Ungkapan Syukur Hamka kepada Orang-orang Tercinta

Buya HAMKA

Buya HAMKA

Oleh : M. Anwar Djaelani, penulis buku Menulislah, Engkau Akan Dikenang (terbit 2024) dan sebelas judul lainnya

inpasonline.com – Bukalah Tafsir Al-Azhar Juz I-II, terbitan Pustaka Panjimas Jakarta, 1986. Bacalah, di halaman 1 dan 2 ada tulisan di bawah judul: Kata Pengantar Tafsir Al-Azhar (Orang-orang yang saya kenang).

Perhatikan, “Orang-orang yang saya kenang”. Jika ada kalimat seperti ini di Kata Pengantar sebuah kitab / buku, insya Allah bisa dipastikan bahwa hal itu akan berisi ucapan terima kasih (sebagai wujud syukur) penulis kepada orang-orang yang berjasa-baik secara langsung atau tidak langsung-atas terbitnya buku itu. Sering, yang mendapat ucapan terima kasih adalah guru dan keluarga dan mereka sebagai orang-orang tercinta si penulis.

Empat Tercinta

Saat menyusun Tafsir Al-Azhar (baik selama dalam tahanan maupun setelah keluar dan menelitinya kembali), Hamka terkenang kepada orang-orang tercintanya. Mereka amat besar perannya di dalam membentuk pribadi dan kiprah kepejuangannya di bidang dakwah. Atas hal itu, Hamka belum merasa puas kalau belum menuliskannya di pengantar Tafsir Al-Azhar.

Adapun Tafsir Al-Azhar adalah salah satu karya tulis di antara lebih dari seratus karya Hamka. Bahkan, Tafsir Al-Azhar adakah karya terbesarnya. Tafsir itu, insya Allah akan terus dibaca dan dipelajari masyarakat di berbagai tempat.

Orang tercinta Hamka itu adalah ayah kandung sekaligus guru Hamka. Dia adalah Dr. Abdul Karim Amrullah. Sejak Hamka lahir, dia sangat mengingini agar sang putera kelak dapat menggantikannya sebagai orang alim. Hal ini, mengingat bahwa dia sebagai ayah dan beberapa tingkat lagi pada garis keturunan ke atas adalah orang alim di zamannya.

Haji Rasul, panggilan popular Dr. Abdul Karim Amrullah, mengharapkan Hamka menjadi pendakwah juga. Sang ayah, ingin Hamka bisa menjadi penerus yang baik.

Berikutnya, orang tercinta Hamka adalah Ahmad Rasyid Sutan Mansur. Dia adalah kakak ipar sekaligus guru Hamka. Disebut ipar, karena AR Sutan Mansur (demikian nama itu sering ditulis) adalah suami dari kakak Hamka.

Sejak Hamka berusia 9 tahun, AR Sutan Mansur telah mendidiknya. Dia telah membina Hamka sedemikian rupa sampai sang adik ipar “menjadi orang”.

Ada kenangan manis. Bila Hamka mengunjungi sang kakak ipar di rumahnya, lewat air mukanya tampak bahwa AR Sutan Mansur bangga atas aktivitas dakwah Hamka. Misalnya, seperti tergambar pada fragmen berikut ini.

Bahwa, kadang-kadang AR Sutan Mansur terpaku kagum saat mendengarkan Hamka menguraikan suatu falsafah agama. Si kakak ipar lalu bertanya, dari mana Hamka mendapat pelajaran tentang itu? Hamka pun menjawab, bahwa itu adalah percikan dari ajaran sang kakak ipar – AR Sutan Mansur.

Selanjutnya, orang tercinta itu adalah istri Hamka sendiri. Namanya, Siti Raham binti Endah Sutan. Untuk ukuran sekarang, boleh jadi mereka menikah ketika masih belia. Saat mereka menikah, 29 April 1929. Hamka berusia 22 tahun dan Siti Raham berusia 15 tahun.

Sejak awal Hamka berjuang di tengah-tengah masyarakat, berdakwah, Siti Raham telah mendampinginya dengan sabar. Sampai mereka beranak-cucu dan terus dalam suasana suka-duka memperjuangkan agama, Siti Raham tidak pernah mengeluh ketika hidup mereka melarat (Siti Raham cuma berurai air mata saat dengan paksa Hamka ditahan 26 bulan secara sewenang-wenang oleh rezim Orde Lama). Di sisi lain, Siti Raham tidak pernah menyombongkan diri waktu hidup mereka menaik.

Siti Raham, kata Hamka, adalah pahlawan yang tidak dikenal. Dia, lanjut Hamka, telah banyak memberikan dorongan baginya untuk maju. Puluhan tahun mereka hidup berkeluarga, Siti Raham tetap dalam kesederhanaan.

Kemudian, Hamka pun tentu tak lupa dengan orang tercinta yaitu sang ibu yang melahirkannya. Sang ibunda, bernama Shafiyah binti Bagindo Nan Batuah. Sang ibu meninggal dunia pada tahun 1934.

Bahwa, kata Hamka, dengan air susunya dia dibesarkan oleh sang ibu. Dengan cinta kasih-sayangnya, Hamka dibesarkan sampai dewasa. Sayang sekali, lanjut hamka, sebelum dia dapat menunjukkan khidmat dan membalas cintanya, sang ibu telah wafat. “Semoga Allah melapangkan beliau di alam kuburnya,” doa Hamka.

 

Taat Titah

Menyatakan syukur adalah perkara penting! Apa makna syukur? Di kbbi.web.id (yang diakses pada 3/6/2024), ada dua makna syukur. Adapun yang utama, makna syukur adalah ungkapan rasa terima kasih kepada Allah.

Sungguh, menyatakan syukur adalah perkara penting! Dalam Islam, bahkan menjadi perintah Allah agar kita pandai bersyukur. Perhatikan ayat ini: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (QS Ibrahim [14]: 7).

Lewat ayat di atas, tampak bahwa bersyukur adalah salah satu ajaran penting dalam Islam. Allah yang memerintahkan agar kita pandai bersyukur. Tentu, Nabi Muhammad Saw akan mendidik umatnya supaya mengamalkannya.

Atas ayat di atas, Hamka menulis: “Nabi Saw mendidik umatnya berterima kasih” (2003: 3792). Sebelum sampai pada kalimat itu, Hamka menyebut hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Anas bin Malik seperti berikut ini.

Pernah, datang kepada Nabi Muhammad Saw seorang peminta-minta. Lalu, diberi oleh Nabi Saw sebutir kurma. Rupanya, pemberian itu tidak diterimanya dengan senang hati.

Kemudian, datang seorang lagi dan diberi Nabi Saw sebanyak itu pula. Diterimalah kurma pemberian itu walaupun hanya sebutir, seraya orang itu berkata: “Sebutir kurma dari Nabi Saw sendiri, subhanallah.”

Melihat demikian cara penerimaan orang itu, yang spontan menyatakan rasa syukur, bersabdalah Rasulullah Saw kepada pembantunya: “Engkau pergi kepada Ummi Salmah (istri Rasulullah Saw), supaya dia berikan kepada orang ini 40 dirham).”

Teladan Hamka

Selalu bersyukurlah, sebab hal itu akan kembali ke diri kita sendiri. Perhatikan ayat ini: “Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS Luqman [31]: 12).

Barangsiapa, kata Hamka, yang mengenang dan menghargai jasa orang lain kepada dirinya terhitunglah dia orang yang budiman. Apatah lagi jika yang memberikan nikmat dan rahmat itu Allah sendiri. Oleh sebab itu, simpul Hamka, bersyukur adalah mempertinggi nilai dia sendiri yang sudah layak dan wajar bagi insan yang sadar akan harga dirinya (2003: 5565).

Hamka telah menulis, bahwa bersyukur itu hakikatnya mempertinggi nilai kita sendiri. Hal itu, lanjut Hamka, layak dan wajar bagi insan yang sadar akan harga dirinya.

Hamka tak hanya berkata atau menulis. Kita telah menjadi saksi bahwa Hamka telah mengenang dan menghargai jasa orang lain kepada dirinya, terutama atas terbitnya Tafsir Al-Azhar. Hamka telah berterima kasih kepada mereka, orang-orang tercintanya. Hamka sudah bersyukur. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *