Siapa gerangan “Christoph Luxenberg”? Menurut sebuah sumber terpercaya, nama sebenarnya ialah Ephraem Malki, berasal dari Lebanon, warganegara Jerman, penganut fanatik Kristian (Syriac Orthodox), memperoleh M.A. dan Dr.Phil dalam bidang Arabistik. Pada 28 Mei 2003 yang lalu ia sempat dijemput memberikan syarahan di Universität des Saarlandes berkenaan “Pengaruh bahasa Aramaik keatas bahasa al-Qur’an” (Der Einfluss des Aramäischen auf die Sprache des Korans). Disamping bertugas sebagai pensyarah, ia juga aktif menulis dan memberikan interview untuk media masa tempatan.
Dalam bukunya itu yang diberi tajuk “Cara membaca al-Qur’an dengan bahasa Syro-aramaik: Sebuah sumbangsih upaya pemecahan kesukaran memahami bahasa al-Qur’an” (Die syro-aramäische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschlüsselung der Koransprache), Luxenberg dengan sangat beraninya mendakwa: (1) bahwa bahasa al-Qur’an sebenarnya bukan bahasa Arab. Karena itu, menurut dia, banyak kata-kata dan ungkapan yang sering dibaca keliru atau sukar difahami (in einem Ausmass verlesen und missdeutet wurde) kecuali dengan merujuk pada bahasa Syro-aramaik yang konon merupakan lingua franca pada masa itu; (2) bahwa, masih menurut dia, bukan hanya kosa-katanya berasal dari Syro-aramaik, bahkan isi ajarannya pun diambil dari tradisi kitab suci Yahudi dan Kristian-Syria (Peshitta); (3) bahwa, oleh karena itu, al-Qur’an yang ada tidak otentik, perlu ditinjau kembali dan di-edit ulang (Zur Richtigstellung des an zahlreichen Stellen verlesenen Korantextes ist eine kritische Edition …. sicherlich wünschenwert). Di sini nampak bagaimana orientalis-missionaris mendakwa diri mereka tahu dan faham mengenai al-Qur’an dan keras-kepala, meskipun jelas mereka keliru dan sesat. Juga nampak bagaimana mereka membentuk suatu jaringan bagi menyokong dan mendukung satu sama lain dalam menyerang Islam.
Untuk meyakinkan para pembaca bukunya, Luxenberg menyebut sejumlah contoh. Mengikut hasil spekulasinya, kata ‘qaswarah’ (ﻗﺳﻭﺮﺓ) dalam QS 74:51 semestinya dibaca ‘qasūrah’. Lalu kata ‘sayyi’āt’ (ﺳﻴﺌﺖ dalam QS 4:18) semestinya dibaca ‘saniyyāt’, dari bahasa Syriak ‘sanyata’. Juga kata ‘ādzannāka’ (ﺁﺫﻧﻚ dalam QS 41:47) seharusnya dibaca ‘idh-dhāka’. Kemudian kata ‘‘utullin’ (ﻋﺘﻝ QS 68:13) mestinya dibaca ‘‘ālin’, sedangkan kata ‘zanīm’ (ﺰﻧﻴﻢ) dalam ayat yang sama harusnya dibaca ‘ratīm’, disesuaikan dengan bahasa Syriak ‘rtīm. Begitu pula kata ‘muzjātin’ (ﻤﺰﺠﻴﺔ QS 12:88) mestinya dibaca ‘murajjiyatin’, dari bahasa Syriak ‘m-raggayta’. Seterusnya kata ‘yulhidūna’ (ﻴﻠﺤﺪﻮﻦ dalam QS 16:103) harusnya dibaca ‘yalghuzūna’ dari bahasa Syriac ‘lgez’. Kemudian kata ‘tahtihā’ (ﺘﺤﺘﻬﺎ dalam QS 19:24) mestinya dibaca sesuai dengan bahasa Syriac ‘nahītihā’. Adapun kata ‘saraban’ (ﺴﺮﺑﺎ dalam QS 18:61) harusnya dibaca menurut bahasa Syriac ‘sharya’. Yang lebih parah lagi, ia mengorek-orek surah al-‘Alaq semata-mata dengan alasan bahwa isinya, sebagaimana surah al-Fātihah, didakwa olehnya diambil dari liturgi Kristian-Syria tentang jamuan makan malam terakhir Jesus: “Als solche hat sie [i.e. QS 96] den Charakter eines zur christlich-syrischen Liturgie einleitenden …. (<prooίμιον prooemium), das in der späteren islamischen Tradition von der (Fatiha) (<syro-aramäisch … ptaha) (einleitendes Gebet) abgelöst wurde. Dass es sich bei dieser Liturgie um das Abendmahl handelt, darauf verweist der abschliessende syro-aramäische Terminus.” Perlu diketahui bahwa yang dilakukan Luxenberg sebenarnya bukan baru. Jauh sebelum dia Mingana telah mengorek-orek isu ini, diikuti oleh Jeffery dan Spitaler.
Sanggahan dan Kritik atas Luxenberg
Tidak sukar untuk menyanggah dan menolak tesis Luxenberg, sebab seluruh uraiannya dibangun atas asumsi-asumsi yang keliru. Pertama, ia menyangka bahwa al-Qur’an dibaca berdasarkan tulisannya, sehingga ia boleh dengan sesuka-hatinya berspekulasi mengenai suatu bacaan. Kedua, ia menganggap tulisan adalah segalanya, menganggap manuskrip sebagai neraca ukuran, sehingga suatu bacaan mengikut teorinya mesti disesuaikan dengan dan mengikuti teks. Ketiga, ia menyamakan al-Qur’an dengan Bible, dimana setiap pembaca boleh mengubah dan mengutak-atik teks yang dibacanya bila dirasa tidak masuk akal atau sukar untuk difahami. Ketiga-tiga asumsi ini dijadikan titik-tolak dan dasar hujah-hujahnya taken for granted, tanpa terlebih dahulu dibuktikan kebenarannya. Patut kita tanyakan padanya: Apakah benar bacaan al-Qur’an bergantung pada rasm-nya? Apakah benar teks adalah segala-galanya? Dan, apakah benar al-Qur’an sama dengan Bible? Luxenberg harus menjawab dulu pertanyaan-pertanyaan ini secara ilmiah, sebelum membicarakan yang lain. Itu kalau ia mau meyakinkan pembacanya, yang belum tentu sependapat dengannya. Luxenberg boleh saja berkelit dengan mengatakan bahwa ia berhak berasumsi begitu tanpa perlu membuktikan kebenarannya. Tetapi jika demikian, para pembacanya pun berhak menolak semua pendapat Luxenberg tanpa perlu menjelaskan kenapa.
Selanjutnya, andaikata anggapan-anggapannya itu benar sekalipun, orang masih boleh mempertanyakan metodologinya: Apakah pendekatan dan prosedur yang ditempuhnya cukup ilmiah dan objektif untuk mengesahkan kesimpulan-kesimpulannya? Menurut seorang pakar Semitistik dan pengarah Orientalisches Seminar di Universiti Frankfurt, Prof. Hans Daiber, dari sudut-pandang metodologi pun karya Luxenberg ini cukup bermasalah dan karena itu tidak dapat diterima. Dalam review-nya keatas buku Luxenberg, Daiber mengemukakan tidak kurang dari lima point:
1. Semua pakar filologi yang mengkaji manuskrip Arab maklum bahwa seringkali suatu perkataan yang ditulis gondol (tanpa baris tanpa harakat) dapat dibaca macam-macam, sehingga tulisan yang sama boleh dibaca, umpamanya, ‘nabāt’ (ﻨﺑﺎﺖ) ataupun ‘banāt’ (ﺑﻨﺎﺖ). Semua ini boleh jadi memandangkan konteksnya ataupun mengikuti kehendak dan spekulasi si pembaca. Adapun Luxenberg dalam perkara ini telah memilih jalan yang kedua. Yang lebih celaka lagi (ein gefährliches Spiel, kata Daiber) karena yang dikorek-korek oleh Luxenberg bukan manuskrip gondol, melainkan kitab suci al-Qur’an yang sudah ditentukan dan telah disepakati seluruh bacaannya. Adalah tidak bijak kalau Luxenberg berkeras mau mengubah bacaan al-Qur’an. Mengikut Daiber, Nöldeke pun tidak berkeras dan memaksa, akan tetapi setuju kalau “der Koran ist nicht nur “syrisch-aramäisch” zu lesen”. Sama halnya dengan Franz Rosenthal yang dengan rendah-hati mengatakan: “It may have been so, but may be, it was entirely different.”
2. Luxenberg boleh jadi keliru dalam berasumsi dan mengajukan pertanyaannya. Bahwa para mufassir tidak dapat memahami kata-kata tertentu atau tidak dapat menjelaskan maksud ayat-ayat tertentu bukan karena al-Qur’an berbahasa Syriak. Boleh jadi sejumlah kosa-kata yang terdapat dalam al-Qur’an asli bahasa Arab tetapi belakangan mengalami pergeseran makna sehingga para mufassir kesukaran menerangkannya.
3. Andaikata pun memang sejumlah kosa-kata tersebut berasal dari bahasa Syriak, bukan tidak mungkin kata-kata asing tersebut telah di-Islam-kan, telah ditukar atau di-isi dengan makna baru (Zusätliche Bedeutungen) yang lebih dalam, lebih tinggi dan lebih luas dari makna asalnya.
4. Untuk mendukung analisis dan hujah-hujahnya, mestinya Luxenberg merujuk pada kamus bahasa Syriak atau Aramaik yang ditulis pada abad ke-7 atau 8 Masehi (zaman Islam), dan bukan menggunakan kamus bahasa Chaldean abad ke-20 karangan Jacques E. Manna keluaran tahun 1900!
5. Boleh jadi juga kosa-kata al-Quran memang bahasa Arab asli, tidak seperti yang didakwa oleh Luxenberg. Kalaupun ada kemiripan, maka itu hanya kebetulan saja. Sama halnya dengan kata “kepala” dalam bahasa Melayu-Indonesia yang mirip dengan kata “κέφαλη” (kefale) dalam bahasa Yunani Kuno (Ancient Greek). Kemiripan tidak mesti menunjukkan pengaruh atau pencurian. Sebagai contoh, Daiber menyebut antara lain kata-kata “fassala” (ﻓﺼﻞ), “jama‛a” (ﺠﻣﻊ), “yassara” (ﻴﺴﺮ), “sayyara” (ﺴﻴﺮ), “mughādiban” (ﻣﻐﺎﻀﺑﺎ), “daraba” (ﻀﺮﺐ) dan “zawwaja” (ﺰﻮﺝ) yang diklaim oleh Luxenberg telah dibaca keliru.
“Kenali musuhmu!” (“Know thy enemies!”) merupakan motto sekaligus senjata orientalis dan missionaries Yahudi-Kristian dibalik semua kegiatan dan kegigihan mereka dalam mengkaji Islam dan selok-beloknya dari segala aspek.
Adalah “naïve” apabila kita, Umat Islam, bersangka baik terhadap orang yang “tidak akan pernah rida” (ﻠﻦ ﺗﺮﻀﻰ ﻋﻧﻚ) pada kita dan senantiasa memusuhi kita. Adalah bodoh jika kita menelan mentah-mentah apa yang mereka katakan dan mereka tulis.
Lebih celaka lagi apabila kita mengikuti (parroting) seraya melakukan apa yang mereka contohkan, umpama menghinakan Rasulullah saw, memburuk-burukkan para Sahabat dan Tabi‛īn, meremehkan para Ulama salaf, meragukan otoriti dan otentisiti tradisi keilmuan Islam, lalu mau membuat critical edition of al-Qur’an, menolak hadis (inkār as-sunnah), membuat tafsīr dan hukum sendiri mengikut hawa nafsu yang sesat dan menyesatkan.