Dalam pembahasan ini, pemakalah akan lebih fokus kepada pemikir asal Afrika Selatan, yaitu Farid Esack. membawa wacana baru mengenai metode tafsir, sesuai dengan kondisi Afrika Selatan yang berada dibawah tirani kekuasaan Apartheid[2]. Dalam gagasannya, Ia menawarkan suatu bentuk penafsiran baru dalam memahami al-Qur’an dengan metode hermeneutika. Namun berbeda dengan Mohammad Arkoun[3], Fazrul Rahman[4], Hasan Hanafi[5], Mohammad Syahrur[6] yang telah membawa teori baru atau dengan proyeknya masing-masing. Farid Esack justru mengadopsi dari Arkoun, Rahman dalam interpretasi al-Qur’an. Dengan niat awalnya untuk membebaskan warga Afrika Selatan yang tertindas oleh rezim apartheid.[7] Esack juga tetap mengakui al-Qur’an sebagai teks asing yang hadir dihadapan kaum muslimin Afrika Selatan. menyadari bahwa rakyat Afrika tidak mengalami langsung proses hadirnya al-Qur’an ditengah-tengah masyarakat Arab. Al-Qur’an menurutnya mempunyai signifikansi bagi masyarakat lain di luar Arab. Signifikansi itu akan ditemukan ketika memahami al-Qur’an dibawa kedalam konteks lain dari konteks kelahirannya. Al-Qur’an dipahami berdasarkan konteks baru. Dalam rangka itulah, Esack mencoba membaca al-Qur’an dalam konteks hermeneutika untuk membebaskan masyarakat Islam Afrika Selatan ketertindasan kekuasaan Apartheid di Afrika Selatan.[8]
Metode Hermeneutika yang dikembangkan Farid Esack, telihat di bukunya al-Qur’an, Liberation & Pluralism. menawarkan kunci-kunci hermeneutika untuk membaca teks setelah itu melakukan praxis[9] dari hasil interpretasinya. Diantara kunci-kunci hermeneutika itu adalah Tawhid, Taqwa, al-Mustad’afun, Qist dan Adl serta Jihad. [10] Seperti halnya dalam pembacaan teks hermeneutika pada umumnya yang berkutat antar author, teks dan interpreter. Menurut dia, Hermeneutika sebagai metode memahami al-Qur’an sangat mendesak penerapannya. Hal itu menurutnya, karena umat Islam, meskipun sangat sepakat tentang sifat divinitas al-Qur’an[11], namun memiliki perbedaan yang cukup lebar tentang peran al-Qur’an dan cara memahaminya.
Dari pemaparan di atas ada dua tema besar yang diusung oleh Farid Esack. Pertama, teori tafsir adalah teori yang menghubungkan antara wahyu dan realitas, yang mana menurut Esack, makna teks Al-Qur’an tidak saja mendeduksi makna dari teks, tapi sebaliknya, dapat juga menginduksi makna dari realitas kedalam teks. Kedua, proses tafsir dan penafsiran tidak akan terlepas dari bahasa dan sejarah, karena pada hakikatnya penafsiran dipengaruhi oleh budaya, tradisi dimana penafsir itu hidup. Dari keterangan ini, Ia terpengaruh oleh hermeneutikanya Gadamer yang menyatakan bahwa, untuk memahami segala sesuatu tidak memerlukan metode. Secara ontologis kebenaran itu sudah ada. Bersama dengan sejarah dan bahasa. kemudian, pemahaman selalu melibatkan penerapan(aplikasi) sebuah teks ke situasi penafsir (pembaca). Dengan demikian, jika masing-masing penafsir mempunyai situasi yang berbeda, maka otomatis pemahaman akan teks akan berbeda pula.[12] Maka sudah sepantasnya diera kontemporer ini ada tafsiran baru sesuai dengan kebutuhan lokus tertentu dalam hal ini adalah Afrika Selatan dengan menentukan kunci-kunci hermeneutika diatas.
B. Setting-Histories Farid Esack
Membahas hermeneutika Farid Esack tidak telepas dari perjalanan hidup yang dijalani. Untuk membedah hermeneutikanya diperlukan pengetahuan yang lebih mendalam tentang perjalanan hidupnya dan konteksnya di Negara Afrika Selatan. Pemikirannya sangat dipengaruhi oleh konteks yang berkembang saat itu, terutama dalam melawan rezim Apartheid. Farid Esack yang memiliki nama lengkap Maulana Farid Esack lahir tahun 1959 di Cape Town, daerah pinggiran kota Wynberg, Afrika Selatan, dari seorang ibu yang ditinggal suaminya bersama lima orang anaknya lainnya. Pendidikan dasar dan menengahnya di tempuh di Bonteheuvel. Pada us 9 tahun, ketika teman sebayanya mulai memasuki kehidupan gangster dan minuman keras, Farid Esack justru bergabung dengan Jamaah Tabligh. Usia 10 tahun dia sudah menjadi guru di sebuah madrasah lokal[13]
Tahun 1974, Farid Esack ditahan dinas kepolisian Afrika Selatan karena dianggap merongrong pemerintahan rezim apartheid. Namun, tidak lama kemudian dibebaskan dan pergi ke Pakistan untuk melanjutkan studinya. Di Pakistan, Farid Esack melanjutkan studi di Seminari (Islamic College) atas dana beasiswa. Dia menghabiskan waktunya selama sembilan tahun (1974-1982) sampai mendapat gelar kesarjanaan di bidang Teologi Islam dan sosiologi pada Jamî’ah al-Ulûm al-Islâmiyyah, Karachi. Setelah itu, pulang ke Afrika Selatan karena tidak tahan melihat negaranya sedang berjuang melawan apartheid.[14]
Tahun 1990, Farid Esack kembali ke Pakistan, melanjutkan studi di Jami’ah Abi Bakr, Karachi. Di sini d menekuni Studi Qur’an (Qur’anic Studies). Tahun 1994, Farid Esack menempuh program Doktor di Pusat Studi Islam dan Hubungan Kristen-Muslim (Centre for the Study of Islam and Christn-Muslim Relations) University of Birmingham (UK), Inggris. Puncaknya, tahun 1996, Farid Esack berhasil meraih gelar Doktor di bidang Qur’anic Studies.[15]
Saat ini, waktunya banyak dihabiskan untuk mengajar berbagai mata kuliah (wacana) yang bertalian dengan masalah keIslaman dan Muslim di Afrika Selatan, teologi Islam, politik, environmentalisme dan keadilan jender di sejumlah Universitas di berbagai penjuru dunia, antara lain, Amsterdam, Cambridge, Oxford, Harvard, Temple, Cairo, Moscow, Karachi, Birmingham, Makerere (Kampala) Cape Town dan Jakarta.
C. Al-Qur’an Dalam Pandangan Farid Esack
Berbeda dengan para pemikir kontemporer sebelumnya, Farid Esack mengakui keabsahan wahyu sebagai kalam Ilahi. Akan tetapi mempersolakan seputar tafsir dan penafsiran. menganggap penafsir tak mungkin lepas dari sejarah dan keterkaitannya dengan tradisi, kebudayaan yang berkembang saat turunnya wahyu.[16]
Menurutnya, wahyu sebagai tanggapan atas masyarakat tertentu. Umat Islam percaya bahwa ada satu realitas sejarah telah berkomunikasi dengan mereka. Menurut Esack dengan pembacaan sepintas tentang al-Qur’an dapat ditarik kesimpulan bahwa meskipun al-Qur’an diklaim sebagai petunjuk bagi seluruh umat Manusia, tapi secara umum wahyu ditujukan bagi orang-orang hijaz selama priode pewahyuan. [17]
Pendapat bahwa teks al-Qur’an adalah teks yang mensejarah sebagai mana yang diungkapkan oleh Esack, dipengaruhi oleh gagasan Wilhem Dilthey. Dilthey menggambarkan bahwa pengarang tidak mempunyai otoritas atas makna text, tetapi sejarahlah yang menentukan maknanya.[18] Pendapat ini jelas tidak bisa diaplikasikan didalam kajian al-Qur’an. Bagi Para Mufassir, Allah swt, sebagai pengarang al-Qur’an, justru merubah sejarah. Al-Qur’an justru telah merubah istilah, struktur-struktur konseptual, bidang kosa kata khususnya istilah-istilah dan konsep-konsep kunci yang digunakan untuk memproyeksikan pandangan hidup Islam.[19]
Menurut Muhammad Musthafa Azzami, secara umum bahwa susunan ayat dan surah dalam al-Qur’an memiliki keunikan yang luar biasa. Susunannya tidak secara urutan saat wahyu diturunkan dan subyek bahasan. Rahasianya hanya Allah Yang Mahatahu, karena Dia sebagai pemilik Kitab. Karena Dia pemiliknya, maka Dia memiliki wewenang penuh untuk menyusunnya, tanpa harus terkait dengan aturan Manusia.[20] Jadi pendapat Esack bertolak belakang dengan pendapat ulama pada umumnya. Ulama pada umumnya menempatkan wahyu sebagai hak preyogratif Tuhan, Esack menempatkan wahyu sebagai respon atas kejadian yang dialami Manusia.
1. Pewahyuan Progresif
Disiplin naskh, dan asbab nuzul, menurut Esack mencerminkan kehadiran Tuhan yang mewujudkan kehendaknya dalam situasi umatnya. Berbicara sesuai dengan realitas. Maka dengan begitu, wahyu menurutnya dibentuk oleh realitas. Kedua disiplin itu membentuk unsur penting dalam karya kontemporer yang berusaha mengkontektualisasikan pesan-pesan al-Qur’an. Kedua unsur tersebut diambil sebagai kunci dalam latar yang lebih luas menyangkut relevansi sejarah, kontektualisasi, dan keadilan sosial. Maka menurut Esack tugas interpretasi masa kini tak boleh mengabaikan waktu, tempat, dan pemahaman bagaimana suatu ajaran atau perintah menanggapi konteks kontemporer.[21] Pemahaman tentang interaksi dan konteks merupakan persyaratan untuk menerapkan kembali pemaknan yang lebih hidup. Mengerti al-Qur’an dalam konteks historisnya bukan berarti membatasi pesan-pesan dalam konteks itu, tetapi memahami makna pewahyuan dalam konteks tertentu dimasa lalu agar dapat mengkontektualisasikannya dalam kenyataan kontemporer.
2. Teks Menurut Farid Esack[22]
Dalam Memahami teks Esack menganggap bahwa Tuhan adalah pengarang. Maka untuk mencapai memahami teks, pembaca harus bisa masuk kedalam pikiran pengarang. Namun itu sangatlah sulit dan problematik, karena dikalangan muslim, meskipun tak mugkin mengklaim mampu memasuki pikiran Tuhan, bukan hal biasa bahwa bagi sebagian orang untuk mengklaim bahwa Tuhan mengendalikan fikiran mereka. Jalur alternatif untuk memahami lewat inspirasi-intuisi pernah ada dalam berabagai pendekatan muslim pada kitab suci, dan mencapai popularitasnya dalam pemikiran mistis tradisionalis Islamis. Dalam metodologi ini kesalehan digabung dengan pemikiran untuk menciptakan makna. Kesalehan juga dianggap sebagai pembatas antara opini pribadi dan kebenaran.
Penafsir pemikul banyak beban dalam memahami teks. Penafsir membawa pra pemahaman tentang soal yang dirujuk teks meskipun penafsir tak mengakuinya secara langsung, itu hanya asumsi awal dalam penafsirannya, maka dari itu menurut Esack, kebutuhan mendesak apabila seorang pemikir kontemporer mengeluarkan pra pemahaman berdasarkan penalaran. Pra pemahaman adalah syarat untuk hidup dalam sejarah, berdampak pada hasil penafsiran. Oleh karena itu Esack mengkritik penafsir klasik, dengan dalih, para penafsir klasik telah meninggalkan sisi sejarah dimana teks itu di turunkan, serta sosio -politik yang berkembang saat itu.[23]
Menurut Esack, penafsiran tak lepas dari bahasa, sejarah, dan tradisi. menganggap masa lalu adalah yang lalu, kini adalah sekarang. Setiap pengguna bahasa membawa pra pemahamannya baik secara sadar atau diluar kesadaran tentang sejarah dan tradisi. Sejarah tersebut menghasilkan makna yang selalu berproses. Makna akan selalu berubah. Namun, betapapun hebatnya bahasa atau makna tidak akan terlepas dari kekurangan. Sehingga Esack mengaitkan istilah ini kedalam al-Qur’an yang menganggap hasil penafsiran tidak akan terlepas dari bahasa, budaya dan tradisi. Esack setuju dengan pernyataan orientalis bahwa “ setiap penafsir mendatangi teks dengan membawa sejarah kompleks yang disebut dengan tradisi. Tak mungkin lepas dari tradisi, seperti halnya tidak mungkin lepas dari sejarah dan bahasa.[24]
3. Metode Penafsiran Esack
Hal paling penting gagasan Farid Esack dalam wacana hermeneutiknya ialah adanya kunci-kunci pokok hermeneutika. Kunci-kunci tersebut digunakan untuk penafsiran ayat al-Qur’an. Sehingga menjadi dalil-dalil yang mendukung gerakan pembebasan di Afrika Selatan. Praksisnya, berkolaborasi dengan kaum tertindas lain, tidak membeda-bedakan ras, agama, serta golongan. Dengan pergeseran yang senantiasa berlangsung antara teks dan konteks, dan refleksi tentang dampaknya satu sama lain. Maka akan kelihatan arti penting kunci-kunci sebagai perangkat untuk memahami al-Qur’an.[25] Pokok terpenting menuju satu tujuan yaitu kebebasan. Kunci-kunci yang ditawarkan Esack yaitu tawhid, taqwa, nass, mustada’fun, adl dan qist serta jihad maka dalam pengertian ini akan dipaparkan pengertian kunci-kunci tersebut dalam kutipan dibawah ini:
In reflecting on the hermeneutical key that have emerged from the South African engagement with the struggle for liberation and with the Qur’an, I shall try to show how a Qur’anic hermeneutic of liberation would works., with it continuous shift between text and context and the ongoing reflections on their implications for each other. I shall also underline the significance of these keys as indispensable tools for understanding the Qur’an in a society characterized by oppression and an interreligious struggle for justice and freedom.[26]
The first two key, taqwa (an awareness of the present of god) and tawhid (the unity of god ), are aimed at developing the moral and doctrinal criter with which to examine the other keys and the theological glasses with which to read the Qur’an in general and, more specifically, the text dealing with the religious other. Despite the seemingly theological nature of these two keys, they, like all theological precepts, are also formulated and understood within a specific historic- political context[27].
The second two key al-nas (the people) and the marginalized (al-Mustad’afun fi’l ard) define the location of our interpretative activity. While all contexts wherein the interpreter is located must necessary bear upon the outcome of her or his interpretation. Interpreters also have the freedom to position themselves differently in relation to any situation in order to arrive at specific kind of interpretation. The last two, justice (adl and qist) and struggle (jihad), reflect the method and the ethos that produce and shape a contextual understanding of the word of God in an unjust society. [28]
Dari kutipan diatas dapat ditarik pengertian bahwa Farid Esack menentukan Dua konsep pertama, Taqwa dan Tawhid, terfokus pada pembangunan kriteria moral dan doktrinal-teologis, keduanya lebih dipahami dalam konteks historis-politik tertentu. kedua, Manusia dan kaum tertindas, menetapkan pada aktifitas dan lokasi sosial seorang penafsir. Konteks sosial seorang penafsir sangat berperan terhadap hasil interpretasi. Dan, seorang penafsir mempunyai kebebasan memposisikan dirinya dalam suatu lokasi dan episode tertentu untuk menghasilkan jenis dan hasil interpretasi tertentu. Ketiga, keadilan dan perjuangan (jihad), merefleksikan suatu metode dan etos yang membentuk dan menghasilkan pemahaman kontekstual tentang teks-teks al-Qur’an dalam masyarakat yang diwarnai ketidakadilan.
Taqwa, adalah terma yang paling komprehesif, inklusif dan aplikatif meliputi tanggung jawab di hadapan Tuhan dan Manusia( Q.S 2: 4-10 dan 49:13) dengan taqwa individu dan komunitas memikul tugas kenabn dalam transformasi dan pembebasan (Q.S 3:102-105,8:29) menerima taqwa sebagai kunci hermeneutika memiliki implikasi penting bagi penafsir dan tindakan menafsir[29] pertama. penafsir harus terbebas dari prasangka (danz) dan Nafsu (hawa). Hermeneutika pembebasan al- Qur’an dengan taqwa adalah sebagai kunci, memastikan interpretasi bebas dari obscuratisme teologi dan reaksi politik serta spekulatif subjektif, kedua taqwa memfasislitasi keseimbangan estetik dan spiritual dalam kehidupan penafsir, tiga, taqwa mendorong komitmen penafsir pada proses dlektika personal dan transpormasi sosio politik. Keterlibatan al-Qur’an dalam proses perjuangan revolusi juga berarti keterlibatan diri penafsir alam revolusi tersebut.[30]
Esack menggunakan semua kunci tersebut untuk mencari makna al-Qur’an yang membebaskan. Kedua kunci pertama, takwa dan tauhid sebagai tolok ukur atas penafsir supaya tidak melenceng dari penafsirannya. Sekaligus sebagai lensa optic yang menyoroti al-Qur’an secara umum, dan lebih spesifik lagi, teks-teks yang berkenaan dengan agama lain. Ia sudah menambah ranah dari takwa dan tauhid dirumuskan menjadi dan dipahami dalam konteks historis politik tertentu, serta ditampilkan dalam wujud tertentu. Pencarian suatu makna hermeneutika pembebasan berasumsi bahwa ada sekelompok orang yang serius dalam merekonstruksi masyarakat menurut prinsip-prinsip keadilan, kekebasan, kejujuran dan integritas.
Tawhid, kesatuan Tuhan untuk kesatuan Manusia. Memandang tauhid sebagai kunci hermeneutika berarti bahwa berbagai pendekatan kepada al-Qur’an, baik filosofos, spiritual, hukum maupun politis mesti dilihat sebagai komponen dari satu jalinan, semuanya diperlukan untuk mengungkapkan keuTuhan pesan-pesannya, Karena tak ada satu pendekatan secara tunggal bisa mewujudkan sepenuhnya. Pendekatan al-Qur’an yang dilandasi tauhid menurutnya tak berarti seluruh dimensinya harus mendapat perhatian atau ekpresi yang sama baik publik maupun pribadi. Tawhid oleh para penafsir di Afrika Selatan digunakan untuk melawan pemisahan antara agama dan politik, dan apartheid sebagai ideologi. Tawhid adalah sumber ideologi dan kerangka rujukan suci. mempunyai dua implikasi dalam konteks Afrika Selatan pertama pada level eksistensial, berarti penolakan atas dualisme konsepsi tentang eksistensi Manusia dimana perbedaan dibuat antara sekuler dan spiritual, suci dan profan, kedua, pada level sosio pilitik, menentang masyarakat yang menjadikan ras sebagai objeks alternative bagi pemujaan dan membedakan penduduk atas dasar entitas. Pembedaan semacam ini adalah syrik. Jadi antithesis dari tawhid apartheid adalah syrik.[31]
Al-Nas, Manusia sebagai khalifah Tuhan dibumi bagi masyarakat Afrika Selatan mempunyai dua implikasi hermenutika, pertama menjadi esensi bahwa al-Qur’an diinterpretasi dengan cara yang memberikan dukungan pada kepentingan rakyat secara keseluruhan yang mayoritas daripada yang minoritas. Kedua interpretasi harus dibentuk oleh pengalaman dan aspirasi kemanusiaan sebagai berbeda dan saling berlawanan dengan minoritas istimewa. Paham kemanusiaan sebagai kunci hermeneutika juga mempunya dua implikasi problem teologis: pertama, rakyat sebagai ukuran kebenaran, humanun adalah suara kebenaran yang identik dengan kebenaran Tuhan, vox populivox kedua, setiap orang mempunyai hak yang sama untuk memasuki teks suci. Ide hermeneutika al-Qur’an menentang konsep tradisional tentang kesucian teks yang hanya dapat ditempuh oleh individu tertentu. [32]
Al-mustad’afun, adalah kelas tetindas, marginal lawan mereka adalah mustakbiruun. Nabi Muhammad berasal dari keluarga tani dan kelas pekerja. Demikian juga nabi-nabi sebelumnya berasal dari keluarga petani dan pengembala domba. Mereka mempunyai tujuan menciptakan tatanan sosial egaliter, mereka menghapuskan ketidak adilan sosio-ekonomi, seperti rente, bunga, dan semua praktek ekonomi spekulatif dan exploitatif. Al-Qur’an melarang akumulasi kekayaan, memerintahkan pembebasan wanita dan budak. Banyak ayat yang menghubungan agama dan humanism dan keadilan sosio ekonomi. Penafsir perlu menempatkan dirinya ditengah kaum marginal dan dalam perjuangan mereka sekaligus menafsirkan teks dari bagian bawah sejarah, didasarkan atas paham pilihan Tuhan dan kenabian atas orang-orang tertindas.
Adl dan qist, keadilan dibangun atas dasar tawhid dan jalan menuju taqwa, keadilan adalah raison d etre, bagi tegaknya agama. Masyarakat Islam diharapkan berpegang pada keadilan sebagai basis kehidupan sosio-ekonomi. Lawannya adalah dulm dan udwan. Keadilan adalah ukuran untuk melakukan perjuangan pembebasan. Visi keadilan al-Qur’an harus mensuplai gagasan visioner terhadap perjuangan ini. Konteks perjuangan pembebasan tidak hanya memiliki sesuatu untuk dikatakan pada teks, teks juga memiliki sesuatu untuk dikatakan pada konteks (ketidak adilan dan penindasan Afrika Selatan). Dalam situasi ketidak adilan al-Qur’an dipaksa menjadi alat ideologis bagi perlawanan atas penindasan dalam seluruh manifestasinya. Ini mempunyai dua implikasi, pertama, harus mencari jalan mendekati al-Qur’an untuk digunakan untuk melawan ketidak adilan: netralitas dan objektivitas dalam konteks ini adalah dosa. Kedua, pendekatan terhadap al-Qur’an sebagai alat perlawanan menghendaki komitmen ideologis dan teologis sekaligus afinitas atas nilai-nilai yang terkandung dalam kunci-kunci hermeneutika di atas.[33]
Jihad adalah perjuangan dan praksis. artinya tindakan sadar oleh komunitas Manusia yang mempunyai tanggung jawab atas determinasi politik. Didasarkan pada realisasi bahwa Manusia menciptakan sejarah. Dalam konteks Afrika Selatan jihad adalah paradigma perjuangan pembebasan dalam Islam, jihad dijalan Allah adalah bagian dari iman, jihad untuk keadilan dan kebebasan Afrika Selatan adalah suci.[34]
Dengan konteks masyarakat Afrika Selatan yang sedang tertindas, Esack mencoba meramu sebuah metodologi untuk praksis pembebasan. Hermeneutikanya tidak lahir dengan sendirinya masih terpengaruh oleh pemikir sebelumnya, namun Farid Esack menambahkan 6 kunci kunci penafsiran. Farid Esack menempatkan posisi sentral penafsiran pada teks particular dan responsinya terhadap kontek tanggapan audiens serta menentukan arti penting relevansi teks dalam konteks kontemporer. Sehingga ditemukan makna baru yang dibutuhkan yakni makna baru yang sesuai dengan kebutuhanan konteks particular.
Teorinya pertama kali didasarkan pada pembacaan terhadap realitas praksis. Ketika relitas tersebut harus diubah, karena terjadi ketimpangan, maka disana dicarikan justifikasinya dari ayat-ayat al-Qur’an. Karena semangat teks sesungguhnya adalah pembebasan dari ketimpangan. Ayat-ayat dimaknai secara baru untuk untuk mendukung gagasan dan upaya memberi perubahan sosial masyarakat sesuai dengan elan vital al-Qur’an. Inilah rumusan khas hermeneutika Farid Esack yang tidak ditemukan dalam hermeneutika lainnya.
Hermeneutika yang dikembangkan Farid Esack berangkat dari konteks baru kepada teks. Hasil pembacaan terhadap teks dilanjutkan dengan praksis, dalam kajian tekstual Farid Esack menempatkan hermeneutika dalam kerangka fungsionalisme, yakni bahwa teks-teks al-Qur’an dapat disebut wahyu jika telah melewati uji fungsional dan pragmatik, karena wataknya yang transformatif, analisis ini mengubah bagaimana suatu teks diterima menjadi beragam pemaknaan atas teks yang dimungkinkan. Interpretasi teks kemudian terfokus pada bagaimana pemaknaan teks dengan hubungan kontek sosial tertentu. Dalam teori hermeneutika kontemporer jenis aliran ini termasuk dalam hermeneutika obyektif sekaligus fenomenologis model hermeneutika Faul Recour. [35]
Selanjutnya, paradigma diatas diaktualisasikan dalam sebuah kerangka kerja untuk mencapai kebebasan yang mewujud dalam refleksi. Kemudian dilanjutkan ketingkat praksis[36]melalui lingkaran hermeneutika (hermeneutical circle).[37] Hermeneutika dikendarai bukan hanya untuk membaca kenyataan, tapi juga digunakan sebagai titik tolak mengubah struktur kenyataan dalam suatu proses yang utuh dan integral[38], untuk semangat pembebasan.[39]
Esack menggunakan lingkaran hermeneutika dengan asumsi bahwa, paling tidak tiga indikasi yang menunjukan kajian-kajian tafsir konvensional pada dasarnya beroperasi hermeneutika. itu dibuktikan dengan, pertama, terdapat pembahasan tentang asbabun nuzul, dan nasikh mansukh, kedua, adanya aturan, teori, atau metode penafsiran al-Qur’an sejak dibakukannya Al-Qur’an, ketiga, munculnya berbagai katagori semisal tafsir syi’ah, tafsir muktazilah, tafsir hukum, tafsir filsafat, dan lain sebagainya yang menunjukan adanya kesadaran kelompok tertentu ideologi tertentu, periode tertentu dan horizon sosial tertentu dari tafsir[40].ketiga hal di atas menurut Esack indikasi adanya kesadaran akan historisitas pemahaman yang berimplikasi kepada prularitas penafsiran, oleh karena itu meskipun tidak disebut secara definitive, menurut Esack, dapat dikatakan corak hermeneutika yang berasumsi dasar pluralitas pemahaman ini sebenarnya sudah dimiliki dalam ulumul Qur’an.[41]
Menurut Esack dengan kunci-kunci diatas, mengupayakan hermeneutika al-Qur’an dalam situasi ketidakadilan, berarti menjalani teologi dan mengalami iman sebagai solidaritas dengan kaum tertindas dan tersisih dalam perjuangan pembebasan. Maka menyimpulkan bahwa hermeneutika ini merupakan alternatif baru dari teologi tradisonal ataupun modern. Dengan beberapa titik perbedaan dibawah ini, pertama, perbedaan paling signifikan adalah dalam soal lokasi penafsir, situasi penindasan Islam hanya bisa benar-benar diresapi sebagai praksis solidaritas yang liberatif. Kedua, teologi hidup dalam dunia kekerasan dan harapan, refleksi dan aksi, spiritual dan politik. Ketiga, kebenaran bagi penafsir yang terlibat, tak pernah mutlak. Ketika hermeneutika seseorang terus bergerak, dia terdorong kearah kebenaran yang kemudian mengarah pada praksis liberatif yang lebih besar.[42]
4. Pengaruh Hermeneutika Rahman dan Arkoun
Dalam memahami al-Qur’an Esack menggunakan metode hermeneutika. terpengaruh oleh Rahman dan Mohammad Arkoun.[43] Walaupun Esack mengkritik mereka berdua. Esack mengabolari kedua pemikiran tersebut sehingga membuahkan sebuah konsep hermeneutika mapan dalam memahami Al-Qur’an.
Esack memakai teori Double Movemennya Rahman.[44] Ia mengatakan bahwa dalam merespon realitas terdapat dua pergerakan. Pertama ialah memahami al-Qur’an sebagai keseluruhan dan lewat perintah dan ketetapan khusus yang diturunkan sebagai respon terhadap situasi tertentu. Dilakukan melalui dua tahap. Pertama, mempelajari situasi historis dan tuntutan moral etisnya, mendahului kajian atas teks-teks al-Qur’an dalam situasi spesifik, kedua, menggeneralisasi jawaban-jawaban spesifik itu dan membingkainya sebagai pernyataan tentang tujuan moral sosial umum, hal ini diperoleh dari teks-teks spesifik dengan melihat latar belakang sosio-historisnya, alasan yang kerap muncul dibelakang pemberlakuan hukum-hukum. Pergerakan kedua, menerapkan tujuan umum yang telah diperoleh dari pergerakan pertama kedalam konteks sosiohistoris konkreat masa kini untuk mengubah dan menetapkan prioritas bagi menyegarkan implementasi nilai-nilai al-Qur’an.[45]
Kemudian juga memakai metodologi yang disebut oleh Muhammad Arkoun regresif-progresif. Ini berarti sebuah pembalikan terus-menerus kemasa lalu, bukan untuk memproyeksikan tuntutan dan kebutuhan sekarang atas dasar teks-teks fundamental itu, melainkan untuk menemukan mekanisme dan faktor-faktor historis yang melahirkan teks-teks tersebut dan memberikan padanya fungsi-fungsi (prosedur regresif)[46]. Salah satu jalan untuk mencapai semuanya ialah dengan menafsiri al-Qur’an dihubungkan dengan konteks sejarah. karena pendekatan tersebut dapat diterapkan dalam seluruh sejarah Manusia.[47]
Proses pewahyuan al-Qur’an di dalam sebuah konteks kemasyarakatan diperiksa dan maknanya didalam konteks (masa lalu) yang dipahami. Akan tetapi, proses pemahaman berjalan di dalam sebuah konteks personal dan sosial (sekarang). Yaitu konteks perjuangan dan penindasan. Menurutnya, teks-teks ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari identitas muslim dan aktif didalam sistem ideologis muslim. Maka al-Qur’an harus dibuat bekerja kembali supaya mendapatkan makna kontemporer dan kontekstualnya. Proses regresif-progresif antara al-Qur’an serta konteks sosio-politik belakangan ini dianggap sebagai keperluan untuk memperoleh sebuah pengertian dan makna yang sejalan dengan tuntutan-tuntutan yang muncul dalam upaya memperjuangkan keadilan dan pembebasan.[48]
5. Pengaruh Teologi Pembebasan Gustavo Gutierrezz
Selain Arkoun dan Fazrul Rahman juga terpengaruh Gutierrez dalam rangka praxis mengambil teori pembebasannya Gutierrez[49] Amerika Latin. melihat bahwa pada Gutierrez terdapat tiga langkah berteologi. Pertama, adalah fakta bahwa orang kristiani adalah komunitas kristiani di panggil untuk suatu praxis yang definitive, dimana didasarkan pada cinta dan kasih sayang dalam ajaran kristiani, kedua, teologi harus menjadi kritis dalam ajaran injil, baik terhadap masyarakat umum maupun terhadap gereja sebagai institusi. Oleh karena itu teologi betugas untuk membebaskan dua kelembagaan dari macam-macam ideologi, keberhalaan, dan aliansi. Ketiga, teologi berefleksi tentang praxis iman dalam terang masa depan yang dipercayai dan diharapkan.[50] Dengan pengaruh pembebasannya Esack baru bisa melakukan praksis dalam pembebasan Afrika Selatan.
Dengan ketiga metode yang mempengaruhi di atas, metodenya beroperasi. Hermeneutika Esack membutuhkan teori Rahman untuk mengetahui konteks yang sedang berjalan, mengambil teorinya Arkoen sebagai buah perbandingan dalam rangka mencari mekanisme yang sesuai dengan kondisi kontemporer, membuat refleksi dan praxisnya Gutierrez sebagai langkah akhir yang menghasilkan teori aplikatif kemudian dicarikan justifikasi dari ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai dengan konteks.
D. Tanggapan Atas Hermeneutika Farid Esack
1. Tanggapan Terhadap historisitas Al-Qur’an
Setelah mengetahui bagaimana pandangan Farid Esack terhadap al-Quran. bagaimana teori hermeneutika bekerja, maka sekarang akan dapat dilihat bahwa metode yang dikembangkan Farid Esack hampir sama dengan pemikir-pemikir kontemporer lainnya. Karena pada prinsipnya hermeneutika tidak mempunyai hasil penafsiran yang paten, pasti hasilnya akan relatif, dan subjektif, berubah dengan ruang dan waktu. Selain itu apabila dilihat dari akar sejarah hermeneutika maka akan terlihat sisi perbedaan yang sangat signifikan mengenai urgensi hermenenutika dengan tafsir ulama klasik. Hermeneutika yang berasal dari pandangan hidup Barat dan tidak bebas nilai, diciptakan dari pola fikir Barat, produk kebudayaan, mitologi, dan filsafat Yunani.[51] Berbeda dengan para penafsir ulama tafsir terdahulu, mereka menafsirkan al-Qur’an dengan cara pandang yang benar terhadap al-Qur’an, tidak ada keraguan didalamnya mengenai otentisitas al-Qur’an. Metode tafsirnya berasumsikan keyakinan bukan keraguan. menafsirkan dengan bekal berbagai perangkat ilmu, terutama, ilmu hadist, ilmu bahasa, ushul fiqih dan perangkat lainnya.
Farid Esack berasumsi bahwa ulama terdahulu berada dalam proses hermeneutika. Dengan alasan adanya asbabunnuzul dalam al-Qur’an, adanya nasikh dan mansukh, dan munculnya beberapa aliran tafsir yang berkembang. Untuk menanggapi argument tadi maka perlu diketahui bahwa dalam al-Qur’an hanya sebagian kecil yang mempunyai asbabunuzul. Menurut Al-Ja’bary, ada dua Cara Turunnya Al-Qur’an. Pertama,turun Allah turunkan langsung/ secara tiba-tiba tanpa ada kejadian dan sebab-sebab tertentu contohnya ketika Allah memerintahkan shalat, menunaikan Zakat, atau perintah pergi haji. kedua, Allah turunkan setelah adanya pertanyaan, berkenaan dengan kejadian dan sebab-sebab tertentu, namun para ulama tidak menjadikan sabab Nuzul sebagai sandaran utama dalam memahami al-Qur’an. Akan tetapi ada banyak hikmah ketika mengetahui sebab-sebab turunnya Al-Qur’an. Kemudian ulama tafsir klasik semuanya sepakat akan keotentikannya al-Qur’an sebagai wahyu ilahi.[52] Mereka menggunakan ilmu sabab nuzul sebagai upaya menjelaskan atas keotentikan riwayat yang diterima dari Rasulullah Saw, atau dari para sahabat. Semuanya disandarkan pada hadist Nabi sebagai pemegang otoritas.[53] Para ulama tidak bisa langsung melacak, memaknai, dan menafsirkan al-Qur’an tanpa terkecuali mengetahui sebab-sebab turunnya al-Qur’an. Diantara hikmah mengetahui ilmu sabab nuzul: Pertama, dengan mengetahui sabab nuzul maka akan menegetahui hikmah dibalik turunnya syari’ah Islam. Kedua, jalan terbaik untuk memahami ma’na yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. ketiga memperjelas supaya tidak terjadi pertentangan.[54]
Meskipun ulama sepakat atas pentingnya asbabunuzul, namun dalam realitasnya, sedikit sekali al-Qur’an yang mempunyai sabab nuzul. Dilihat dari kuantitas surat, memang hampir semua surat ada asbabunuzulnya, tapi dalam katagori ayat dari 6234 ayat,[55]maka yang mempunyai asbabunuzul hanya sebanyak 715 ayat (al-wahidi),[56] 711 ayat, (Al-Suyuti)[57] dan 333 ayat (Muqbin Hadi al-Wadi’i). Dengan demikian ayat-ayat yang mempunyai asbabunnuzul sangat sedikit dibanding dengan jumlah keseluruhan ayat dalam al-Qur’an.[58]Indikasi sabab nuzul yang dijelaskan hadist pun demikian menurut Suyuti, dalam kitabnya, hanya memuat 994 hadist dari 711 ayat yang dijelaskan. Sebagian hadist yang dijelaskan tidak menerangkan secara spesifik tentang sabab nuzul, namun hanya menerangkan posisi dimana al-Qur’an diturunkan, Madinah atau Makkiyah.[59] Senada dengan Muhammad imarah, Bahwa, Asbabunujul bukan terjadi atas ayat Al-Qur’an karena itu merupakan kesesuaian turunnya al-Qur’an antara satu ayat dengan ayat lainnya, sehingga mempermudah memahami ayat. Para ulama klasik telah menetapkan ilmu sabab nuzul dengan katagori yang mapan dan paten. Di antaranya, pertama, tidak ada pendapat ulama yang menghilangkan makna ayat dari kalam al-Qur’an secara keseluruhan. Kedua, tidak ada dalam tradisi ulama fiqih atau tafsir, yang memasukan tarikh Islam sebagai sandaran ilmu sabab nuzul, atau memisahkan ayat dari sabab nuzulnya. Ketiga, metode tafsir yang dipakai selalu disandarkan pada keumuman lafad, dan memperhatikan dalil-dalil tafsir lainya untuk sebab-sebab turunnya ayat. Bahkan para mufasir mengumpulkan, membandingkan ayat-ayat lainnya dalam konteks yang sama secara universal tidak particular.[60] Dengan keterangan tadi, maka pendapat Esack yang selalu membawa kepada sabab nuzul dan konteks historis al-Qur’an adalah usaha yang dipaksakan, nantinya banyak ayat-ayat yang dipahami atas kebutuhannya, dan mengabaikan ayat-ayat yang lain yang sudah tidak sesuai dengan zamannya. Maka berimplikasi pada keumuman lafadz al-Qur’an, karena d mengambil dari hal yang particular(khusus).
2. Kerancuan Hermeneutika.
Esack tidak secara langsung mengakui menggunakan hermeneutika dalam metode memahami al-Qur’an, Namun dengan keterpengaruhan oleh Rahman dan Mohammad Arkoun, maka dapat dijadikan justifikasi. Karena Rahman dan Arkeon jelas-jelas dengan kentara menjadikan hermeneutika sebagai epistimologi dalam memahami al-Qur’an. Untuk melacak hermeneutika yang gunakan dalam menafsiri al-Qur’an kiranya agak kesulitan, karena dalam menggunakan metodenya tidak konsisten, dan selalu ada keterpengaruhan. Misalnya pembebasan di Afrika Selatan Ia gunakan lingkaran hermeneutiknya Gutierezz,.[61] Dalam wacana dekonstruksi syari’ah Ia gunakan regresif progresifnya Arkoun. Sehingga mendapati hasil tafsiran yang baru yang sesuai dengan konteks saat ini.[62] Dalam mencari justifikasi ayat-ayat al-Qur’an yang sesuai dengan Islam gunakan teorinya Rahman. Yaitu penafsir dipengaruhi oleh moral sosial yang terjadi. Dengan dipengaruhi oleh sosio-politik, maka membebaskan diri dari tradisi-tradisi, tafsiran-tafsiran tradisional, serta kungkungan teologis yang telah mapan. Ia melihat dengan menafsiri kembali kitab suci versi orang-orang tertindas, terpecah secara rasial, dieksploitasi secara ekonomi, dan patriarkis.[63] Implikasinya terhadap penafsiran hasilnya dengan kemauan sendiri tanpa mempunyai metode yang baku. Pokoknya yang menjadi kunci dalam melakukan semua interpretasi ulang ialah adanya kesenjangan ekonomi politik, ras, agama, budaya, dengan tolok ukur membebaskan kaum tertindas, untuk mencapai keadilan.
Akan tetapi apabila ditelisik lebih dalam lagi, memakai teori hermeneutika Gadamer. Terutama ketika menyampaikan bahwa semua penafsir, maupun penafsiran dipengaruhi oleh sejarah, dan bahasa. Sepatutnya apabila para tertindas, membuat penafsiran baru menurut dirinya dan kebutuhannya pada konteks saat ini.[64] Maka itu termasuk hermeneutika filosofisnya Gadamer, yang menyatakan bahwa, untuk memahami segala sesuatu tidak memerlukan metode. Secara ontologis kebenaran itu sudah ada. Bersama dengan sejarah dan bahasa. kemudian, pemahaman selalu melibatkan penerapan(aplikasi) sebuah teks ke situasi penafsir (pembaca), Dengan demikian, jika masing-masing penafsir mempunyai situasi yang berbeda, maka otomatis pemahaman akan teks akan berbeda pula. Oleh karena itu, teks dikatakan sudah dipahami jika teks dipahami secara berbeda oleh pembacanya sesuai dengan perbedaan ruang dan waktu.[65] Apabila diterpakan pada penafsiran Al-Qur’an dengan mengikuti hermeneutikanya Gadamer, seolah-olah penafsir akan selalu dipengaruhi oleh latar belakang sosial dan budayanya.[66]
Bahaya hermeneutika apabila diterapkan dalam kajian al-Qur’an akan terjadi kerancuan arti. Banyaknya aliran hermeneutika yang berkembang. tapi belum ada tafsiran yang dapat dipertangungjawabkan secara kolektif, sehingga hasil dari interpretasi melalui hermeneutika selalu membawa kepada skeptik. Mulai dari muncul sampai pada puncaknya, banyak perdebatan didalamnya. Hermeneutika mengandung asumsi dan konsekuensi. Diantaranya adalah, pertama, hermeneutika menganggap semua teks sama, semuanya merupakan karya Manusia. Karena asumsi ini lahir dari kekecewaan umat kristiani terhadap bible. Teks yang selama ini dianggap asli ternyata dalam perkembangannya ada campur tangan Manusia. kedua, hermeneutika menganggap setiap teks adalah produk sejarah, asumsi ini tepat untuk bible karena sejarah bible sangat problematik, dengan munculnya berbagai versi bible yang berkembang. Maka hal ini tidak berlaku untuk al-Qur’an yang kebenarannya melintasi batas-batas ruang dan waktu. Dan pesan-pesannya ditujukan kepada seluruh umat. Ketiga, hermeneutika menghendaki pelakunya untuk menganut relativisme epistimologis. Tidak ada tafsir yang mutlak semuanya relative, bisa kebenaran bagi seseorang, bagi yang lainnya belum tentu bisa diterima. Kebenarannya tergantung pada konteks tertentu.[67] Selanjutnya praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptik, selalu meragukan kebenaran darimanapun datangnya.
Argementasi diatas didukung oleh Naquib Al-latas, bahwa tafsir benar-benar tidak identik dengan hermeneutika Yunani, Kristen, dan tidak sama dengan ilmu interpretasi kitab suci dari kultur agama lain. Ilmu tafsir al-Qur’an sangat penting Karena merupakan ilmu dasar yang diatasnya dibangun seluruh struktur, tujuan, pengertian pandangan, dan kebudayaan Islam.[68] Kritik terhadap al-Qur’an melalui proses penerapan metode hermeneutika sangat berimplikasi fatal, sebab ketika seorang hermeneut menafsiri al-Qur’an melalui pendekatan hermeneutika secara tidak langsung telah mengubah status al-Qur’an yang tadinya kalamullah, menjadi teks yang bersifat Manusiawi. Terjebak dalam ruang dan waktu. Maka dengan hermeneutika seseorang dapat melakukan perubahan teks (nash), dan perubahan makna aslinya untuk dapat didekonstruksi sesuai dengan konteks sosial yang tidak lain adalah humanisme.[69] Itu yang terjadi pada Farid Esack.
Dengan berbagai argumentasi di atas, maka sepatutnya Esack dimasukan sebagai pemikir liberal. telah menafsirkan al-Qur’an dengan metodologi hermeneutika. Meskipun menentukan kunci-kunci hermeneutika sebagai tolok ukur bagi seorang penafsir, akan tetapi telah merubah paradigma tafsiran dari sentralisasi teks yang merupakan wahyu, di ubah menjadi Manusia dan konteks yang menjadi prioritas utama. Sehingga mengubah paradigma teosentris menjadi antoprosentis, terlihat dengan kekecewaan Esack terhadap teologi dan penafsiran konvensional yang selalu berkutat hanya sebagai kebutuhan Tuhan semata. Tidak lebih lanjut kedalam urusan sosial Manusia. Maka merumuskan teori penafsiran tersendiri sehingga untuk diwilayah tertentu dalam hal ini di aplikasikan di Afrika Selatan. Hasil dari praksis yaitu terciptanya kebebasan dari kaum apartied, untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan rakyat Afrika pada konteks tertentu.
E. Aplikasi Praksis Tafsir Esack.
1. Pluralisme Agama.
Menurut Esack, al-Qur’an sebenarnya secara tegas dan jelas menunjukkan adanya pluralitas dan keanekaragaman agama.[70] “Sungguh, orang-orang yang beriman, Yahudi, Sabi’in, Nasrani, dan siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan berbuat kebajikan, mereka akan mendapatkan balasan dari sisi Tuhan mereka tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka akan bersedih hati”[71].
Ayat tersebut, menurut Esack, secara tegas menyatakan adanya keselamatan yang dijanjikan Tuhan bagi setiap orang yang beriman kepada-Nya dan Hari akhir, yang diiringi dengan berbuat kebajikan (amal salih) tanpa memandang afiliasi agama formal mereka[72]. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Rasyid Ridla[73] dan Thabathaba’i.[74]Menurut Ridla, semua yang beriman kepada Allah dan beramal salih tanpa memandang afiliasi keagamaan formal mereka akan selamat, karena Allah tidak mengutamakan satu kelompok dengan mendalimi kelompok yang lain. Thabathaba’i dengan bahasa yang berbeda menyatakan ‘tidak ada nama dan tidak ada sifat yang bisa memberi kebaikan jika tidak didukung oleh iman dan amal shalih. Aturan ini berlaku untuk seluruh umat Manusia. Bahkan dalam pandangan Ridla dan Thabathaba’i, teks-teks tersebut juga sebagai respon atas sikap keberagamaan yang sempit. Rasyid Ridla menegaskan: “keselamatan tidak dapat ditemukan dalam sektarnisme keagamaan, tetapi dalam keyakinan yang benar dan kebajikan” Dalam membantu proyeknya untuk membebaskan yang tertindas.[75]
Imbasnya tokoh liberal Indones Zuhairi Misrawi menafsiri yang sama dengan keterangan diatas bahwa:
Surga dijanjikan Tuhan kepada umat agama-agama lain dengan beberapa syarat dan criteria tertentu. Tuhan menjadikan keragaman agama-agama sebagai sunatullah yang harus digali manfaatnya dan hikmahnya. Dan Tuhanlah yang memilih hambanya baik yang mendapat petunjuk maupun tersesat. … dalam ayat diatas disampaikan bahwa umat agama-agama lain akan masuk surga. Orang-orang Islam, Yahudi, Kristen, dan kaum shabh yang beriman dan beramal shaleh adalah mereka yang dijanjikan surga.[76]
Ulama klasik Berbeda dengan pandangan diatas dalam menafsirkan ayat tersebut. Ibn Katsir,[77] Baghawi,[78] Fahruddin Razi,[79] semuannya sepakat, bahwa yang dimaksud dengan iman dalam ayat itu dalam menunjukan iman dengan kenabian Muhammad, maka itulah yang selamat. Dengan konsekuensi mereka meninggalkan syari’at-syari’at sebelum kedatangannya kemudian beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir kepada umat Manusia, maka wajib bagi seluruhnya untuk mempercayainya dan mengikuti seluruh syari’at yang dibawanya. Diperkuat oleh al-Maraghi bahwa, orang yang beriman kepada ajaran Nabi Muhammad. Dari kalangan Yahudi, Nasrani, atau Shabi’in, apabila mereka teguh akan keimanannya kepada Allah dan rasulnya (Muhammad), maka dijamin keselamatan di Akhirat kelak.[80] Konsekuensi logisnya apabila ingin ada keselamatan sebagaimana yang telah dituntutkan syari’at Muhammad, maka ikutilah, namun apabila tetap berada dalam agama Yahudi, Kristen, dan lain sebagainya silahkan saja berada pada koridor dan jalan masing-masing jangan mencampur adukan. Dalam Islam telah jelas diatur, untukmulah agamamu, dan untukulah agamaku.[81]Jadi telah jelas bahwa tidak boleh ada campur aduk aqidah sebagaimana yang dilontarkan oleh Esack, dalam hal ini pemikiran Esack telah dipengaruhi oleh paham pluralisme agama, yang mengklaim ada banyak jalan kebenaran menuju satu Tuhan.[82] Ataupun yang menyebut ada kebenaran diluar agama Islam.[83] maka pemahaman seperti itu adalah keliru.
2. Kebebasan
Dalam gagasan hermeneutikanya Esack selalu menggebor-gemborkan tentang kebebasan karena itu merupakan manisfetasi dari perjuangannya untuk rakyat Afrika. Sehingga menginginkan terciptanya kebebasan Manusia dari ras, agama, ekploitasi dan kungkungan ekonomi dalam rezim Apartheid.[84] Maka gunakan kunci-kunci hermeneutika untuk sebagai tolok ukur supaya penafsiran seorang penafsir tidak terjerumus kedalam subjektifitas penafsiran, namun telah lupa dengan meninggalkan kaidah-kaidah penafsiran para mufassir terdahulu, kemudian menggunakan alternatif hermneutika maka telah mendekonstruksi metode penafsiran.
Pendapat Esack di atas problematis. Karena kadang-kadang menggunakan pembebasan Al-Qur’an, teologi pembebasan, dan hermeneutika pembebasan. Ketiga istilah itu digunakan Esack. Misalnya pembebasan al-Qur’an digunakan ketika mengambil contoh dari para Nabi dan Rosul misalnya ketika Nabi Isa melakukan pembebasan dari kungkungan Fir’aun. Dalam konteks Afrika Selatan meniru teologi pembebasan amerika latin, perlu adanya perlawanan dari kaum tertindas sebagai mana yang terjadi di Amerika Latin. Terkait dengan penafsiran gunakan hermeneutika pembebasan. sebagai, metode baru dalam mengaktualisasikan ayat-ayat yang sesuai dengan zaman yang sedang berkembang saat ini. Untuk mencapai keadilan yang dimaksudkan maka melakukan pembacaan ulang terhadap al-Qur’an, dalam konteks kontemporer. Ia melihat banyak ketimpangan yang terjadi ketika tradisi, dan penafsiran ulama-ulama konservatif (dalam pandangannya) dipertahankan. makanya perlu ada gagasan baru dalam memahami al-Qur’an.
Dalam hal ini terjebak obsesinya. Untuk membebaskan kaum tertindas, dengan meninggalkan semua tradisi, tafsir klasik terdahulu perlu diinterpretasi ulang. Sebagai manifestasi dari perjuangannya. menginginkan secara langsung menggali al-Qur’an menurut tafsiran kaum tertindas.[85]Maka tentukan kunci-kunci diatas sebagai tolok ukur dalam menafsiri ayat. Penafsiranya kadang menggunakan ayat sesuai dengan konteks yang sedang terjadi, melewati metode-metode tafsir klasik, untuk mendapatkan tafsiran dalam standar mereka. mengambil ayat yang mendukung dan mengabaikan metode tafsir klasik, diganti dengan metode hermeneutika pembebasan.
Metode pembebasan al-Qur’an bukanlah pertama kali dilakukan. Revolusiner Iran Ali Syari’ati,[86] Asghar Ali Enginer,[87] pernah mengusung metode ini yang menjadikan justifikasi al-Qur’an sebagai teks pembebasan, terbebas dari ekploitasi, kesenjangan ekonomi sosial, patriarki, ketertindasan. Asghar berkesimpulan bahwa Islam yang tertumpu pada pada al-Qur’an mempunyai perhatian sentral pada keadilan sosial untuk membebaskan kaum yang lemah dan tertindas, pada dasarnya wahyu menutur Asghar secara esensl bersifat religious, namun tetap menaruh perhatian pada situasi yang memiliki kesadaran sejarah.[88] Demikian juga yang digagas oleh Hasan Hanafi dengan hermeneutika pembebasan, dalam proyek Islam kirinya untuk menguak unsur-unsur revolusi dalam agama. Ia Menjelaskan pokok-pokok pertautan antara agama dan revolusi, dengan kata lain memaknai agama sebagai revolusi. Dalam hal ini, agama menjadi landasan dan revolusi merupakan tuntutan zaman.[89] Maka ketika kelahiran agama dipahami sebagai protes terhadap masyarakat dan cara hidupnya, disinilah sebenarnya apa yang dimaksud dengan dimensi kritis dan revolusioner dari agama. sehingga agama lahir untuk menentang segala bentuk ketidak adilan dan ketimpangan sosial lainnya.[90]
Maka karena itu perlu memahami makna dari pembebasan, apakah itu kebebasan, hak asasi Manusia, atau lain sebagainya. Mengacu kepada pendapat Muhammad Imarah, bahwa diera kontemporer ini umat Islam sedang berada dalam perang terminologi, oleh karena itu perlu dijelaskan bahwa terminologi yang berkembang di dunia muslim saat ini dipengaruhi atau kiriman dari Barat. Di antanya adalah pembebasan.[91]
Padahal dalam Islam sudah ada istilah khusus mengenai hal itu. Kebebasan menurut Islam adalah satu hak asasi Manusia dan kewajiban ilahiyyah. Manusia dibebani taklif, syar’I (beban tugas syari’ah), yang hukumnya wajib. Maka kebebasan dalam Islam bersifat substantif sebagaimana dengan kedudukan hidup sebagai titik awal dan akhir dan pangkal hubungan Manusia dengan keberadaanya di dunia ini. Manusia sebagai khalifah dibumi ini, mempunyai kebebasan sebagai khalifah bukan kebebasan sebagai penguasa bumi. Bebas dalam batasan kapasitas Manusia sendiri, bukan manusia sendiri yang menciptakan kebebasan.[92] Manusia bebas dalam kerangka, dan tujuan sebagai pemegang amanah dalam melaksanakan tujuan-tujuan syari’ah. Karena syari’ah tidak bertentangan dengan kebebasan. Beberapa ciri pokok kebebasan dalam syari’ah. Pertama, Syari’at Islam tidak menetapkan kebebasan yang betentangan dengan kemajuan umat. Kedua, cakupan kebebasan dalam Islam sangatlah luas, kebebasan ini tidak dipengaruhi oleh kondisi, tempat atau zaman tertentu, karena kebebasan dalam Islam bersifat umum dan fkelsibel. seseorang tidak bisa merasakan kebebasan dalam Islam kecuali telah merasakan sendiri perubahan dalam Islam setelah masuk Islam.[93]Ketiga ajakan kebebasan dalam Islam amatlah kuat, sehingga menembus relung hati kaum musyrikin. Jadi kebebasan dalam Islam adalah kebebasan yang fleksibel serta dalam koridor syari’ah sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah Nabi.
Adapun pembebabasan menurut Al-Attas, ialah pembebasan dari tradisi-tradisi yang berunsurkan kekuatan ghaib, mitologi, animism, kebudayaan yang bertentangan dengan Islam kemudian pembebasan dari kungkungan sekuler terhadap pola pikir umat Islam.[94]Jadi kebebasan yang diusung oleh Farid Esack, kekebebasan yang menghilangkan nilai-nilai agama, menentang syari’ah dan keterikatan manusia dengan penciptanya. Maka ini dapat dijadikan justifikasi bahwa ia telah dipengaruhi oleh paham sosialis yang menjauhkan agama. Yang menjadi prioritas utama ialah kemanusiaan.
F. Penutup
Teori hermeneutika yang dibangun Esack sebagaimana penulis paparkan diatas, bukanlah hal baru. Jauh sebelum Esack, para orientalis telah memasarkan teori-teori Hermeneutika sebagai metodologi studi al-Qur’an.
Esack menyusun metodologi penafsiran al-Qur’an bukan dengan teori ‘ulum Al-Qur’ān yang selama ini telah mapan dan banyak dipergunakan oleh ulama-ulama Islam dalam menafsirkan al-Qur’an, melainkan dengan pendekatan filsafat. Sehingga lahirlah Hermeneutika sosial yang lebih mengutamakan realitas daripada wahyu itu sendiri. Ayat-ayat al-Qur’an menginduksi makna dari realitas yang ada dan berkembang saat penafsiran al-Qur’an.
Esack juga mencoba untuk menghilangkan otoritas para ulama yang telah berjasa mengkoodifikasikan aturan-aturan bagi seorang mufassir. Hal ini Esack mengadopsi teori hermeneutikanya Gadamer dimana semuanya tak terlepas dari tradisi dan sejarah. Sehingga penafsiran dapat dilakukan oleh semua orang dengan ruang waktu yang berbeda.
Daftar Pustaka
Armas, Adnin. Metodologi Bible dan Studi dalam Al-Qur’an GP, Jakarta, 2005.
Rahnema Ali, , Ali Syari’ati Biografi Politik Intelektual Revolusioner, ERLANGGA, Jakarta, 2000.
Al-Razi, Fahruddin , Mafatihul Ghaib Zuj 2 ttd.
Al-Wahidi, asbabunuzul, Bairut, Darl Fikr, 1988.
An-Na’im Abdullah, Dekonstruksi Syari’ah II, eLKiS. Yogyakarta, 1993.
Arif, Syamsudi, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Gema Insani Press, Jakarta 2008, 182
Arkoun, Mohammad, rethingking Islam, Washington, D.C for Contemporary Arab Studies.ttd.
Al-Azami, Muhammad Mustafa, The History of the Qurânic Text from Revelation to Compilation
As-Suyuti, Jalaluddin, , Al-Itqan fi Ulumil Qur’an juz, 1-2 Beirut Dar fikr ttd.
Az-Zuhaili, Wahbah, Kebebasan Dalam Islam, Pusataka Kausar, Jakarta, 2005
Esack, Farid Qur’an, Liberation & Pluralism an Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression, One World, Oxford, 1997.
—————-, Al-Qur’an Short Interdiction, One World Oxford, 2003.
—————-, Membebaskan yang Tertindas, Mizan, Bandung 2000.
—————-, On Being a Muslim, Menjadi Mulim di Dun Modern. ERLANNGA, Jakarta, 1999.
Salim, Fahmi, , Kritik Terhadap Studi Kritik Kaum Liberal, Gema Insani Press, Jakarta 2010.
Fahmi Zarkasy, Hamid.. Liberalisasi Pemikiran Islam, CIOS- ISID, 2008.
Faiz, Fahrudin, hermeneutika al-Qur’an, tema-tema kontoversl, el-SAQ Press, Yogyakarta. 2005.
Famhi Zarkasy, Hamid, dalam, Buku On Islamic Civilization, Umissula, Republika kata, Semarang 2010.
Fuad Fanani, Ahmad, Islam Madzhab kritis, kompas med nusantra, Jakarta 2004.
Gutierrez, Gustavo, A theology of liberation: history, politics, and salvation Marryknoll: Orbis Books, 1973.
Hans George Gadamer, Kebenaran dan Metode, pengantar filsafat hermeneutika. (truth and method), (Pustaka pelajar, 2010.
Husain, Adian, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an , Gema Insani Press, Jakarta 2007.
——————, Wajah Peradaban Barat, Gema Insani press, Jakarta 2006.
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Kasir, zuj I.ttd.
Ibnu Mas’ud al- Bagawi, Abu Husain, Tafsir Baghawi. zuj 1, Daruul Tabi’ah, 1997.
Imarah, Muhammad, Perang Terminology, Islam versus Barat, Rabanni Press, 1998.
————————-, Suqutul Guluw Almaniyi, Darusyruq, Mesir, 2002.
————————-, Tayarotul Fikri al- Islamiy, Darusyuruq, Mesir, 2008,
Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer, Pajar Pustaka, Yogyakarta, 2007.
Khalil Qattan, Mannaul, Ulumul Qur’an, Mansyurat Asr Hadist, 1973
Kusnadiningrat, Teologi dan pembebasan, gagasan kiri Islam Hasan Hanafi, Logos Wacana Ilmu, Jakarta 1999.
Lewis, Bernard, Islam and the West , New York, Oxford University Press, 1993.
Malik Thaha, Anis. Tren Pluralisme Agama, Gema Insani Press Jakarta 2005 .
Misrawi, Zuhairi, al-Qur-an Kitab Toleransi, FITRAH, Jakarta, 2007.
Musthafa Al-Maraghi, Ahmad, Tafsir Al-Maraghi, Juz I darul-Fikr, Siber, 2006.
Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, PT Raja Grapindo Persada, Jakarta,2004.
Palmer, Richard E., Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, Pustaka Pelajar,Yogyakarta,
Rahman, Fazrul, Islam and Modernity, the University of Chicago press, London &Cicago.1919.
Ridla, Rasyid, Tafsir al-Manar, I, Beirut, Dar al-Makrifah, 1980.
Ridwan Muzir, Inyak, Hermeneutika Filosofis Hans, George Gadamer, AR-RUZZ MED, Yogyakarta, 2010.
Roem Rowi, dalam buku Dlektika Islam dengan Problem Kontemporer, IN Press, LKiS, 2006.
Shalahuddin, Hendri, al-Qur’an Dihujat, Gema Insani, Depok, 2007.
Saenong Ilham B., Hemeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi, Teraju, Jakarta, 2002
Shimogaki, Kazuo, Kiri Islam, LKiS, Yogyakarta, 2007.
Sugondo, The Theology of Liberation, New York: Orbit Books, 1991, 9.
Syahrur, Muhammad, metodologi fiqih kontemporer, el-SAQ, Yogyakarta, 2008.
Thabathabai, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Qum, al-Hauzahal-Ilmiyah, 1973.
Umam, Fawaizul, Paradigma Teologi Pembebasan: Suatau Upaya Reformulasi teologi Islam, makalah.
Wahomo Nitiprawiro, Francis, Teologi Pembebasan, LKiS, Yogyakarta,2000.
Wan Daud, Wan Mond Nor, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, Mizzan, Bandung, 1998.
Wijaya, Aksin, Arah Baru Ulumul-Qur’an, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2009.
www. wikipwed,com
www.cs students.stanford. com.
www.Home page Farid Esack. com.
[1] Q.S, Al-Hijr, :9
[2]Dengan berlakunya undang-undang apartheid tahun 1948, diskriminasi rasial dilembagakan. hukum Race menyentuh setiap aspek kehidupan sosial, termasuk larangan perkawinan antara non-putih dan kulit putih, dan sanksi dari “ pekerjaan”putih saja. Pada tahun 1950, Penduduk Registration Act diperlukan bahwa semua akan ras Afrika Selatan digolongkan ke dalam salah satu dari tiga kategori: putih, hitam (Afrika), atau berwarna (dari campuran yang layak). Kategori berwarna termasuk sub kelompok utama dari India dan Asia. Klasifikasi ke dalam kategori tersebut didasarkan pada penampilan, penerimaan sosial, dan keturunan, http://www-cs students.stanford.edu/~cale/cs201/apartheid.hist.html rabu 23 februari 2010. lihat juga buku, dekonstruksi syari’ah II. Hal 199-201.
[3] Arkoen menawarkan konsep historisitas, al-Qur’an dilihat dari sudut pandang sejarah turunnya al-Qur’an hingga proses kodifikasinya,Ia menilai telah terjadi titik perubahan yang krusial dalam alur historisitas al-Qur’an yang tercermin dalam perubahan wacana wahyu verbal kepada korpus tertulis yaitu mushaf. Lihat dalam buku, Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi Kritik Kaum Liberal, Gema Insani Press, Jakarta 2010, 281.
[4] Rahman menawarkan metode tematik dan juga hermeneutika double movement, yakni proses interpretasi yang melibatkan “ gerakan ganda”, dari situasi sekarang menuju situasi dimana al-Qur’an diturunkan, untuk kemudian kembali lagi kemasa sekarang. Lihat dalam buku Fazrul Rahman Islam and modernity, the University of Chicago Press, London &Cicago.1919, 5. lihat buku, Abdul Mustaqim, Epistemologi tafsir kontemporer, LKiS, Yogyakarta, 2010, 178.
[5] Hasan Hanafi menawarkan pemahaman dari theosentris ke antroposentris, Ia juga menggagas sebuah tafsir harus diproyeksikan menjadi sebuah metode empatis-sosiologis. Karena itu merupakan fenomena manusia yang hidup didalam perasaan mufassir, sehingga memungkinkan terwujudnya kerangka fenomenologi sosial. Tujuannya, untuk berbicara kepada publik arab secara langsung dan melampaui cara-cara akademis konservatif,untuk sampai kepada pemikiran serta pandangan yang langsung terhadap realitas, Lihat dalam buku, Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi Kritik Kaum Liberal, Gema Insani Press, Jakarta 2010,236
[6] Salah satu kontribusi orisinil Syahrur dalam pemikirannya Ialah teori hudud ( nazharyyah al-wujud),dalam merespon problem kontemporer terutama yang tekait dengan masalah hukum. Kemudian juga Ia membedakan istilah al-Kitab dan al-Qur’an, lihat buku Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, LKiS, Yogyakarta, 2010,194, lihat buku Muhammad Syahrur, metodologi fiqih kontemporer, 281
[7] Apartheid (arti dari bahasa Afrikaans: apart memisah, heid sistem atau hukum) adalah sistem pemisahan ras yang diterapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan dari sekitar awal abad ke-20 hingga tahun 1990.Hukum apartheid dicanangkan pertama kali di Afrika Selatan, yang pada tahun 1930-an dikuasai oleh dua bangsa kulit putih, koloni Inggris di Cape Town dan Namib dan para Afrikaner Boer (Petani Afrikaner) yang mencari emas/keberuntungan di tanah kosong Arika Selatan bagian timur atau disebut Transvaal (sekarang kota Pretor dan Johannesburg).www. wikipwed,com. Tanggal 23 februari 2011.
[8] Aksin Wijaya, Arah Baru Ulumul-Qur’an, Pustaka Pelajar Yogyakarta 2009, 195-197
[9] Gerakan untuk melaksanakan teori sehingga menghasilkan suatu revolusi. Setelahnya berefleksi, dan terus menerus sampai selanjutnya.
[10] Farid Esack, Qur’an, Liberation & Pluralism an Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression, One World, Oxford, 1997, 90
[11] Ibib, 92
[12] Inyk Ridwan Muzir. Hermeneutika Filosofis Hans, George Gadamer, AR-RUZZ MED, Yogyakarta, 2010,149.
[13] www.Home page Farid Esack. com.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Esack,….Qur,an…… 108.
[17] Esack…. 86.
[18] Ilham B. Saenong, Hemeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi, Teraju, Jakarta, 2002, 36.
[19] Adnin Armas, Tafsir Al-Qur’an atau Hermeneutika AL-Qur’an, Majalah Islam, Thn I NO. 1/Muharram 1425, 39.
[20] Muhammad Mustafa al-Azami, The History of the Qurânic Text from Revelation to Compilation 74.
[21] Farid Esack, Qur’an, liberation & pluralism…., 93.
[22] Ibid,93.
[23] Ibid, 110.
[24] Ibid,111.
[25] Ibid123
[26] Farid Esack, Qur’an, liberation & pluralism…., 86
[27] Ibid, 86.
[28] Ibid, 86.
[29] Ibid,. 86.
[30] Ibid,88-89.
[31] Ibid, 92.
[32] Ibid, 96-97.
[33] 103-105Ibid.
[34] Sahiron Syamsudin dkk, Studi Al-Qur’an Kontemporer antara Wacana, Yogyakarta 2001,193-209
[35] E sumaryono, Hermeneutika, Kanisius, Yogyakarta 1993,102
[36] Term praksis mengandung makna aksi Manusia yang mencipta perubahan teori (teori) untuk kemudian mempengaruhi cara beraksi kembali, di sebut-sebut di introduksi mula-mula oleh Karl mark. Lihat F wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, Jakarta Pustaka sinar harapan, 1987, 10
[37] Dalam tradisi Kristen, hermeneutika circle digunakan untuk menginterpretasi ulang teks sesuai dengan konteknya. Bible secara keseluruhan, bukan hanya konteks lokan teks tesebut. Interpretasi ini terjadi pada awal-awal sejarah Kristen. Lihat, Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, Gema Insani Press, Jakarta 2006, 292.
[38] Proses hermeneutis ini pada saat yang sama, sebenarnya telah dilakukan pada tahap pemaknaan teologi secara diatas, terkhusus dalam pembektukan kesadaran teologis di level a postereoi tentang kenyataan.
[39] Secara ontologis rangka hermeneutika pembebasan dimaksud disandarkan pada Gadamer, situasi hermeneutis baginya, merupakan starting point ontologis dari seluruh prilaku dan pemikiran Manusia. Lihat palmer, hermeneutic…. ,33,42, menurutnya, proses hermeneutic sebagai suatu upaya interpretasi tidak lalu berarti mengambil makna asli yang diletakan pengarang (the author) kedalam teks ( the text)buatannya, tapi menampilkan makna baru yang sesuai dengan kontek kondisi kekinian penafsir. Sebab orang mustahil menghindar dai keterkondisian historisnya.yakni, fiktiritas ke adaannya di dunia. Tuntutan rekonstruksi makna teks adalah imposible, karena tatkala teks itu dilepas, seketika itu pula teks menjadi otonom. Proses hermeneutika justru menuntut dilibatkannya dimensi historis kekinian penafsir. Menanggalkan dimensi historis diri saat menafsiri teks selain tidak mungkin juga tidak perlu, sebab justru dimensi itu yang akan memperkaya penafsiran. Lihat hans George Gadamer, kebenaran dan metode, pengantar filsafat hermenutika. (truth and method), Pustaka pelajar, 2010, 241
[40] Farid Esack….. al-qur’an,…..61
[41]Fahrudin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an, Tema-tema Kontoversl, el-SAQ Press, Yogyakarta. 2005, 14
[42] Esack… Qur’an….150.
[43] Diakui sendiri dalam bukunya, qur’an liberalis & pluralism.
[44]pertama, memperhatikan konteks mikro dan makro ketika al-Qur’an diwahyukan, konteks mikro adalah situasi sempit yang terjadi dilingkungan Nabi ketika al-Qur’an diturunkan. Konteks makro, adalah situasi yang terjadi dalam sekala yang lebih luas, menyangkut masyarakat, agama, dan adat istiadat Arab pada masa Islam datang, khususnya di Mekah dan disekitarnya. Kemudian menggeneralisasi respon spesifik al-Qur’an atas konteks itu lalu menentukan tujuan moral-sosial umum yang diinginkan dibalik respons spesifik itu. Penelurusuran semacam ini akan menghasilkan suatu narasi qura’ni yang koheren dari nilai-nilai dan prinsip- prinsip umum dan sistematis, namun disini yang lebih dominan konsep asbabunnuzul dan nasikh mansukh. Dalam pandangannya, pertama, al-Qur’an dalam lembaran sejarah dan berhadapan dengan sosio-historis. Kedua, berusaha memerapkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum tersebut pada konteks pembaca kontemporer, gerak ini berangkat dari pandangan umum kepandangan khusus. Yang diformulasikan dan direalisasikan pada masa sekarang. Fazrul Rahman, Islam and Modernity, Tehe University if Chicago Press, London, 1984 , 6
[45]Esack …. Al-qur’an …, 101.
[46] Mohammad Arkoun, Rethingking Islam, (Washington, D.C for Contemporary Arab Studies, 7.
[47] Salah satu pernyatan Muhammad Arkeon akan pentingnya historisitas untuk digunakan dalam menafsiri al-Qur’an. Lihat buku, Adnin Armas. Metodologi Bible dan Studi dalam Al-Qur’an GP, Jakarta, 2005, 67.
[48] Abdullah An-Na’im, Mohammad Arkoun, Dekonstruksi syari’ah II, LKis, Yogyakarta, 1993. 219.
[49] Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation, Marryknoll: orbis Books, 1973, 56.
[50] Francis Wahomo Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, LKiS, Yogyakarta,2000.46-47.
[51] Hamid Famhi Zarkasy, dalam, Buku On Islamic Civilization, Umissula, Republika kata, Semarang 2010, 483.
[52] Muhammad Imarah, Tayaraotul Fikri al- Islamiy, Darusyuruq, Mesir, 2008, 184.
[53]Mannaul Khalil Qattan , Ulumul Qur’an, Mansyurat Asr Hadist, 1999, 73.
[54] Ibid.
[55] Jumlah seluruh ayat al-Qur’an berdasarkan hitungan terhadap mushaf usmani, al-Qur’an nulkarim watarjamatuh indunisiyyah, diterbitkan oleh kerajaan Arab Saudi dan Indones, yaitu 6234 ayat.
[56] Diterangkan dalam bukunya,Al-Wahidi, Asbabunuzul, Bairut, Darl Fikr, 1988,122.
[57] Jalaluddin, as-Suyuti, Al-Itqan fi Ulumil Qur’an juz, 1-2 beirut Dar fikr, 1979, 29.
[58] Makalah,Roem Rowi, dalam buku ,Dlektika Islam dengan Problem Kontemporer, IN Press, LKiS, 2006, 103.
[59] Ibid, 106.
[60] Muhammad Imarah, Suqutul Guluw Almaniyi, Darusyruq, Mesir, 2002, 248
[61] Farid… Qur’an …. 34
[62] Mohammad Arkoen…… Dekonstruksi .. 199.
[63] Ibid, 113.
[64] Farid Esck…. Qur’an,,…,121.
[65] Inyak Ridwan Muzir. Hermeneutika Filosofis Hans, George Gadamer, AR-RUZZ MED, Yogyakarta, 2010,149.
[66] Adnin Armas, dalam buku On Islamic Civilization, Umissula, Republika kata, Semarang 2010, 532.
[67] Syamsudi Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran, Gema Insani press, Jakarta 2008, 182
[68] Wan Mond Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, Mizzan, Bandung, 1998.
[69] Hamid. Fahmi Zarkasy. Liberalisasi Pemikiran Islam, CIOS- ISID, 2008, 104.
[70] Esack, Qur’an, 83 23 Esack ,Qur ’an, 86 ,,Ibid, 86-87.
[71] Q.S.Al-Baqoroh, 62.
[72] Esack,..Qur’an….83.
[73] Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, I, Beirut, Dar al-Makrifah, 1980, 336.
[74] Thabathabai, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Qum, al-Hauzahal-Ilmiyah, 1973, 193
[75] Rasyid Ridla, Tafsir al…….,337.
[76] Zuhairi Misrawi, al-Qur-an Kitab Toleransi, FITRAH, Jakarta, 2007, 310.
[77] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Kasir, zuj I, 258
[78] Abu Husain Ibnu mas,ud al bagawi, Tafsir Baghawi. zuj 1, Daruul Tabi’ah, 1997, 103
[79] Fahrudinn al-Razi, mafatihul ghaib zuj 2 ttd,, hal 135,
[80] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Juz I Darul-Fikr, Siber, 2006, 78.
[81] Q.S al Kafirun (1-6)
[82] Orang yang pertama kali mewacanakan diatas lah, Jon Hik,, dan Wilfret C. Smith, Wacana pluralisme, Jon Hick Menganjurkan Keharusan “ transformasi orientasi dari pemusatan agama, menuju pemusatan Tuhan. ini lihat dalam buku: Anis Malik Thaha. Tren Pluralisme Agama, Gema insane Press Jakarta 2005 hal 77-89.
[83] Ini adalah pemahaman inklusif yang berkembang dalam agama Kristen, dan disebarkan ketika selesai konsili Vatikan II. untuk memudahkan penyebarannya mereka berwacana bahwa selain “Kristen selamat, tapi agama lain juga bisa selamat” maka paradigma ini dibalik oleh para pemikir Islam liberal, dengan mengambil justifikasi dari ayat al-Qur;an surat Al-Baqarah ayat 62.
[84]Esack… al-qur’an….. 123.
[85] Esack, Qur’an, 57.
[86] Ibid, 58.
[87] Revolusioner asal Iran yang dengan Nama asli Muhammad Taqi Syari’ati, lihat Ali Rahnema, Ali Syari’ati Biografi Politik Intelektual Revolusioner, ERLANGGA, Jakarta, 2000,17.
[88] Ahmad Fuad Fanani, Islam Madzhab kritis, kompas med nusantra, Jakarta 2004, 96.
[89] Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, LKiS, Yogyakarta, 2007.34.
[90]Kusnadiningrat, Teologi dan Pembebasan, Gagasan Kiri Islam Hasan Hanafi, Logos Wacana Ilmu, Jakarta 1999.. 56.
[91] Muhammad Imarah, Perang Terminology, Islam versus Barat, Rabanni Press. 1998.xv..
[92] Ibid, 147.
[93] Wahbah Az-Zuhaili, Kebebasan Dalam Islam, Pusataka Kausar, Jakarta, 2005. 124.
[94] Al-Attas, Islam dan sekularisme. PIMPIM, Bandung, 2010, 56
mantap banget…. mencerahkan dan tetap fokus…