Children of Palestine – Memoar Anak-anak Palestina

 

 

1. Anan Ameri

            Penulis dan sosiolog Anan Ameri, Ph.D., terlahir dari ayah dan ibu Syria di Damaskus, Syria, pada 1944. Keluarganya tinggal di sebelah barat Jerussalem hingga perang 1948, ketika mereka dipaksa meninggalkan tempat tinggal mereka. Cerita tak terlupakan ini berkaitan dengan reaksi emosional anak usia 3 tahun terhadap perpisahan yang lama dengan orangtuanya ketika mereka sudah menemukan tempat tinggal yang aman di Jerussalem Timur.

            Ameri mengatakan bahwa titik balik hidupnya adalah saat perang 1967, selama dia menjadi relawan di pengungsian Palestina, pertama di Yordania lalu di Libanon. Selama itu pulalah, dia menjadi aktivis politik dan profesor. Dari tahun 1984 hingga 1993 dia menjadi presiden dan direktur Bantuan Palestina dari Masyarakat Amerika (Palestine Aid Society of America). Pada tahun 1995/1996 dia dianugerahi Peace Fellowship di Institut Bunting di Universitas Radcliffe. Pada tahun 1997 dia menjadi direktur operasional Institut Studi Jerusalem (Institute of Jerussalem Studies) di Jerussalem untuk beberapa lama  kemudian pindah ke Detroit, Michigan, ketika dia Direktur Seni dan Budaya sebuah Pusat Komunitas  Arab untuk Pelayanan Ekonomi dan Sosial (ACCESS, the Arab Community Center for Economic and Social Servises).

            Ameri telah menulis sebuah buku, dan menjadi penulis pembantu, dan dia juga telah membantu membuat beberapa artikel yg berfokus ke wacana Timur-Tengah. Dia mulai menulis cerita-cerita pendek pada tahun 1994.

 

Pelajaran Pertama Tentang Perpisahan

            Di kota Damaskus yang tua, pada usia 3 tahun, aku duduk di ambang pintu rumah kakekku, menunggu orangtuaku datang dan membawaku. Aku duduk di ambang pintu rumah yang sudah berusia ribuan tahun, terpisah dari orangtuaku, dan terpisah dari kerabatku yang tinggal di sini. Aku duduk di ujung luar koridor yang panjang, gelap, sempit, dan berbentuk huruf L. Di ujung koridor yang lain terdapat sebuah halaman bentuk segi empat yang dikelilingi tembok, dengan suguhan suasana yang cerah, dengan aneka warna ubin, tanaman buah-buahan, bunga-bunga, dan sebuah air mancur.

            Ini adalah rumah besar bertingkat dua yang dihuni oleh keluarga besar. Tapi aku hanya ingat kakekku dan dua anak perempuannya-salah satunya tidak menikah-tinggal di sini. Di musim panas mereka menghabiskan  malam-malam mereka dengan  makan semangka, main kartu dan menikmati bau harum melati dan kacapiring yang baunya semakin kuat tercium pada waktu-waktu malam terakhir. Kakekku akan main kartu denganku. Dia akan membiarkanku menang kemudian memberiku sebuah koin perak baru untuk kemenanganku. Kakekku selalu memiliki koin perak baru yang berkilauan.

            Ketika orangtuaku pergi ke Jerussalem, mereka janji padaku akan segera kembali untuk membawaku dan adikku. Tapi mereka belum kembali. Tiap pagi aku akan duduk di tempat faforitku, memandang ke ujung jalan yang amat sempit dan tak satu pun mobil yang bisa melewatinya, saking sempitnya. Aku memandang kesana, berharap ada mobil yang berhenti dan orangtuaku keluar dari mobil itu. Tiap mobil membawa kegembiraan, harapan, dan kekecewaan.

            Kadangkala aku menangis pelan. Di hari lain aku pergi ke dalam, marah kepada orangtuaku dan lelah menunggu, hanya keluar beberapa menit, berharap saat ini mereka menampakkan diri.

            Bibi Nahida, kakak perempuan ibuku yang sangat aku akungi, dia sendiri pastinya khawatir terhadap keadaan orangtuaku dan kerabat yang lain. Dia juga pasti khawatir terhadap kegelisahanku dan kerinduanku yang semakin dalam pada orangtuaku. Dia sering mendatangiku di ambang pintu untuk membuatku nyaman, membawakanku sesuatu yang bisa dimakan atau diminum-buah, permen, sandwich, susu, atau jus tomat yang segar. Dengan lembut dia akan membawaku kembali ke dalam rumah, berjanji bahwa orangtuaku akan datang secepatnya.

            “Kapan?” tanyaku.

            “Besok,” jawabnya, pelan menambahkan  “InsyaALLOH”.

            Mengapa orangtuaku meninggalkanku di sini? Mengapa mereka tidak datang dan membawaku seperti yang telah mereka janjikan? Bagaimana mungkin mereka tidak pernah menelponku?

            Bibiku adalah seorang guru, namun dia tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Bagaimana dia akan bisa menjelaskan padaku, anak berumur 3 tahun, bahwa orangtuaku mencintaiku, sedangkan faktanya mereka telah pergi, meninggalkan aku dan adikku? Bagaimana dia sanggup membuatku mengerti bahwa sedang berlangsung perang di negaraku, Palestina? Bagaimana dia bisa menjelaskan bahwa orangtuaku menitipkanku padanya karena mereka mementingkan keselamatanku dan adikku, dua anak mereka?

            Bibiku melakukan semua yang dia bisa untuk menjadi pengganti ketidakhadiran orangtuaku. Sampai sekarang aku mesih bisa merasakan kasih akungnya. Dia sering menaruhku di pangkuan hangatnya dan bercerita padaku atau bernyanyi untukku hingga aku tertidur. Ketika aku gelisah dan marah dia akan menenangkanku, meyakinkanku bahwa orangtuaku selalu mencintaiku dan mereka akan segera datang.

            Semua tidak terjadi. Mereka tidak datang.

            Aku tidak ingat berapa lama pastinya aku tinggal di Damaskus, terpisah dengan orangtuaku dan boneka-bonekaku, satu-satunya ingatan yang hidup tentang Palestina. Di bagian barat Jerussalem, dimana kami hidup sebelum 1948, orangtuaku memberi aku dan adikku dua buah boneka. Kami menamakannya Lulu dan Murjjan. Lulu  berwarna putih dan Murjjan berwarna coklat terang. Menurutku mereka sangat cantik. Aku masih ingat betapa bahagianya aku saat itu. Aku akan bermain bersama boneka-bonekaku sepanjang hari dan kegembiraan terbesarku adalah ketika aku belajar bermain kejar-kejaran dengan mereka keliling rumah. Pada malam hari aku akan memohon pada ibuku untuk membawa mereka tidur bersamaku.

            Ketika orangtuaku kembali ke Damaskus untuk menjemputku hampir setahun kemudian, aku sangat marah. Aku pergi ke dalam kamarku dan mengunci pintu. Aku tidak mau melihat mereka lagi atau bicara dengan mereka lagi. Hanya Bibi Nahida saja yang mampu berbicara denganku dan membawa orangtuaku masuk ke kamarku.

            Beberapa hari setelah orangtuaku datang, kami mengemasi barang-barang kami, memenuhi mobil kecil ayahku, dan mengucapkan selamat tinggal kepada kakekku dan kerabat yang lain. Saat itu aku tidak yakin aku sanggup berpisah dengan Bibi Nahidaku. Namun akhirnya aku harus berpisah dengannya.

            Aku duduk di kursi belakang. Akhirnya kami pulang ke rumah. Ayahku yang menyetir mobil. Dia kelihatan tidak begitu bahagia-begitu pula ibuku. Ayahku mencoba menjelaskan padaku dan adikku, bahwa meskipun kami berhasil pulang ke rumah, namun tidak akan sama seperti dulu lagi. Rumah kami bukan rumah yang dulu lagi. Kami akan punya tetangga yang berbeda yang punya anak yang akan menjadi teman main kami nanti.

            “Bagaimana dengan Lulu dan Marjjan?”, tanyaku resah.

            “Tidak, mereka tidak ada di sana.”

            “Kenapa tidak? Dimana mereka? Apa yang terjadi pada mereka?

            “Lulu dan Marjjan diambil oleh Israel.”

            Itulah awal dari perkenalan pertamaku dengan kata “Israel.”

            Aku menangis. Aku menginginkan boneka-bonekaku. Ayahku berjanji untuk memberikan boneka yang baru.

            “Tapi aku tidak ingin boneka yang baru. Aku ingin Lulu dan Marjjan!”

            Ayahku mencoba menjelaskan mengapa mereka harus meninggalkan Lulu dan Marjjan seperti meninggalkan hidup mereka. Aku tidak mengerti. Dan meskipun ayahku pernah menjadi guru seperti bibiku, dia tidak dapat membuatku, yang saat itu berumur 4 tahun, mengerti tentang situasi yang tengah berlangsung.

Sekarang aku berumur sekitar 50 tahun. Sampai sekarang kadang-kadang aku merasa tidak benar-benar memahami apa yang terjadi pada tahun 1948.

 

 

2. Musa Jamil Jaffer (Nama Samaran)

Lahir di Jaffa, Musa Jamil Jaffer tumbuh di sebuah kamp pengungsian di Ramallah, Tepi Barat. Sebagai seorang anak muda, dia meninggalkan rumahnya dan pergi bekerja di Afrika, dimana dia menabung agar memiliki cukup uang untuk pergi ke Amerika Serikat untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi.

            Jeffer mengajar di sebuah sekolah di Chicago, menulis artikel mingguan untuk surat kabar Chicago, dan menjadi penyiar radio Palestina antara tahun 1969 dan 1975. Kini dia bergerak di bidang bisnis ekspor-impor di Connecticut.

            Dalam sebuah cerita perjalanan dari Israel di tahun 1947, ketika dia berusia 6 tahun, dan ketika masa kecilnya dihabiskan di kamp pengungsian, Jeffer menggambarkan penderitaan dia dan temannya satu pengungsian ketika mereka ditahan secara paksa.

 

 

Bertahan

            Kenangan masa mudaku mencerminkan standar seorang anak kecil. Misalnya, aku ingat ketika seorang tentara Inggris memberiku sebatang permen coklat. Aku ingat cara dia melihat dan duduk di sebuah bangku di bar milik ayahku di El-Manshyyieh di Jaffa. Aku tidak ingat apa pun ketika ibuku terluka oleh bom yang meledak saat dia tengah berbelanja di pasar meskipun saat itu usiaku bertambah.

            Aku ingat ketika ayah dan ibuku berbicara serius ketika mereka tengah mencoba memutuskan apakah sebaiknya kami pergi atau tetap tinggal di Jaffa. Banyak orang yang sudah meninggalkan rumah mereka di Jaffa karena adanya peringatan lewat pengeras suara akan bahaya bom serta peluru. Saat itu tahun 1947 dan pasukan Inggris telah meninggalkan Jaffa. Kami diberitahu bahwa sebentar lagi pasukan Zionist akan menyerang Jaffa dan tidak ada siapa-siapa yang akan melindungi kami.

            Aku ingat, pada saat itu ayahku memutuskan bahwa dia harus menggunakan mobil pickup kecilnya untuk membawa kami mengungsi ke bagian timur. Tiap kali ayahku selesai mengambil keputusan, nantinya dia akan berubah pikiran, terpengaruh tetangga yang menyarankan agar dia tetap tinggal di Jaffa. Pada akhirnya laporan tenatng pembunuhan dan pembantaian sampai pada kami dan ayahku kemudian segera mengevakuasi kami keluar Jaffa.

            Saat itu musim dingin 1947 tengah menyelimuti kami. Tubuhku terbungkus selimut dan dijejalkan dalam tumpukan baju-baju tua dan baju-baju berbahan linen yang ditaruh di bagian belakang truk yang disewa ayahku diiringi wajah sedih kakak dan adikku. Kami terus bergerak ke timur. Mengapa kami terus berjalan, aku tidak tahu, kecuali lewat atas kepalaku aku mendengar ayahku menjelaskan kepada ibuku bahwa bahaya jika kami terus tinggal di Jaffa. Orang-orang Yahudi sedang melakukan serangan di mana-mana. Aku hanya anak berumur 6 tahun dan aku tidak tahu apa yang sedang terjadi dan mengapa harus terjadi. Aku bertanya pada ayahku tentang beberapa anak yang biasa jadi teman mainku. Bagaimana dengan Majid dan Anwar-apakah mereka pindah juga? Ya! Ya!Mereka nanti akan bergabung dnegan kami. Bergabung dengan kami dimana? Sebenarnya kita mau pergi kemana? Raut sedih yang membayang di wajah ayahku menjawab semua pertanyaanku.

            Ya Tuhan, di belakang truk tempatku berada sangat dingin. Ibuku sangat beruntung bisa terus duduk di kursi depan truk. Dalam beberapa menit kami berhenti untuk mempersilakan beberapa orang numpang truk kami. Kupikir setiap  orang mencoba untuk melarikan diri. Kami berhenti lagi dan lagi, hingga tidak tersisa lagi tempat di bagian belakang truk. Aku terkagum-kagum pada ayahku yang telah mengatur pelarian ini untuk kami. Dengan menggunakan mobil pickup sementara ribuan orang berjalan kaki, membawa semua yang bisa mereka bawa dari rumah.

            Ketika kami sampai di kota pertama, kami kelebihan muatan orang-orang yang menumpang pada truk kami dan melanjutkan perjalanan sampai ke kota Ramallah. Ayahku terus memberitahu supir untuk terus berjalan. Ayahku mencari sebuah tempat yang layak untuk kami tinggali. Tidak ada orang yang punya tempat tinggal. Setelah lama mencari dan bertanya sana-sini, akhirnya kami berhenti di sebuah sudut pada sebuah garasi. Ayahku mengatakan denga tegas bahwa kami hanya bisa tinggal beberapa hari di tempat ini dan harus mengosongkan tempat ini segera sebab tempat ini merupakan tempat untuk berbisnis.

            Keluhanku kepada ayahku soal ketiadaan tempat tinggal tidak mengubah apa pun, namun ayahku meyakinkan kami keadaan tidak nyaman ini hanya sementara saja dan kami sebaiknya berpura-pura seolah-olah kami sedang berpiknik. Sebuah piknik! Ayahku pasti bercanda. Aroma ruangan tempat kami tinggal sulit sekali dibandingkan dengan piknik yang biasa kami nikmati di ruangan terbuka, di pantai berpasir, atau di bawah pohon. Bagaimana dengan kotoran, noda minyak basah, dan kecoa? Kami memakai jaket sebagai alas. Dan ya ampun, jangan coba-coba bicara soal fasilitas kamar mandi! Aku tidak bisa membandingkan antara kamar mandi kami di Jaffa dengan timba tipis berbibir tajam yang biasa kami gunakan untuk buang hajat.

            Aku terbangun di pagi hari oleh suara ayah dan ibuku yang tengah berdebat. Ayahku sedang mencoba meyakinkan ibuku bahwa semua akan baik-baik saja sejak dia kembali dari rapat umum di Hotal Qudeh dan King Abdullah telah berjanji bahwa segala sesuatunya akan berubah dan seluruh pengungsi akan segera kembali ke rumah mereka. Sementara ayahku berkata seperti itu, hingga waktu kembalinya para pengungsi, kami semua diharuskan melaporkan diri ke sebuah kamp terdekat dimana segala sesuatunya telah disiapkan untuk kami, mulai dari tenda hingga makanan.

            Tidak perlu menunggu waktu lama bagi ayahku untuk memenangkan perdebatan dengan ibuku, karena sebagai usaha terakhir, ayahku menggunakan superioritas utamanya, menyuruh ibuku, dengan nada tajam, agar diam dan lakukan apa yang dia katakan.

            Setelah semuanya siap, kami berterima kasih kepada pemilik garasi atas kesediannya menampung kami untuk sementara. Ayahku menawarkan si pemilik garasi uang untuk sebagai tanda terima kasih, namun si pemilik garasi menolaknya dengan tegas, bersumpah bahwa dia akan meminta kami untuk tinggal bersama kelauarganya, jika mereka sudah dapat tempat.

            Kurang dari dua puluh menit kami berdiri di gerbang kamp pengungsian, menunggu giliran daftar ulang pada seorang pria yang duduk di belakang meja di jalan yang ada di depan kamp. Sangat sulit untuk anak sekecil aku untuk mengerti drama manusia tentang semua pengungsi yang tengah berteriak dan menangis dan meminta pengembalian mereka, seolah mereka tengah mencari cinta yang pernah hilang dalam sebuah tragedi.

            Seperti yang nanti aku saksikan di film-film yang kutonton, susunannya adalah seperti pergi ke penjara dengan tiap narapidana yang sudah diberi nomer, jaket, perkakas, dan mereka digiring ke selnya masing-masing. Dalam kasus kami, penjara itu adalah tenda. Tiap tenda memiliki empat kasur sebagai alas tidur, dua kasur besar untuk orang dewasa dan dua kasur kecil untuk adik perempuan dan adik laki-lakiku yang masih bayi. Adik laki-lakiku dan aku menemani ayahku, membawa piring aluminium sebagai peralatan utama selama antri mengambil jatah makanan. Lalu ayahku membawa kami keliling kamp pengungsian dan menunjukkan kamar mandi umum. Kamar mandi umum tersebut serupa bilik kayu, dibangun dengan terburu-buru dan dihubungkan dengan pipa-pipa air yang panjang dengan susunan sederhana untuk memenuhi kebutuhan pengungsi terhadap air bersih. Tapi tentu saja hal yang dapat dibandingkan dengan fasilitas kamar mandi modern hanya terdapatnya pembagian antara bilik pria dan bilik wanita.

            Sebuah bilik kayu dengan struktur yang aneh yang dibangun di pinggiran kamp disebut sekolah. Tida ada satu pun orang yang berharap sekolah kami seperti sekolah normal lainnya tapi kami sepertinya tidak sedang berada di bumi! Mulanya, kami tidak punya ruang kelas. Hanya ada sebuah ruangan besar dimana para guru akan menyuruh murid-muridnya duduk mengelilingi mereka dan mereka akan menjelaskan bahwa mereka hanya bisa mengajarkan mata pelajaran umum semacam aritmetika dan geografi. Para guru harus sudah bisa memastikan bahwa selama mengajar, mereka tetap mengecilkan suara mereka agar tidak mengganggu guru lain yang sedang mengajar di ruangan yang sama.

            Butuh waktu beberapa lama sebelum aku menyadari bahwa tempat kami “berpiknik” ini telah menjadi rumah kami. Marwan dan Sami, yang tinggal beberapa tenda dari kami, berkata bahwa janji untuk mengembalikan kami dalam beberapa hari lagi adalah bohong belaka. Tapi aku tidak percaya pada mereka. Memangnya siapa mereka jika dibandingkan dengan ayahku?

            Butuh waktu beberapa minggu bagi kami untuk mengerti mengapa kami harus tetap berada di kamp pengungsian. Area bermain kami diberi pembatas yang memisahkannya dengan area di luar kamp, supaya tidak mengganggu penduduk asli. Di saat ingin menggunakan fasilitas kamar mandi umum kami diharuskan mengantri. Tragisnya lagi, kamar mandi umum tersebut tidak dilengkapi dengan kertas toilet. Untuk membersihkan wajah, kami harus saling tolong-menolong dengan menuangkan air dari kaleng tipis ke tangan-tangan yang siap menangkup air. Alternatif lain adalah dengan mengantri di depan pancuran kayu berbekal dan handuk. Dibangun sebuah terusan sempit sebagai menyalurkan air ke terusan yang lebih besar. Terusan yang lebih besar menerima air ke semua kamar mandi yang terhubung dengannya melalui terusan yang sempit. Singkatnya, ini adalah sistem pembuangan kotoran kami.

            Fasiltas memasak milik ibuku layaknya yang kita gunakan saat piknik. Ayahku mmapu membeli beberapa batu-bata yang dengannya dia membuat oven untuk kami. Tentu saja tidak ada listrik di sini. Kayu dan ranting-ranting pohon tua menjadi satu-satunya bahan baker yang dapat kami gunakan. Ayahku memberi kami perintah yang jelas untuk membawa pulang ranting pohon atau kayu yang kami temukan. Kami harus menyelesaikan pekerjaan rumah kami sekembalinya dari sekolah karena alangkah mahalnya jika harus terus menggunakan lampu minyak.

            Beberapa minggu kemudian ayahku memberiku sebuah kotak persegi dilengkapi tali ikat pinggang yang akan kami gunakan untuk menaruh leher kami dan menunjukkan barang-barang yang akan kami jual. Kami harus membantu memperoleh pemasukan uang agar kami bisa bertahan hidup. Di dalam kotak persegi ini kami taruh rokok dan seluruh jenis permen. Aku ingat, saat itu aku terbiasa jalan kaki keliling kota demi mencari pembeli. Ayahku selalu menjadikan kegiatan berjualan ini sebagai ajang kompetisi antara aku dan kakakku. Aku biasanya keluar sebagai pemenang karena mampu menjual lebih banyak setiap harinya.

            Tentunya ada banyak yang dikorbankan ketika menghabiskan waktu menjadi anak muda penjaja keliling. Kami kehilangan kenikmatan waktu bermain kami dengan anak-anak lain karena kami pulang dari tugas keseharian kami saat tiba waktu tidur. Kami pulang sangat larut. Dan karena seringnya keliling kota jalan kaki, aku dan kakakku memakai sepatu murah dan lubang di bagian dalam sepatu tiap hari bertambah besar. Ibuku yang miskin biasanya mengomeli kami karena kaus kaki kami selalu basah, menuduh kami berjalan di genangan air. Ibuku tidak tahu bahwa air biasa merembes masuk ke dalam sepatu lewat lubang menganga di sepatu kami.

            Musim terberat dan terburuk di kamp adalah ketika musim dingin tiba, ketika semua hal menjadi berlumpur. Syukur pada Tuhan hanya sedikit hujan yang turun. Hujan yang turun deras bisa berarti merupakan kondisi gawat bagi kamp kami. Pasalnya, air selalu berhasil masuk ke dalam tenda kemudian Lumpur dan basah menjadi bagian tenda kami. Syukur pada Tuhan ayahku bisa mengangkat kasur-kasur kami dengan membuat rangka kayu di bawahnya. Salah satu keuntungan dari hujan yang turun adalah saluran air kami jadi mampu mengalirkan air dengan melimpah. Bagian terburuk dari situasi ini adalah aku dan kakakku kehilangan seluruh penjualan kami selama beberapa hari-kehilangan uang yang dengan sulit kami peroleh untuk bisa bertahan hidup….

Penulis adalah peneliti InPAS

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *