Bila Otoritas Ulama’ Ditolak

Oleh: Ahmad Kholili Hasib

Inpasonline.com-“Aku ini hanya seorang manusia biasa yang boleh jadi salah dan boleh jadi betul. Oleh karena itu, perhatikanlah pendapatku. Apabila pendapatku sesuai dengan Kitab al-Qur’an dan Sunnah Rasul, maka ambillah dan tiap-tiap pendapatku yang tidak cocok dengan keduanya maka tinggalkanlah” (Imam Malik).

Perkataan imam Malik tersebut banyak beredar di media sosial ataupun internet. Memang kata-kata tersebut mestinya tidak ada yang perlu dipersalahkan. Tetapi, konteks masalahnya harus dimengerti. Jika tidak, maka bisa meletakkan perkataan tersebut pada isu yang tidak tepat. Akhirnya melahirkan kesalahan.

Contoh bentuk kesalahannya adalah seseorang menolak fatwa salah satu ulama madzhab dengan dalih ia menemukan hadis shohih yang berbeda dengan fatwa itu. Bagi dia, penolakan tersebut berdasarkan kata-kata imam Malik di atas.

Kata-kata tersebut sering dijadikan alasan sebagian orang bahwa pandangan siapapun — termasuk ulama — bisa ditolak karena ulama tidak maksum. Bila diberi pilihan, tentu saja kedudukan al-Qur’an dan Hadis lebih tinggi daripada ulama. Tidak ada yang meragukan.

Seruannya memang bagus, ‘kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah’. Dua sumber Islam ini tidak salah. Adapun ulama adalah manusia biasa yang bisa keliru.

Sepintas memang tidak ada problem. Tetapi, bila tidak memahami posisi dan fungsi nya bisa terjadi kesalahan.

Sebuah pembandingan yang “ganjil”. Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak pas dibandingkan dengan ulama. Umat Islam sudah pasti mengetahui Al-Quran-As-Sunnah lebih tinggi daripada manusia.

Al-Qur’an dan As-Sunnah itu sumber hukum. Sedangkan ulama itu orang yang ahli menggali hukum dari sumber-sumbernya.

Ketika membicarakan otoritas Ulama, maka sesungguhnya otoritas ulama itu diakui oleh Al-Qur’an. Allah Swt berfirman: “Jika kamu tidak mengetahui, maka bertanyalah kepada orang berilmu (ahl dzikri) (QS.).

Bila kita perhatikan, ayat tersebut tidak berkata …”maka rujuklah kepada al-Qur’an dan Hadis”. Otoritas al-Qur’an dan Hadis sudah pasti di atas otoritas ulama. Tetapi siapakah yang memahami kandungan al-Qur’an dan Hadis? Sudah tentu ulama’-alim. Maka ayat tersebut dapat dipahami begini, “…maka bertanyalah kepada ulama, karena mereka lah yang memahami al-Qur’an dan Hadis”.

Perkataan Imam Malik di atas bukan bermaksud menyamaratakan orang biasa dengan ulama’ alim. Karena, pandangan orang berilmu harus dibedakan dengan pandangan orang awam. Seorang berilmu memiliki pemikiran yang terlatih, daripada orang awam.

Allah Swt memberi informasi bahwa keduanya berbeda. Dia berfirman: Apakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Al-Zumar: 9). Perbedaan ini karena, yang satu memiliki ilmu dan satu tidak memiliki ilmu.

Dalam Islam, ilmu memiliki kedudukan yang sangat terhormat tinggi. Sehingga, apa saja yang dinisbatkan dengan ilmu akan menjadi terhormat. Ulama itu mulya karena ilmunya. Allah Swt berfirman: “Allah akan meninggikan orang-orang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS. Al-Mujadalah: 11).

Maka, ketika suatu ayat al-Qur’an dan Hadis difahami, maka harus dipastikan fahaman kita benar, dan sesuai kaidah. Sehingga di sinilah pandangan ulama’-alim diperlukan. Mereka yang memiliki keahlian ilmu memahami kandungan al-Qur’an dan Hadis. Termasuk adanya empat madzhab fikih salah satu manfaatnya adalah kesalahan dalam memahami al-Qur’an dan Hadis dapat dikurangi.

Apabila hak menafsirkan al-Qur’an dan Hadis diberikan secara umum kepada tiap orang, maka dipastikan terjadi kekacauan dan kesalahan. Terkadang sebagian orang membuat klaim, dalil hadis imam Syafi’i lemah. Dalil imam Ahmad lebih kuat.

Jika klaim itu kita buat, berarti kita menjadi hakim antara dua imam besar; imam Syafii dan Imam Ahmad. Artinya, kita mengangkat diri kita sendiri di atas dua imam tersebut dan merendahkan ulama’-alim. Jelas saja, ini sikab bodoh dan sombong.

Orang awam tidak memiliki keahlian melakukan ‘lompatan’ langsung merujuk al-Qur’an dan Hadis. Membuat kategorisasi hadis ini shahih, hadis itu dhoif pun kita masih memerlukan ulama alim. Sebab, kategorisasi hadis itu juga dari ulama ahli hadis. Artinya dalam hadis kita masih perlu taqlid.

Adapun perkataan imam Malik tersebut di atas mirip dengan kata-kata imam Syafi’i. Beliau pernah berkata: “Kalau ada hadits shahih, maka itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok.”

Maksud dari kata-kata imam Syafii tersebut telah dijelaskan oleh imam Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab: “Apa yang dikatakan oleh imam Syafi’I bukan bermaksud siapa saja yang mendapati hadis shahih lalu dia mengatakan: ‘ini madzhab imam Syafi’I’. Lalu ia mengamalkan dzahir hadis. Kata-kata tersebut sesungguhnya ditujukan kepada siapa saja yang sampai pada derajat ijtihad dalam madzhab” (Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, jilid 1, hal. 105).

Maka, sudah semestinya ulama-alim ditempatkan pada maqom ke-ulama’annya dan orang awam diposisikan sesuai kedudukannya. Dr. Khalif Muammar mengutip Nur al-Din al-Raniniri bahwa merendahkan ulama adalah suatu dosa besar. Maka kecenderungan untuk merendahkan para ulama besar sebenarnya merupakan suatu kebiadaban yang dilakukan dengan dalih ijtihad dan dalil bahwa tiada manusia yang sempurna (Khalif Muammar,Pesudo-Salafi, Esktrimisme dan Keruntuhan Autoriti dalam Himpunan Makalah WISE 2016 Siri Wacana Pandangan Alam Islam, hal. 63).

Penolakan terhadap otoritas ulama’ telah menjadi bagian ciri berpikir liberalisme. Karakteristik ideologi liberalisme adalah memberi kebebasan individu tanpa batasan-batasan tertentu serta penyamarataan setiap individu. Sehingga anti-otoritas menjadi bagian sifatnya.

Mohammed Arkoun, pemikir asal Aljazair, menolak turats sebagai warisan yang perlu dipelihara kaum Muslimin. Alasannya teks-teks agama baginya adalah produk sejarah (intāj bi al-tārīkh). Diproduksi oleh para ulama pada abad kedua hijriyah. Bahkan sengaja diproduk untuk mempertahankan eksistensi madzhabnya masing-masing (Mohammed Arkoun, Al-Islām, Urūbā, al-Gharb, hal. 192).

Kesimpulan tersebut mengandung masalah serius. Pertama, statemen tersebut melucuti semua kitab turats. Jika turats dilucuti, maka umat tidak memahami lagi sumber utama turats, yaitu al-Qur’an dan Hadis. Sebab makna kandungan, faidah dan hukum-hukumnya terdapat dalam turats. Tidak kenal turats, berarti tidak mengenali isi al-Qur’an dan Hadis. Kedua, melecehkan para ulama yaitu menuduh ulama menulis karya kitab didorong oleh kepentingan politik dan demi mencapai popularitas. Tentu saja ini merupakan dosa besar.

Abū Bakar al-Samarqandī mengatakan, hujjah teks al-Qur’an sebagai sumber hukum sifatnya pasti, diperintahkan untuk diimani dan diamalkan dengan cara ta’yīn, yaitu dijelaskan oleh Hadis, dan penjelasan para mujtahid yang ahli (Abū Bakar al-Samarqandī,Mīzan al-Usūl fī Natāij al-‘Uqūl, hal. 77).

Perlunya ulama mujtahid adalah dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang lafadznya masih dzanni. Karena ajaran agama hanya dapat diketahui melalui naqli (riwayat) dan melalui istinbath (ijtihad). Sebuah hadis misalnya, tidak bisa dzahirnya diketahui kandungan dan hukumnya. Tetapi harus diperiksa dulu isnad dan matannya. Struktur isnad menentukan apakah hadits tadi bernilai qath’i (pasti) atau zhanni (belum pasti), keotentikannya (wurud / tsubut).

Apakah ini bisa dilakukan semua orang? Mendengarkan istilah-istilah nya saja (qat’i, dzanni, asbab wurud, naqdul matan, isnad, dll) masih banyak yang asing. Bagaimana mungkin mengamalkan dzahir hadisnya.

Kenapa ijtihad para ulama mujtahid dipercaya? Ibnu Hazm berpendapat bahwa semua yang diusahakan dalam penggalian hukum oleh ulama mujtahid (yang empat) termasuk lingkup syariah. Meskipun bagi orang awam dalilnya tidak nampak. Maka, barang siapa mengingkari istinbath para ulama mujtahid, maka sama saja menuduh ulama tersebut salah, berjalan pada sesuatu yang tidak diberi izin oleh Allah. Pendapat ini sesat. (imam Sya’rani dalam Mizanul Kubra).

Maka semestinya, kita tidak perlu mengikuti cara berpikir meremehkan otoritas ulama mujtahid. Keahlian ulama mujtahid sangat jauh di atas kita. Bukan soal fanatik kepada ulama, tetapi semata-mata menjalankan perintah Allah Swt untuk bertanya kepada orang yang ahli jika kita tidak mengetahui sesuatu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *