Bagaimana Menyikapi Khilaf

Dengan sikap demikian, tak  jarang timbul perpecahan dan sikap saling membenci antara pengikut madzhab-madzhab fiqih yang ada, hingga terjadilah bentrok fisik  antar mereka.

Tentu, hal inilah yang tidak diinginkan para ulama, hingga mereka memberi nasehat kepada umat, bagaimana seharusnya menyikapi khilaf fiqih. Berikut adalah petikan perkataan beberapa ulama mengenai penilaian mereka tentang perbedaan masalah fiqih.

Al Hafidz Imam As Suyuthi (911H),”Telah terjadi khilaf masalah furu’ sejak zaman sahabat-radhiyallahum wa ardhahum-, dan mereka adalah sebaik-baik umat, begitu pula dengan para imam tabi’in setelah mereka beserta para ulama, salah seoarang dari mereka tidak memusuhi yang lainnya, tidak menyakiti dan salah satu dari mereka tidak menuding yang lainnya salah atau tidak mampu.”

Di tempat lain beliau mengatakan,”Ketahuilah bahwa khilaf madzhab-madzhab dalam satu millah merupakan nikmat yang besar dan kelebihan yang besar, serta memiliki rahasia yang lembut yang diketahui oleh mereka yang alim akan tetapi mereka yang jahil buta terhadapnya. Sehingga saya mendengar sebagian orang bodoh mengatakan, bahwa Nabi  shallallahu alaihi wasallam datang dengan syariat yang satu, jika demikian, darimana datangnya madzhab empat?”

Lalu beliau mengatakan,”Dan hal yang tidak kalah mengherankan adalah melebihkan satu madzhab dari madzhab yang lain, pelebihan ini menyebabkan perendahan terhadap madzhab lain, dan bisa jadi itu menyebabkan timbulnya permusuhan antar orang-orang bodoh, dan terciptalah ashabiyah yang didasari kebodohan. Adapun para ulama, mereka terhindar dari itu semua.” (lihat, Jazil Al Mawahib fi Ikhtilaf Al Madzahib, manuskrip di perpustakaan Al Azhar).

Ibnu Qudamah (620 H),” Seungguhnya Allah dengan rahmat-Nya, kebesaran-Nya, ketinggian-Nya, kekuatan-Nya serta daya-Nya telah menanggung, bahwa ada sekelompok dari umat ini yang selalu berada dalam al haq (kebenaran), tidak akan membahayakan mereka, siapa saja yang mencela, hingga datang keputusan Allah dan mereka tatap berada dalam kondisi demikian. Yang menyebabkan kelanggengan mereka adalah keberadaan para ulama mereka dan mereka menjadikan para imam dan fuqaha itu sebagai suri tauladan. Allah menjadikan umat ini dengan para ulamanya, seperti umat yang tidak memiliki rasul dan Ia tampakkan di setiap thabaqat dari para fuqaha’ imam-imam yang dijadikan suri tauladan dan semua pendapat merujuk kepadanya. Dan Allah telah menjadikan para salaf dari umat ini sebagai para imam, yang diambil dari mereka kaidah-kaidah keislaman dan dengan mereka permasalahan bisa tercerahkan. Kesepakatan mereka adalah hujjah qath’i, sedangkan perselisihan di antar mereka adalah rahmat yang luas”. (lihat, muqadimah Al Mughni).

Al Hafidz Imam Ad Dzahabi (748H),” Kalau sendainya di saat para Imam terjatuh kepada kesalahan yang dimaafkan dalam ijtihad mereka dan kam bangkit melawan, membid’ahkan atau memutuskan hubungan, maka tidak akan bisa terhindar dari hal itu Ibnu Nashir, Ibnu Mandah atau para Imam yang berada di atas mereka, Allah Maha Memberi Petunjuk hambanya kepada kebenaran, dan Dia Maha Pengasih dari mereka yang mengasihi, dan kami berlindung kepada Allah dari hawa nafsu.” (lihat, Siyar Al A’lam An Nubala, 14/40).

Ibnu Taimiyah (728 H) menukil dari Imam Ahmad bahwa seseorang telah menulis sebuah buku tentang masalah khilaf, maka Imam Ahmad mengatakan,”Jangan dinamai dengan kitab ikhtilaf, akan tetapi namai dengan kitab as sa’ah (kelonggaran).” (lihat, Majmu’ Al Fatawa, 14/95)

Bahkan para salaf rela meninggalkan madzhabnya dalam masalah-masalah mustahab jika dengan demikian ukhuwwah bisa terjaga. Dalam Majmu’ Fatawa, ketik berbicara masalah basmalah, Ibnu Taimiyah ditanya, apakah ia ayat di setiap surat dan apakah sebagian umat Islam perlu dihajr karena masalah ini? Setelah menjelaskan panedapat para ulama tentang masalah ini, beliau mengatakan, ”Mustahab bagi siap saja untuk membangun hubungan baik dengan saudaranya, dengan meninggalkan amalan-amalan mustahab itu. Karena maslahat membangun hubungan hati dalam agama lebih besar daripada maslahat melakukan amalan-malan seperti ini.”

 

Ingkar terhadap Masalah Khilaf adalah Sebuah Kesalahan

Para ulama membuat kaidah, la yungkaru fi ma ikhtalafa alaihi wa inama yungkaru fi ma ajma’a alaihi, yang artinya, tidak diingkari perkara yang masih diperselisihkan, pengingkaran untuk perkara yang sudah disepakati (keharamannya). Imam As Suyuthi menjelaskan bahwa pengingkaran yang dimaksud di kaidah ini adalah penentangan dengan keras. Karena, jika masing-masing madzhab mengingkari madzhab lain, maka bisa timbul mudharat yang besar, seperti peperangan atau kekacauan. (lihat, Al Ashbah wa An Nadzair, hal.158)

 

Kedudukan Pendapat Ulama

Pendapat para ulama memiliki bobot tersendiri, hingga pendapat mereka tidak boleh diingkari. Para ulama ushul fiqih menilai bahwa perkataan para ulama di hadapan para muqallid atau mereka yang tidak mampu berijtihad, bagaikan nash di hadapan para mujtahid. Bukan menyamakan antara nash dengan perkataan ulama, hingga pendapat mereka dianggap sebagai sumber syariat. Pendapat mereka diperhitungkan karena mereka memiliki kapasitas untuk menyimpulkan hukum dari nash-nash, merekapun melakukan hal itu dengan penuh kesungguhan, mereka juga banyak menghafal dan memahami nash-nash agama apalagi kondisi ruhiyah mereka yang selalu dijaga dengan baik. (lihat, Bulugh As Sul fi Al Madkhal ila Ilmi Al Ushul, hal.15)

Walhasil, dari pernyataan beberapa ulama di atas, hendaknya umat Islam tidak mengingkari masalah-masalah yang sudah dikenal sebagai masalah khilaf, dengan demikian ukhuwwah umat Islam terjaga dengan baik. Wallahu’alam bi as shawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *