasional Indonesia seperti yang rata-rata dibayangkan orang kala mendapati singkatan PNI. Tapi, hal-hal kecil itu bisa langsung terlupakan karena kita tenggelam dalam keasyikan membaca buku ini. Kedua, buku ini tak menyertakan Daftar Buku di bagian akhir. Meski begitu, tetap bisa dirasakan bahwa pastilah si penulis sangat kaya dengan referensi yang telah dibacanya secara mendalam dan reflektif.
Selamat membaca! []