Syiah: Antara Hakikat Akidah dan Isu Ukhuwah

Written by | Fikih dan Syariah

shyiah khomeni

Oleh: Kholili Hasib

(Peneliti InPAS Surabaya)

Pendahuluan

Kemunculan aliran Syiah bermula dari sekelompok orang yang mengangkat isu adanya sengketa politik antara sahabat Nabi saw dengan keluarga Nabi saw (Ahlul Bait). Mereka biasanya menyatakan kebencian terhadap Sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khattab karena dianggap merebut kekuasaan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah pengganti Nabi saw. Keyakinan tersebut menjadi ciri khas Syiah tersendiri. Jika disimpulkan secara umum ciri khas Syiah ada dua; Pertama membenci Sahabat Nabi saw dan, Kedua, kecintaan yang ghuluw (berlebihan) kepada Ali bin Abi Thalib beserta keturunannya atau Ahlul Bait. Isu perebutan Abu Bakar terhadap hak Ali sebagai khalifah inilah yang sangat santer dalam dunia Syiah. Dalam sejarah, kelompok yang mengangkat isu ini adalah Abdullah bin Saba’ yang dalam buku-buku tarikh disebut sebagai seorang Yahudi yang mengaku masuk Islam pada zaman Khalifah Ustman bin Affan. Kelompok pengikut Abdullah bin Saba’ ini pada zaman itu membenci para Sahabat Nabi saw dan mengkultuskan Ali bin Abi Thalib.

Kebencian terhadap Sahabat Nabi saw — terutama Abu Bakar dan Umar — dan kepercayaan terhadap keimamahan Ali beserta keturuannya merupakan akidah dan ciri utama Syiah. Namun dalam dakwahnya, Syiah menggunakan taqiyah (menyembunyikan identitas). Terkadang ditemukan dalam buku-buku Syiah kontemporer yang mengelak adanya ajaran penistaan terhadap Sahabat Nabi saw. Sedangkan kitab-kitab induk Syiah cukup jelas sikap kebenciannya terhadap Sahabat Nabi saw. Sehingga ditemukan kontradiksi antara buku-buku induk Syiah yang ditulis oleh ulama mereka dengan buku-buku yang ditulis Syiah kontemporer di Indonesia. Tentu saja adanya kontradiksi tersebut menimbulkan tanda tanya, apalagi para ulama Syiah yang menulis buku-buku induk tersebut tetap menjadi referensi Syiah kontermporer. Meski Syiah kontemporer, termasuk di Indonesia menyembunyikan identitas akidah dalam buku-bukunya, namun tetap saja dapat dibaca frame pemikiran yang merendahkan Sahabat Nabi saw.

Mengenal Hakikat Syiah

Cara yang tepat dan ilmiah untuk mengenal akidah Syiah adalah dengan mengkaji secara langsung kitab-kitab induk mereka yang dijadikan rujukan utama, seperti al-Kafi, Man La Yadhuruhu al-Faqih, Tahdzibul Ahkam, al-Istibshar, Tafsir al-Qummi, Bihar al-Anwar dan lain-lain. Sebab, sebenarnya Syiah tidak pernah membuang kitab-kitab induk tersebut. Tokoh-tokoh Syiah Indonesia tetap memulyakan kitab-kitab tersebut dan para penulisnya sebagai referensi dalam praktik keagamaannya. Meski dalam buku-bukunya kontemporer cukup jarang mengutip referensi tersebut. Minimimnya perujukan terhadap kitab tersebut ditengarai karena Syiah sedang mengamalkan taqiyyahnya.

Seperti misalnya dalam buku Agar Tidak Terjadi Fitnah: “Sepanjang pengetahuan kami kaum Syiah menganggap kitab al-Kafi, al-Istibshar, Man La Yadhuruhul Faqih dan al-Tahdzib itu adalah kitab standar mereka, namun mereka tidak pernah mengatakan shahihul Kahfi apalagi dikatakan Kitab Sesudah al-Qur’an sebagaimana mayoritas Ahlus Sunnah menganggap bahwa Kitab Bukhari atau Muwatha’ itu adalah satu-satunya Kitab yang Shahih sesudah al-Qur’an..”. Kalimat dalam buku tersebut sepertinya tidak memposisikan al-Kafi sebagai sebuah kitab yang agung yang memuat kata-kata suci dari Imam mereka.

Namun, penulis buku tersebut membantah keraguan terhadap serangan yang ditujukan kepada kitab al-Kafi dimana di dalam kitab tersebut kebanyakan tidak mencantumkan “bersabda Rasulullah saw , tapi hanya berhenti pada perkataan “Berkata Imam …as”. Buku itu menjawab: “…Adapun kebanyakan hadis-hadis kaum Syiah Imamiyah berhenti sampai pada Berkata Imam a.s. karena status imam-imam tersebut di atas sebagai pewaris ilmu nabi, menjadikan mereka berhak menafsirkan serta menakwilkan al-Qur’an, mereka itulah mandatarisnya al-Qur’an di setiap zaman. Karena status Imam-imam tersebut sebagai pengganti Nabi maka apabila ada riwayat yang sudah sampai kepada salah satu dari 12 orang imam tersebut itu sudah sama dengan hadis”. Pernyataan ini merupakan pengakuan terhadap otoritas riwayat dalam al-Kafi.

Usulan untuk mengenal hakikat Syiah melalui referensi-referensi yang muktabar telah diungkapkan oleh Prof. Dr. Quraihs Shihab. Dalam buku Buku Putih Mazhab Syiah ia menulis bahwa Rujukan terbaik untuk memahami Syiah adalah para ulama’nya yang muktabar dan diakui. Ulama dan kitab Syiah yang muktabar inilah yang menjadi pokok panduan Syiah dari dulu hingga sekarang. Sehingga agar tidak terjadi kesalafahaman, perlu meneliti kitab-kitab induk mereka.

1. Arti Kata Syiah

Istilah Syiah dalam konteks pemikiran dan ilmu kalam maksudnya adalah kelompok yang memiliki ajaran tersendiri. Namun, sebelum lahirnya sekte Syiah, istilah ‘syiah’ pernah beredar, tapi dengan makna secara bahasa saja yang artinya ‘pendukung’. Istilah itu bahkan telah beredar pada masa Sahabat Nabi saw. Syi’atu Ali maksudnya pecinta dan pendukung Ali bin Abi Thalib. Sesungguhnya istilah Syi’atu dalam makna pendukung bukan hanya dinisbatkan kepad Ali. Para sahabat yang mencintai Utsman bin Affan disebut Syi’atu Utsman. Jadi, istilah tersebut pada zaman itu tidak ada kaitan ideologis sama sekali dengan Syiah yang sekarang disebut Rafidhah atau Imamiyah. Karena itu, harus dipahami makna kata secara istilah dan secara bahasa. Secara etimologi kata Syiah berarti para pengikut atau pendukung. Secara lebih luas diartikan golongan, pengikut, pembantu, pendukung atau sejenisnya. Pengertian etimologis ini seperti telah disebebutkan dalam al-Quran.

وَدَخَلَٱلْمَدِينَةَعَلَىٰ حِينِغَفْلَةٍۢمِّنْ أَهْلِهَافَوَجَدَفِيهَارَجُلَيْنِ يَقْتَتِلَانِ هَٰذَامِن شِيعَتِهِۦوَهَٰذَامِنْ عَدُوِّهِ

Maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (syi’atihi) dan seorang lagi dari musuhnya (kaum Fir’aun)”. (QS. Al-Qashash: 15).

Makna etimologis seperti tersebut dalam al-Quran di atas, juga bukanlah yang dimaksud dengan arti kelompok (firqah) yang akan dibicarakan dalam pembahasan ini. Karena itu, dalam kajian teologi dan pemikiran Islam, kata Syiah bukanlah yang dimaksud dalam makna etimologis tersebut. Membicarakan Syiah sebagai firqah terkait erat dengan fase perkembangan keyakinan kelompok yang memiliki prinsip-prinsip keimamahan dalam akidahnya.

Secara terminologis, al-Syahrastani menerangkan, Syiah adalah kelompok yang berkeyakinan bahwa hak imamah (menjadi pemimpin umat setelah Nabi saw) adalah sayyidina Ali dan keturunannya. Bila tidak dipegang Ali, maka terjadi kedzaliman. Ibn Hazm mendefinisikan, Syiah adalah firqah dengan beranggapan bahwa jika sayyidina Ali adalah orang paling utama setelah Rasulullah saw dan hanya beliau dan keturunannya saja yang berhak menjadi pemimpin umat.

Istilah firqah Syiah sering disandingkan dengan Rafidhah. Menurut Imam Ahmad, Rafidhah adalah orang-orang yang berlepas diri dari para sahabat Nabi saw serta mencaci dan merendahkan mereka. Karena itu, kelompok Syiah yang mengecam dan mencaci Abu Bakar dan Umar r.a biasanya oleh para ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah (Sunnah) disebut dengan Rafidhah.

Istilah Rafidhah menurut penjelasan Abul Hasan al-Asy’ari muncul pertama kali berdasarkan perkataan Zaid bin Ali bin al-Husein kepada kelompok Syiah. Abul Hasan al-Asy’ari mengatakan, “Zaid bin Ali tidak lebih mengutamakan Ali bin Abi Thalib r.a dibandingkan semua sahabat Rasulullah saw. Ia mengakui kepemimpinan Abu Bakar serta Umar; ia pun berpendapat harusnya memberontak terhadap para imam yang dzalim. Sewaktu berada di Kufah, di tengah para pengikutnya yang membaiatnya, ia mendengar ada yang menjelek-jelekkan Abu Bakar dan Umar. Serta-merta ia menyalahkan orang itu, sehingga para pembaiatnya memisahkan diri darinya. Lantas beliau mengatakan, ‘Rafadhtumuni’ (kalian meninggalkanku)”. Rafidhah juga disematkan kepada kelompok yang menolak (rafadha) kepemimpinan Abu Bakar dan Umar. Jadi Syiah disebut Rafidhah karena mereka menolak kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Ustman sebagai Khalifah, yang berimplikasi kepada keimanan kaum Syiah.

2. Gejolak Awal : Dari Politik ke Teologi

Gejolak awal Syiah bermula dari isu adanya sengketa politik antara sahabat Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dengan Ahl al-Bayt mengenai jabatan khalifah. Isu politis dikobarkan oleh sosok Abdullah bin Saba’. Tersebarlah propaganda yang menyatakan bahwa Abu Bakar, Umar dan Ustman radhiallāhu ‘anhum merampas hak khalifah. Nama Ali bin Abi Thalib radhiāllahu ‘anhu disodorkan sebagai pemegang hak resmi jabatan khalifah.

 

Penyebaran isu tersebut juga dilakukan dengan cara-cara politis. Imam al-Thabari menerangkan, propaganda ditanamkan kepada orang-orang tertentu yang awam yang baru masuk Islam. Mereka secara diam-diam menyebarkan adanya sengketa politik sambil menyembunyikan maksud mereka itu. Ada dua pokok hal yang menjadi komoditas propaganda, yaitu mengangkat teologi tasyayyu’ (mencintai Ahl al-Bayt secara berlebihan) dan pendiskulaifikasian sejumlah besar sahabat Nabi Saw dari pengikut kebenarana. Bahwa ada wasiat dari Nabi Muhammad Saw kepada Ali dan keturunannya. Masyarakat awam diprofokasi dengan isu bahwa Ahl al-Bayt bermusuhan dengan sahabat. Mobilisasi propaganda dilakukan di daerah-daerah pinggiran, seperti Mesir dan Irak.

Gejolak makin meningkat pada zaman Ustman bin Affan. Abdullah bin Saba’ menyebarkan pemahaman bahwa setiap Nabi memiliki washi. Dan Ali adalah washi-nya Nabi Muhammad. Di lain tempat ia memasang sikap anti-Ustman bin Affan dengan mencemarkan nama beliau. Politik Abdullah bin Saba’ pun berkembang secara luas di kalangan orang-orang Kufah menjadi sistem keyakinan dan menyebar dari generasi ke generasi menjadi sebuah teologi.

Selain Abdullah bin Saba’, yang banyak disamarkan oleh Syiah kontemporer, ada lagi sosok yang perlu diketahui dalam historisitas politik Imamah. Al-Du’ali pernah membuat provokasi dengan memuji-muji Ali secara berlebihan. Ia mengatakan: “Kutatap roman muka Abu Husein, bak kulihat rembulan yang bersinar terang, membuat semua yang melihat jadi keheranan. Aku mencari Tuhan dan tempat tinggal masa depan melalui cintaku kepada ‘Ali”.

Obsesi politik dengan mengangkat teologi Imamah dengan Ahl al-Bayt sebagai pemegangnya hampir menuai hambatan. Masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib tidak berlangsung lama, yaitu lima tahun sejak tahun 35 H sampai 40 H. Ketika putranya, Hasan bin Ali diangkap, situasi politik dipenuhi pertentangan hebat. Kerajaan yang diakui mengangkat Ahl al-Bayt baru dinasti Fatimiyah dan keturunan Hasan yaitu Idris bin Abdullah di Maroko pada tahun 179 H. bahkan dinasti Idris sesungguhnya tidak representatif pemerintahan Syiah, karena wilayah kekuasannya semuanya Sunni.

Ibnu Babawihi al-Qummi, salah seorang ulama’ klasik Syiah menjelaskan tentang pokok-pokok teologi politik tersebut. Ia mengatakan bahwa setiap nabi menyampaikan wasiatnya kepada penerimanya atas perintah Allah swt. Dan bahwa jumlah penerima wasiat itu mencapai seratus dua pulu empat ribu orang. Muhammad Ahmad al-Turkamaniy menukil ‘Aqāid al-Imāmiyah bahwasannya, mereka meyakini Nabi Saw menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya dan khalifah di muka bumi.

Ketika mereka mengangkat konsep washi terhadap Ali bin Thalib dan keturunannya, para sahabat Nabi Saw, didiskualifikasi. Alasannya, para sahabat tidak mendukung Ahl al-Bait untuk mengangkat Ali menjadi khalifah. Al-Kulayni dalam kitab al-Kāfi mengatakan: “Pasca wafatnya Nabi, orang-orang menjadi murtad semua, kecuali tiga. Aku bertanya, siapa yang tiga itu? Beliau menjawab; Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari dan Salman al-Farisi”. Keyakinan ini berimplikasi pada parameter validitas Hadist Syiah. Jalur penerimaan hadist dipersempit hanya melalui riwayat Ahl al-Bayt. Muhammad Husein Ali Kasyif al-Ghita’ mengatakan; “Syiah tidak menerima hadist-hadits Nabi Saw kecuali yang dianggap sah dari jalur Ahl al-Bayt. Sementara hadist-hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Samurah bin Jundub, Amr bin Ash dan lain-lain tidak memiliki nilai walau sedikit”. Khomeini juga membatalkan transmisi hadist dari sahabat selain Ahl al-Bayt. Bahkan ia menuduh sahabat membuat-buat kalimat yang diatasnamakan Nabi Muhammad Saw. Keyakinan seperti tersebut di atas bukan lagi murni politik, tapi telah menjadi sistem dasar teologi Syiah. Setiap pemikiran dan akidah disandarkan kepada konsep Imamah. Dan konsep Imamah sendiri tidak pernah lepas dari cara-cara politik untuk menegakkannya. Seperti yang difatwakan oleh Khomeini bahwa, usaha-usah pendirian Negara Syiah merupakan bagian dari aplikasi iman terhadap wilayah (keimamahan). Pada masa terjadi kekosongan Imam, seperti sekarang, jabatan Imam untuk sementara dikendalikan oleh Wilayat al-Faqih yang bertugas menasihati pemimpin Negara dan sekaligus pemimpin tertinggi dalam perkara agama. Oleh sebab itu, mendirikan Negara ‘Islam’ merupakan keniscayaan bagi Syiah. Karena hal itu bagian dari pengamalan doktrin Imamah. Kesempurnaan teologi Syiah dipraktikkan melalui Imamah.

Adapun isu sengketa politik antara sahabat dan Ahl al-Bayt yang diisukan sepeninggal Nabi Saw, ternyata tidak ada referensi standar sejarah Islam. Ketika terjadi musyawarah antara kaum Anshar dan Muhajirin di balairung Saqifah Bani Sa’idah untuk memilih khalifah, Ali bin Abi Thalib memang tidak terlibat karena sibuk mengurus jenaza Rasulullah Saw. Akan tetapi pada akhirnya Ali membaiat Abu Bakar sebagai khalifah. Antara Ahl al-Bayt dengan sahabat juga tidak terjadi perselisihan politik, apalagi saling mencaci. Justru Ali bin Abi Thalib pernah berwasiat kepada keturunannya; “Jagalah hak-hak sahabat Nabi kalian, karena Rasulullah Saw telah mewasiatkan agar menjaga hak-hak mereka”.

Ketika terjadi perselisihan politik, terutama ketika terjadi perang Jamal dan Shiffin, di zaman Ali bin Abi Thalib, tidak dinafikan terdapat sekelompok pendukung setia Ali. Namun wajah ‘Syiah Ali’, pada zaman itu bukanlah seperti wajah Syiah Imamiyah sekarang. Ibn Taimiyah mengatakan bahwa kaum Syiah dahulu yang ikut serta Ali bin Abi Thalib atau mereka yang hidup pada zaman itu sepakat mengutamakan Abu Bakar dan Umar. Mereka hanya berselisih tentang mana yang lebih utama antara Ali dan Ustman. Tidak ada caci maki terhadap sahabat. Pengikut setia Ali yang ini bukan kelompok Sabaiyah (pengikut Abdullah bin Saba’). Sehingga tidak bisa dinisbatkan dengan Rafidhah. Syiah Rafidah adalah penerus Sabaiyah yang diidentifikasi menjadi satu kekuatan teologis tersendiri pada tahun 121 H, ketika terjadi penyerbuan kelompok Syiah kepada Hisyam bin Abdul Malik. Sejak ini muncul nama Rafidhah, yang menjelek-jelekkan Abu Bakar dan Umar. Secara teologis kelompok ini penerus dari Sabaiyah zaman dahulu. Keimamahan menjadi prasyarat mutlak untuk menjadi hamba Allah yang sejati.

3. Akidah Pokok Syiah

Imamah adalah konsep kepemimpinan Syiah yang menjadi kepercayaan mutlak. Doktrin ini menjadi landasan paling dasar dari ajaran-ajaran Syiah lainnya. Akidah Imamah diposisikan sebagai akidah penyerta dalam konsep ketuhanan. Secara elementer, konsep imamah berbeda jauh dengan yang dipahami Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Beriman kepada imamah sebagai prasyarat untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak sah keimanan seseorang – meskipun secara tulus beriman kepada Allah dan Rasul –Nya jika tidak diberengi oleh kepercayaan terhadap keimamahan Syiah. Dari sinilah konsep Imamah Syiah merupakan konsep murni teologis, tidak sekedar konsep politis.

Imamah merupakan jabatan ilahi, kedudukannya tidak diperoleh melalui musyawarah akan tetapi ditunjuk olah Allah. Ulama’ kontemporer Syiah, Husein Ali Kasyif al-Ghita’ mengatakan: “Yang dimaksud Imamah adalah suatu jabatan Ilahi. Allah yang memilih berdasarkan pengetahuan-Nya yang azali menyangkut hamba-hamba-Nya, sebagaimana Dia memilih Nabi. Dia memerintahkan kepada Nabi untuk menunjuknya kepada umat dan memerintahkan mereka mengikutinya. Syiah percaya bahwa Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk menunjuk Ali dengan tegas dan menjadikannya tonggak pemandu bagi manusia sesudah beliau”. Imamah merupakan pokok agama yang membedakan dengan firqah-firqah lainnya, karena sebagaimana diungkapkan ulama Syiah, Ali Kasyif al-Ghita’ bahwa ia memang jabatan ilahiyah. Pengangkatannya seperti Allah mengangkat Nabi, langsung dipilih oleh Allah tanpa musyawarah di antara manusia.

Dalam keyakinan Syiah Imamah ditunjuk oleh Nabi Saw. Sebelum meninggal, Ali diberi wasiat oleh Nabi. Namun dalam kenyataannya, dari data-data sejarah baik Syiah atau Ahl al-Sunnah, tidak ditemukan pernyataan tegas Ali yang mengumumkan bahwa dirinya mendapat wasiat dari Nabi. Bahkan ketika ia didesak oleh Abbas untuk menanyakan kepada Rasulullah Saw adakah wasiat kekhalifahan, Ali menolaknya dan bahwa perkara itu bukan ada di pundaknya.

Kedudukan imam dalam Syiah terlampau berlebihan. Teologi Imamah, bahkan hampir mirip dengan ketuhanan. Seperti pendapat para Imam memiliki kuasa seperti Allah. Imam Khomeini mengatakan: “Ini kerana bagi imam itu kedudukan-kedudukan maknawi yang tersendiri, terpisah dari keududukan pemerintahan. Imamah merupakan kedudukan Kekhalifahan yang menyeluruh bersifat ketuhanan, yang telah tersebut oleh para Imam a. s, dimana seluruh hal-hal yang paling kecil yang ada ( di bumi) tunduk kepada mereka”. Pemikiran ini diperkuat dengan riwayat dalam al-Kafi yang menyatakan : “Tidakkah engkau tahu bahawa dunia dan akhirat itu untuk Imam, dia mengurusnya sesuai sekehendaknya dan dia memberinya kepada sesiapa yang dia hendaki, yang demikian itu dari (anugerah) Allah”. Bisa disimpulkan, alam semesta ini diatur oleh Allah dan para Imam. Para Imam memiliki hak kuasa yang tidak dimiliki para Nabi sekalipun.

Dalam sejumlah litelatur, Imamah hampir sama dengan Nubuwah. Tapi dalam pustakan Syiah lainnya ditemukan justru Imamah lebih tinggi daripada Nubuwah. Abdul Husein, seorang pemikir Syiah kontemporer, menulis: “Para imam yang dua belas lebih utama daripada semua nabi selain Nabi Muhammad Saw dan keluarganya, barang kali penyebab hal itu adalah, bahwa keyakinan mereka (para imam) lebih banyak dari pada Nabi”. Keyakinan tersebut juga ditegaskan oleh Khomeini. Ia mengatakan, “Sesungguhnya di antara hal yang pokok dalam madzhab kami (Syiah) adalah, bahwa para Imam memiliki derajat yang tidak dapat dijangkau oleh para malaikat muqarrabin dan para nabi yang diutus”.

Pujian-pujian berlebihan juga dapat dijumpai dalam pustaka-pustaka standar Syiah lainnya. Dengan demikian ‘pengkudusan’ terhadap Imam bukan perkara yang menjadi perdebatan di kalangan Syiah, tapi telah menjadi konsensus para ulama’, baik klasik maupun kontemporer. Makanya tidak heran jika ambisi politik Syiah sebenarnya cukup besar kerena didorong oleh ambisi teologi Imamah yang disakralkan itu.

Karena itu fanatisme Syiah terhadap Imamah mengakibatkan pendiskualifikasian terhadap orang-orang di luar Syiah. Teologi Imamah menjadi parameter baku untuk menilai keimanan dan ketauhidan seseorang. Persoalannya, parameter Imamah ini merupakan kreasi para ulama’ Syiah. Meskipun dalam Syiah hal ini menjadi akidah paling mendasar, Ali bin Abi Thalib sendiri tidak pernah mengatakan hal demikian. Dalam kumpulan pidatonya, yang dibukukan dalam Nahajul Balaghah, juga tidak ditemukan fatwa-fatwa seputar kekafiran orang yang tidak mempercayai Imamah. Orang yang menolak keimamahan biasanya disebut syirik. Perluasan makna syirik tentu menguatkan asumsi awal, bahwa Imamah tidak sekedar menyamai Nubuwah, tapi merupakan ruang ilahiyah.

Dengan landasan seperti itu, poisis Imamah menjadi absolut. Dalam pemikiran Syiah, imamah merupakan sumber ilmu yang pasti. Alasannya cukup ekstrim; para imam diyakini tidak pernah lupa dan mengantuk. Seperti dikatakan oleh Imam Khumaini; “Para Imam dimana kita tidak bisa memandangnya tidak mengantuk dan lalai”. Oleh karenanya, imam dalam pemikiran Syiah itu ma’sum (terbebas dari dosa). Bahkan, imamah menjadi salah satu rukun Syiah. Imam Khumaini menjadikannya seperti syahadat, para mayit biasanya dibacakan talqin dengan menyebut-nyebut kewajiban meyakini para Imam.

Keyakinan-keyakini seperti tersebut di atas memperkuat asumsi, bahwa akidah imamah menjadi salah satu aspek penting dalam praktik keyakinan Syiah. Salah satunya, penafsiran ayat-ayat al-Qur’an berbasis Imamah. Argumentasi yang dikedepankan adalah hujjah berdasarkan konsep prinsipil imamah Syiah. Untuk itu, ayat-ayat yang berkaitan dengan tauhid, syirik dan sebagainya dita’wil dengan konsep Imamah sebagai landasannya. Umumnya ayat yang berkaitan dengan konsep syirik misalnya, ditafsirkan secara konstan tidak lepas dari kepercayaan kepada para imam Syiah.

Salah satu di antaranya, surat al-Zumar ayat 65: “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelum kamu. Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”.

Al-Kulaini dalam kitab al-Kafi menjelaskan bahwa yang dimaksud menyekutukan dalam ayat tersebut adalah mempersekutukan imam Ali dengan kepemimpinan orang lain. Keyakinan seperti ini telah dipertegas oleh ulama’ klasik kenamaan Syiah, al-Majlisi dalam karyanya, Bihar al-Anwar. Ia mengatakan: “Ketahuilah bahwa memutlakkan kalimat syirik dan kufur dalam teks-teks Syiah terhadap orang-orang yang tidak mempercayai keimamahan Ali dan para imam setelah beliau dan mengutamakan orang lain daripada mereka, menunjukkan bahwa orang-orang itu kafir dan kekal di neraka”.

Surat al-Baqarah ayat 136 yang menjelaskan tentang persaksian keimanan kepada Allah dan Rasulullah diselewengkan menjadi keimanan terhadap imam dan Ahl al-Bayt. Ayat tersebut berbunyai: “Katakanlah (wahai orang-orang mukmin) ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami”. Ayat ini ditafsirkan oleh al-Kulaini secara keliru. Menurutnya, yang dimaksud beriman kepada yang diturunkan Allah adalah beriman kepada Ali, Fatimah, Hasan, Husein dan para imam setelah mereka. Dengan demikian, tafsir al-Qur’an terlalu jauh diselewengkan dimana tafsir seperti tersebut tidak pernah dijumpai pada ulama’-ulama salaf. Metodologi tafsir berbasis Imamah inilah yang menyalahi metode baku tafsir para ulama’ salaf.

Tanpa perlu penjelasan yang rumit, kita bisa menyimpulkan bahwa konsep syirik dalam Islam telah dibongkar sedemikian rupa dengan memasukkan konsep Imamah sebagai dasarnya. Syirik, yang dalam pemahaman Islam adalah mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang lain selain-Nya, diperluas maknanya sehingga menjadi orang yang mempersekutukan Allah dan yang mempersekutukan imam Ali. Jadi pemahaman tentang syirik berkait dengan kepercayaan terhadapa imamah. Bahkan akidah imamah menjadi syarat untuk membersihkan dari kesyirikan.

Konsep syirik tidak sekedar penyekutuan terhadap Tuhan, tapi juga kepada imam yang notabene adalah manusia. Konsep seperti ini tampak telah terjerumus kepada paham ‘antroposentrisme’ –yaitu paham yang meyakini manusia sebagai kebenaran. Meski bukan persis sama dengan antroposentrisme yang berasal dari tradisi Barat. Akan tetapi, konsep akidah Syiah yang menjadikan imamah sebagai sentral keyakinan. Konsep akidah tauhid Syiah dengan menjadikan para imam sebagai asasnya, dapat dikatakan memiliki unsur paham antroposentrisme. Apalagi, seperti tersebut dalam riwayat di atas, imamah seperti kedudukan nubuwwah (kenabian) yang memiliki sifat uluhiyyah. Menempatkan manusia (yaitu para imamnya) pada level sifat-sifat ketuhanan. Dalam konsep Islam, seluruh manusia memiliki kesalahan, hanya para nabi yang dijamin kema’shumannya (tidak berbuat salah/dosa). Seperti keterangan Imam Fakhruddin al-Razi dalam kitabnya Ishmah al-Anbiya bahwa hanya para nabi yang ma’shum dari dosa besar maupun kecil dengan sengaja. Adapun lupa, para nabi bisa melakukan kelupaan. Namun langsung diberi ingatan oleh Allah. Sedangkan para imam, hampir memiliki sifat seperti sifat Allah, tidak lupa dan mengetahui hal-hal ghaib di alam semesta ini. Akidah yang demikian menjadikan para imam memiliki sifat-sifat rububiyyah yang semestinya tidak tepat disematkan kepada manusia.

Doktrin Kebencian dan Pelaknatan

Kemulyaan sahabat Nabi saw oleh aliran Syiah tidak diterima. Beragam tuduhan dilemparkan kepada sejumlah pembesar sahabat dan Aisyah, istri Nabi saw, dimotivasi oleh tuduhan palsu bahwa para sahabat merebut hak-hak Ahlul Bait. Dalam kitab induk Syiah al-Kafi diriwayatkan bahwa semua sahabat baik kalangan Muhajirin maupun Anshar telah kafir kecuali hanya tiga orang, yaitu Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghifari dan Miqdad bin Aswad. Atas klaim ini, siapa saja yang mengingkari Ali juga dikafirkan. Seperti dikatakan dalam al-Kafi:

Dari Abu Ja’far a.s berkata: ‘Sesungguhnya Allah swt menjadikan Ali sebagai tanda kewalian (kepemimpinan) antara Allah swt dan makhluk-Nya. Barang siapa yang mengenalnya, maka ia mu’min. Barangsiapa mengingkarinya, maka ia jadi kafir, barangsiapa yang tidak mengetahuinya berarti ia tersesat, barangsiapa yang mengangkat seseorang bersama dia, maka ia musyrik, dan barang siapa yang datang dengan meyakini keimamahannya maka dia masuk surga”.

Imam al-Majlisi, salah seorang ulama’ Syiah menulis dalam kitabnya Bihar al-Anwar juz 23 termasuk ulama yang ekstrim mencaci sahabat. Secara profokatif ia menulis: “Ketahuilah bahwa mengatakan syirik dan kufur kepada orang yang tidak meyakini keimanan Ali bin Abi Thalib sebagai Imam Syiah, dan imam-imam yang lain dari keturunan beliau, serta mengutamakan yang lain, menunjukkan bahwa mereka kekal di neraka”.

Baginya, umat Islam masih dalam keadaan kufur, sebab tidak meyakini Ali dan keturunannya sebagai imam yang suci. Dalam doktrin Syiah Ali bin Abi Thalib adalah imam suci yang pertama. Imam ini posisinya sama dengan nabi. Pendapat-pendatan mereka dinilai sebagai hadis. Syiah Itsna ‘Asyariyah meyakini ada dua belas imam yang maksum (terbebas dari kesalahan dan dosa).

Imam Khomeini, dalam bukunya Kasfu al-Asrar menuduh Umar bin Khattab menentang al-Qur’an karena Umar membawa riwayat tentang keharaman nikah mut’ah. Abu Bakar ra dituduh tidak memberikan warisan tanah fadak kepada Fatimah. Bahkan Khomeini membuat cerita palsu bahwa Fatimah tidak menyapa mereka berdua hingga wafat.

Hadis yang bersumber dari para Imam adalah shahih tanpa perlu adanya ittishal dengan Rasulullah SAW. Karena status Imam seperti seorang Nabi. Siapa saja yang menolak perintah Imam sama dengan menyalahi perintah Allah SWT. Termasuk dalam kepemimpinan Khalifah. Sahabat yang mengangkat Abu Bakar al-Shiddiq sebagai Khalifah pertama, tidak memilih Ali bin Abi Thalib dianggap mengkhianati Allah SWT.

Kultus yang berlebihan (ghuluw) terhadap Imam, menjadikan penganut Syiah berwajah ekstrim. Siapa saja yang menolak Imam, dihukumi sebagai orang tersesat. Dalam al-Kafi disebutkan riwayat: “Abi Ja’far berkata:”Sesungguhnya Allah SWT menjadikan Sayyidina Ali sebagai tanda antara Allah SWT dan makhluk-Nya. Barangsiapa mengetahuinya, maka ia mukmin. Barangsiapa yang mengingkarinya, maka ia kafir, barangsiapa yang tidak mengetahuinya berarti ia tersesat, barangsiapa yang mengangkat Imam lain bersamanya, maka ia musyrik, dan barang siapa yang mengakui kepemimpinan para Imam, maka ia masuk surga” (al-Kafi juz 1). Jadi, mengakui, dan taat pada para imam menjadi parameter Syiah untuk menilai sesat dan tidaknya seseorang.

Karena keyakinan seperti itu, Syiah menerapkan standar ganda dalam meriwayatkan hadis. Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat selain Ahlul Bait. Karena selain Ahlul Bait integritas sahabat dinilai tidak tsiqqah. Husein Kasyif Ghita’, seorang ulama Syiah kontemporer mengatakan: “Saya tidak menerima hadis-hadis Nabi SAW kecuali yang dianggap sah dari jalur Ahlul Bait. Sementara hadis-hadis yang diriwayatkan oleh perawi semacam Abu Hurairah, Samurah bin Jundub, Amr bin Ash dan lainnya, maka dalam pandangan Syiah Imamiyah, mereka tidak memiliki nilai walau senilai nyamuk sekalipun”.

Jalaluddin Rakhmat, ketua Dewan Syura Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) membuat tuduhan-tuduhan merendahkan sahabat. Di antaranya, buku Sahabat Dalam Timbangan al-Qur’an, Sunnah dan Ilmu Pengetahuan, halaman 6, dikatakan Umar bin Khattab meragukan kenabian nabi Muhammad saw.

Syiah membenturkan antara sahabat dan Ahlul Bait, seakan-akan keduanya berseteru. Di antaranya membuat opini bahwa Sayyidah Fatimah melaknat Abu Bakar, karena Abu Bakar dianggap menahan hak waris tanah fadak Fatimah r.a. Atas dasar ini, maka Syiah melaknat sahabat. Tuduhan ini dijawab dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah bahwa Fatimah bukan memaksa meminta warisan tanah Rasulullah saw, tapi menanyakan statusnya. Abu Bakar menjawab bahwa Rasulullah saw tidak mewariskan hartanya. Fatimah kemudian menerima penjelasan Abu Bakar tersebut.

Kredibilitas Abu Bakar dijatuhkan dengan cara membuat opini-opini bahwa Abu Bakar penentang hukum Allah swt. “Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar (Syaikhoni) melanggar al-Qur’an, bermain-main hukum Tuhan, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang haram, keduanya dzalim terhadap Fatimah binti Rasulillah saw”.

Khalifah kedua, Umar bin Khattab, r.a, dituduh meragukan kenabian Nabi Muhammad saw, dan menentang firman al-Qur’an. Meskit tidak ada kalimat takfir di sini, namun pendapat tersebut menggiring opini bahwa kredibilitas Umar bin Khattab diragukan.

Usman bin Affan, Khalifah ketiga, bersama sejumlah besar sahabat dianggap pernah melarikan diri dari perang Uhud. Ketakutan diserang kaum kafir Qurasy. Para sahabat dalam beberapa persoalan dituduh tidak taat bahkan menentang perintah Rasulullah saw. Tentang larinya para sahabat dalam perang Uhud, karena mereka terdesak pasukan Qurasy. Tapi yang harus dipahami, meski mereka lari, tidak pantas mereka dicaci dan dinista. Ini sebuah kesalahan strategi. Karena itu, tidak tepat mendapat tuduhan menentang Rasulullah saw dan menanggung dosa. Sebagaian di antara syuhada Uhud adalah orang-orang yang diampuni dosanya, dijamin masuk surga. Jika tetap ada penistaan terhadap sahabat, bagaimana mungkin ukhuwah dibangun?

Khomeini mengatakan dalam kitabnya tentang sahabat-sahabat tersebut: “Dan sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang bodoh, dungu, berdosa, tidak pantas menduduki posisi pemimpin”

Sasaran penistaan juga ditujukan kepada para ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah. Muhammad al-Tijani, dalam bukunya al-Syiah hum Ahlussunnah mengatakan bahwa para Imam empat madzhab telah melanggar al-Qur’an dan Hadis, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik dikatakan melakukan bid’ah dan meninggalkan imam (imam Syiah) pada zamannya.

Menghina Sahabat

Penistaan terhadap sahabat dapat dikategorikan penodaan agama. Sebab, para sahabat adalah pembesar-pembesar Islam yang mengemban misi suci setelah Rasulullah saw. Sumber-sumber Islam dikenal kaum Muslimin sedunia melalui para sahabat. Imam Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitabnya al-Shawaiq al-Muhriqah menulis riwayat-riwayat buruknya orang yang menodai para sahabat.

Di antaranya; Dari Anas r.a : “Sesungguhnya Allah swt telah memilihku memilihkan untukku para sahabat-sahabatku, di antara mereka menjadi menantu dan penolong. Barangsiapa menjagaku dalam persoalan para sahabat, maka Allah akan menjaganya. Barangsiapa menyakitiku dengan menyakiti mereka, maka ia menyakiti Allah swt”

Dari Anas r.a: “Akan datang nanti suatu kaum yang mencaci dan merendahkan para sahabat. Maka janganlah kamu menemani duduk bersama mereka, jangan makan dan minum bersama mereka dan janganlah nikah dengan mereka”.

Dari Thabrani dan Abu Na’im dalam kitab al-Ma’rifah, dari Ibnu Asakir dari Iyadh al-Anshari: “Jagalah hak-hak para sahabat, menantu dan penolongku. Barangsiapa yang menjagaku dalam persoalan mereka maka ia akan dijaga oleh Allah swt di dunia dan di akhirat”.

Ciri-ciri golongan Rafidhal juga pernah dikutip riwaya oleh Ibn Hajar. Dari Imam al-Dzahabi dari Ibnu Abbas: “Akan ada pada akhir zaman nanti kaum yang bernama Rafidhah, mereka menolak Islam. Maka perangilah mereka, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang musyrik”

Dari Ibrahmin dan Hasan bin Husein bin Ali, dari ayahnya dari kakeknya, Ali bin Abi Thalib r.a. Ali berkata: Rasulullah saw bersabda, “Akan muncul pada umatku pada akhir zaman nanti kaum yang dinamakan Rafidha, mereka menolak Islam”.

Sengketa antara Ali bin Abi Thalib beserta keturunannya dengan para sahabat sesungguhnya tidak pernah terjadi. Banyak keturunannya yang bernama Abu Bakar dan Umar. Anak Husein bin Ali juga ada yang bernama Abu Bakar dan Umar. Husein bin Ali pernah mengatakan bahwa mencintai Abu Bakar dan Umar bukan semata-mata sunnah, tetapi wajib hukumnya. Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “Saya sudah lihat sendiri sahabat-sahabat Rasulullah saw. Tidak seorangpun dari kalian yang dapat menyamai mereka. Mereka siang hari banyak berdiri ruku’ dan sujud (menyembah Allah swt), silih berganti, tampak kegesitan di dahi dan wajah-wajah mereka, seolah-olah mereka berpijak di atas bara bila mereka ingat akan hari pembalasan (akhirat) di antara kedua mata mereka tampak bekas sujud mereka yang lama, bila mereka ingat akan Allah, berlinang air mata mereka sampai membasahi baju mereka, mereka condong bagaikan condongnya pohon dihembus angin lembut karena takut siksa Allah, serta mengharapkan pahala atau ganjaran dari Allah”.

Cinta kepada sahabat juga menjadi ajaran para keturunan Ali dari Bani Alawi. Diriwayatkan oleh Zuhair bin Mu’awiyah, Mu’awiyah pernah berkata kepada Ja’far al-Shadiq: “Tetanggaku mengatakan bahwa engkau berlepas dari Abu Bakar dan Umar r.a. benarkah itu?” Beliau menjawab, “Allah berlepas dari tetanggamu. Demi Allah, sesungguhnya aku berharap Allah memberiku manfaat berkat hubungan kekerabatanku dengan Abu Bakar r.a

Ja’far al-Shadiq juga pernah mengatakan: “Abu Bakar adalah kakekku. Jika aku tidak mengangkat Abu Bakar dan Umar sebagai pemimpin dan tidak berlepas dari musuh keduanya, maka kelak di hari kiamat aku tidak mendapatkan syafaat Nabi Muhammad saw”. Ja’far al-Shadiq memiliki silsilah yang bersambung kepada Nabi Muhammad saw dan Abu Bakar al-Shiddiq. Dari garis ayahnya, beliau merupakan keturunan Rasulullah saw, sedangkan dari garis ibunya, beliau keturunan Abu Bakar al-Shiddiq. Ibu beliau adalah Farwah binti al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar al-Shiddiq.

Metode dan Pendekatan Dakwah Syiah

1. Isu Ukhuwah dan Metode Taqiyyah

Ayatullah Khomeini, pemimpin besar revolusi Iran tahun 1979, pernah mengumumkan untuk mengekspor revolusi ke Negara-negara Islam. Pemimimpin Negara-negara Islam menyambut dingin ajakan tersebut. Ketika ia menemui hambatan-hambatan dalam meyakinkan pemimpin Negara-negara Muslim tentang proyek revolusi, maka metode pendekatan (taqrib), mencitrakan kesan netral dan menciptakan common enemy (yaitu AS dan Barat) digunakan. Metode Khomeini tersebut merupakan kebijakan politis. Tapi nampaknya, metode politis tersebut dikembangkan da’i-da’i Syiah dalam berdakwah ke Negara-negara Muslim. Ternyata metode ini dalam kenyataan praktiknya didukung oleh akidah taqiyah (menyembunyikan identitas di tengah mayoritas), yang telah menjadi rukun agama dalam ajaran Syiah.

Pasca kerusuhan Sampang Madura, organisasi Syiah Indonesia, ABI (Ahlul Bait Indonesia) dan IJABI (Ikatan Ahlul Bait Indonesia) mengadakan diskusi dan seminar dengan mengusung tema-tema pendekatan dan ukhuwah. Pada 5 November 2012, komunitas Syiah Indonesia mengadakan seminar Seminar Internasional Persatuan Dunia Islam di Universitas Muslimin Indonesia (UMI) Makassar Sulawesi Selatan. Acara tersebut, dihadiri oleh Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, Rektor UMI, Prof. DR. Hj. Masruroh Mokhtar, MA,NB. , Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin, tokoh syiah Internasional, Ayatullah M. Ali Tashkiri, Maulawi Ishaq Madani Ulama Sunni penasehat Presiden Iran untuk urusan Ahlussunah wal Jama’ah, dan Deputi Universitas terbuka Iran, Dr.Mazaher.

Seminar tersebut disambut dengan aksi protes sejumlah ormas Islam Makassar agar menghentikan seminar tersebut. Wahdah Islamiyah Makassar, salah satu ormas yang turun mengajukan protes ke kampus UMI menilai seminar tersebut pada dasarnya ingin melegalkan ajaran sesat Syiah di Indonesia. Sedangkan kesesatan Syiah lebih berbahaya dibandingkan perbuatan maksiat, karena merusak aqidah seorang Muslim. Pada hari yang sama, di TMII Jakarta juga digelar diskusi dengan tema yang sama dalam rangka memperingati hari besar Syiah “Idul Ghadir”.

Tema persatuan dan pendekatan memang menjadi proyek utama. Dalam kajian-kajian, taklim, buku-buku dan orasi ilmiah selalu Syiah tidak meninggalkan tema ini. Selain itu, mereka menerapkan beberapa metode. Di antaranya, Pertama, menampilkan pustaka atau tokoh Syiah berwajah Sunni (Syi’i biwajhin Sunniyin). Prof. Dr. Mohammad Baharun menulis bahwa kitab kitab Muruj al-Dzahabi oleh Ali bin Husein al-Masoudi, Kifayat al-Thalib fi Manaqib Ali bin Abi Thalib dan al-Bayan fi al-Akhbar Shahib al-Zaman Oleh Abu Abdillah Fakhruddin Muhammad bin Yusuf al-Kanji, Syarh Nahj al-Balaghah oleh Ibnu Abi al-Hadid, Syawahid al-Tanzil oleh al-Hakim al-Kaskani, dan Yanabi’ al-Mawaddah oleh Sulaiman bin Ibrahim al-Qanduzi, adalah buku-buku Syiah. Pengarangnya mengaku Sunni agar diapat diakses oleh pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah.

2. Klaim Madzhab Ahlul Bait

Kerap kali dijumpai juga pengikut Syiah menolak sebagai Syi’i. Tapi terkadang mereka lebih suka disebut pengikut madzhab Ahlul Bait ketimbang pengikut Syiah. Mereka juga menghindari debat terbuka vis a vis. Dalam beberaca acara publik kadang menampilkan tokoh yang tidak memiliki kapasitas. Namun diminta untuk bicara ukhuwah Sunnah-Syiah. Hal ini merupakan taktik pengelabuan untuk menutupi wajah Syiah yang sesungguhnya. Wujud Syiah ideologis tidak ditampakkan, tapi menampakkan sebagai simpatisan madzhab Ahlul Bait. Argumentasi yang dikedepankan biasanya mereka mengatakan bahwa Syiah adalah Muslim, karena membela hak-hak kepemimpinan Ahlul Bait.

Bagi Syiah, Ahlul Bait (keluarga Nabi saw) dijadikan icon utama. Dalam hadis, Syiah hanya menerima jalur periwayatan yang hanya ditransmisikan oleh Ahlul Bait. Di luar Ahlul Bait jalurnya ‘ditutup’. Tapi bisa diterima jika isi hadisnya mendukung keutamaan Ahlul Bait. Akibatnya, Syiah menolak mayoritas hadis yang beredar di kalangan kaum Muslimin (Ahlussunnah wal Jama’ah).

Berbeda dengan Ahlussunnah, semua hadis diterima baik diriwayatkan oleh Ahlul Bait atau bukan asalkan memenuhi syarat-syarat keabsahan hadis dan perawinya. Ahlussunnah juga mencitai Ahlul Biat. Mereka mencintai Ahlul Bait berdasarkan tuntunan al-Qur’an dan al-Sunnah, bukan atas dasar fanatisme buta. Ahlul Bait merupakan orang-orang baik, tapi mereka manusia biasa, tidak ma’shum.

Dalam keyakinan Sunni Ahlul Bait itu adalah satu kesatuan rumah tangga Rasulullah saw yang terdiri dari bapak, ibu, mertua, anak, menantu dan para cucu. Namun Syiah menyempitkan anggota Ahlul Bait, terbatas Fatimah, Ali dan keturunannya. Abu Bakar yang menjadi mertua Nabi saw didiskualifikasi. Ustman bin Affan yang menjadi menantu Nabi saw dua kali dibenci dikeluarkan dari anggota keluarga besar rumah tangga Rasulullah saw.

Pendiskualifikasian dan penyempitan makna oleh Syiah awalnya didasarkan oleh ideologi kebencian, yang termakan propaganda palsu Abdullah bin Saba’ bahwa ada sengketa politik bahwa sahabat (termasuk Abu Bakar, Umar dan Ustman) memusuhi Ahlul Bait.

Ayatullah Khomeini, pemimpin besar revolusi Iran, dalam bukunya Kasf al-Asrar menulis dongeng tentang Abu Bakar. Bahwa ambisi Abu Bakar untuk berkuasa sudah tertanam sebelum Abu Bakar masuk Islam. Dikisahkan, Abu Bakar masuk Islam atas petunjuk seorang dukun. Si Dukun menganjurkan Abu Bakar untuk masuk Islam, mengikuti Nabi saw, dan setelah Nabi saw wafat Abu Bakar bisa langsung menggantikan kekuasaan. Cerita palsu ini kemudian menjadi landasan ideologis.

Padahal tidak ada permusuhan atau sengketa apapun antara sahabat dan Ahlul Bait. Ali bin Abi Thalib pernah berwasiat kepada anak keturunannya agar menjaga hak-hak sahabat. Sebab hal itu telah dipesankan oleh Nabi saw (Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah). Dalam satu pidatonya, Ali r.a mengingatkan, “Saya sudah lihat sendiri sahabat-sahabat Rasulullah saw. Tidak seorangpun dari kalian yang dapat menyamai keutamaan mereka”. Nasihat-nasihat Ali r.a ini cukup banyak ditulis dalam buku-buku sejarah. Sama sekali tidak ditemukan cercaan terhadap sahabat, justru yang banyak adalah pesan keutamaan sahabat.

Imam Ja’far al-Shadiq ketika membicarakan keutamaan Abu Bakar r.a beliau berkata, “Di samping sya mengharap syafa’at dari Ali, saya juga mengharap syafa’at dari Abu Bakar” (riwayat al-Daraqutni).

Imam Ja’far pernah mengatakan, “Aku dilahirkan oleh Abu Bakar dua kali” (Ahmad bin Zain al-Habsyi,Syarhul ‘Ainiyah, 22). Ketika ia masih hidup, nama beliau (Ja’far) pernah dibajak oleh orang-orang Syiah. Syiah membuat fitnah bahwa Ja’far berlepas diri dari Syaikhoni (Abu Bakar dan Umar). Sontak ia marah. Beliau mengatakan, “Allah berlepas dari mereka (orang-orang Syiah). Demi Allah, sesungguhnya aku berharap Allah memberiku manfaat berkat hubungan kekerabatku dengan Abu Bakar” (Abdullah bin Syekh al-Aidarus,Al-Iqdun Nabawi, 230).

Pernyataan Ja’far al-Shadiq ini menunjukkan bahwa antara dia beserta nasab-nasabnya mengakui Abu Bakar sebagai kerabat (Ahlul Bait). Keturunan Ja’far juga berkeyakinan sama. Ini menunjukkan, bahwa Ja’far, yang diagungkan oleh Syiah sebagai imam, tidak menyempitkan makna Ahlul Bait. Definisi ini sama dengan keyakinan Ahlussunnah dari dulu hingga kini.

Definis ini lebih masuk akal, sebab pendapat ini berdiri secara adil. Tanpa ada cacian, pilih-pilih sahabat. Yang dikedepankan Ahlussunnah adalah metodologi, bukan doktrin mitologi.

Ja’far memang bukanlah berakidah Syiah, tapi beliau adalah imam besar kaum Ahlussunnah. Jadi sesungghunya pendahulu dan pembesar Ahlul Bait berakidah Ahlussunnah wal Jama’ah, bukan Syiah.

Syekh Yusuf al-Nabhani dalam Sywahidu al-Haq mengatakan bahwa para Ahlul Bait dan keturunannya berakidah Ahlussunnah mencintai sahabat dan mayoritas bermadzhab Syafi’i.

Ali bin Husein, salah satu pembesar Ahlul Bait, pernah didatangi oleh orang-orang Syiah yang mencela Abu Bakar, Umar dan Ustman. Ali lantas berbicara panjang lebar dan menyebut mereka (kelompok yang mencela sahabat) itu bukan golongan yang diselamatkan oleh Allah swt. Habib Abdullah al-Haddad, ulama yang disegani di kalangan bani Alawi, menilai Syiah itu seperti kotoran hewan dibelah dua (Tastbitul Fuad, 226).

Sejatinya madzhab Ahlul Bait itu tidak ada. Yang ada adalah madzhabnya Ahlul Bait (madzhab yang dianut oleh Ahlul Bait). Syiah tidak tepat disebut madzhab Ahlul Bait sebab, ternyata Ahlul Bait sendiri mencela Syiah karena akidahnya yang mencaci sahabat Nabi saw. Para habaib, hampir semuanya berakidah Sunni.

Klaim itu seperti diungkapkan tokoh Syiah Indonesia, Jalaluddin Rakhmat. Pada acara miladnya ke-63, Rabu 29 Agustus 2012 lalu, Jalaluddin Rahmad (Kang Jalal) memberi penjelasan kontroversial bahwa para habaib yang menyebarkan agama Islam dulu adalah Syiah. Dugaan Jalal itu diulang dalam wawancara dengan TEMPO pada 29/08/2012 disertai perjelasan agak lebih detil.

Jalal menerangkan, bahwa penyebar agama Islam di Indonesia dari Hadramaut itu bermadzhab Syiah tapi bertaqiyah. “Ketika itu, orang Hadramaut dari Arab masuk ke Aceh untuk berdakwah. Tapi mereka tak menunjukkan dirinya Syiah. Melainkan ber-taqiyah (berpura-pura) menjadi pengikut madzhab Syafi”i”, terang ketua Dewan Syura IJABI (Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia) ini (tempo.com 3/10/2012).

Namun, teori bahwa muballigh yang datang ke Indonesia itu Syiah yang ber-taqiyah, itu telah lama dibantah sejarawan dari Bani Alawiyin, Habib Alwi bin Thohir al-Haddad, dan beberapa ulama’ dari kalangan habaib. Alwi al-Haddad, yang pernah menjabat mufti Johor Malaysia, menerangkan dalam bukunya ‘Uqudul Almas bahwa kaum Alawiyyin serta pendahulu-pendahulu mereka berakidah Ahlussunnah dan menilai bahwa Syiah adalah paham sesat.

Pakar filsafat sejarah, Syed Naquib al-Attas menampik bahwa Islam di Nusantara dibawa kaum Syiah. Dalam bukunya Historical Fact and Fiction, al-Attas menyodorkan butkti-bukti dari penulis Muslim baik klasik maupun kontemporer bahwa Islam dibawa ke Nusantara ini oleh para dai-dai Ahlussunnah yang diutus secara resmi oleh penguasa di tanah Arab. Mereka, bukanlah pedagang atau kaum Sufi.

Dalam catatan-catatan otoritatif sejarah, memang telah ditulis bahwa habaib dari nenek moyang mereka di Hadramaut sampai sekarang di Indonesia mayoritas justru anti-Syiah. Organisasi al-Rabithah al-Alawiyyah Indonesia (organisasi yang menghimpun keturunan bani Sadah Alawiyah keturunan Sayyidina Husein bin Ali) pernah mengeluarkan maklumat bahwa Rabithah bermadzhab Ahlussunnah wal Jama’ah, dan menolak ajaran caci maki sahabat (Syiah).

Alwi bin Thohir al-Haddad menjelaskan, kaum Alawiyyin adalah anak keturunan Rasulullah melalui jalur Ali bin Abi Thalib dengan Fathimah. Mereka biasa disebut sayyid, asyraf, atau di Indonesia dipanggil habaib. Leluhur bani ‘Alawi yang bernama Sayyid Ahmad bin Isa al-Muhajir berasal dari Irak merupakan leluhur yang sangat masyhur dalam sejarah keturunan bani Alawi. Sayyid al-Muhajir berjasa menyelamatkan keturunannya dari serangan isu dan fitnah pengikut Syiah di Irak, dengan cara berhijrah ke Hadramaut, Yaman.

Dalam buku Jalan Lurus Sekilas Pandang Tariqah Bani Alawi, Novel Alaydrus mengutip buku al-Barqah menulis alasan Sayyid al-Muhajir hijrah ke Yaman:

Berkat hijrah beliau (al-Muhajir ke Hadramaut) selamatlah anak cucu beliau dari kerusakan akidah, fitnah, kegelapan bid’ah, penentangan terhadap Sunnah (Ahlussunnah) dan pengikutnya. Berkat hijrah tersebut, mereka selamat dari kecenderungan untuk mengikuti berbagai keyakinan Syiah yang sangat buruk yang saat itu melanda sebagian asyraf yang berada di Irak”

Fitnah pengikut Syiah terhadap keturunan Alawiyyin di Irak yang terjadi pada pertengahan abad ke-10 M mendorong para kaum Alawyyin hijrah. Agar supaya anak keturunannya tidak tersangkut fitnah Syiah, yang memakai ‘topeng’ madzhab Ahlul Bait.

Kaum Alawiyyin dikenal sangat ketat menjaga tradisi keberagamaannya. Maka, apapun rintangannya akan dihadapi demi menyelamatkan agama anak keturunan. Mereka kaum pemberani dalam menghadapi tantangan, tapi lembut dan low profile terhadap sesama saudara dan ikhwan seagama. Sikap pura-pura (taqiyah) bukan karakter pribadi kaum Alawiyyin. Sayyid al-Muhajir hingga akhir hayatnya di Hadramaut mendidik keturunannya dengan akidah Ahlussunnah dengan madzhab Syafi’i.

Sejumlah data-data sejarah yang ditulis sendiri oleh para pendahulu Alawyyin menunjukkan secara tegas bahwa mereka berakidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Ali bin Abu Bakar al-Sakran, tokoh terkemuka dari Bani Alawiyyin, menulis:

Adapun anak cucu Imam Syihabuddin Ahmad bin Isa yang tiba di hadramaut dan kemudian tinggal di Tarim adalah asyraf Sunni” (al-Barqah al-Masyiqah, hal. 133). Seorang ulama’ terkemukannya bernama Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam Tasbitul Fuad I/227 cukup tegas lugas menolak akidah Syiah. Ia menyebut Syiah sebagai golongan orang-orang ahli batil. Dalam segala hal pendapat-pendapat mereka (Syiah) tidak dapat diambil.

Habib al-Haddad di kalangan bani Alawiyyin dan nadhliyyin sangat terkenal dengan dzikirnya yang disebut dzikir ratib al-Haddad. Dzikir ini memiliki sejarah penting dalam pembentengan kaum Alawiyyin dari dakwah Syiah. Syekh Abdullah Ba Saudan menerangkan latar belakang disusunnya dzikir ratib ini:

Ketahuilah bahwa penyusun ratib al-Haddad ini dimulai pada tahun 1971 H dan disusun disebabkan setelah para pemuka-pemuka Hadramaut mendengar berita bahwa banyak dari pengikut Syiah Zaidiyah masuk Hadramaut. Mendengar hal itu, para pemuka Hadramaut meminta kepada Habib Abdullah al-Haddad agar mengumpulkan dzikir-dzikir dari Rasulullah sebagai benteng bagi masyarakat Hadramaut agar tidak terpengaruh akidah Syiah tersebut, lebih-lebih bagi masyarakt awam”.

Jadi, terhadap Syiah Zaidiyah pun bani Alawiyyin sangat mewaspadai. Dan data ini menyodorkan bukti bahwa Bani Alawiyyin berseberangan dengan golongan Syiah manapun, baik Zaidiyah maupun Imamiyah.

Dari para asyraf Hadramaut inilah yang menurunkan para dai-dai yang menyebarkan agama Islam ke rantau Melayu-Indonesia. Mereka membawa tradisi-tradisi keagamaan yang diajarkan di negeri Yaman untuk disebarkan kepada masyarakat melayu. Maka, hingga kini pun dijumpai dzikir-dzikir dan ritual yang memiliki kemiripan dengan tradisi di Hadramaut Yaman. Tradisi dan ritual ini murni tradisi kaum Alawiyyin Sunni.

Tidak ditemukan data-data sejarah yang valid bahwa merek yang hijrah ke Melayu adalah Syiah. Adapun teori-teori dari sejarawan Syiah, sifatnya baru spekulatif. Sejumlah ritus yang diklaim seperti tahlilan, membaca yasin, membaca shalawat dan peringatan asyuro, secara geneologis dan ideologis tidak memiliki ketersambungan dengan tradisi kaum Syiah dimanapun, baik Zaidiyah di Yaman atapun Imamiyah di Irak dan Irak. Justru sebaliknya, ritus-ritus tersebut adalah tradisi turun-temurun para anak cucuk Sayyid al-Muhajir yang Sunni bermadzhab Syafi’i.

Para leluhur Ahlul Bait Sayyid al-Muhajir, seperti Ali Zainal Abidin, Ja’far al-Shodiq, Muhammad al-Baqir – yang ketiganya diklaim Syiah sebagai imamnya – ternyata sangat kuat memegang akidah Ahlussunnah. Serta mecerca kaum Syiah yang menodai kehormatan sahabat Nabi Saw.

Ali Zainal Abidin pernah didatangi orang-orang Syiah. Kaum Syiah tersebut mencela sahabat Abu Bakar, Umar dan Usman. Sontak, Ali Zainal Abidin mengusir mereka dan bersumpah bahwa mereka bukan dari golongan yang benar. Muhammad al-Baqir juga pernah didatangi kaum Syiah seraya mengejek Abu Bakar. Lantas al-Baqir marah dan mengatakan bahwa mereka tidak akan dibenarkan oleh Allah. Ja’far al-Shadiq pernah mengatakan bahwa orang-orang yang tidak mengangkat Abu Bakar dan Umar sebagai khlaifah tidak akan mendapat syafaat nabi Muhammad Saw. (Jalan nan Lurus Sekilas Pandan Tariqah bani Alawi, 46).

Data-data ini juga menjadi bukti bahwa Ahlul Bait Nabi menghormati sahabat-sahabat Nabi dan mencerca orang-orang yang mengkiritik apalagi menodai kehormatan mereka. Sehingga, kita dapat membuat kesimpulan bahwa siapakah sesungguhnya pengikut setia dan pecinta Ahlul Bait Nabi dan siapa pula yang mengkhianati keturunan Nabi tersebut.

3. Memberikan Image Netral

Satu sisi mengkampanyekan ukhuwah, namun di kesempatan mengkritik Sunni. Yaitu mengkritik pustaka-pustaka Sunni, dan para ulama’. Yang menjadi sasaran biasanya hadis-hadis riwayat Abu Hurairah dan Bukhari-Muslim. Selain itu juga pendekatan melalui pendekatan akhlak, memberi jasa bantuan dana serta janji-janji kerja sama jika umat bersedia bergabung ke dalam insitutusi tertentu. Kini, Syiah menggerakkan dunia pendidikan. Mendirikan sekolah-sekolah unggulan mulai TK hingga SMA. Menyelenggarakan training-training metode pendidikan.

Dengan dukungan aktivis Liberal, digulirkan wacana Syiah dan Ahlussunnah sama-sama. Tidak boleh menyalahkan Syiah. Wacana yang dikedepankan adalah Syiah adalah Muslim. Dalam kenyataannya di Indonesia, liberalism telah menjadi ‘agen’ dalam ekspansi dakwah Syiah. Mereka bergerak secara kolaboratif. Ulil Abshar Abdallah menyikapi bahwa kasus Ahmadiyah dan Syiah adalah perbedaan penafsiran agama, bukan penyimpangan agama. Dalam diskusi bertema “Memberitakan Isu Keberagamaan” di Surabaya pada 24 November 2012, Ulil mengeluarkan statemen relativis bahwa Ahlussunnah dan Syiah sama, hanya beda tafsir.

Kebangkitan Syiah Militan?

H. As’ad Said Ali, Wakil Ketua PBNU, pernah menulis bahwa Syiah di Indonesia akan membuat lembaga Marja’iyyat al-Taqlidi seperti di Iran (www.nu.or.id 30/5/2011). Mereka disebut Syiah politik yang berupaya menegakkan sistema keimamahan seperti halnya Khomeini. Iran dulu membentuk lembaga ini sebelum menyalakan api revolusi. Tentu saja komentar KH. Ali Maschan Moesa pada tahun 2007 saat mengunjungi Iran yang menghimbau kepolisian perlu mewaspadai alumni Iran, masuk akal. Menurut mantan ketua PWNU Jawa Timur ini para pelajar Indonesia di Iran yang berjumlah sekitar 5000 orang meminta untuk mendirikan masjid sendiri di Indonesia, yang terpisah dengan Muslim lainnya.

Dari informasi yang diungkap As’ad Ali, Syiah-Politik ini yang mengendalikan gerak dakwah Syiah di Indonesia. Antara Syiah-politik dan non-politik saling berkolaborasi. Syiah non-politik konsen di dalam dakwah pendidikan. Namun, arah dan strateginya dikontrol Syiah-politik. Di Indonesia dimonitor oleh ICC (Islamic Cultural Center) yang langsung di bawah pengawasan SCRC Iran (Supreme Cultural Revolution Council). ICC membina Yayasan OASE yang gerakkanya cenderung politis. Yayasan ini mengkhususkan kepada bidang pembentukan opini publik atau memobilisasi wacana.

Lembaga Marja’ Taqlidi , selain berfungsi menyusun dan mempersiapkan pembentukan pemerintahan dan konstitusi, juga berfungsi menyusun prioritas-prioritas pemerintahan, termasuk pembentukan sayap militer yang disebut amkatab atau lajnah asykariyah. Dari informasi ini, geliat Syiah sesungguhnya cukup massif, tapi tidak terlihat. Syiah lebih menampakkan kampanye ukhuwah, persaudaraan, dan toleransi. Apa di balik kampanye ukhuwah ini? Tidak lain membungkam da’i-da’i Sunni untuk tidak memperdebatkan perbedaan Sunnah-Syiah lagi. Jika da’i-da’i Sunni sudah tidak berenergi memperdebatkan Syiah, maka rencana pembentukan Marja’ Taqlidi jauh lebih mudah.

Kita masih ingat, pada tahun 1984, Indonesia pernah diributkan kasus pengeboman candi Borobudur, Gereja di Malang dan Bus Pembudi Expres jurusan Bali. Salah satu pelakunya, terprovokasi gaung api revolusi Iran tahun 1979. Perancang pemboman itu mengaku ingin menjadi imam di Indonesia, seperti Khomeini di Iran. Sayap militansi Syiah pada era delapan puluhan meningkat. Konon, sang arsitek ini kabur ke Suriah kemudian ke Iran setelah kasus pengeboman tersebut dikuak kepolisian.

Dalam akidah Rafidhah, elemen yang tidak bisa diabaikan adalah Imamah. Pengamalan imamah dianggap sempurna jika telah ada lembaga Marja’ Taqlidi, dan pemerintahan yang berdasarkan hukum Imam, atau pengganti Imam. Imamah dan cita-cita politik, itu tidak bisa dipisahkan dalam Rafidhah. Ayatullah Khomeini dalam bukunya Kasyf al-Asrar pernah mengatakan, bahwa hal yang paling penting dalam Syiah adalah jabatan Imamah. Saat berhasil merebut kekuasaan dari Syah Reza melalui revolusinya, Khomeini sudah mengumumkan untuk mengekspor revolusinya ke Negara-negara Islam.

Ternyata hal itu bukan basa-basi Khomeini. Ia kemudian menanam Garda Revolusinya ke Lebanon. Hingga sekarang menjadi sayap militer Hizbullah. Mereka adalah rantai penghubung yang menunjukkan otot kekuatan Syiah di Timur Tengah. Lebanon memang tidak menjadi Negara Syiah. Tapi tetangganya Suriah, meski mayoritas rakyatnya Sunni, tapi Negara ini dua kali dipimpin Presiden berakidah Syiah.

Jadi, semangat membara di balik revolusi sebenarnya adalah Syiahisasi. Secara ekstrim, Khomeini menyebut rival-rival politiknya dengan sebutan-sebutan seperti musuh Imam Dua belas. Ia mendeskripsikan musuhnya dengan sebutan toghut, mofsidin fil-arz. Imam ke duabelas Syiah sangat dinanti kedatangannya. Rupanya, Khomeini memanfaatkan momentum ini. Gerakan revolusionernya menyiratkan bahwa revolusi merupakan pintu awal kembalinya Imam Mahdi, imam kedua belas. Setelah revolusi, Khomeini diangat menjadi Na’eb-e Imam (Deputi Imam keduabelas).

Pengumuman ekspor revolusi itu adalah panggilan kepada umat Syiah untuk menjadi misionaris Syiah di Negara-negara Muslim. Panggilan itu ada yang dijawab dengan cara-cara radikalisme, ada pula dengan pendekatan halus. Syiah Arab cenderung merespon secara ekstrim. Upaya Syiahisasi di Irak memakan waktu yang sangat panjang. Perang Irak-Iran selama delapan tahun, bukan sekedar perkara perebutan lahan minyak, tapi ini perang ideologis. Saddam Husein pasca revolusi sangat khawatir, revolusi Iran dijawab oleh aktivisme Syiah Irak dengan radikal. Khomeini pun kecewa sebab Syiah Irak dibungkam oleh Saddam. Ketika perang, tawaran damai ditolak mentah-mentah oleh Khomeini. Baru tahun 2000-an ini ambisi Khomeini menjadi nyata. Diawali tumbangnya Saddam Husein pada 2003, diikuti suksesi politik dengan bantuan Amerika-Iran. Syiah Irak secara politik berada di dua kaki, satu kaki AS dan satunya lagi kaki ideologis Iran. Syiah Irak sangat berhutang kepada AS, karena yang menumbangkan Saddam adalah AS. Begitu tumbang, Syiah mengambil alih pemerintahan di bawah Nuri al-Maliki.

Radikalisme Syiah Arab makin nyata pada krisis Syiria. Syekh al-Shobuni mengecam tindakan Rafidhah di sana. Ketika ceramah di Masjid al-Akbar dan Unesa Surabaya, Syekh al-Shobuni menceritkan bahwa mereka menyembelih anak-anak, wanita dan merobohkan masjid-masjid. Ia menerangkan apa yang terjadi di Syiria, kaum Majusi Rafidah yg mengutuk sahabat-sahabat Rasulullah saw membunuh anak-anak, wanita. Mereka orang terkutuk. “Apakah ini akhlak orang beriman?”, tanya penulis tafsir Tafsir Ayati al-Ahkam ini. Bahkan Syekh al-Shobuni, sangat kecewa dengan mengatakan bahwa Iran bukan lagi Syiah, tapi Majusi. Seperti diungkapkan ketika ceramah di Gresik.

Dalam krisis Suriah ini, Iran mengakui sendiri menyokong rezim Bashar Asad. Kabarnya, Korps Garda Revolusioner Islam Iran (IRGC) memberikan bantuan “non-militer” di Suriah. Hal ini pernah diakui oleh Panglima Muhammad Ali Jafari. “Sejumlah anggota Pasukan Quds berada di Suriah tetapi ini bukanlah merupakan kehadiran militer,” kata kantor berita Iran, ISNA, mengutip Jafari dalam sebuah konferensi pers.

Sementara di Indonesia, Syiah cenderung menggunakan pendekatan halus dan akhlak tingkat tinggi. Namun, kiblatnya tetap sama, Iran dan Khomeini sebagai icon perjuangan. Ketua MUI Jawa Timur, KH. Abdusshomad Buchori, pernah mengingatkan bahwa jika mereka besar bisa mengancam NKRI. Sampai-sampai KH. Ali Maschan Moesa mengkhawatirkan pelajar Indonesia yang di Iran jika mereka pulang. Semangat missionaries Syiah untuk Syiahahisasi bukan basa-basi. Tentu saja semangat demikian mengganggu hubungan Sunnah-Syiah. Persoalan Syiah bisa diselesaikan dengan toleransi. Tapi missionaris Syiah dengan semangat Syiahisasi itu yang bisa mencederai toleransi. Karena itu wacan Indonesia Tanpa Syiah, bermakna, “Indonesai tanpa Syiahisasi”. Wacana ini sah-sah saja sebab, selama ini pemicu konflik Sunnah-Syiah ternyata adanya geliat Syihahisasi terhadap jamaah awam Sunni.

Penutup

Ajakan ukhuwah penganut Syiah dapat dinyatakan kontraproduktif, sebab mereka Syiah masih tetap menggunakan metode taqiyah dalam bermuamalah. Apalagi metode menyembunyikan identitas ini dijadikan sebagai metode dakwah konversi. Sesungguhnya bukannya Sunni yang menolak untuk berukhuwah. Akan tetapi, yang menjadi keberatan umat Sunni adalah kitab-kitab Syiah yang berisi penodaan terhadap sahabat nabi. Sedang, kitab-kitab tersebut menjadi referensi utamanya.

Ukhuwah sebenarnya bukan sekedar berati persaudaraan dalam arti luas. Ukhuwah adalah persudaraan yang diikat oleh keimanan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw, “Kamu melihat orang-orang mu’min di dalam saling belas kasih, saling mencintai, dan saling menyayangi adalah bagaikan tubuh yang satu, apabila salah satu anggota tubuh mengeluh kesakitan maka seluruh anggota yang lain akan menunjukkan pembelaan “.(HR. Bukhari). Maknya, Allah swt mengatakan orang mu’min itu bersaudara. Sehingga, yang tidak beriman, yang menista ajaran Allah bukan saudara. Untuk menciptakan kerukunan di Indonesia, maka orang Syiah harus bersedia membuang ambisinya untuk men-Syiahkan Indonesia dan meninggalkan caci-maki kepada sahabat-sahabat dan istri Nabi Muhammad saw. Dengan itu, kita semua bisa mengkosentrasikan diri untuk bekerja keras membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa Muslim yang kuat dan terhormat.

 

Last modified: 23/09/2013

One Response to :
Syiah: Antara Hakikat Akidah dan Isu Ukhuwah

  1. nasir says:

    assalamualaikum… saya ingin bertanya. di mana saudara mendapatkan kitab untuk rujukan syiah ini. dan jika tidak keberatan apa nma kitab untuk syiah rafidhah. terima kasih

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *