Pemimpin Pendidikan

Written by | Opini

Oleh : Kholili Hasib

inpasonline.com – Suatu hari di dalam masjid Rasulullah Saw bersabda: “Aku diutus untuk menjadi seorang pendidik (mu’allim)” (HR. Ibnu Majah, dikutip oleh Imam Nawawi di dalam Syarah Muslim). Sabda tersebut bukan saja isyarat bahwa aktifitas keilmuan itu sangat disukai Nabi Saw. Akan tetapi hadis tersebut merupakan deklarasi Rasul Saw, bahwa beliau seorang pempimpin pendidikan.

Empat sifat yang wajib bagi Nabi Saw: shidiq (jujur), amanah, tabligh (penyampai ajaran), dan fathonah (cerdas) menjadi bukti bahwa Rasulullah Saw memang teladan, kiblat, dan sumber inspirasi bagi pendidik. Keempat sifat tersebut merupakan manifestasi sosok insan kamil (manusia sempurna).

Pemimpin pendidikan mesti bercermin kepada diri Nabi Muhammad Saw dalam aspek ilmu, amal serta peranannya melahirkan generasi yang mencerminkan kehebatan Islam. Maka, pemimpin dalam institusi pendidikan haruslah seorang yang berwibawa dalam akhlak, memiliki otoritas dalam bidang keilmuan dan perbuatannya patut dicontoh oleh bawahannya.

Maka, seorang pemimpin dalam pendidikan adalah seorang yang telah berhasil memimpin dirinya sendiri. Karena dengan sukses memimpin diri, ia akan mempu dengan mudah memimpin jiwa – jiwa lain selainnya.  Sehingga pemimpin pendidikan merupakan ilmuan/ulama’ yang ma’rifah (mengenali) jiwanya sendiri.

Manusia yang dinilai mengenali diri itu tandanya itu paham mana aspek jiwa aqliyahnya yang harus dikembangkan dan mana aspek jiwa hewani yang harus ditaklukkan. Memimpin dirinya adalah jiwa aqlinya mengendalikan jiwa hewaninya. Seorang yang mengenali hakikat jiwanya memahami apa yang mesti dilakukan dan difikirkan terkait dengan jiwanya.

Manusia yang menguasai dirinya, maka kebenaran dan ketepatan dalam bertindak itu yang menjadi rajanya. “Raja” yang tahu kapan bertindak dengan tepat, dan ucapannya adalah penuh kebijaksanaan. Oleh sebab itu, pemimpin yang demikian harus memiliki dua kemampuan: kecerdasan tinggi dan kebijaksanaan hati.

Dalam hal ini imam al-Ghazali memberi tips. Dalam jiwa manusia ada tiga unsur yang harus dikenalikan. Yaitu; daya berfikir, daya syahwat dan daya marah. Jika daya berfikir bisa dikendalikan, maka seseorang menjadi bijak (Imam al-Ghazali, Mizanul ‘Amal, hal. 59). Mendapatkan ilmu hikmah dari Allah Swt. Maka yang ia ucapkan adalah kebaikan, dan tindakannya selalu tepat.

Maka, Seorang pemimpin haruslah seorang yang hakim (bijaksana). Ia tepat dalam menempatkan para gurunya sesuai dengan derajat keilmuan. Benar memperlakukan muridnya. Menghormati ilmu dan aktivitas keilmuan. Mendahulukan yang  wajib daripada yang sunnah atau mubah dalam aktivitas keilmuan. Menempatkan kedudukan sesuai dengan derajat Fikiran yang tidak dikendalikan melahirkan fikiran liar, syubhat dan ke luar dari batas-batas kenormalan. Dengan sifat ini, pemimpin mampu membedakan perkara yang benar yang tidak benar.

Jika seorang pemimpin pendidikan yang  mampu mengendalikan daya fikir, syahwat dan daya marah, maka seseorang akan menjadi seorang yang memiliki sifat adil. Orang yang adil adalah mampu menempatkan segala sesuatu dan perkara pada tempatnya yang benar.

Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud mengatakan pemimpin itu pertama-tama harus bisa memimpin dirinya sendiri terlebih dahulu. Bagaimana ia mampu mempimpin masyarakat jika tidak mampu mempimpin dirinya sendiri. Kepemimpinan dalam perspektif Islam bukan sekedar bagaimana seseorang itu memanage organisasi, tapi lebih penting dari itu bagaimana ia memanage konsepsi kehidupan (Wan Mohd Nor Wan Daud dan Syed SM Naquib al-Attas,The ICLIF Leadership Competency Model: An Islamic Alternative, hal. 6).

Maka, pemimpin yang baik adalah yang amanah.  Maksudnya adalah pemimpin pendidikan itu seorang pekerja bukan sekedar penguasa. Pekerja yang baik adalah yang kuat mengendalikan ego pribadinya. Namun, pemimpin juga ‘penguasa’ dalam arti, penguasa terhadap nafsu pribadinya sendiri. Bukan penguasa harta rakyatnya. Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja, ialah orang yang kuat dan juga dapat dipercaya (amanah)” (QS. al-Qashash :26).

Dalam hal ini, Prof. Wan dalam buku Peranan Universiti Pengislaman Ilmu Semasa, Penafibaratn dan Penafijajahan menulis penjelasan sangat penting: “Institusi pendidikan tinggi Islam mesti diketahui oleh seorang pemimpin akademik yang memiliki ilmu-ilmu yang wajib baginya, dan juga berkomitmen kepada dimensi agama-falsafah dan sosial-budaya dalam pendidikan. Di samping memiliki pelatihan pengkhususannya di dalam bidang ilmu lainnya, ia juga sepatutnya memiliki adab dan akhlak serta pengalaman kepemimpinan. Dia wajib diberi kepercayaan untuk melantik bawahannya dan untuk membina institusi mengikut pengetahuan dan hikmahnya dalam mengatur rekan sekerjanya.

Maka, pemimpin pendidikan demikian adalah manusia yang kreatif dan inovatif. Kreatif dalam arti melakukan tindakan-tindakan pendidikan dengan tepat, cerdas dan benar. Inovatif dalam arti mampu mengembangkan pendidikan sesuai dengan konsep ilmu dalam Islam. Lebih dari itu, menurut Prof. Wan, keberhasilan kepemimpinan itu ditentukan oleh kualitas adab dan akhlak, pengajaran dan penerbitan karya institusi pendidikan yang sesuai dengan konsep ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.

Konsep ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah ini patut dikembangkan sebagai landasan dalam menjalankan kurikulum pendidikan dalam institusi pendidikan Islam. Pemimpin pendidikan memiliki kemampuan menyusun program akademik yang berdasarkan tingkatan ilmu dan pemahaman ilmu menurut pandangan hidup Islam.

Pemimpin pendidikan dalam suatu institusi pendidikan Islam tidak membuat program-program akademik yang berdasarkan konsep ilmu sekular. Tidak menciptakan program akademik yang merusak konsep ilmu dalam Islam seperti: feminisme, pluralisme, dan relativisme. Faham-faham ini merusak institusi pendidikan Islam. Institusi yang mengajarkan faham ini tidak akan melahirkan insan-insan beradab sebagaimana misi Rasulullah Saw.

Riset-riset yang diprogramkan oleh pemimpin pendidikan haruslah mampu memberi sumbangan ilmiah seperti menyelesaikan wacana-wacana yang pernah dibuat oleh para ulama dahulu, mengoreksi faham-faham yang keliru dalam wacana intelektual, membuat tafsiran, meringkas karya-kary agung silam dalam menghubungkan dengan isu-isu sekarang (lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Peranan Universiti Pengislaman Ilmu Semasa, Penafibaratn dan Penafijajahan, hal.70). Sehingga program riset benar-benar mencerdaskan memberi sumbangan fikiran nyata terhadap masyarakat, agama dan bangsa.

Last modified: 21/01/2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *